Riri datang membawa berkas ke ruangan Angel. Terlihat perempuan cantik, modern, dan kuat itu sedang melamun di depan komputer. Bara benar, mata Angel terlihat sembab hari ini.
“Memangnya sembab banget ya, Ri?”
“Hemm, lumayan, Bu. Bengkak … ibu lagi mata panda ya? Kurang tidur ya,” tanya Riri seraya berdiri di depan Angel.
“Hemm … kurang tidur iya, sedih iya,” ucap Angel menunduk sambil menggoyangkan pulpen di atas meja.
“Ibu nangis? Kenapa, Bu?” tanya Riri polos.
“Ri, kamu kan juga kenal suamiku ya. Menurut kamu, pernikahanku dan Mas Nick itu gimana?”
“Hah? Gimana apanya, Bu? Aku gak mau … humm … maksudku, gak mau ikut campur,” kata Riri sambil menyelipkan rambutnya di telinga.
“Yaa … kamu sebagai orang luar, melihat aku dan Mas Nick itu gimana? Apa memang terlihat ya, kalau pernikahan kami sudah …”
“Sudah apa, Bu, tanya Riri bingung.
“Ah ya sudahlah, gak usah dibahas. Tolong ambilkan kompres aja kali ya, mau kompres mata. Ambilkan lap dan air es aja ya,” ucap Angel tersenyum.
“Iya, oke Bu. Oh ya bu, saya sekalian mau kasih kabar bahwa Pak Bara kasih tugas ke luar kota. Tiga hari,” kata Riri.
“Hah? Kamu diajak ke luar kota? Mau ngapain?!”
“Bukan, Bu. Bukan saya. Tapi ibu. Pak Bara minta ibu dampingi dia untuk ke acara pameran handicraft di Bali. Acaranya tiga hari. Berangkat lusa, tiketnya sedang diurus,” kata Riri.
“WHAT? KOK DADAKAN BANGET? KENAPA MAIN PERINTAH AJA SIH,” tanya Angel bingung.
“Hemm, saya hanya diminta bilang aja sama ibu,” kata Riri.
Angel bangkit dari kursinya, dengan ekspresi kesal dan tergesa-gesa, Angel menyambangi ruangan Bara. Para tamu sudah pulang dan diantar Bara ke pintu utama. Bara terkejut saat berbalik, melihat Angel sudah memasang tampang marah.
“Maksud kamu itu apa sih mas?!”
“Apa? Tolong kalau bicara, nadanya lebih sopan dan rendah ya. Saya ini atasan di sini,” kata Bara kaku.
“Mas Bara yang terhormat, saya kaget sekali karena tiba-tiba tanpa koordinasi saya diminta ke Bali. Tiket juga sudah diurus. Ini maksudnya apa? Oke, memang semua keputusan itu ada di tangan kamu. Tapi bukan berarti main paksa tanpa koordinasi kan?”
“Saya butuh kamu,” kata Bara menatap Angel dengan tatapan mata tajam.
Hembusan AC berdesir meniup angin kipas angin yang menyambar ke berhembus ke arah rambut Angel. Terlihat ekspresi Angel yang salah tingkah, namun tertutup rambutnya.
“Saya butuh kamu karena kamu yang lebih mengerti seputar perajin kerajinan tangan. Biasanya perempuan yang paling paham. Akan tetapi satu hal, agenda di sana padat sekali. Karena kita akan menyesuaikan dengan kementerian,” kata Bara menyambung dengan kalimatnya.
“Saya …”
“Ini perintah. Saya berhak memaksa atau semacam instruksi. Ingat, enam bulan ini saya yang memimpin di sini. Atau bahkan, seterusnya. Seterusnya jika kamu tidak bisa mengembalikan uang saya,” kata Bara menyeringai dan kembali ke ruangannya.
“Huftt!”
Angel menghela nafas dalam-dalam mencoba untuk bersabar. Satu hal yang paling utama, adalah mendapatkan izin suami.
“Halo,” kata Nick di ujung telepon.
“Boleh kan aku ke luar kota? Tiga hari esok harus ke Bali. Maklum, aku bukan pimpinan lagi sekarang,” ujar Angel menghubungi suaminya saat berada di ruangannya.
