Share

Dendam Istri Terabaikan
Dendam Istri Terabaikan
Penulis: Anna Liz

1. Hamil

Bab 1.

Hans berlari cepat menyusuri lorong rumah sakit yang sudah sepi. Laki-laki itu tak peduli jika langkah kaki panjangnya yang berisik akan mengganggu waktu istirahat pasien di sana, karena di pikirannya sekarang hanya ingin segera bertemu dengan Nida dan memastikan bagaimana keadaan wanita itu. 

Beberapa saat yang lalu, Hans mendapatkan telepon dari Bi Retno, wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediamannya dan Nida. Bi Retno bilang Nida jatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan. 

Hans tentu saja terkejut mendengar kabar itu. Ia bahkan tak tahu jika istrinya sedang hamil, tapi tiba-tiba saja ia mendapatkan kabar jika wanita itu mengalami pendarahan. 

BRAK!!

Hans yang sudah diliputi rasa cemas berlebih, tanpa sadar membuka kasar pintu ruang rawat VIP tempat istrinya berada. Hal itu tentu saja membuat Nida dan Bi Retno yang berada di dalamnya terlonjak kaget. 

"Dek, kamu nggak apa-apa, 'kan? Bi Retno bilang kamu hamil dan pendarahan. Apa itu benar?" Hans yang sudah mendekat ke sebelah ranjang Nida langsung memberondong istrinya itu dengan banyak pertanyaan. Kekhawatiran jelas tergambar di wajah rupawan itu.    

Nida tampak risi dengan sikap suaminya, sementara Bi Retno yang tak ingin mengganggu pembicaraan kedua majikannya langsung pamit keluar dari ruang rawat tersebut. 

"Untuk apa kamu ke sini, Mas?" Nida bertanya seraya melirik suaminya dengan tatapan tak suka. 

"Tentu saja aku khawatir dengan keadaan kamu, Dek. Apa kata dokter? Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau sedang hamil? Lalu sekarang bagaimana keadaan anak kita?" tanya Hans lagi, kali ini tangannya bahkan tanpa izin sudah terulur ke perut Nida dan mengusapnya dengan lembut. 

Nida yang terkejut dengan perbuatan suaminya, refleks langsung menepis tangan pria itu. Hans tentu saja merasa tersinggung dengan sikap istrinya. Namun, karena sadar Nida sedang tidak dalam keadaan yang baik, lelaki itu memutuskan untuk tak terlalu memusingkan sikap tak ramah istrinya. 

"Lebih baik kamu kembali ke rumah istri keduamu saja, Mas. Aku sedang sakit. Aku merasa nggak punya tenaga untuk melawan istri kesayanganmu itu jika dia datang ke sini dan membuat keributan," kata Nida dengan nada suara yang terdengar dingin. 

Hans hanya bisa menghela napas berat mendengar ucapan istrinya itu. 

Memang sejak satu tahun lalu ia telah menduakan Nida dan menikah lagi dengan perempuan yang usianya berada di bawah istri pertamanya tersebut. Sejak saat itu, sikap Nida yang dulunya begitu hangat, kini telah berubah menjadi dingin. Hans pun akhirnya lebih banyak menghabiskan waktunya bersama istri barunya karena merasa tak nyaman dengan perubahan sikap Nida, meski ia tahu itu juga terjadi karena perbuatannya. 

"Diaz nggak akan menyusul ke sini karena aku nggak bilang mau menemuimu, Dek. Aku tadi bilang mau bertemu dengan rekan bisnis yang baru datang dari luar kota," ujar Hans, berharap Nida tak perlu khawatir dengan kemarahan adik madunya. 

Nida terkekeh sinis mendengar ucapan laki-laki yang berada di sisinya tersebut. Padahal di sini posisi Nida adalah istri pertama, tapi untuk mendapatkan waktu bersama suaminya kenapa harus sesusah ini? Bahkan Hans harus membuat kebohongan pada istri keduanya hanya untuk bertemu dengannya, seolah ikatan mereka adalah hubungan haram yang harus disembunyikan dari semua orang. 

"Dek, kamu dan kandunganmu baik-baik saja, 'kan?" Hans kembali mengulang pertanyaan tersebut, karena sejak tadi Nida tak mau menjawab saat ia bertanya soal keadaan wanita itu dan kehamilan yang baru hari ini Hans ketahui. 

"Baik. Dia masih selamat karena Bi Retno cepat-cepat membawaku ke rumah sakit," sahut Nida tetap dengan nada dingin. Ia mengusap-usap lembut perut tempat calon anaknya bersemayam, merasa begitu bersyukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menjaga buah hatinya tersebut. 

