Bab 1.
Hans berlari cepat menyusuri lorong rumah sakit yang sudah sepi. Laki-laki itu tak peduli jika langkah kaki panjangnya yang berisik akan mengganggu waktu istirahat pasien di sana, karena di pikirannya sekarang hanya ingin segera bertemu dengan Nida dan memastikan bagaimana keadaan wanita itu.
Beberapa saat yang lalu, Hans mendapatkan telepon dari Bi Retno, wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediamannya dan Nida. Bi Retno bilang Nida jatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan.
Hans tentu saja terkejut mendengar kabar itu. Ia bahkan tak tahu jika istrinya sedang hamil, tapi tiba-tiba saja ia mendapatkan kabar jika wanita itu mengalami pendarahan.
BRAK!!
Hans yang sudah diliputi rasa cemas berlebih, tanpa sadar membuka kasar pintu ruang rawat VIP tempat istrinya berada. Hal itu tentu saja membuat Nida dan Bi Retno yang berada di dalamnya terlonjak kaget.
"Dek, kamu nggak apa-apa, 'kan? Bi Retno bilang kamu hamil dan pendarahan. Apa itu benar?" Hans yang sudah mendekat ke sebelah ranjang Nida langsung memberondong istrinya itu dengan banyak pertanyaan. Kekhawatiran jelas tergambar di wajah rupawan itu.
Nida tampak risi dengan sikap suaminya, sementara Bi Retno yang tak ingin mengganggu pembicaraan kedua majikannya langsung pamit keluar dari ruang rawat tersebut.
"Untuk apa kamu ke sini, Mas?" Nida bertanya seraya melirik suaminya dengan tatapan tak suka.
"Tentu saja aku khawatir dengan keadaan kamu, Dek. Apa kata dokter? Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau sedang hamil? Lalu sekarang bagaimana keadaan anak kita?" tanya Hans lagi, kali ini tangannya bahkan tanpa izin sudah terulur ke perut Nida dan mengusapnya dengan lembut.
Nida yang terkejut dengan perbuatan suaminya, refleks langsung menepis tangan pria itu. Hans tentu saja merasa tersinggung dengan sikap istrinya. Namun, karena sadar Nida sedang tidak dalam keadaan yang baik, lelaki itu memutuskan untuk tak terlalu memusingkan sikap tak ramah istrinya.
"Lebih baik kamu kembali ke rumah istri keduamu saja, Mas. Aku sedang sakit. Aku merasa nggak punya tenaga untuk melawan istri kesayanganmu itu jika dia datang ke sini dan membuat keributan," kata Nida dengan nada suara yang terdengar dingin.
Hans hanya bisa menghela napas berat mendengar ucapan istrinya itu.
Memang sejak satu tahun lalu ia telah menduakan Nida dan menikah lagi dengan perempuan yang usianya berada di bawah istri pertamanya tersebut. Sejak saat itu, sikap Nida yang dulunya begitu hangat, kini telah berubah menjadi dingin. Hans pun akhirnya lebih banyak menghabiskan waktunya bersama istri barunya karena merasa tak nyaman dengan perubahan sikap Nida, meski ia tahu itu juga terjadi karena perbuatannya.
"Diaz nggak akan menyusul ke sini karena aku nggak bilang mau menemuimu, Dek. Aku tadi bilang mau bertemu dengan rekan bisnis yang baru datang dari luar kota," ujar Hans, berharap Nida tak perlu khawatir dengan kemarahan adik madunya.
Nida terkekeh sinis mendengar ucapan laki-laki yang berada di sisinya tersebut. Padahal di sini posisi Nida adalah istri pertama, tapi untuk mendapatkan waktu bersama suaminya kenapa harus sesusah ini? Bahkan Hans harus membuat kebohongan pada istri keduanya hanya untuk bertemu dengannya, seolah ikatan mereka adalah hubungan haram yang harus disembunyikan dari semua orang.
"Dek, kamu dan kandunganmu baik-baik saja, 'kan?" Hans kembali mengulang pertanyaan tersebut, karena sejak tadi Nida tak mau menjawab saat ia bertanya soal keadaan wanita itu dan kehamilan yang baru hari ini Hans ketahui.
"Baik. Dia masih selamat karena Bi Retno cepat-cepat membawaku ke rumah sakit," sahut Nida tetap dengan nada dingin. Ia mengusap-usap lembut perut tempat calon anaknya bersemayam, merasa begitu bersyukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menjaga buah hatinya tersebut.
"Kalau boleh Mas tahu, sudah bersama bulan kandunganmu?" tanya Hans pelan. Ada sedikit rasa bersalah yang hinggap di hatinya karena satu tahun belakangan ia sangat sedikit memberikan waktu untuk Nida.
