Kalian pasti bertanya2 ketika diusir dari rumah Leyla tinggal di mana? Bagaimana dia bisa bertahan hidup? Nah ini dia jawabannya, Readers.
"Jadi begitu ceritanya, Alena ...," ucap Mbah Nani kala beliau mengakhiri ceritanya. Alena sejak tadi terperangah mendengar cerita Mbah tentang masa lalu ibunya yang baru dia ketahui sekarang. Ternyata perjuangan ibunya mempertahankannya seberat itu? Mata Alena terasa memanas. Hingga dia akhirnya menangis di hadapan Mbah karena tak sanggup menahan kesedihannya. Jadi benar gara-gara kesalahan ibunya yang demikian keluarganya mengucilkannya. "Makasih, Mbah. Makasih Mbah udah nolongin Ibu," ucap Alena sambil menangis. Mbah Nani tersenyum hangat. "Iya, Nduk. Dulu kamu masih dalam perut ibumu. Sekarang kamu sudah dewasa dan Mbah ketemu sama kamu. Mbah ndak nyangka ketemu kamu. Rencana Gusti Allah sungguh indah. Dia mempertemukan kita kembali dengan cara seperti ini." Alena mengangguk. Dia juga tak habis pikir, dunia begitu sempit, takdir sungguh ajaib. "Takdir Allah memang indah, ya, Mbah? Aku juga berutang budi sama Mbah udah nolongin aku yang hampir mau mati. Mungkin Mbah memang orang
"Nenek?" Alena mengernyit heran menatap neneknya yang mendekat. "Alena, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Rina. Alena mengangguk. "Dari mana Nenek tahu aku di sini? Nenek kenal Mbah Nani juga?" Alena menatap neneknya penuh tanya lalu menatap Mbah Nani yang berdiri di belakang neneknya. "Tadi Nenek panik pas tahu kamu ndak ada, kata Kakek kamu pergi ndak tahu ke mana." Mendengar kata 'kakek' Alena langsung ketakutan. Tapi Rina tak menyadari perubahan bahasa tubuh cucunya dan terus berbicara. "Nenek langsung cariin kamu, bawa foto kamu, tanyain ke orang-orang yang lewat di jalan. Katanya mereka lihat kamu mau bunuh diri di jembatan, tapi tiba-tiba kamu pingsan dan ditolongi sama orang. Nenek juga dikasih alamat rumah Mbah yang nolongin kamu. Kamu kenapa nekat bunuh diri, Alena?" "Alena ...." Alena terbata-bata. Dia menatap ke lain arah. Seketika ingatannya kembali pada kejadian dia hampir diperkosa kakeknya. Alena lantas menggeleng. "Alena takut," lirih gadis itu. "Ayok kita pulang.
"Nah, ini masakan Mbah, kamu harus cobain. Mbah ambilkan piring dulu." Mbah berdiri berjalan menuju rak piring. Untuk menenangkan pikiran Alena, Mbah Nani mengajaknya makan siang, melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda karena kedatangan Rina. Selagi Mbah mengambil piring, Alena mengedar pandang ke ruangan dapur itu. Dia baru sadar rumah Mbah cukup bagus. Dibanding rumah kontrakan Alena, rumah Mbah Nani lebih besar. Berlantai poslen. Alat rumah tangganya juga lengkap. Ada kulkas satu pintu. Tempat cuci piring yang bagus dan lengkap dengan meja memasaknya dan kitchen cabinet. Satu set meja makan dan kursi seperti yang Alena duduki sekarang. Rumah Mbah Nani bahkan lebih bagus dari rumah neneknya. "Mbah ambilin, yo ...." Suara Mbah serta merta mengagetkan Alena dari keterasyikannya memperhatikan seluk beluk rumah ini. Alena menatap orang tua itu yang sibuk melayaninya. "Makasih, Mbah," ucap Alena ketika Mbah meyodorkan sepiring nasi dengan ayam penyet dan sayur di hadapannya
Lima hari sudah Alena menginap di rumah Mbah Nani. Dan dia masih belum ingin pulang. Dua hari yang lalu neneknya sempat datang lagi membawakannya baju sekaligus membujuknya untuk pulang, tapi Alena tidak mau. Katanya dia masih ingin di sini. Rina masih memberi Alena kesempatan berpikir dan menenangkan diri sampai gadis itu siap untuk pulang. Jujur saja dia lebih nyaman tinggal bersama Mbah Nani. Mbah Nani memperlakukannya dengan sangat baik. Di rumah Mbah Nani yang sepi itu, dia juga membantu orang tua itu jaga warteg. Mata pencaharian satu-satunya Mbah Nani. Baru beberapa hari mereka kenal, tapi Alena merasa sudah akrab sekali seperti sudah mengenal sejak lama bahkan dibanding nenek kandungnya. Saat ini Alena sedang membantu Nani mengelap dan menyusun piring sambil bercerita segala hal. "Hidup sekarang ini apa-apa semua serba uang," ucap Mbah Nani melanjutkan percakapannya dengan Alena yang membahas betapa sulitnya hidup tanpa uang. "Bahkan keadilan pun bisa dibayar dengan uang,
