Bab 5
Makan malam keluarga"Tumben sekali kamu mengundang kami semua makan malam di sini, Hans? Biasanya juga kalau ada acara pasti selalu diadakan di rumah yang kamu dan Diaz tempati," ujar Mirna, yang merupakan mama dari Hans.Pada akhirnya, Hans tetap melanjutkan acara makan malam bersama keluarga besarnya karena tak mau membuat semua yang sudah diundang jadi merasa dipermainkan. Ia tahu Nida marah dengan keputusannya ini. Namun, mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur mengundang semuanya, jadi mau tak mau acara makan malam ini pun harus tetap dilaksanakan.
"Iya, Ma, kebetulan aku sama Nida punya kabar yang hendak disampaikan pada kalian semua, jadi kami sengaja mengundang kalian ke sini," ujar Hans dengan menampilkan senyum bahagianya.
Jelas saja ia merasa sangat bahagia. Anak yang sudah dinantikannya sejak lama, akhirnya sebentar lagi akan ia dapatkan. Ia bahkan sampai menduakan Nida agar bisa memiliki anak. Siapa sangka, setelah enam tahun pernikahan dan satu tahun menjalani pernikahan poligami, Nida akhirnya hamil juga. Hans benar-benar tak sabar untuk segera bertemu dengan anak pertamanya.
"Benarkah? Kabar apa memangnya?" tanya Mira, dengan raut wajah yang menunjukkan rasa penasaran.
"Paling Hans mau menikah lagi, Ma," celetuk Nina, sebelum Hans sempat menjawab pertanyaan Mirna. Nina ini adalah kakak perempuan Hans yang juga sudah menikah dan memiliki seorang anak berusia empat tahun.
Ucapan Nina itu jelas saja membuat beberapa orang yang berada di sana merasa terkejut, termasuk Hans yang dituduh oleh kakaknya sendiri akan menikah lagi.
"Benar begitu Nak Hans? Apa benar kamu mau menikah lagi?" tanya tante Nida yang bernama Sarah dengan wajah yang terlihat sedih.
Walaupun tak tinggal serumah dan sekarang jarang sekali berkomunikasi, tapi Sarah tentu paham dengan apa yang keponakannya itu rasakan. Memiliki satu madu saja sudah membuat hidup Nida kesulitan, apalagi jika Hans akan memberikannya madu lagi? Sarah takut jika Nida akan semakin menderita karena pastinya Hans akan semakin mengabaikannya.
"Bukan, Tante. Aku tidak ada niat untuk menikah lagi, Mbak Nina saja yang sembarangan bicara. Tolong Tante jangan salah paham," ujar Hans, cepat-cepat mengklarifikasi agar kesalahpahaman yang diakibatkan oleh ucapan kakak perempuannya tidak semakin melebar.
"Makanya cepat bilang kalian mau memberi kabar apa! Dari pada kita jadi menebak-nebak sendiri, 'kan? Mbak ini tidak punya banyak waktu loh. Seharusnya Mbak sudah ada di rumah mertua Mbak buat menjemput Mas Seno dan Anggia, tapi gara-gara kamu mengatakan ingin mengabarkan sesuatu yang penting, Mbak jadi harus ke sini dulu," ujar Nina dengan ketus.
Sejak Hans memutuskan untuk poligami, Nina memang jadi kurang respect pada adik laki-lakinya itu. Bukan karena ia merasa kasihan pada Nida atau terlalu menyayangi adik iparnya tersebut. Namun, sebagai wanita ia hanya ikut kesal karena penghianatan yang dilakukan oleh Hans dan juga Diaz.
"Nina, jaga sikapmu! Harusnya kalau kamu memang tidak berniat datang ke sini, tidak usah datang sekalian. Dari pada di sini malah mengatakan hal yang membuat orang lain tidak nyaman," ujar papa dari Nina dan Hans dengan tegas. Laki-laki bernama Rudi itu bahkan menatap anak perempuannya dengan tajam dan penuh peringatan.
Sementara Nina yang ditegur, hanya bisa mendengus kesal tanpa bisa memprotes ucapan papanya.