"Hampir tiga bulan," jawab Nida datar.
"Hampir tiga bulan?" Hans berseru karena merasa terkejut. Sudah hampir tiga bulan usia kandungan Nida, tapi baru hari ini ia mengetahuinya? Benar-benar kejam Nida memperlakukannya.
Hans merasa kecewa pada Nida karena telah menyembunyikan kehamilannya, tapi juga sadar jika ia memang sangat jarang memiliki waktu untuk sekedar berbicara dengan istri pertamanya tersebut. Mungkinkah hal itu yang membuat Nida memutuskan untuk menyembunyikan kehamilan ini dari suaminya sendiri?
"Kenapa kamu terkejut seperti itu? Apa kamu ragu kalau anak yang aku kandung ini anakmu?" tanya Nida dengan menatap tak suka pada suaminya.
Tampaknya wanita itu salah paham saat mendapati respons terkejut yang suaminya tunjukkan.
"Maksud kamu apa, Dek?" tanya Hans yang merasa tak paham kenapa Nida bisa bertanya seperti itu padanya.
"Kamu kan jarang mengunjungiku, mungkin saja kamu ragu jika anak ini adalah anakmu," ujar Nida ketus.
"Aku tidak ragu sama sekali. Aku percaya kamu tidak akan mungkin mengkhianati pernikahan kita," ujar Hans bersungguh-sungguh. Ia juga memperlihatkan senyum terbaiknya pada sang istri agar wanita itu membuang keraguannya. "Sekarang kamu istirahat. Mas akan menjagamu di sini. Kalau kamu butuh apa-apa, jangan ragu bilang saja sama Mas ya," ujar Hans melanjutkan.
Nida sebenarnya tak setuju dengan ide suaminya itu. Tak ada sedikit pun keinginannya untuk bersama Hans di tempat ini. Ia justru akan lebih senang jika Hans entah dari hadapannya sekarang juga. Namun, karena sadar penolakannya hanya akan menciptakan perdebatan, sementara ia sedang tidak punya tenaga untuk berdebat, dengan terpaksa akhirnya Nida hanya bisa pasrah dan membiarkan Hans menungguinya malam ini.
Tak menunggu waktu lama, Nida langsung menutup matanya agar bisa lebih cepat pergi ke alam mimpi. Ia belum merasa mengantuk sebenarnya, tetapi demi menghindari obrolan apa pun dengan suaminya, Nida merasa harus melakukan hal itu. Sungguh, Nida merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan di mana ada Hans yang menungguinya saat sedang sakit seperti ini.
Sejak Hans menikah lagi, waktu kebersamaan mereka memang menjadi sangat terbatas. Hans hanya akan datang pada Nida saat Diaz si istri kedua sedang marah dan melarang Hans tidur di rumah mereka atau saat Diaz sedang mendapatkan siklus bulanannya, sementara laki-laki itu sedang ingin melepaskan hasrat biologisnya. Ya, seperti itulah, Nida memang merasa jika dirinya kini hanya diperlakukan sebagai penampungan hasrat dan ban serep saja oleh Hans . Jadi tak heran jika Nida semakin merasa asing dengan suaminya sendiri dari hari ke hari dan mulai tak nyaman jika terlalu lama berdekatan dengan laki-laki tersebut.
Di samping Nida, Hans yang mengira jika istrinya sudah tertidur, perlahan menggenggam tangan wanita itu. Lagi-lagi rasa bersalah menyusup di dalam hatinya. Laki-laki itu merasa begitu jahat karena selama satu tahun ini selalu mengabaikan Nida dan hanya memberikan waktu sisa untuk istri pertamanya itu, karena memang kini perasaannya lebih condong ke arah Diaz. Namun, sekarang Hans berjanji pada dirinya sendiri akan berusaha adil untuk kedua istrinya. Meskipun soal perasaan ia tak bisa mengatur pembagiannya secara adil, tetapi untuk pembagian waktu dan juga perhatian, ia akan berusaha agar tak berat sebelah.
Sementara Nida yang sebenarnya belum terlelap, mati-matian menahan tangisannya saat ia merasakan telapak tangannya digenggam oleh sang suami dengan begitu lembut. Wanita itu berusaha keras menahan keinginannya untuk melepaskan genggaman itu. Ia benar-benar sudah merasa asing dengan sosok suaminya dan merasa tak nyaman setiap kali mereka bersentuhan. Namun, mengingat status pernikahan yang masih mengikat mereka hingga sekarang, membuat Nida mau tak mau harus tetap menerima kehadiran laki-laki tersebut.