Mbah Nani menghentikan pekerjaannya dari membereskan piring dan mendatangi Rina. Alena berinisiatif melanjutkan pekerjaan Mbah Nani menyusun piring di raknya. "Ada apa, Bu?" "Ada apa ada apa?! Saya ke sini mau jemput cucu saya lah!" Alena tertegun mendengar jawaban Nenek yang kasar. Apakah neneknya marah? Tapi Alena tak berani menghampiri. Dia hanya meneruskan pekerjaannya sambil mendengarkan percakapan itu. "Oh, Alena-nya lagi bantuin saya bersihin piring. Silakan duduk dulu, Bu." Mbah Nani tetap tenang dan menyambut tamunya dengan sopan. "Alena, kapan kamu mau pulang?" Bukannya duduk atau menjawab Mbah Nani, Rina malah langsung menghampiri Alena. Perasaan Alena kian cemas. Sepertinya neneknya benar-benar marah. Alena menghentikan pekerjaannya dan berbalik menghadap neneknya yang sudah bersidekap dada memperhatikannya. "Emm ... aku ...." Alena mendadak kelu. Keberaniannya yang ingin menjawab tadi seketika lenyap menatap sorot mata neneknya yang tajam. Nyalinya ciut. "Kenapa? K
Leyla Prameswari Binti Imran S Tanggal lahir: 11 Mei 1986 Tanggal Wafat: 18 Juni 2021 Alena menatap lekat tulisan hitam pada batu nisan bercat putih berbahan kayu di atas gundukan tanah bertabur bunga kertas merah itu. Sejak tadi gadis berpakaian serba putih itu berbicara sambil tangannya membelai permukaan nisan. Di sampingnya ada Mbah Nani yang pertama kali berkunjung ke makam Leyla. "Ibu, sekarang aku nggak punya siapa-siapa lagi. Ibu udah ninggalin aku. Nenek juga udah nggak menganggap aku, Bu." Di depan makam ibunya, Alena berkeluh kesah menceritakan apa yang dia alami seolah ibunya mendengar. "Aku sebatang kara. Apa yang harus aku lakuin, Bu? Rasanya aku pengin ikut Ibu aja." Mata Alena terasa memanas. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan siap tumpah kapan saja. Alena benar-benar merasa di ambang batas. Terlebih ketik
Alena dan Mbah Nani berjalan menyusuri jalanan sepi sambil bercakap-cakap. "Mbah tahu, 'kan, seberapa menderitanya Ibu." Alena melanjutkan perbincangannya dengan Mbah Nani. "Ibu tak hanya membesarkan aku seorang diri. Tapi Ibu juga dicemooh oleh keluarganya sendiri. Bahkan Nenek Rina tidak menyukai Ibu, anaknya sendiri." "Iya, Alena, Mbah paham apa yang dirasakan Ibu kamu dulu, Mbah juga paham bagaimana perasaanmu sekarang." "Sejak aku kecil Ibu bekerja semrawutan demi membesarkan aku. Bekerja sebagai ART di rumah ke rumah. Aku ingat, Ibu juga pernah jadi penjual asongan. Aku pernah diajak ke perempatan lampu merah, ke perumahan komplek, berjalan di bawah terik matahari hanya untuk menawarkan minuman botol yang untungnya nggak seberapa. Tak jarang Ibu dicelakai pedagang asongan lain karena nggak mau tersaingi. Waktu itu aku masih kecil. Aku nggak bisa ngelakuin apa-apa selain mengikuti apa kata Ibu." Alena bercerita sambil menangis. Mbah Nani yang melihatnya ikut menangis. "Makany
Perempuan mengenakan seragam khas Cleaning Service perusahaan itu tampak sibuk mengepel lantai kantor bagian lobi sampai poslen bermotif bunga warna kecoklatan itu terlihat mengkilap menampakan pantulan dirinya. Dia adalah Alena. Hari ini hari pertama dia bekerja setelah melewati masa-masa berat dalam hidupnya. Dia juga sempat dimarahi direktur perusahaan ini karena di hari pertama dia harusnya bekerja, dia justru tidak masuk dan tanpa kabar. Untungnya direktur itu mau memaafkannya setelah dia menjelaskan bahwa dia tertimpa masalah keluarga, ibunya meninggal karena sakit. Oleh direktur, Alena diberi kesempatan bekerja dengan catatan Alena tidak mengulangi kesalahannya lagi. Hari ini dia datang pukul setengah dua karena minggu ini jadwalnya masuk siang. Suasana kantor begitu ramai dipenuhi percakapan dan tawa para staf kantor. Beberapa karyawan dan OB berlalu-lalang. Meski hanya menjadi Cleaning Service, di hari pertamanya bekerja cukup mendebarkan. Maklum, dia takut melakukan kesal