"Sudah-sudah, aku mengundang kalian ke sini kan untuk makan malam bersama. Jadi sebaiknya kita makan malam dulu, baru setelahnya aku dan Nida akan mengatakan apa yang hendak kami sampaikan pada kalian semua," ujar Hans, mengakhiri suasana tak nyaman yang terjadi di meja makan ini.
Semua yang berada di sana akhirnya diam. Makan malam yang sebelumnya sudah dihidangkan oleh Bi Retno akhirnya mereka nikmati dengan suasana yang jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Hingga saat semua orang telah menyelesaikan makan malam mereka, Hans langsung membawa semuanya ke ruang keluarga agar lebih nyaman saat dirinya mengabarkan mengenai kehamilan Nida pada semua keluarganya.
"Sebelumnya aku mau mengucapkan terima kasih karena kalian sudah mau repot-repot datang ke sini untuk memenuhi undangan makan malam dariku dan Nida. Seperti yang tadi aku katakan saat menghubungi kalian, ada hal penting yang hendak aku kabarkan pada kalian semua," ujar Hans, memulai pembicaraan inti dari pertemuan malam ini.
Laki-laki itu terdiam sebentar, mencoba memperhatikan wajah-wajah penasaran yang ditujukan oleh semua yang berada di sana, kecuali Nida yang memang sudah tahu apa yang hendak Hans katakan.
"Aku dan Nida ingin mengabarkan kalau sebentar lagi akan ada anggota baru di keluarga kita," ujar Hans dengan ekspresi yang amat cerah karena kebahagiaan yang kini tengah memenuhi hatinya.
"Maksud kamu, Nida hamil?" tanya Rudi, menebak maksud dari ucapan putra bungsunya.
"Iya, Pa, Nida hamil. Sudah jalan tiga bulan," balas Hans, dengan rasa bahagia yang tak dapat disembunyikan lagi.
"Apa? Hamil?!" Suara lantang itu keluar dari mulut Lily, wanita paruh baya berpenampilan glamor yang merupakan ibu dari Diaz.
Mereka yang berada di sana yang sebelumnya sudah cukup terkejut dengan ucapan Hans, kini tambah terkejut lagi dengan respons Lily yang di luar dugaan.
"Maaf-maaf, saya hanya terkejut, jadi refleks berteriak seperti itu," ujar Lily, merasa malu karena semua orang kini menatapnya dengan pandangan tak suka.
"Kamu yakin istrimu hamil, Hans? Bukannya Nida mandul? Kenapa sekarang tiba-tiba saja Nida bisa hamil setelah pernikahan kalian mengijnak usia enam tahun?" tanya Mirna, tanpa memfilter dulu ucapannya.
"Ma, jangan begitu bicaranya. Tidak enak sama Nida dan om serta tantenya," bisik Rudi pada Mirna, merasa tak enak pada orang-orang yang disebutkannya itu karena sang istri memang senang sekali bicara ceplas-ceplos.
Namun, tampaknya Mirna tak ingin meralat ucapannya sedikit pun, karena selama ini memang itulah yang ia yakini. Yang ia tahu, Nida mandul karena sampai usia lima tahun pernikahan, wanita itu tak kunjung hamil, hingga Hans akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dengan Diaz yang dulunya adalah manager di salah satu cabang restorannya.
"Nida tidak mandul, Ma, buktinya sekarang Nida hamil, 'kan?" kata Hans, membela istri pertamanya dari ucapan tak menyenangkan yang dilayangkan oleh sang mama.
"Kamu sudah memeriksakan kandungan istrimu ke dokter, Hans? Jangan-jangan itu hanya kebohongan dari istrimu agar bisa mendapatkan perhatian darimu saja," ujar Nina, ikut menambahi ucapan mamanya dengan sebuah kecurigaan.
"Mbak Nina, Mama, dan semua yang berada di sini, aku sama sekali nggak berharap kalian akan percaya kalau aku sedang hamil. Bahkan, sebelumnya aku ingin menyembunyikan kehamilan ini dari semua orang, tapi Mas Hans justru tanpa sepengetahuanku mengundang kalian semua dan mengabarkan soal kehamilan ini. Jadi, tidak perlu kalian berpikir yang tidak-tidak tentangku, karena aku juga nggak butuh pengakuan dari kalian, termasuk dari Mas Hans sendiri!" Nida yang merasa begitu muak karena lagi-lagi mama mertua dan kakak iparnya terus memojokkannya, akhirnya angkat bicara.