Bersambung
Bab 2Keesokan harinya, Nida sudah diperbolehkan pulang karena memang keadaannya sudah membaik. Wanita itu hanya dianjurkan oleh dokter untuk lebih banyak istirahat dan jangan sampai kelelahan. Hans yang sejak semalam ikut menunggui Nida di rumah sakit bersama asisten rumah tangga, siang ini tentu saja ikut mengantar pulang istrinya tersebut. Namun, betapa terkejutnya Hans, saat di depan rumah yang Nida tempati, ia melihat Diaz sudah menunggu di teras rumah itu dengan wajah masam. "Aku harap istri kesayanganmu tidak membuat keributan di sini," ujar Nida dingin, begitu mobil yang Hans kendarai berhenti di halaman rumah. Hans tak menjawab ucapan Nida dan langsung keluar dari mobil, meninggalkan Nida dan Bi Retno yang memang sengaja tak langsung turun. Hans harus biara dengan Diaz terlebih dulu agar istri keduanya itu tak membuat keributan seperti biasanya saat ia berkunjung ke kediaman Nida. PLAK!!Hans yang mendekat ke arah Diaz tiba-tiba saja mendapatkan hadiah tamparan dari wan
Bab 3. Hari ini suasana di rumah Nida tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Jika sebelumnya di rumah itu hanya ada Nida dan Bi Retno, maka hari ini Hans seharian penuh berada di sana. Itu adalah hal yang tak pernah pria tersebut lakukan sejak ada Diaz di antara mereka. Apa Nida senang dengan hal tersebut? Sayangnya, jawabannya adalah tidak. Ia yang sudah terbiasa tanpa suaminya, kini justru merasa risi karena laki-laki itu terus menempelinya ke mana pun ia pergi. "Kamu mau makan sesuatu, Dek? Biar Mas suruh Bi Retno buatkan untukmu. Pokoknya hari ini kamu nggak boleh capek-capek. Kalau mau apa-apa, kamu bisa minta tolong Mas atau Bi Retno. Oke?" ujar Hans pada Nida yang sejak beberapa jam lalu hanya mengurung diri di kamar karena merasa kesal sebab selalu diikuti oleh suaminya. Ini sudah hampir masuk waktu makan siang, jadi tak heran jika Hans bertanya apa yang hendak Nida makan. "Mas kenapa hari ini nggak ke restoran?" tanya Nida, yang jujur saja merasa tak nyaman karena Hans
Bab 4"Dek, Mas mau ke luar sebentar. Kamu mau nitip sesuatu?" ujar Hans ketika sore telah tiba. Laki-laki itu baru saja menghampiri Nida yang sedang bersantai di taman belakang bersama Bi Retno. Ya begitulah Nida. Bukannya memanfaatkan waktu untuk bermanja-manja pada suaminya yang jarang sekali berkunjung, wanita itu justru lebih suka menghindar dari Hans. "Nggak, Mas," jawab Nida tanpa minat. "Memangnya kamu nggak ngidam lagi, Dek? Siapa tahu kamu ingin makan sesuatu, biar sekalian Mas balikan," ujar Hans lagi, berusaha menarik perhatian istri pertamanya tersebut. "Nggak ada, Mas. Lagi pula semua yang aku pingin sudah ada di kulkas, baru aku beli kemarin, jadi aku sudah nggak ingin dibelikan apa-apa lagi," ujar Nida, kembali menolak tawaran suaminya. Hans lagi-lagi hanya bisa menghela napas panjang menghadapi sikap dingin istrinya. Dari sejak kapan sebenarnya hubungan mereka jadi berjarak seperti ini? Kenapa juga Hans baru menyadari saat ia hendak memperbaiki hubungan mereka?
