Share

6. Ikatan Keluarga

Bab 6

"Jadi benar Nida sedang hamil, Hans?" tanya Rudi pada putranya, ketika keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya.

"Iya, Pa. Kemarin Nida pendarahan dan dibawa ke rumah sakit, makanya aku akhirnya tahu kalau Nida sedang hamil," jawab Hans apa adanya. Ia jujur saja merasa malu karena baru mengetahui soal kehamilan Nida setelah kehamilan itu berusia tiga bulan.

"Jadi kamu juga baru tahu kemarin kalau Nida sedang hamil?" Rudi yang mendengar ucapan Hans, tampak terkejut karena sang putra juga ternyata baru mengetahui soal kehamilan istri pertamanya. 

"Iya, Pa. Nida menyembunyikan kehamilannya dariku. Sepertinya dia marah karena selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Diaz, makanya Nida tak mau mengatakan kalau dirinya sedang hamil," ujar Hans dengan rasa bersalah yang kini mendominasi perasaannya.  

"Bukan salah kamu dong, Mas. Salah Mbak Nida sendiri yang kurang pintar mengurusmu, jadi kamu lebih betah di tempatku, 'kan? Mbak Nida saja yang aneh. Masa sedang hamil tapi justru menyembunyikan kehamilannya darimu? Aku justru jadi curiga, jangan-jangan anak yang berada di rahim Mbak Nida itu bukan anakmu, makanya Mbak Nida tidak mau kamu tahu soal kehamilannya," ujar Diaz yang jelas saja membuat siapa pun yang mendengar ucapannya menjadi terkejut.

"Diaz, jaga ucapanmu! Jangan menebar fitnah yang justru nantinya akan membuatmu susah sendiri! Papa tidak mau dengar lagi kamu bicara seperti itu pada Nida, karena Papa tahu betul bagaimana sifat menantu Papa!" ujar Rudi memperingati istri kedua Hans. Ia merasa tak terima saat wanita itu merendahkan Nida dengan sedemikian rupa, karena sebelum ada Diaz, dirinya sudah mengenal Nida dengan baik terlebih dulu.

Diaz yang dihardik oleh papa mertuanya langsung saja menampakkan wajah cemberut. Ia kesal sekali karena papa Hans ini selalu saja lebih memihak Nida dari pada memihak dirinya yang jelas-jelas lebih segalanya dari perempuan yang menjadi istri pertama Hans tersebut.

"Benar kata Papa, tidak seharusnya kamu bicara seperti itu pada kakak madumu. Nida itu istri yang setia, jadi tidak mungkin dia mengkhianatiku," ujar Hans, ikut membela istri pertamanya dari tuduhan Diaz.

Mendengar ucapan suaminya, Diaz langsung mendengus kasar. Ia merasa semakin kesal karena Hans justru menyanjung perempuan yang ia anggap sebagai saingan, dengan sebutan istri yang setia. Padahal, siapa yang tahu kelakuan Nida di belakang orang lain? Siapa tahu, saat Hans lebih banyak menghabiskan waktu dengannya, Nida akan mencari kesenangan dengan laki-laki lain karena kurang kasih sayang dari suaminya, 'kan? 

"Nak Hans, tadi Nak Hans bilang kalau kemarin Nida sempat pendarahan, 'kan? Lalu sekarang bagaimana keadaannya?" tanya Sarah dengan canggung.

Tante dari Nida yang sejak tadi lebih banyak diam itu akhirnya memberanikan diri untuk bersuara karena merasa khawatir dengan keadaan keponakannya. Tadi sebenarnya ia ingin mengejar saat Nida pergi dari sana. Namun, ia cukup tahu diri dengan tidak bertindak seenaknya di rumah yang bukan miliknya.

Mendengar pernyataan tante Nida yang penuh perhatian, Hans seketika tersenyum. Akhirnya, setelah yang lain hanya mendebatkan soal kebenaran kehamilan Nida dan meragukan kesetiaan Nida, ada juga yang menaruh khawatir pada keadaan istri pertamanya tersebut.

"Nida sudah baik-baik saja, Tante. Alhamdulillah janinnya juga sehat. Hanya saja sekarang Nida harus lebih banyak istirahat dan dilarang stres, karena janin di rahimnya belum terlalu kuat setelah kemarin terjadi pendarahan," ujar Hans, menjelaskan keadaan Nida.

