Share

bab 6: Pertarungan

Author: Adaha Kena
last update Last Updated: 2025-05-29 11:03:33

Setibanya di puncak bukit, para murid langsung disambut oleh lapangan yang membentang luas. Tiga bangunan besar berdiri di setiap sisi dan lautan awan di belakangnya tampak tak berujung.

Selain pemandangan menakjubkan itu, hampir seluruh murid dan sosok penting perguruan Angkinang ada di sana. Setiap tahun pengujian Khodam memang selalu menjadi sorot utama. Pada kegiatan inilah bakat seseorang murid dapat diketahui.

"Ternyata pedang itu yang menekan sukma siapa pun yang mencoba menaiki bukit." Setelah matanya memindai, pandangan Bima Bayukana berakhir pada sebuah pedang yang tertancap di tengah lapangan.

Dia memang sudah dari kecil berada di perguruan Angkinang. Namun, dia tidak pernah sekalipun naik ke puncak bukit. Hal-hal yang ada selain di dasar bukit hanya dia ketahui berdasarkan desas-desus murid lain saja.

Sependengarnya, setiap murid yang baru saja melakukan pengujian Khodam diperkenankan untuk mencoba mencabut pedang pusaka berumur ratusan tahun. Sampai kini pusaka tersebut tidak memiliki tuan baru setelah pimpinan perguruan Angkinang yang pertama.

"Tunggu!" teriak seorang murid ketika melihat Bima Bayukana melangkah mengikuti Wijaya. "Kenapa kau masih bisa berdiri? Apa kau curang?!"

Semua murid kelelahan setelah menaiki anak tangga yang jumlahnya tidak hanya seratus atau dua ratus, tapi ribuan. Sesampainya di atas mereka tidak sanggup lagi bahkan sekedar berdiri. Tanpa mengenal kotor mereka berbaring di depan anak tangga untuk memulihkan diri.

Anehnya rintangan menyiksa tersebut seakan tidak begitu mempengaruhi Bima Bayukana. Sesuatu yang tampaknya mustahil dilakukan kecuali pemuda itu berlaku curang.

"Jika kau cukup pintar untuk mengejek latihanku selama ini. Seharusnya kau tidak cukup bodoh untuk tidak mengetahui kemampuan fisikku," jawab Bima Bayukana memasang wajah acuh tak acuh.

"Tch, mustahil!" balas murid tersebut. "Mana mungkin orang cacat sepertimu dapat memiliki fisik yang bagus. Kau pasti mendapat keistimewaan!"

Bukan hanya kemampuan fisiknya yang diragukan, ketiadaan tenaga dalam di dalam tubuh Bima Bayukana juga membuatnya dianggap mustahil mencapai pucak. Bahkan untuk seorang guru, Wijaya tampak tidak bisa untuk tidak menaruh curiga yang sama.

Di tengah kekacauan itu, tekanan aneh langsung terasa tatkala seorang pria tua keluar dari balkon bangunan besar di depan mereka. Tiga wajah asing yang sama sekali tidak pernah terlihat di perguruan Angkinang turut mengiringi sosok itu dari belakang. serentak semua murid ataupun guru yang ada di puncak bukit memberi penghormatan.

"Apa yang terjadi, Wijaya?" Disuguhi kekacauan di depannya, Bahuwirya tidak bisa untuk tidak bertanya.

Wijaya segera meninggalkan pandangannya dari Bima Bayukana lalu menunduk hormat pada Bahuwirya. Tidak hanya pada pimpinan perguruan tersebut, Wijaya juga memberi penghormatan pada dua suhu yang kemudian keluar dari bangunan sebelah kiri dan kanan. Dua suhu perguruan tersebut bernama Kamandaka dan Basagita Cahyaning.

"Lapor pimpinan dan suhu sekalian," ucap Bahuwirya menangkupkan kedua belah tangan. "Murid yang mencapai puncak bukit tahun ini sekitar 20 murid, tapi anehnya salah satu dari mereka berada di peringkat terakhir."

