Andrio duduk membungkuk. Meletakkan kedua lengannya di atas pahanya. Dan menoleh ke Alyssa. "Sebenarnya nggak ada masalah gimana-gimana, sih. Cuman tadi Papa nasihatin aja Kakak harus kuliah yang bener. Soalnya waktu Kakak mendapat surat DO kemarin, Mama bela-belain datang ke kampus dan ketemu sama dekan buat kasih Kakak kesempatan kuliah lagi di sana. Setelah memikirkan beberapa pertimbangan dan syarat Kakak akhirnya di kasih kesempatan lagi," jelas Andrio panjang lebar. "Alhamdulillah kalau gitu. Terus apa yang membuat Kakak marah?" "Kakak cuman kesal aja sama Papa, beliau seperti meremehkan kemampuan Kakak. Kakak malas aja di rumah kalau udah kayak gitu." Alyssa lalu merangkul pundak lelaki itu. "Kak, kamu jangan nyerah, ya, aku yakin kamu bisa melewati semuanya. Kamu pasti bisa jadi dokter sukses nantinya. Kita sukses bareng-bareng, okay?" Alyssa berusaha menyemangati Andrio untuk sukses menjadi dokter padahal dia sendiri pun tak sanggup menjalaninya. Andrio tersenyum. "Maka
Andrio dan Alena pun berpandangan dalam waktu yang cukup lama membuat waktu seakan berhenti berputar. Andrio lalu membelalak, begitu pun Alena. Alena bahkan nyaris tersebut nama Andrio namun urung hingga bibir gadis itu sedikit bergetar. Alena tidak mau mengaku depan Alyssa kalau dia mengenal Andrio juga. Dan dia harap Andrio berpikiran sama tapi harapan itu tidak terkabul karena sepersekian detik kemudian Andrio menyebut namanya. "Alena?" Alyssa menatap Andrio heran. "Kak Andrio kenal Alena?" Alyssa pun buru-buru mendekati Andrio sambil menarik lengan Alena. Lalu Alyssa memandang Alena. "Kalian kenal?" "Iya. Dia teman Kakak waktu SMA." Andrio menjawab lebih dulu. Alyssa menatap keduanya bergantian dengan pandangan tak percaya. "Serius? Ya ampun dunia sempit banget, ya? Bagus, dong, kalau gitu." Lalu dia beralih ke Alena. "Alena, ini pacar gue yang gue ceritain kemarin, ternyata lo udah kenal?" Alena masih membisu seakan tak mampu berkata-kata. Bibirnya terkatup rapat. Gadis it
"Alena, gue bisa jelasin," jawab lelaki itu dengan tenang. "Gue bakal jelasin pelan-pelan, ya." "Dan kenapa lo ngaku kenal gue di depan Alyssa?" Tak memedulikan perkataan Andrio, Alena malah bertanya hal lain. Gadis itu sudah menangis sekarang. Membuat Andrio jadi panik. "Al, lo tenang, jangan nangis." Andrio tahu gadis itu masih punya perasaan terhadapnya dan dia memaklumi sikap Alena saat ini. Perasaan gadis itu pasti hancur sekarang. Alena pasti terkejut dan sedih mengetahui dirinya dan Alyssa berpacaran. Alena mengalihkan pandangannya ke lain arah sambil mengusap air matanya. Ya, Andrio benar. Dia tidak boleh menangis di sini. Dia tak seharusnya menampakkan kelemahan itu. Dia benar-benar tidak bisa mengendalikan perasaannya sekarang. "Memangnya kenapa kalau gue ngaku, Al? Bukannya jujur lebih baik? Alyssa memang harus tahu semuanya. Kita semua di sini sama-sama tahu. Alyssa tahu kita saling kenal. Lo juga tahu kalau sekarang gue pacar Alyssa dan gue tahu kalian keluarga. Nggak
"Ma-mami?" Wajah Alyssa berubah tegang. Alena langsung meletakkan sendok yang sempat dia angkat ke piring. Dan Andrio menyadari perubahan bahasa tubuh kedua gadis itu. "Kapan Alena datang?" tanya Rista lagi sembari berjalan mendekat. Dari pertanyaan dan caranya memandang, Alena tahu Rista memberi peringatan melalui tatapan matanya. Sekonyong-konyong perkataan Rista tempo hari melintas dipikirannya. "Saya nggak mau kamu mempengaruhi pikiran dan sikap anak saya ke depannya. Saya juga nggak mau kamu terlalu akrab sama anak saya. Kalau kamu masih mau main ke rumah ini, turuti apa kata pemilik rumahnya. Paham?" Alena tahu. Dia tak lupa itu. Tapi dia memang bertekad mendekati keluarga itu untuk memudahkan rencananya. Dan dia tak peduli dengan peringatan Rista. Sementara Rista menatap Alena penuh kebencian. Pertengkaran dengan suaminya kemarin langsung membayanginya. Dan gadis di hadapannya ini adalah penyebabnya. Alena dan Rista terlihat saling tatap. Andrio sedikit heran melihat sikap
