Dendam Bos Arogan Berujung Akad

Dendam Bos Arogan Berujung Akad

last updateLast Updated : 2023-12-11
By:  Miss MarieskaOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
80Chapters
2.4Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Angel merasa hambar dalam pernikahan tanpa anak dengan suaminya. Sebagai anak konglomerat dan punya kehidupan yang suskes secara finansial, Angel merasa rumah tangganya kurang bahagia dengan suaminya, Nick. Ketidakcocokan meruncing di antara mereka apalagi kedudukan Angel lebih sukses dibanding sang suami. Hingga suatu hari datanglah Bara, CEO yang menawarkan gairah lebih liar dengan maksud terselubung. Sejak detik itu, kehidupan pernikahan Angel berubah 180 derajat.

View More

Chapter 1

Bab 1 - Foto Misterius Suamiku

“Aku capek!”

Nick mulai mengeluh saat Angel mendekatinya. Sang istri berusaha untuk sabar, mengambilkan koper dan merapikan sepatu suaminya. Angel juga sudah memijat bahu sang suami.

“Kamu kenapa, Mas? Belakangan ini sering uring-uringan, marah-marah terus sama aku,” tutur Angel dengan mata berkaca-kaca.

“Ya gak apa-apa! Aku cuma lagi banyak masalah di kantor, banyak tuntutan dari bos,” Nick menyahut ketus.

“Masalah apa, Mas? Aku mau kok dengar keluh kesah kamu …”

Kring! Kring!

Ponsel Angel tiba-tiba berdering. Rupanya itu dari ibunda Angel. Keduanya sama-sama menatap ponsel tersebut.

“Mama kamu lagi, kan? Terlalu banyak ngatur tahu gak!”

“Mas … jangan ngomong gitu sama Mama,” jawab Angel sedih, menatap suaminya dengan pandangan terluka. Ia lantas menjawab telepon ibunya, sambil menepi ke arah jendela. Sedangkan Nick berjalan menuju wastafel sambil melirik ke arah Angel lewat cermin.

“Iya, Ma … aku dan Mas Nick juga sedang usaha. Nanti aku coba bujuk Mas Nick untuk konsultasi,” kata Angel melirik ke arah sang suami.

Nick tertawa sinis sambil mengeringkan tangannya di handuk, Angel terus fokus bicara pada sang ibunda. Dengan memainkan tirai, Angel terlihat gelisah.

Nick mengganti pakaiannya dengan piyama setelah menyikat gigi dan mencuci wajahnya. Dia mengambil remot dan menyalakan TV, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur.

“Mas …”

“Apa lagi sih?” tanya Nick sewot, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak suka.

“Kamu gak mandi? Aku masakin air hangat ya,” kata Angel lembut.

“Gak usah! Aku lagi gak enak badan, malam ini gak usah mandi, mau langsung tidur aja,” kata Nick dingin.

“Kamu sakit? Mau aku ambilkan obat? Atau mau aku pijat lagi?” Angel menatap suaminya khawatir. Ia hendak menyentuh dahi suaminya, tapi tangannya langsung ditepis begitu saja.

“Ah, gak usah. Aku cuma mau tidur. Besok harus meeting pagi-pagi. Ada banyak kerjaan di kantor,” sahut suaminya, langsung mengambil guling.

Angel terpaku menatap Nick yang sudah membalikkan tubuhnya membelakangi sang istri. Agak ragu, ia menyentuh bahu suaminya.

“Mas …”

“Hmm,” Nick bergumam malas.

“Mama dorong kita untuk konsultasi ke dokter. Ikut program bayi tabung atau promil,” ucap Angel takut-takut. Ia tahu suaminya tidak pernah suka dengan topik ini, tapi Angel tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun, ia juga punya kerinduan untuk memiliki buah hati.

Nick tiba-tiba duduk dan menyingkirkan gulingnya, lalu memasang wajah kesal pada Angel.

Angel mencoba bersikap tenang dan menjelaskan situasi pada sang suami, berharap sedikit pengertian darinya.

“Mas, Mama Papa sudah sepuh. Mereka sekarang lebih banyak di Singapura karena fokus dengan perusahaan di sana. Kondisinya semakin sulit, gak ada regenerasi, pendapatan terus turun. Papa dan Mama minta aku ke sana, bantu-bantu mereka. Atau …”

“Atau apa? Kamu kan punya aku di sini, kalau kamu mau ke sana, ya udah! Mama Papa kamu tuh memang terlalu banyak nuntut!”

“Bukan begitu, Mas … Mama sama Papa sebenarnya hanya ingin kabar baik. Mereka tanya, kita udah dua tahun nikah, tapi belum dikaruniai anak. Kapan kamu mau ikut aku ke dokter kandungan, konsultasi. Yuk?” ajak Angel memegang tangan suaminya dengan penuh harap.