“Apa aku bisa melarang? Apa kamu pernah mendengar aku? Apa kalau aku larang, kamu tidak akan pergi? Enggak kan,” kata Nick sinis.
“Kok kamu bilang begitu sih mas …” kata Angel serba salah.
“Ya kamu kan memang selalu sibuk. Mau ke mana juga,posisiku jauh di bawah kamu. Maka kamu dan keluarga kamu pasti memandang aku rendah,” kata Nick.
“Bisa gak sih mas, kita ngomong tanpa berdebat? Aku hanya ingin minta izin ke luar kota, simple,” kata Angel lemah.
“Terserah kamu. Sesimple itu,” tegas Nick membalas sang istri lalu menyudahi pembicaraan sesegera mungkin.
Dengan hati yang sedih, Angel memutuskan tetap berangkat karena dia memang tidak punya pilihan. Beberapa hari di hari H keberangkatan, Angel berangkat sendiri, tanpa Riri. Ada banyak agenda yang harus dia penuhi selama di Bali.
Selama di pesawat, Angel banyak menulis catatan beberapa agenda yang akan dia lakukan di sana. Ini menjadi perjalanan dinas pertama di mana dia sudah tidak menjabat sebagai pimpinan. Perjalanan yang panjang itu akhirnya berakhir di sebuah hotel.
“Ini kunci kamar ibu. Setelah ini, ada pesan dari Pak Bara, bertemu di ruang meeting Cendrawasih. Ada meeting jam 3 sore ya, Bu,” kata pihak lobi.
“Langsung meeting? Saya kan baru landing,” kata Angel geleng-geleng kepala.
“Oh saya hanya sampaikan pesan aja, Bu,” kata pihak lobi.
“Keterlaluan. Rodi!”
Angel menarik kopernya, lalu dibantu oleh OB. Dia bergegas, hanya diberi waktu 1 jam untuk istirahat, lalu langsung masuk ke ruang rapat.
“Ah akhirnya kamu datang juga, Angel. Ini para perajin dan juga pihak yayasan kerajinan tangan. Kita langsung meeting ya,” kata Bara dengan gaya cool.
“Kamu datang jam berapa di sini?”
“Oh saya sih sudah datang sejak tadi pagi jam 6. Karena saya naik pesawat pribadi, dengan penerbangan pagi,” kata Bara.
“Nice! Kenapa sih, rapatnya bukan malam aja? Atau sore? Saya masih lelah,” ujar Angel berbisik.
“Tidak ada waktu bersantai kalau mau maju. Harus kerja keras,” kata Bara begitu angkuh.
“Arogan!”
Angel tidak sempat istirahat dan langsung menjelaskan berupa presentasi di depan para klien. Bara hanya ditemani oleh dua orang anak buahnya, sekretaris dan notulen.
“Kita maraton, rapat lagi setelah ini. Ada pihak kementerian,” kata Bara santai
“Kamu mau menyiksa aku ya? Gak kasih jeda sedikitpun?” ucap Angel menghampiri Bara.
“Nama kamu Angel, tapi malah marah-marah terus sih? Udahlah, kita ini kan hanya menyesuaikan waktu dengan klien. Ayo, segera kamu siapkan semuanya,” kata Bara memerintah.
Angel semakin pucat, keringat mulai mengucur di dahi. Mungkin memang benar, Angel lelah. Dari semua masalah yang dihadapi saat ini, ditambah dia harus langsung mengurus pekerjaan, instruksi dari Bara, membuatnya lelah.
“Pak Bara, Bu Angel pucat,” bisik sekretaris Bara.
Angel duduk sebentar memegang keningnya. Dia meminta pelayan membawakan secangkir teh manis. Bara yang melihat hal itu melangkah selangkah dua langkah dan menarik kursi lalu duduk di samping Angel.
“Ya sudah, kalau memang kamu lelah, mau istirahat dulu, gak usah ikut meeting yang selanjutnya. Biar saya saja,” kata Bara tiba-tiba.
“Apa?”
