Share

2. Istri Kedua Hans

Bab 2

Keesokan harinya, Nida sudah diperbolehkan pulang karena memang keadaannya sudah membaik. Wanita itu hanya dianjurkan oleh dokter untuk lebih banyak istirahat dan jangan sampai kelelahan. Hans yang sejak semalam ikut menunggui Nida di rumah sakit bersama asisten rumah tangga, siang ini tentu saja ikut mengantar pulang istrinya tersebut. 

Namun, betapa terkejutnya Hans, saat di depan rumah yang Nida tempati, ia melihat Diaz sudah menunggu di teras rumah itu dengan wajah masam. 

"Aku harap istri kesayanganmu tidak membuat keributan di sini," ujar Nida dingin, begitu mobil yang Hans kendarai berhenti di halaman rumah. 

Hans tak menjawab ucapan Nida dan langsung keluar dari mobil, meninggalkan Nida dan Bi Retno yang memang sengaja tak langsung turun. Hans harus biara dengan Diaz terlebih dulu agar istri keduanya itu tak membuat keributan seperti biasanya saat ia berkunjung ke kediaman Nida.   

PLAK!!

Hans yang mendekat ke arah Diaz tiba-tiba saja mendapatkan hadiah tamparan dari wanita tersebut. 

"Keterlaluan kamu, ya, Mas! Kamu meninggalkanku begitu saja setelah kita bercinta dan kamu menemui Mbak Nida?! Mana katamu yang katanya mau menemui klien? Dasar pembohong kamu, Mas! Kamu bahkan sengaja meninggalkan ponselmu di rumah. Apa maksudmu, hah?! Sengaja biar aku tidak mengganggu waktumu bersama Mbak Nida, iya?!" Diaz memaki suaminya dengan nada yang tinggi. Ia bahkan tak memberikan kesempatan pada Hans untuk bicara terlebih dulu. 

Di samping tubuh, kedua tangan Hans terkepal penuh amarah. Sikap Diaz ketika marah memang kadang sangat keterlaluan. Jika bukan karena Hans yang begitu mencintai perempuan itu, sudah pasti Hans akan balik memukulnya.  

"Nida masuk rumah sakit tadi malam, jadi aku harus menjaganya. Biar bagaimanapun Nida tetap istriku dan ia masih menjadi tanggung jawabku," ujar Hans setelah berhasil meredam amarahnya atas perlakuan kasar sang istri kedua. 

Diaz langsung terdiam mendengar ucapan suaminya. Ia lantas menoleh ke arah Nida yang masih berada di mobil. Istri pertama Hans itu ternyata juga tengah mengarahkan pandangan ke arah mereka. 

"Memangnya Mbak Nida sakit apa?" tanya Diaz, kembali menatap suaminya. Nada suaranya tak setinggi tadi, tapi tetap saja masih terdengar ketus. 

"Nida pendarahan," jawab Hans. 

"Pendarahan?" ulang Diaz dengan kening berkerut karena merasa heran. 

"Iya, Nida ternyata sedang hamil dan usia kandungannya sudah hampir masuk usia tiga bulan. Untung saja kandungnya baik-baik saja," jawab Hans, yang tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya saat mengatakan soal kehamilan Nida. 

"H-hamil? Mbak Nida hamil, Mas?" Diaz tampak sangat terkejut saat mendengar kabar yang suaminya sampaikan. Wajahnya bahkan langsung berubah pucat, seolah tak ada darah yang mengalir di sana. 

"Iya. Aku senang sekali, akhirnya setelah penantian yang begitu panjang, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah," ungkap Hans dengan wajah yang berbinar bahagia. Ia bahkan tak menyadari jika istri keduanya itu sedang merasa begitu syok. 

"Apa kalian belum selesai juga bicaranya?" Nida tiba-tiba saja sudah berada di dekat Hans dan Diaz, membuat pasangan itu refleks menoleh ke arahnya dan Bi Retno yang berada di sampingnya. "Aku sudah lelah sekali dan mau cepat-cepat istirahat. Jadi kalau kalian belum selesai bicara, lebih baik lanjutkan saja di rumah kalian sendiri," lanjut Nida dengan ekspresi dingin yang belakangan sudah menjadi ciri khasnya.  

Diaz yang melihat keberadaan Nida, langsung mendekati kakak madunya yang berdiri di belakang Hans dengan tergesa. 

"Mas Hans bilang Mbak Nida hamil. Apa itu benar, Mbak?" Diaz tanpa basa-basi langsung menanyakan hal tersebut. 

