Share

Teganya Mas Arya

"Mas ... tunggu, mas! Mas mau kemana lagi?"

Tanpa mempedulikan panggilanku, Mas Arya sudah menghilang di balik pintu.

Aku menangis. Menatap nanar ke arah pintu yang terbuka, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang.

Sebegitu hinakah aku perempuan kampung ini? Yang sama sekali tidak pernah mengenal dunia mode ataupun kecantikan.

Kutatap bayanganku di cermin. Kulitku hitam yang terbakar matahari karena sering membantu bapak di sawah, kaca mata tebal, dan pakaian jadul.

Aku tertawa miris melihat keadaanku. Dulu aku punya alasan tak punya uang, hingga di bully karena miskin dan jelek. Sekarang aku adalah istri dan menantu di keluarga besar Hadikusumo yang kaya raya. Dan tetap saja di bully. Tapi kali ini justru oleh suami sendiri. Sungguh jauh lebih menyakitkan.

"Malangnya nasibmu, Rena," desisku lirih.

Aku beranjak ke kamar mandi dan mencuci muka badutku dengan sabun. Lalu kugosok kasar. Tak peduli dengan sakitnya, karena hatiku malah jauh lebih sakit.

Kuangkat kepalaku. Kaca besar yang terpampang di atas washtafel, mampu memuat wajah si buruk rupa di sana.

Rasa minder dan cenderung introvert yang sudah terbentuk sejak kecil, membuatku tak berani terbuka. Bahkan dengan bapak dan mamakku sendiri. Apalagi dengan mertua yang baru aku kenal mana aku berani untuk bertanya atau mengadu. Itu pula yang menjadi kesempatan Mas Arya untuk berbuat sesukanya padaku.

Walaupun aku saat ini tinggal di Tangerang dan mertuaku di Jakarta, tapi aku tak luput dari  perhatian mereka. Tapi entah kenapa aku tetap tidak berani bertanya, bahkan dengan adik iparku yang saat ini sedang menghabiskan masa liburan di rumahku.

Si buruk rupa di cermin itu nampak kacau dan semakin terlihat buruk.

"Kak ...."

Cepat-cepat aku mengusap air mataku. Lalu berbalik dan menyunggingkan sebuah senyum.

"Ya, Dek?" tanyaku seraya membenahi rambutku lalu mengucirnya.

"Kakak kenapa? Habis nangis? Bertengkar sama Mas Arya ya? Mana dia? Biar Sandra omelin," cerocos adik iparku.

"Enggak kok, dek. Kakak cuma sedang tidak enak badan. Kepala kakak pusing," ucapku sambil pura-pura memijat kepalaku.

"Ya sudah, Kakak istirahat yuk. Biar Sandra bantu." Gadis manis sembilan belas tahun itu menuntunku ke tempat tidur dan membantu merebahkan tubuhku.

"Kakak pasti belum makan. Makanya kakak masuk angin. Atau jangan-jangan ...." Sandra menghentikan ucapannya. Telunjuknya bergoyang sejajar telinga.

Aku menelengkan kepalaku. "Jangan-jangan apa?"

"Atau jangan-jangan Kakak hamil. Harus segera kasih tahu papi sama mami nih. Mereka pasti seneng sekali dengar kabar ini." Sandra beranjak hendak mengambil ponselnya di meja riasku.

Cepat aku menarik lengannya untuk mencegah Sandra menelepon papi dan maminya.

"Eh, eh, jangan dulu, San!"

Dahi Sandra berkerut. "Memangnya kenapa, Kak?"

"Kan belum di tespack juga. Lagian kakak pun sekarang lagi haid," ujarku berbohong.

Padahal aku saat ini sedang tidak haid. Hanya saja supaya menjadi alasan agar Sandra tidak memberi tahu papi maminya.

Kasihan mereka, kalau sampai mereka terlanjur berharap. Mana mungkin aku hamil. Sedangkan sampai saat ini, aku masih perawan. Melihat saja dia jijik, apalagi menyentuh.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status