"Apa Om dan Tante bisa menemui Nida, Hans? Sepertinya Nida sedang kalut pikirannya. Mungkin setelah Om dan Tante ajak bicara, suasana hati Nida bisa menjadi lebih baik," ujar Burhan, suami dari Sarah, yang meminta izin pada Hans untuk menemui keponakan istrinya.

"Baiklah, Om, sepertinya memang Nida butuh bicara dengan Om dan Tante. Siapa tahu Nida akan merasa lebih baik setelah bicara dengan kalian. Biar aku panggilkan Bi Retno untuk mengantar kalian ke kamar kami," ujar Hans, yang merasa jika ucapan Burhan mungkin ada benarnya.

Nida yang tampak sedang tidak stabil, mungkin saja bisa menjadi lebih tenang setelah berbicara dengan om dan tantenya tersebut.

"Tidak perlu repot-repot, Hans. Kami masih ingat dengan kamar yang kamu dan Nida tempati kok, jadi tidak perlu memanggil Bi Retno. Kami bisa ke sana sendiri," ujar Sarah, menolak niat baik Hans dengan halus.

"Baiklah kalau begitu. Aku minta tolong ya, Tante dan Om, tolong hibur Nida. Dia sepertinya sedang banyak pikiran. Mungkin kehadiran Om dan Tante bisa membuatnya merasa senang," ujar Hans penuh harap.

Sarah dan Burhan hanya mengangguk untuk menanggapi ucapan Hans. Pasangan suami istri itu pun segera pergi untuk menuju kamar Nida, setelah berpamitan kepada mereka semua yang berada di ruangan tersebut.

"Mbak tidak menyangka kalau Nida ternyata bisa hamil juga. Mbak kira Diaz yang akan hamil dalam waktu dekat ini, tapi ternyata Nida cukup membuat kita terkejut dengan kabar kehamilannya yang tak pernah kita duga sama sekali," ujar Nina tampak tak terlalu peduli dengan kabar kehamilan adik iparnya.

Selama ini Nina memang tak terlalu dekat dengan Nida ataupun Diaz. Namun, ia juga tidak pernah membenci keduanya. Bagi Nina, kedua wanita itu hanya sebatas istri dari adiknya dan ia tak pernah peduli dengan apa pun yang menyangkut kedua wanita itu.  

"Tapi, Hans, walaupun sekarang si Nida sedang hamil, Nak Hans tidak akan mengabaikan anak Ibu, 'kan? Biar pun sekarang Diaz belum hamil, tapi dia sudah menjadi istri yang baik untuk Nak Hans selama satu tahun ini. Jadi rasanya tidak adil untuk Diaz, kalau Nak Hans mengurangi perhatian untuknya hanya karena Nida sedang hamil," ujar Lily, yang jelas saja akan memperjuangkan sebaik mungkin posisi sang putri sebagai istri yang selalu diprioritaskan oleh Hans.

Lily tak terima jika putri kebanggaannya harus tersisih hanya karena janin yang bahkan belum terlihat seperti apa wujudnya.

"Ibu tenang saja, saya tidak akan pernah melupakan kalau Diaz adalah istri saya juga. Tapi, setelah ini saya akan membagi waktu untuk Diaz dan Nida secara adil. Jadi saya tidak bisa memprioritaskan Diaz seperti dulu, sementara Nida lebih banyak saya abaikan," ujar Hans, memberikan penjelasan dengan tegas. 

"Loh, mana bisa seperti itu? Bukannya Nak Hans sangat mencintai putri Ibu? Jadi tidak seharusnya sikap Nak Hans pada Diaz berubah hanya karena istri Nak Hans yang lain sedang hamil. Kalau seperti ini, bukannya jadi tidak adil untuk Diaz?" Lily yang merasa tak terima dengan keputusan menantunya, langsung melontarkan protes dengan lantang.