Nida yang sebelumnya lebih suka mengalah karena tak suka dengan keributan, kali ini bahkan berani membalas perkataan ibu mertua dan kakak iparnya dengan nada yang terdengar sangat ketus.
"Nida! Mulai kurang ajar ya, kamu! Mentang-mentang sudah berhasil hamil, sekarang kamu berani bicara tidak sopan di depan kami semua?" Mirna yang merasa tak suka dengan cara bicara Nida, langsung menghardik menantu pertamanya itu dengan mata yang mendelik marah.
"Terserah Mama saja mau bicara apa, aku nggak peduli. Setelah pembicaraan kalian selesai, aku harap kalian segera pergi dari sini. Jangan lupa, ini bukan rumah Mas Hans, tapi rumahku yang diwariskan oleh mendiang ayah dan ibu. Jadi aku harap kalian tidak berbuat seenaknya di rumah ini," ujar Nida, tanpa perduli dengan ekspresi orang-orang yang berada di sana, yang merasa sangat terkejut karena baru kali ini melihat sikap tak biasa dari Nida.
Istri pertama Hans yang sebelumnya dikenal sebagai perempuan yang sopan dan sangat sabar menghadapi apa pun perlakuan orang lain, kini seperti menunjukkan sisi lainnya yang tak pernah terlihat. Wanita itu bahkan bisa dibilang cukup berani dengan berbicara tidak sopan di depan orang-orang yang berada di sana.
"Hans, apa-apaan sih istrimu?! Kamu jangan diam saja dong melihat istrimu bersikap kurang ajar seperti ini! Hajar saja kalau perlu karena dia tidak bisa menghormati kami semua yang berada di sini!" Lily yang juga merasa kesal dengan ucapan Nida yang sok, mulai memprovokasi menantunya.
Namun, Nida yang sudah muak bertahan di antara orang-orang itu, langsung pergi dari sana tanpa berkata apa-apa lagi. Terserah saja mereka ingin menilainya seperti apa, Nida hanya sudah lelah selalu bersikap baik pada semua orang, sementara orang lain justru senang sekali bersikap semena-mena padanya.
"Nida, tunggu dulu, Sayang!" panggil Hans, hendak mengejar istri pertamanya. Namun, Diaz yang duduk di sebelahnya langsung menarik tangannya, hingga ia kembali terduduk di sofa ruang tengah tersebut.
"Di sini saja, Mas. Nggak sopan kalau kedua tuan rumah pergi, sementara kami semua masih berada di sini," ujar Diaz dengan nada suara yang tegas.
Hans yang merasa jika ucapan Diaz ada benarnya pun akhirnya hanya bisa tetap bertahan di posisinya duduknya, meski matanya tak bisa beralih dari arah kepergian Nida. Sepertinya Nida memang sudah sangat lelah dengan semua keadaan ini, karena baru kali ini wanita itu sampai berani menjawab ucapan Nina dan Mirna dengan kata-kata seberani itu.
.
Bersambung ...