“Alami aja sih! Kalau memang belum dikasih, ya udah. Berarti belum rezeki. Lagipula, kita kan sudah pernah periksa. Kamu subur. Aku juga subur. Ya udah! Aku gak ada waktu ya untuk bahas soal ini,” kata Nick langsung tidur lagi dan menutup wajahnya dengan guling.

“Mas … aku juga ingin sekali di rumah ini ada keceriaan anak-anak, kita coba ya Mas,” kata Angel, meneteskan air mata.

“Aku ingin kita menjalani rumah tangga ini ya karena kita yang menjalani. Bukan diatur-atur sama Mama dan Papamu! Tidak ada intervensi, tidak ada penghinaan!” kata Nick, tersulut emosi.

“Maksud kamu apa, Mas? Penghinaan?” Angel menatap suaminya bingung. Air matanya semakin berderai membasahi pipi.

“Ya penghinaan! Mentang-mentang aku hanya kerja di perusahaan kecil, selalu saja Papamu merendahkanku,” kata Nick.

Angel mengernyit. “Mas, Papa gak bermaksud seperti itu,” kata Angel bersedih.

Nick langsung mendengkus. "Kalau kita ke dokter, ya itu memang karena keinginan kita. Bukan disuruh orang tua kamu," katanya. Lalu kembali berbaring, mengabaikan air mata istrinya. "Udah lah. Aku mau tidur, besok harus bangun pagi."

Angel menatap punggung Nick nanar sambil menghapus air matanya. Selalu saja lelaki itu merasa tersinggung setiap kali Angel bicara soal kedua orangtuanya.

Padahal konsultasi ke dokter juga merupakan keinginan Angel sebagai istri yang mendamba keturunan, bukan semata karena tuntutan orang tuanya saja.

Hingga beberapa hari kemudian, di akhir pekan, Angel berkebun ditemani ART. Tak ada Nick di sana. Suaminya itu tidak pernah ada di rumah saat akhir pekan begini.

Angel mencuci tangannya dari serpihan tanah sisa berkebun. Dia menerima telepon dan duduk sejenak di teras.

“Halo, Pa,” tutur Angel menyambut ayahnya lewat video call.

“Lagi di rumah ya?”

“Iya, Pa, habis berkebun. Kenapa, Pa?”

“Suamimu ada di rumah?”

“Gak ada, Pa. Mas Nick ada kerjaan. Papa mau ngobrol ya? Langsung aja telepon ke HP-nya,” kata Angel lembut.

“Gak sudi Papa ngobrol sama suamimu yang keras kepala itu! Sudah orang biasa-biasa saja, sombong lagi! Gak pernah cocok sama Papa,” ucap sang ayah menggebu. Angel menghela napas mendengarnya.

“Papa … jangan begitu dong. Aku sayang sama Mas Nick. Biar gimana, dia suami aku, Pa,” Angel tidak bisa menyembunyikan nada kecewa dalam suaranya. Entah kapan orang tuanya bisa akur dengan sang suami.

“Apa yang bisa kamu pertahankan dari pernikahan dengan suami seperti itu? Rumah Papa yang belikan, klinik kamu itu juga modal dari Papa. Pekerjaan dan pendidikan di bawah kamu. Bahkan belum bisa kasih keturunan. Gimana? Apa yang bisa dibanggakan? Kamu itu harusnya cerai! Minta pisah!”

“Papaaa! Jangan begitu…” Angel mulai terdengar putus asa. “Tolong beri kami kesempatan, doakan rumah tangga kami.”

“Papamu hanya ingin anaknya dapat yang terbaik, Angel. Sekarang, dia ke mana? Kok akhir pekan begini gak ada di rumah?” Ibunda yang duduk di sebelah sang ayah, ikut menimbrung.

“Mas Nick sedang ke Karawang, Ma. Bolak-balik karena ada proyek baru di sana,” kata Angel mengusap air matanya.

“Halah! Itu coba lihat, gimana mau dapat keturunan? Weekend itu harusnya family time. Papa udah gak suka ya, dia gak ada rasa hormatnya sama orang tua,” kata sang ayah.

Angel tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya berusaha menahan air mata agar tidak semakin membanjiri pipinya yang sudah memerah.

“Iya, sudah kamu bujuk belum suamimu? Soal promil atau bayi tabung,” kata sang ibunda.

Tak ada reaksi. Angel diam saja. Angel terlanjur bersedih dengan reaksi ayah dan ibunya yang cenderung menyudutkan pernikahannya. Bahkan, ada kata intervensi bahwa mereka harusnya bercerai saja.