“Iya, kamu kembali ke kamar hotel aja. Biar saya yang rapat dengan klien,” ujar Bara dingin.
“Searogan kamu, bersedia bilang begitu? Apa aku gak salah dengar?”
“Walaupun menurut kamu arogan, aku tetap punya hati. Sudah, kembali saja ke kamar,” kata Bara bangkit dari kursinya lalu merapikan jasnya dan ke luar ruangan, berpindah rapat ke ruangan lainnya.
Senyum kecil Angel tersungging sedikit di bibirnya. Seolah merespons dan berterima kasih atas kemurahan hati Bara yang mengizinkannya untuk istirahat.
Angel melotot menatap Bara saat mendengar Bara menyatakan perasaannya. Sang perempuan berbadan dua itu sedikit memastikan apa yang sebenarnya Bara katakan. "Maksud kamu gimana mas? Aku gak paham," ujar Angel. "Ya maksudku sudah jelas Ngel. Bahwa aku sayang sama kamu. Entah kenapa, ini semua seperti proses. Jujur, awalnya aku sangat benci kamu dan ayahmu, namun setelah aku mengenal kamu lebih jauh, justru hidupku menjadi lebih baik, aku lebih banyak tersenyum. Kamu mengisi kekosongan dan mengusir rasa dendam itu Ngel," kata Bara menyatakan panjang lebar. "Apaan sih kamu mas ..."Angel mencoba menghindar dan menuju ke arah pintu ruang kerjanya. Bara lantas memegang bahu Angel. "Jangan marah Ngel, aku hanya menyatakan yang sebenarnya, yang aku rasakan," kata Bara. "Mas ... aku ini istri orang. Bahkan, aku sedang mengandung anak suamiku," kata Angel dengan mata berkaca-kaca. "Aku hanya mau tanya satu hal sama kamu Ngel," kata Bara. "Apa itu mas," sahut Angel. "Apakah kamu masih ci
Angel sudah jauh lebih baik hari ini. Dia sudah mulai bisa tersenyum saat masuk ke kantor. Sudah sepekan sejak Angel masuk rumah sakit dan dinyatakan hamil. "Ya baik! Deal ya pak! Kita jalankan kerja sama ini," kata Bara saat bersalaman dengan klien kemudian menoleh ke ruang kaca. Angel melintas dengan membawa tas tangan dengan penampilan yang sudah jauh lebih baik. Lantas kemudian Angel masuk ke dalam ruangannya. Bara bergegas menuju ke ruangan Angel. "Sehat Ngel?" tutur Bara tersenyum kecil. "Hei ... mas. Iya udah lebih baik," kata Angel tersenyum dan sudah jauh lebih tegar. "Syukurlah. Aku senang dengarnya. Gimana? Sudah lebih bisa rileks atau ..." "Ya, sudah mas. Aku sudah lama menginginkan anak ini," kata Angel memegang perutnya. "Iyaaa ... aku paham. Kalau kamu memang tidak sanggup, pulang gak apa-apa. Gak usah ke kantor," ujar Bara. UWEEKK! UWEEEK! Angel tiba-tiba mual. Dia lantas beranjak dari bangkunya lalu menuju wastafel. Bara cukup menunjukka
Nick bertanya kepada satpam di depan rumah Angel. Saat menurunkan kaca jendela, satpam tentu sudah mengenal majikannya. Saat mendekat, Nick mengajak satpam tersebut ngobrol. "Pak Nick gak masuk? Sudah lama sekali Pak Nick tidak pulang. Ibu lagi hamil katanya pak. Selamat ya," kata satpam enggan ikut campur. "Ah iya pak. Ya ... memang saya gak mungkin pulang. Mungkin bapak sudah tahu ..." kata Nick terlihat bimbang. "Iya pak. Yang sabar ya pak, saya ikut doakan yang terbaik," kata satpam. "Di dalam sedang ada tamu saya lihat," kata Nick menyelidik. "Ah iyaa... ada Pak Bara. Beberapa kali sering ke sini sejak bu Angel sering sakit dan hamil," kata satpam. "Ohhh ... sering datangnya?" tanya Nick. "Hemm ... ya sejak bu Angel masuk rumah sakit, dan pulang dari rumah sakit aja sih pak," kata satpam. Nick melihat ke arah mobil Bara. Dia mengangguk dan langsung pamit kepada satpam tanpa masuk. Lalu Nick memberikan sekantong plastik mangga dan bubur ayam untuk Angel. "Tolong kasih ya