Bab 6"Jadi benar Nida sedang hamil, Hans?" tanya Rudi pada putranya, ketika keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya. "Iya, Pa. Kemarin Nida pendarahan dan dibawa ke rumah sakit, makanya aku akhirnya tahu kalau Nida sedang hamil," jawab Hans apa adanya. Ia jujur saja merasa malu karena baru mengetahui soal kehamilan Nida setelah kehamilan itu berusia tiga bulan."Jadi kamu juga baru tahu kemarin kalau Nida sedang hamil?" Rudi yang mendengar ucapan Hans, tampak terkejut karena sang putra juga ternyata baru mengetahui soal kehamilan istri pertamanya. "Iya, Pa. Nida menyembunyikan kehamilannya dariku. Sepertinya dia marah karena selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Diaz, makanya Nida tak mau mengatakan kalau dirinya sedang hamil," ujar Hans dengan rasa bersalah yang kini mendominasi perasaannya. "Bukan salah kamu dong, Mas. Salah Mbak Nida sendiri yang kurang pintar mengurusmu, jadi kamu lebih betah di tempatku, 'kan? Mbak Nida saja yang aneh. Masa sedang hami
Bab 7Sementara itu di kamar Nida, tampak tiga orang yang tengah berbicara-bincang dengan sangat serius. Sarah dan Burhan sejak tadi sudah menunjukkan rasa cemasnya karena mendengar jika kemarin Nida mengalami pendarahan, tetapi juga merasa bahagia karena keponakan mereka akhirnya hamil setelah sekian lama penantian. "Kamu kenapa tidak mengabarkan pada kami kalau sedang hamil, Nida? Apa kamu juga baru tahu soal kehamilan ini?" tanya Sarah pada keponakannya. Ia masih mencoba berpikir positif. Mungkin, karena kehamilan tersebut belum terlalu terlihat, jadi Nida tidak terlalu menyadarinya. Meskipun tadi Hans mengatakan jika Nida sengaja menyembunyikan kehamilannya karena sedang marah kepada Hans, tapi Sarah berpikir jika Nida tidak mungkin ingin menyembunyikan kabar baik itu dari keluarga tantenya sendiri, 'kan?"Kenapa aku harus mengabarkan soal kehamilanku? Bukankah kehamilan ini bukan hal yang penting untuk kalian?" balas Nida terdengar dingin,
Bab 8Tok! Tok! Tok!Nida yang tengah merenung setelah kepergian tante dan omnya dari kamar, tiba-tiba saja dikejutkan dengan ketukan pada pintu kamarnya. Wanita itu refleks menoleh ke arah pintu tersebut, dan sebelum ia merespons apa pun, Hans sudah muncul dari sana terlebih dahulu dengan senyum manisnya. "Belum tidur?" tanya laki-laki itu, terdengar begitu hangat.Nida tak menjawab, karena tanpa menjawab pun, harusnya Hans sudah tahu jika dirinya memang belum tidur. "Sayang, Mas mau izin ke luar sebentar. Diaz dan Ibu meminta tolong agar Mas mau mengantar mereka pulang, karena tadi mereka datang ke sini menggunakan taksi. Tidak apa-apa kan kalau Mas pergi sebentar? Mas janji, setelah mereka sampai rumah, Mas akan langsung pulang ke sini lagi," ujar Hans terdengar begitu lembut saat bicara dengan istrinya. "Kenapa harus izin? Bahkan kalaupun kamu tidak kembali ke sini lagi seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak akan peduli," j
Bab 9"Mas! Lama sekali sih? Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi. Kamu jadi mengantar kami pulang atau tidak sebenarnya?" Diaz tiba-tiba saja datang dan berkata kesal kepada suaminya. Ia bahkan tak bisa menghargai keberadaan kedua mertua dan kakak iparnya karena tak segan berkata dengan intonasi tinggi di depan mereka, terlebih kalimat yang serupa bentakan itu ditunjukkan Diaz untuk Hans yang merupakan suaminya sendiri. Diaz tak peduli dengan pandangan keluarga suaminya terhadap dirinya, karena Diaz hanya merasa jika ia perlu mengungkapkan rasa kesalnya, sebab Hans telah membuat ia dan ibunya menunggu terlalu lama di teras. "Bicaranya pelan-pelan saja apa tidak bisa, Diaz? Kamu kira suamimu tuli?" Mirna menghardik Diaz yang ia anggap telah berlaku tidak sopan kepada Hans. Entah ada apa dengan kedua istri Hans ini. Kenapa mereka sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini?"Maaf, Ma, aku hanya sedang kesal dengan Mas Hans. Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi, tapi Mas Hans la