"Alena, lo di sini?" Alyssa sedikit terkejut ketika dia masuk dan mendapati Alena berdiri di depan pintu halaman samping. "Emm ...." Alena langsung gelagapan. Tangannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Lo ngintipin gue sama Andrio?" Alyssa menatap curiga. "Nggak kok." Alena menggeleng cepat. "Gue baru aja di sini mau nyusulin lo tadi," bohong Alena. Jantung gadis itu bahkan masih terasa berdebar sejak menyaksikan pemandangan romantis itu dan sekarang ditambah kepergok oleh Alyssa. Tapi Alena berusaha terlihat baik-baik saja. "Oh, kirain, ya udah yuk masuk." Alyssa berjalan lebih dulu diiringi Alena yang memandangi punggungnya heran. Alyssa itu memang polos atau pura-pura polos hingga dia tidak curiga sedikit pun? Alyssa selalu percaya dengan apa yang dia katakan. Setelah menyuruh Asisten Rumah Tangganya untuk membersihkan piring sisa makannya, Alyssa mengajak Alena masuk ke kamarnya. "Lo pasti capek 'kan? Kalau mau baring-baring atau tiduran di kamar gue boleh, kok," tawar A
Alena mengambil salah satu tempat berbentuk segiempat berwarna hitam. Lalu membukanya. Di sana terdapat banyak warna cantik dalam kotak-kotak kecil. Alena tidak pernah memiliki make-up seperti ini tapi dia tahu ini namanya blush on atau perona pipi. Dia biasa melihatnya di sponsor televisi. Dilihat dari tempat dan teksturnya, Alena tahu blush on itu harganya mahal. "Alyssa pakai blush on dengan warna sebanyak ini?" gumam Alena. "Kenapa mukanya nggak jerawatan, ya, pake make-up beginian dari dulu." Lalu Alena menutup tempat blush on itu dan meletakkannya kembali di atas meja. Lalu gadis itu menilik tempat bedak Alyssa, dan alat make-up lainnya seperti lipstik, liptint, maskara, eyeshadow dan lain-lain. Semuanya begitu lengkap. Dia juga melihat skincare Alyssa yang lengkap dan minyak wanginya bermacam jenis. Harganya juga mahal-mahal. Jujur, Alena tidak begitu mengerti tentang skincare meskipun dirinya perempuan. Karena sedari SMA pun Alena tak memakai skincare apa-apa selain sabun cu
Rista menatap Alena penuh kecurigaan beberapa saat, lalu beralih memandang anaknya. "Nggak ada apa-apa. Mami keluar dulu." Alyssa menatap Alena khawatir. "Al, Mami ngomong apa barusan? Lo nggak pa-pa 'kan?" Alyssa lalu mendekat ke Alena. "Gue nggak pa-pa." Alena menggeleng, tapi terlihat kentara sekali wajahnya sedih dan syok. "Sa, gue pulang sekarang, ya." "Kok cepat banget? Kan mau tiduran di sini." Alena menggeleng lagi. "Gue pulang sekarang aja." "Tapi kenapa, Al?" Alena tak menjawab dan malah berjalan menuju pintu. "Pasti gara-gara, Mami 'kan?" Langkah Alena langsung terhenti. "Mami ngomong apa, Al? Nggak usah dimasukin ke hati, ya?" Alena menoleh. "Nggak kok. Bukan karena siapa-siapa. Gue cuman mau pulang. Baru ingat kalau gue udah kelamaan di sini. Mbah Nani pasti udah nungguin. Mbah Nani butuh gue buat bantu dia jaga warteg." Alena beralasan. Mendengar itu Alyssa tak dapat berkata-kata lagi. Dan membiarkan saja Alena pergi. "Mami ngomong apa lagi, sih? Ish!" Alyssa
"Mas Bagas?" Rista terkejut bukan main ketika dia hendak masuk dan menemukan suaminya berdiri di depan pintu itu, suaminya menatapnya tajam dan penuh curiga. "Ada Alena datang?" tanya Bagas memastikan. "I-iya, dia baru aja pulang." "Kok nggak ngasih tahu aku?" "Aku aja baru tahu, Mas. Alyssa tadi yang ajak dia ke sini tiba-tiba. Alyssa juga nggak bilang ke aku." Bagas memperhatikan Rista lama dengan kecurigaan yang menjadi. "Dia pulang sendiri atau kamu yang usir dia?!" "Mas!" Rista tak terima dengan yang Bagas tuduhkan. "Aku nggak ngusir dia!" Bagas tak menghiraukan Rista dan malah pergi keluar entah hendak ke mana membuat Rista bingung. "Mas!" Rupanya Bagas mencari Alena untuk bicara dengan gadis itu. Namun, sayang Alena sudah pergi jauh. Bagas tak lagi mendapatkan sosoknya bahkan di luar pagar. Bagas menatap jalanan raya itu dari kejauhan dalam kegamangan. Lalu dia teringat sesuatu yang membuatnya tersadar dan bergegas masuk ke dalam rumah. *** Rista mondar-mandir di kam