"Kalau boleh Mas tahu, sudah bersama bulan kandunganmu?" tanya Hans pelan. Ada sedikit rasa bersalah yang hinggap di hatinya karena satu tahun belakangan ia sangat sedikit memberikan waktu untuk Nida. 

"Hampir tiga bulan," jawab Nida datar. 

"Hampir tiga bulan?" Hans berseru karena merasa terkejut. Sudah hampir tiga bulan usia kandungan Nida, tapi baru hari ini ia mengetahuinya? Benar-benar kejam Nida memperlakukannya. 

Hans merasa kecewa pada Nida karena telah menyembunyikan kehamilannya, tapi juga sadar jika ia memang sangat jarang memiliki waktu untuk sekedar berbicara dengan istri pertamanya tersebut. Mungkinkah hal itu yang membuat Nida memutuskan untuk menyembunyikan kehamilan ini dari suaminya sendiri? 

"Kenapa kamu terkejut seperti itu? Apa kamu ragu kalau anak yang aku kandung ini anakmu?" tanya Nida dengan menatap tak suka pada suaminya. 

Tampaknya wanita itu salah paham saat mendapati respons terkejut yang suaminya tunjukkan. 

"Maksud kamu apa, Dek?" tanya Hans yang merasa tak paham kenapa Nida bisa bertanya seperti itu padanya. 

"Kamu kan jarang mengunjungiku, mungkin saja kamu ragu jika anak ini adalah anakmu," ujar Nida ketus.

"Aku tidak ragu sama sekali. Aku percaya kamu tidak akan mungkin mengkhianati pernikahan kita," ujar Hans bersungguh-sungguh. Ia juga memperlihatkan senyum terbaiknya pada sang istri agar wanita itu membuang keraguannya. "Sekarang kamu istirahat. Mas akan menjagamu di sini. Kalau kamu butuh apa-apa, jangan ragu bilang saja sama Mas ya," ujar Hans melanjutkan. 

Nida sebenarnya tak setuju dengan ide suaminya itu. Tak ada sedikit pun keinginannya untuk bersama Hans di tempat ini. Ia justru akan lebih senang jika Hans entah dari hadapannya sekarang juga. Namun, karena sadar penolakannya hanya akan menciptakan perdebatan, sementara ia sedang tidak punya tenaga untuk berdebat, dengan terpaksa akhirnya Nida hanya bisa pasrah dan membiarkan Hans menungguinya malam ini.  

Tak menunggu waktu lama, Nida langsung menutup matanya agar bisa lebih cepat pergi ke alam mimpi. Ia belum merasa mengantuk sebenarnya, tetapi demi menghindari obrolan apa pun dengan suaminya, Nida merasa harus melakukan hal itu. Sungguh, Nida merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan di mana ada Hans yang menungguinya saat sedang sakit seperti ini. 

Sejak Hans menikah lagi, waktu kebersamaan mereka memang menjadi sangat terbatas. Hans hanya akan datang pada Nida saat Diaz si istri kedua sedang marah dan melarang Hans tidur di rumah mereka atau saat Diaz sedang mendapatkan siklus bulanannya, sementara laki-laki itu sedang ingin melepaskan hasrat biologisnya. Ya, seperti itulah, Nida memang merasa jika dirinya kini hanya diperlakukan sebagai penampungan hasrat dan ban serep saja oleh Hans . Jadi tak heran jika Nida semakin merasa asing dengan suaminya sendiri dari hari ke hari dan mulai tak nyaman jika terlalu lama berdekatan dengan laki-laki tersebut. 

Di samping Nida, Hans yang mengira jika istrinya sudah tertidur, perlahan menggenggam tangan wanita itu. Lagi-lagi rasa bersalah menyusup di dalam hatinya. Laki-laki itu merasa begitu jahat karena selama satu tahun ini selalu mengabaikan Nida dan hanya memberikan waktu sisa untuk istri pertamanya itu, karena memang kini perasaannya lebih condong ke arah Diaz. Namun, sekarang Hans berjanji pada dirinya sendiri akan berusaha adil untuk kedua istrinya. Meskipun soal perasaan ia tak bisa mengatur pembagiannya secara adil, tetapi untuk pembagian waktu dan juga perhatian, ia akan berusaha agar tak berat sebelah. 

Sementara Nida yang sebenarnya belum terlelap, mati-matian menahan tangisannya saat ia merasakan telapak tangannya digenggam oleh sang suami dengan begitu lembut. Wanita itu berusaha keras menahan keinginannya untuk melepaskan genggaman itu. Ia benar-benar sudah merasa asing dengan sosok suaminya dan merasa tak nyaman setiap kali mereka bersentuhan. Namun, mengingat status pernikahan yang masih mengikat mereka hingga sekarang, membuat Nida mau tak mau harus tetap menerima kehadiran laki-laki tersebut.  

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status