Dalam hati Diaz sangat berharap jika jawaban yang Nida berikan akan bertolak belakang dengan ucapan Hans tadi. Diaz benar-benar tak rela jika kakak madunya hamil, padahal selama ini orang-orang sudah menganggap jika wanita itu mandul karena tidak bisa memberikan Hans keturunan, meski telah enam tahun lamanya mereka menjalin hubungan pernikahan. 

Nida yang mendapat pertanyaan itu, tak langsung menjawab. Ia justru melirik suaminya dengan kesal, karena laki-laki itu dengan lancang mengabarkan kehamilannya pada orang lain. Padahal Nida hanya ingin menikmati kebahagiaan atas kehamilannya ini seorang diri saja, tapi Hans justru merusak keinginannya itu. 

"Mbak, jawab pertanyaan aku! Mbak Nida nggak hamil, kan?!" Diaz yang seperti orang kesetanan, tiba-tiba saja membentak Nida dan mengguncang kasar bahu wanita itu. 

"Diaz! Apa-apaan sih kamu?!" Hans yang begitu terkejut dengan sikap Diaz, dengan sigap menjauhkan istri keduanya itu dari Nida. 

"Mas, Mbak Nida pasti bohong. Dia hanya pura-pura hamil karena ingin merebut perhatianmu dariku. Kamu jangan percaya pada Mbak Nida, Mas. Dia tidak mungkin hamil, karena dia perempuan mandul," ujar Diaz semakin menggila. Ia bahkan sudah menangis karena merasa tak terima dengan kabar kehamilan istri pertama dari suaminya. 

"Cukup, Diaz! Nggak seharusnya kamu berkata buruk seperti itu pada kakak madumu sendiri. Aku sudah memastikan sendiri pada dokter dan Nida memang sedang hamil, jadi berhenti mengatakan Nida berbohong atau bahkan menghinanya sebagai perempuan mandul!" sahut Hans yang semakin merasa kehilangan kesabarannya atas tingkah Diaz.   

"Nggak, Mas, Mbak Nida nggak boleh hamil. Seharusnya aku yang hamil, bukan Mbak Nida!" ujar Diaz semakin tak terkendali. Air matanya bahkan semakin banyak saja membasahi pipinya yang putih mulus.

"Ayo masuk, Bi. Aku jadi mual melihat drama memuakkan yang sedang terjadi di depan kita," ujar Nida pada Bi Retno. 

Nida yang masih merasa lemas pun dipapah oleh asisten rumah tangganya untuk memasuki rumah. Keduanya meninggalkan Hans dan Diaz yang masih terpaku di posisi masing-masing dengan ekspresi wajah yang tak sedap dipandang. 

"Sekarang lebih baik kamu pulang dulu. Aku harus tetap di sini untuk menjaga Nida sampai keadaannya membaik," ujar Hans setelah Nida dan Bi Retno sudah tak terlihat lagi. 

"Nggak, aku nggak mau seperti ini! Kamu juga harus pulang bersamaku, Mas. Aku nggak mengizinkan kamu berada di sini!" Diaz menolak keputusan Hans dengan nada suara yang tinggi.    

"Nida juga istriku, dia masih berhak mendapatkan waktu dan perhatian dariku. Setelah ini aku juga akan mengatur jadwal kunjungan dengan adil, jadi aku tidak akan bisa setiap waktu bersamamu seperti sebelumnya," ujar Hans dengan tegas. 

Diaz menggeleng kasar, lagi-lagi tak terima dengan keputusan yang Hans ambil seorang diri. 

"Mas, kenapa kamu memperlakukanku seperti ini? Sebelumnya kamu nggak masalah jika jarang mengunjungi Mbak Nida dan lebih banyak menghabiskan waktu untukku. Kenapa hanya karena Mbak Nida hamil, kamu jadi tega sekali memperlakukanku seperti ini? Kamu benar-benar membuatku kecewa, Mas," ujar Diaz semakin menunjukkan wajah sedihnya. Ia bertingkah seolah dirinya adalah korban dari kejahatan sang suami. 

Hans menghela napasnya dengan berat. Usia Diaz yang sudah menginjak angka 25 tahun ternyata tak juga membuat wanita itu bisa berpikir dewasa. Hans jadi menyesal karena sejak awal ia selalu menuruti keinginan Diaz demi menyenangkan hati perempuan itu, hingga ia berakhir mengabaikan istri pertamanya. Sepertinya ia memang salah karena terlalu memanjakan sang istri kedua tersebut. 