Nick melihat istrinya pagi hari. Semalaman, Nick tidur di sofa. Wajah Riri cemberut dengan tanpa senyum sedikitpun. Nick bangkit dari sofa memegang bahu Riri dari belakang. "Jangan gitu dong sayang, jangan marah," kata Nick saat Riri tengah menyiapkan sarapan. "Apaan sih! Jangan sentuh sentuh aku," ucap Riri ketus. "Sayang ... aku kan memang masih suaminya Angel. Jadi wajar kalau kami memang tidur bareng. Dia aku kasih nakah batin," kata Nick mencoba merayu Riri. "Gila kamu ya! Berani-beraninya kamu berpikir seperti itu!" kata Riri. "Ya bukan berani-beraninya, saat itu memang Angel merayu aku, dan aku ....""TERGODA! AH KAMU EMANG DOYAN!" tukas Riri sambil mengacungkan pisau. "Sayang, please! Tolong mengerti," kata Nick. "Ya terus, kalau Angel sedang hamil anak kamu, terus, kamu gak jadi cerai? Terus nasib aku gimana? Terus jadi yang kedua seumur hidup? Hah!" "Ya gak begitu juga sayang ... Angel juga gak mau nerima aku lagi. Tapi, tentu memang kami belum bisa bercerai. Tapi ak
Pagi hari, Nick termenung di balkon apartemen. Riri dengan dress dan perut yang mulai terlihat, memberikan jus di pagi hari. Sang istri siri juga membawakan buah untuk suaminya. "Sayang, kok kamu melamun aja sih? Semalam pulang jam berapa? Aku udah tidur," kata Riri sambil memetik satu buah anggur. "Hemm iya, jam 11 malam," kata Nick sambil menatap ke arah sejauh mata memandang dengan dingin. "Oh gitu, kok gak bangunin aku sih? Terus, sekarang kamu ke kantor? Temani aku aja dong sayang," kata Riri langsung duduk di pangkuan Nick. "Aduh ..." kata Nick langsung mengelak lalu menghindar perlahan."Ada apa sih sayang? Kok kamu kayak sembunyikan sesuatu dari aku," kata Riri mulai curiga. "Hah? Gak apa-apa," kata Nick. "Pasti kamu mikirin Bu Angel kan? Jujur!" kata Riri. Nick hanya menggeleng dan menoleh ke arah Riri dengan dingin. Dia berdiri lalu memegang besi balkon sambil menatap jalan.Riri mulai resah, dan bingung dengan sikap suami yang dirampasnya. Lantas, Riri memeluk Nick d
TING TONG! ART membuka pintu. Bara yang datang, membawakan beberapa plastik berisi makanan. Pukul 7 pagi saat ini. "Pak Bara ... ada apa ya?" tanya ART sudah mengenalnya. "Angel ada? Sudah bangun?" tanya Bara ramah. "Non Angel lagi di area belakang, lagi minum jus di area kolam renang," kata ART. "Saya susul ya. Sudah makan belum dia?" tanya Bara lagi. "Tadi sih bu Angel katanya sedang mual. Jadi makanya minta dibikinin jus dan buah aja," kata ART. "Oh gitu, ya sudah, saya ke dalam ya," kata Bara seraya melangkah. Bara mengintip ke arah kolam renang. Terlihat Angel tengah menyantap buah sambil melamun. Tatapan matanya kosong dan memang sedang banyak pikiran. "Ehem! Morning," kata Bara tiba-tiba. "Ehhh ... mas Bara? Kok ada di sini," tanya Angel seraya berdiri menyambut atasannya. 'Ya kebetulan sebelum ke kantor sekalian lewat. Ada bubur sumsum dan kacang ijo nih. Mau yang mana? Belum sarapan kan," tanya Bara seraya memperlihatkan makanan yang dipegangnya. "Ya amp