Sampai esok harinya, Angel menyiapkan sarapan dan menggandeng tangan sang suami. Nick dengan ekspresi terpaksa akhirnya bersedia sarapan bersama. Ia mengambil satu potong roti dan telur.

“Tambah sausnya, Mas,” kata Angel seraya melayani suaminya.

Angel mencoba tetap bersabar meskipun Nick bersikap cuek. Semakin hari, Angel merasa hubungan mereka semakin jauh, semakin hambar. Dan tampaknya, sang suami tidak ada niatan untuk memperbaiki hal tersebut, membuat Angel bersedih hati.

“Kemarin Papa Mama telepon aku, video call,” kata Angel.

“Terus?”

“Mereka tanya kamu ke mana. Aku bilang kamu kerja, ada proyek di luar kota,” ucap Angel agak gugup.

“Oh ya udah, bagus! Bilang aja apa adanya. Mau ngatur-ngatur lagi? Hah!” Nick berubah sewot. Wajahnya langsung keruh. “Mereka dari dulu gak berubah. Selalu anggap aku rendah! Padahal …”

“Padahal apa, Mas?” tanya Angel dengan nada gemetar, tidak bisa lagi menyembunyikan suasana hatinya. Dia merasa tersinggung dengan cara bicara Nick yang selalu menyudutkan ia dan orang tuanya.

“Padahal kamu juga bukan istri yang hebat-hebat amat. Bukan istri yang super buat aku. Biasa aja!” kata Nick sambil mendengkus. Dengan santainya ia menyantap sarapan setelah berkata begitu ketus pada sang istri.

“Ya ampun, Mas! Tega banget kamu ngomong gitu sama aku,” kata Angel di sela isak tangis yang tak lagi terbendung.

Demi Tuhan, sampai kapan dia akan terus begini?

“Tiap pulang aja, aku gak pernah melihat kamu sambut aku, masak buat aku. Selalu masakan si Mbak! Ini juga masakan si Mbak, kan? Kamu juga terlalu sibuk di klinik selama kita menikah,” tukas Nick marah.

“Mas … kamu tega banget ngomong begitu …” Angel tidak sanggup lagi berkata-kata. Belakangan ini, hanya pertengkaran yang mengisi rumah tangga mereka.

“Ya kamu gak bisa memuaskan aku! Kamu juga anak mami, anak konglomerat, gak jago juga di dapur. Apa hebatnya kamu? Terlalu sibuk juga dengan klinik kamu itu! Rasanya memang kita gak pernah cocok!”

“Mas ...”

Nick tiba-tiba berdiri dari kursi setelah meletakkan rotinya dengan tidak minat. “Aku mau berangkat sekarang aja,” katanya seraya meninggalkan Angel dan langsung berjalan menuju garasi.

Angel berusaha untuk tegar dan menghapus air matanya. Tidak ada gunanya berdebat dengan sang suami, sudah pasti Angel tidak akan menang.

Dia mengalihkan rasa sedihnya dengan berdandan dan pergi ke kantor. Sekretarisnya, Riri, menghampiri Angel begitu tiba di kantor klinik kecantikan pukul 10 pagi.

“Pagi, Bu. Ada beberapa dokter dan karyawan mau ketemu ibu, katanya …”

“Saya tahu. Pasti mau bahas soal gaji yang belum dibayar. Tolong kumpulkan saja di ruang rapat ya. Saya mau ke ruangan saya dulu sebentar,” kata Angel dengan wajah kusut. Kesedihan pasca berdebat dengan Nick tadi pagi masih tersisa di wajah cantiknya.

Angel duduk di ruangannya sambil menutup wajah, berusaha untuk tetap kuat menghadapi setiap masalah baik di rumah maupun di kantor. Sekarang dia harus menghadapi para karyawan.

Drrrt... Drrrt...

Angel mengernyit saat melihat pesan yang datang dari ART-nya. Dia lantas membuka pesan tersebut.

Sebuah foto tampak belakang agak menyamping menyambut indera penglihatan Angel. Sosok pria yang tampak familier itu tengah menggandeng seorang perempuan masuk toko perhiasan.

Angel membaca deretan kalimat di bawah foto.

[Bu, maaf sebelumnya. Bukan bermaksud lancang. Saya lagi di mal beli kebutuhan bulanan. Terus saya gak sengaja melihat laki-laki mirip banget sama Bapak, Bu. Maaf ya, Bu, apa ini beneran Pak Nick?]

DEG!

Mata Angel melotot sambil memperbesar foto tersebut. Matanya berkaca-kaca seolah tidak percaya.

Benarkah itu suaminya?

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
80 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status