"Jika bicara soal kecewa, seharusnya di sini Nida yang lebih berhak mengatakan hal itu. Kita berdua sudah cukup keterlaluan memperlakukan Nida dengan berbuat nggak adil selama satu tahun ini. Sekarang biarkan suamimu ini menebus kesalahannya pada kakak madumu. Mas hanya ingin berusaha menjadi suami yang adil untuk kalian, kedua istri Mas. Kamu bisa kan memahami posisi Mas dan mau mendukung Mas untuk berbuat adil untukmu, juga untuk kakak madumu?" Hans kali ini berbicara dengan lembut pada Diaz, berharap istri keduanya itu mau memahami apa yang menjadi harapannya ke depan. 

Diaz tak lagi mendebat ucapan Hans, tapi air mata yang semakin deras mengalir di pipi, sudah menjelaskan jika ia masih tidak rela jika harus berbagi segalanya secara adil dengan istri pertama dari suaminya. 

"Sekarang kamu pulang, ya, Sayang. Mas akan menginap di sini tiga hari, lalu tiga hari selanjutnya Mas akan bersamamu. Mas akan mentransfer uang untuk kamu belanja, jadi Mas harap kamu nggak perlu terlalu larut dalam kesedihan," ujar Hans seraya mengusap pipi Diaz yang sudah dipenuhi air mata. Biasanya, Diaz memang akan mudah dibujuk dengan uang, karena memang wanita itu sangat gemar berbelanja. 

Diaz menatap Hans dengan tatapan sendunya, masih berharap pria itu mau mengubah keputusan dan lebih memilih ikut pulang bersamanya. Namun, sekali lagi, Hans menegaskan kalau hari ini ia tak bisa ikut pulang bersama Diaz.  

Karena Diaz sudah tak lagi protes, meski terlihat jelas masih tak rela dengan keputusannya, Hans pun menuntun istri keduanya itu ke arah mobil Diaz yang terparkir di sebelah mobilnya.

"Heru, kamu antar Nyonya pulang sekarang! Saya titip Nyoya, karena tiga hari ke depan saya akan menginap di sini," ujar Hans pada supir pribadi Diaz yang sejak tadi menunggu di dalam mobil. 

"Baik, Tuan," balas laki-laki muda itu dengan sopan. 

"Kamu hati-hati di jalan ya, Sayang. Kabari Mas kalau sudah sampai di rumah," ujar Hans setelah Diaz masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang. 

Namun, Diaz tak menjawab dan lebih memilih memalingkan wajah dari suaminya. 

Hans yang sangat paham dengan suasana hati Diaz, memilih tak terlalu ambil pusing. Setelah ini Diaz pasti akan mengerti keadaannya dan mulai terbiasa dengan kehidupan poligami yang selama satu tahun ini tidak mereka jalani dengan benar.

"Jalan, Heru!" perintah Diaz pelan pada supir pribadinya, tanpa memedulikan keberadaan Hans yang masih berada di sisi jendela mobil. 

Setelah Heru memberikan anggukan hormat pada Hans, mobil Diaz pun berjalan menjauhi halaman rumah Nida. Hans hanya menatap kepergian mobil istri keduanya itu dengan perasaan yang tak nyaman, karena tahu wanita kesayangannya itu sedang marah padanya.   

"Apa Nyonya baik-baik saja?" Heru bertanya pada Diaz dengan wajah cemas setelah mobil yang mereka naiki masuk ke jalan raya, bergabung dengan lalu lalang kendaraan lainnya.     

"Istri pertama Mas Hans hamil dan Mas Hans memutuskan untuk membagi waktu kunjung kami berdua secara adil setelah ini. Menurutmu aku harus bagaimana agar Mas Hans tetap memprioritaskan aku seperti biasanya?" ujar Diaz dengan pandangan kosong. 

Diaz memang sudah terbiasa berbagai cerita dengan supir pribadinya tersebut, sehingga sekarang pun ia tak merasa canggung saat menceritakan masalah rumah tangganya. 

Heru tak menjawab pertanyaan Diaz dan justru hanya terdiam di balik kemudi dengan ekspresi yang sulit diartikan. 

Sementara Diaz, diam-diam sedang memikirkan cara untuk membuat Hans hanya memperhatikannya saja. Apa Diaz harus mencoba mengikuti program hamil agar suaminya kembali mengutamakan dirinya dibanding istri pertamanya yang ia yakini sudah tak memiliki tempat lagi di hati Hans?  

Apa pun caranya, Diaz akan berusaha merebut seluruh perhatian Hans lagi. Harusnya Nida berterima kasih padanya karena sejak awal ia tak meminta Hans untuk menceraikan wanita itu. Jadi sekarang tidak seharusnya Nida merebut perhatian dan waktu Hans hanya karena sedang hamil.  

Bersambung ...

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status