Bab 10Nida tidak tahu jam berapa Hans sampai di rumah setelah semalam mengantar Diaz dan ibunya pulang. Namun, saat pagi-pagi sekali Nida bangun, ia sudah menemukan suaminya itu tidur di sebelahnya. Nida yang merasa risi dengan tangan Hans yang memeluknya, dengan cepat menyingkirkan tangan itu dengan sedikit kasar. Hal itu membuat Hans yang terkejut, langsung terjaga dari tidurnya. "Sayang, kamu sudah bangun?" Hans bertanya dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya bahkan belum terbuka sempurna, karena dirinya memang masih merasa mengantuk. Meski mendengar pertanyaan Hans, tetapi Nida memilih tak menjawab. Lagi pula itu hanya pertanyaan retoris yang sudah sangat jelas jawabnya. Wanita itu justru lebih memilih menyibukkan diri dengan mengikat rambutnya menggunakan ikat rambut yang semalam ia letakan di atas nakas. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Hans saat melihat Nida hendak pergi dari hadapannya. "Mau ke dapur, bantu Bi Retno masak," jawab Nida apa adanya. "Loh, buat apa
Bab 11Sementara itu di rumah yang ditempati Diaz, Lily merasa sangat kesal ketika menemukan anak sulungnya itu masih bergelung di dalam selimut, padahal matahari di luar sana sudah semakin meninggi. "Bangun, Diaz! Bangun! Dasar pemalas! Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu masih enak-enakan tidur, Diaz!!" teriak Lily kesal, seraya menarik selimut yang membungkus rapat tubuh putrinya. Namun, bukannya lekas bangun setalah mendengar teriakan ibunya yang tidak bisa dibilang pelan, Diaz justru hanya menggerutu dan masih tidak mau membuka matanya. Wanita itu bahkan hendak meraih kembali selimutnya, tetapi sang ibu dengan cepat menjauhkan benda tersebut dari jangkauannya. "Ayo cepat bangun, Diaz! Ibu mau bicara serius sama kamu!" ujar Lily, kembali mencoba menyadarkan sang putri dari tidurnya. "Ibu jangan berisik dong. Aku masih mengantuk, Bu," gumam istri kedua Hans tersebut seraya menutup telinganya dengan bantal, berharap suara keras sang ibu tak lagi menunggu tidur nyenyaknya. "Ini su
Bab 12"Bayangkan saja, Diaz. Suamimu nanti hanya akan mendatangimu ketika dia sedang bertengkar dengan Nida atau saat Nida sedang datang bulan hingga tak bisa melayani suamimu. Kamu hanya akan dijatah uang sebesar yang Hans berikan tanpa boleh meminta lebih, sementara Nida dan anaknya akan dibelikan barang-barang mewah di sana. Setiap Nida meminta Hans untuk datang, Hans pasti akan langsung datang, tak peduli meski saat itu seharusnya waktunya Hans bersamamu. Apa kamu mau menjadi hidup yang seperti itu, Diaz?" tutur Lily lagi, masih berusaha menanamkan pikiran buruk ke dalam otak Diaz. Diaz yang mendengar semua ucapan ibunya, sontak saja langsung mendelik karena merasa tak terima jika ia harus mengalami hal yang seperti ibunya katakan. "Tidak, Bu, aku tidak akan menjalani hidup yang seperti itu. Cukup Nida saja yang bodoh mau diperlakukan seperti itu olehku dan Mas Hans, tapi aku tidak akan membuat keadaan menjadi terbalik seperti yang Ibu katakan. Aku
Bab 13[Mbak Nida, bisakah kita bertemu hari ini? Aku sedang ada di Jakarta, Mbak.]Nida mengernyitkan dahinya ketika membaca pesan masuk yang ternyata dari adik sepupunya. Padahal setahunya gadis bernama Gisel itu sekarang sedang mengenyam pendidikan di kota Malang, kenapa tiba-tiba dia sudah ada di sini saja? Apa Gisel sudah libur kuliah? [Mau bertemu di mana?] Nida membalas pesan tersebut tanpa ingin berbasa-basi. Dulu, Nida dan Gisel cukup dekat karena selain ibu mereka merupakan saudara sekandung, keduanya pun kerap main bersama, bahkan hingga mereka tumbuh dewasa. Mereka baru mulai jarang bertemu setelah Nida menikah karena Nida terlalu sibuk mengurus kehidupan rumah tangganya. Kemudian, balasan dari Gisel datang tak lama setelah pesan yang Nida kiriman dibaca oleh sepupunya tersebut. [Di kafe yang dulu sering kita datangi saja, Mbak.][Baiklah, jam 2 siang, aku tunggu di kafe itu.] Nida langsung meletakkan ponselnya di atas ranjang setelah ia mengirimkan pesan tersebut. Ia