Sekarang saja perhatian yang sebelumnya hanya diberikan kepada Diaz hendak dibagi dengan Nida. Bagaimana nanti kalau anak Nida sudah lahir? Jangan-jangan jatah uang untuk Diaz juga akan dikurangi untuk memenuhi kebutuhan anak itu? Jika benar seperti itu, Lily tentu saja tak bisa tinggal diam. Ia harus melakukan sesuatu agar posisi putrinya tidak terancam hanya karena kehamilan Nida.

"Bagian mananya yang tidak adil, Bu? Bukannya yang seharusnya dibilang tidak adil itu perlakuan saya yang sebelumnya? Saya memiliki dua istri, tapi saya justru lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak Ibu. Jadi, biarlah sekarang saya memperbaiki diri dengan berusaha menjadi suami yang adil untuk Diaz dan juga Nida. Diaz juga sudah setuju dengan keputusan ini. Jadi Ibu tidak perlu khawatir dengan rumah tangga kami," ujar Hans, yang menatap serius ke arah ibu mertuanya. Tatapan itu seolah menegaskan jika ia tak ingin keputusannya ini ditentang oleh siapa pun.

"Papa setuju kalau kamu mau mulai bersikap adil untuk kedua istrimu, Hans. Justru ini yang Papa harapan darimu sejak kamu memutuskan untuk menikah lagi. Tidak apa meskipun terlambat, dari pada kamu tidak pernah sadar dengan tanggung jawabmu sama sekali sebagai suami yang memiliki dua istri. Tapi Papa harap kamu benar-benar konsisten dengan sikapmu ini. Jangan pernah lagi kamu menyakiti salah satu dari istrimu, karena hal itu hanya akan membuat Papa malu memiliki anak sepertimu," ujar Rudi, turut mendukung keputusan putranya yang akan memperlakukan kedua istrinya dengan adil.

Bukannya seharusnya memang seperti itu? Hans sudah sepatutnya berlaku adil pada Nida dan juga Diaz, karena biar bagaimanapun kedua wanita itu memiliki posisi yang sama dan berhak mendapatkan perhatian juga materi yang sama pula dari Hans. Sayangnya, selama satu tahun belakangan Hans telah dibutakan oleh cintanya pada Diaz, sehingga ia lebih sering mengabaikan Nida yang padahal wanita itu sudah ada sebelum Hans sesukses sekarang.

"Tapi Pak Rudi, kasihan Diaz jika sikap Hans jadi berubah padanya. Selama ini Diaz sudah terbiasa jadi yang selalu diutamakan oleh Hans. Kalau sekarang tiba-tiba Diaz harus banyak mengalah hanya karena istri pertama Hans sedang hamil, pasti Diaz akan merasa kesulitan," ujar Lily, yang masih tidak setuju dengan keputusan Hans yang akan membagi semuanya secara adil.

Mendengar ucapan besannya, Rudi justru terkekeh pelan. Ia merasa tergelitik karena ucapan besannya yang terdengar cukup aneh di telinganya.

"Bu Lily, kalau Diaz tidak terbiasa berbagi dengan Nida, maka mulai sekarang dia harus bisa membiasakan diri karena ini adalah konsekuensi yang harus diterimanya saat memutuskan untuk menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Bukan Diaz yang sebenarnya mengalah pada Nida, tapi justru Nida yang selama ini banyak mengalah dan bersabar menghadapi keegoisan anak-anak kita. Jadi tolong jangan dibolak-balik, saya yang mendengarnya justru jadi merasa ingin tertawa," balas Rudi, menyahuti pernyataan besannya yang masih tidak terima dengan keputusan Hans. 

"Siapa yang egois, Pa? Aku dan Mas Hans tidak pernah egois kok. Kan Mbak Nida sendiri yang tidak becus menjadi seorang istri, makanya Mas Hans lebih nyaman tinggal bersamaku. Oke-lah kalau Papa ingin Mas Hans membagi waktu dan perhatiannya dengan adil padaku dan Mbak Nida. Tapi jangan sekali-kali Papa memfitnahku dengan mengataiku egois, karena aku tidak pernah seperti itu!" kata Diaz, menyorot wajah papa mertuanya dengan tatapan tajam. 

Diaz merasa kesal karena ia ikut disalahkan atas sikap Hans yang selama ini lebih memprioritaskan dirinya ketimbang Nida. Harusnya papa mertuanya bisa berpikir, jika Hans lebih suka menghabiskan waktu bersamanya, berarti kesalahan berada di pihak Nida, bukan berada pada dirinya.