Bab 5 Makan malam keluarga"Tumben sekali kamu mengundang kami semua makan malam di sini, Hans? Biasanya juga kalau ada acara pasti selalu diadakan di rumah yang kamu dan Diaz tempati," ujar Mirna, yang merupakan mama dari Hans. Pada akhirnya, Hans tetap melanjutkan acara makan malam bersama keluarga besarnya karena tak mau membuat semua yang sudah diundang jadi merasa dipermainkan. Ia tahu Nida marah dengan keputusannya ini. Namun, mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur mengundang semuanya, jadi mau tak mau acara makan malam ini pun harus tetap dilaksanakan. "Iya, Ma, kebetulan aku sama Nida punya kabar yang hendak disampaikan pada kalian semua, jadi kami sengaja mengundang kalian ke sini," ujar Hans dengan menampilkan senyum bahagianya. Jelas saja ia merasa sangat bahagia. Anak yang sudah dinantikannya sejak lama, akhirnya sebentar lagi akan ia dapatkan. Ia bahkan sampai menduakan Nida agar bisa memiliki anak. Siapa sangka, setelah enam tahun pernikahan dan satu tahun menjalani
Bab 6"Jadi benar Nida sedang hamil, Hans?" tanya Rudi pada putranya, ketika keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya. "Iya, Pa. Kemarin Nida pendarahan dan dibawa ke rumah sakit, makanya aku akhirnya tahu kalau Nida sedang hamil," jawab Hans apa adanya. Ia jujur saja merasa malu karena baru mengetahui soal kehamilan Nida setelah kehamilan itu berusia tiga bulan."Jadi kamu juga baru tahu kemarin kalau Nida sedang hamil?" Rudi yang mendengar ucapan Hans, tampak terkejut karena sang putra juga ternyata baru mengetahui soal kehamilan istri pertamanya. "Iya, Pa. Nida menyembunyikan kehamilannya dariku. Sepertinya dia marah karena selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Diaz, makanya Nida tak mau mengatakan kalau dirinya sedang hamil," ujar Hans dengan rasa bersalah yang kini mendominasi perasaannya. "Bukan salah kamu dong, Mas. Salah Mbak Nida sendiri yang kurang pintar mengurusmu, jadi kamu lebih betah di tempatku, 'kan? Mbak Nida saja yang aneh. Masa sedang hami
Bab 7Sementara itu di kamar Nida, tampak tiga orang yang tengah berbicara-bincang dengan sangat serius. Sarah dan Burhan sejak tadi sudah menunjukkan rasa cemasnya karena mendengar jika kemarin Nida mengalami pendarahan, tetapi juga merasa bahagia karena keponakan mereka akhirnya hamil setelah sekian lama penantian. "Kamu kenapa tidak mengabarkan pada kami kalau sedang hamil, Nida? Apa kamu juga baru tahu soal kehamilan ini?" tanya Sarah pada keponakannya. Ia masih mencoba berpikir positif. Mungkin, karena kehamilan tersebut belum terlalu terlihat, jadi Nida tidak terlalu menyadarinya. Meskipun tadi Hans mengatakan jika Nida sengaja menyembunyikan kehamilannya karena sedang marah kepada Hans, tapi Sarah berpikir jika Nida tidak mungkin ingin menyembunyikan kabar baik itu dari keluarga tantenya sendiri, 'kan?"Kenapa aku harus mengabarkan soal kehamilanku? Bukankah kehamilan ini bukan hal yang penting untuk kalian?" balas Nida terdengar dingin,
Bab 8Tok! Tok! Tok!Nida yang tengah merenung setelah kepergian tante dan omnya dari kamar, tiba-tiba saja dikejutkan dengan ketukan pada pintu kamarnya. Wanita itu refleks menoleh ke arah pintu tersebut, dan sebelum ia merespons apa pun, Hans sudah muncul dari sana terlebih dahulu dengan senyum manisnya. "Belum tidur?" tanya laki-laki itu, terdengar begitu hangat.Nida tak menjawab, karena tanpa menjawab pun, harusnya Hans sudah tahu jika dirinya memang belum tidur. "Sayang, Mas mau izin ke luar sebentar. Diaz dan Ibu meminta tolong agar Mas mau mengantar mereka pulang, karena tadi mereka datang ke sini menggunakan taksi. Tidak apa-apa kan kalau Mas pergi sebentar? Mas janji, setelah mereka sampai rumah, Mas akan langsung pulang ke sini lagi," ujar Hans terdengar begitu lembut saat bicara dengan istrinya. "Kenapa harus izin? Bahkan kalaupun kamu tidak kembali ke sini lagi seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak akan peduli," j
Bab 9"Mas! Lama sekali sih? Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi. Kamu jadi mengantar kami pulang atau tidak sebenarnya?" Diaz tiba-tiba saja datang dan berkata kesal kepada suaminya. Ia bahkan tak bisa menghargai keberadaan kedua mertua dan kakak iparnya karena tak segan berkata dengan intonasi tinggi di depan mereka, terlebih kalimat yang serupa bentakan itu ditunjukkan Diaz untuk Hans yang merupakan suaminya sendiri. Diaz tak peduli dengan pandangan keluarga suaminya terhadap dirinya, karena Diaz hanya merasa jika ia perlu mengungkapkan rasa kesalnya, sebab Hans telah membuat ia dan ibunya menunggu terlalu lama di teras. "Bicaranya pelan-pelan saja apa tidak bisa, Diaz? Kamu kira suamimu tuli?" Mirna menghardik Diaz yang ia anggap telah berlaku tidak sopan kepada Hans. Entah ada apa dengan kedua istri Hans ini. Kenapa mereka sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini?"Maaf, Ma, aku hanya sedang kesal dengan Mas Hans. Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi, tapi Mas Hans la