Melihat tatapan Diaz yang menantang papa mertuanya sendiri, dan Rudi yang tampak geram dengan sikap tidak sopan Diaz, Hans pun langsung mencengkeram telapak tangan Diaz dengan sedikit keras, agar wanita itu tak lagi melanjutkan pembicaraan yang ditakutkan akan menyulut emosi sang papa. 

"Astaga, Hans-Hans, kamu punya dua istri kok sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini. Benar-benar seleramu ini rendah sekali," ejek Nina seraya menyunggingkan senyum meremehkan ke arah adik lelakinya.

Mirna yang tahu jika suaminya sedang berada di suasana hati yang tidak baik karena ucapan Diaz yang tak sopan, cepat-cepat memberikan kode kepada putri sulungnya agar tak semakin membuat papanya marah. Nina yang paham dengan peringatan tersirat dari mamanya pun langsung diam karena tak mau mendapatkan murka dari Rudi.

Rudi sendiri langsung menghela napas panjang untuk menenangkan dadanya yang sedang bergemuruh karena menghadapi suasana yang baginya tak menyenangkan. Padahal putra bungsunya baru saja menyampaikan kabar yang bahagia, tetapi kenapa tanggapan dari orang-orang yang berada satu ruangan bersamanya sangat jauh dari kata bahagia? Apa ada yang salah dengan kabar kehamilan Nida? Atau, jangan-jangan hati mereka yang salah karena tidak bisa merasakan kebahagiaan atas kehamilan Nida?

"Diaz, dan terutama kamu Hans, Papa sangat berharap kalau kalian bisa menyikapi pernikahan poligami yang kalian jalani ini dengan bersikap dewasa. Terserah kalau kalian tidak terima jika dikatai egois atau sejenisnya. Papa hanya ingin kalian mulai sadar diri dengan posisi kalian. Ingat, di dalam pernikahan yang kalian jalani, bukan hanya ada kalian berdua saja, tapi ada Nida juga sebagai istri pertama yang tidak bisa kalian lupakan dan pandang remeh keberadaannya hanya karena dia selalu diam selama ini. Dan untuk Bu Lily, tolong nasihati Diaz dengan kebaikan, bukan justru ikut memprovokasi putri Ibu agar melakukan perbuatan yang keliru," ujar Rudi, memberikan wejangan dengan menampakkan wajah serius yang seolah tak ingin dibantah lagi.

Begitu melihat bibir Lily yang hendak terbuka, Rudi langsung mengangkat telapak tangannya, memberikan isyarat kepada besannya itu agar tak melanjutkan membuka suara.

"Saya tidak mau mendengar protes dalam bentuk apa pun dan dari siapa pun, karena saya merasa apa yang saya ucapkan ini tidak ada yang perlu didebat lagi," ujar Rudi seraya menatap tajam ibu Diaz, sehingga wanita paruh baya tersebut langsung bungkam dan merasa gentar di hadapan besannya.

"Papa juga mau minta bantuan Mama dan juga Nina. Kalian sudah berpengalaman soal kehamilan, 'kan? Jadi Papa harap kalian mau ikut mendampingi dan membantu Nida selama masa kehamilannya. Bagi tips atau pengalaman kalian, siapa tahu itu bisa berguna untuk Nida. Bukannya selama ini kalian berdua yang paling sering menanyakan soal kapan Nida hamil? Jadi setelah Nida hamil, kalian yang seharusnya paling merasa senang dan mau membantu jika Nida mengalami kesulitan selama masa kehamilannya. Benar begitu kan, Ma, Nina?" ujar Rudi dengan begitu tegas.

"Iya, Pa," sahut Nina dan Mirna bersamaan.

Hans merasa senang karena papanya mau membantunya menasihati keluarganya yang lain. Meski bisa dibilang pendiam, tetapi sikap tegas dan bijaksana sang papa selalu membuat orang yang mendengarkan titahnya sangat sulit untuk menolak. Hans harap seperti apa yang papanya harapkan juga, semoga kehamilan Nida bisa diterima dan disambut baik oleh semua keluarganya.

 

Bersambung.   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status