Tidak akan ada yang tidak mengenal murid yang dimaksud. Semua orang seketika memandang jijik ke arah di mana Bima Bayukana berdiri.

"Lancang! Apa kau berani menuduh pimpinan memberikan hak istimewa pada Bima?" Lyra yang ada di belakang Basagita Cahyaning dengan spontan menyela.

"Lyra! Meskipun kau berbakat, kau tidak berhak nyela guru." Kamandaka melayangkan tatapan tidak senang ke seberang bangunan.

"Jika keadilan diragukan. Pimpinan harus menjelaskan hal ini agar keadilan ditegakkan. Kita tidak bisa mengistimewakan sebagian murid, tapi sebagian lagi tidak," lanjutnya.

"Tap—"

Pandangan tajam Basagita Cahyaning menghentikan Lyra yang ingin terus berdebat dengan Kamandaka. Melihat itu, Bima Bayukana menjadi semakin malas dengan permasalahan yang semakin panjang. Jika bukan karena cek Khodamnya dia tidak akan datang ke puncak bukit.

Dia mendongak ke banguna sebelah kiri lalu berkata, "Sebagai seorang suhu. Apakah kau tidak mengetahui bahwa tekanan yang dirasakan semua murid dalam menaiki bukit adalah tekanan sukma?"

"Tentu saja aku tahu, tapi bukan berarti aku akan percaya bahwa kau memiliki khodam dengan sukma yang besar," jawab Kamandaka pada pemuda tersebut.

Untuk mengatasi tekanan sukma, tentu seseorang setidaknya harus berada di tingkatan ke empat kependekaran, yaitu tingkat Kebangkitan Sukma. Jelas sekarang Bima Bayukana berada di tingkat Beladiri dan tidak mungkin melakukannya.

Adapun cara lain, itu adalah dengan memiliki khodam yang mempunyai sukma kuat, sehingga tuannya terlindungi dari tekanan sukma.

Dengan tekanan sukma, secara tidak langsung murid tanpa dukungan khodam akan gugur sebelum mencapai puncak bukit. Oleh karena itu 20 murid yang berhasil naik kemungkinan memiliki khodam yang cukup kuat. Tapi siapa yang percaya pemuda cacat seperti Bima Bayukana memilikinya?

"Apa Suhu tidak cukup berpengetahuan sehingga tidak tahu tekanan sukma bisa diatasi dengan kemampuan fisik?" tanya Bima Bayukana memberikan tatapan mencemooh. "Jika memang begitu, aku bisa membuktikannya dengan melawan siapapun."

"Kau ...."

"Suhu meragukanku dan aku ingin membuktikannya. Apa yang salah dengan itu?"

Bima Bayukana mempertahankan keteguhannya tanpa rasa takut. Jika itu dia yang dulu, Kamandaka tidak lebih dari debu berterbangan yang amat tidak layak menempel bahkan di kakinya.

"Baik, karena kau ingin itu, maka aku akan mengabulkan permintaanmu." Kamandaka melempar sebutir pil ke murid peringkat satu di angkatan Bima Bayukana. "Lawanlah dia, pil itu akan memulihkan kemampuan fisikmu secara menyeluruh."

Murid peringkat satu di angkatan Bima Bayukana bernama Dimas. Dia jugalah murid yang tadi menuduh Bima Bayukana melakukan kecurangan. Setelah menelan pil dari Kamandaka, kelelahan yang dialaminya menghilang dan dapat kembali berdiri seperti semula!

"Hahaha ... hari ini aku akan memberikan pelajaran padamu," ucap Dimas mengrengangkan badan.

"Tunggu! Apa ini tidak berlebihan?" tanya Lyra Angraeni.

"Lyra, aku tahu bocah itu memiliki ikatan senasib denganmu, tapi kau memiliki batasan untuk terus membelanya," jawab Basagita Cahyaning. "Terlebih ia seorang laki-laki yang tidak perlu perlindungan dari seorang perempuan."

"Tapi ...."

Lyra mengigit bibir karena khawatir. Bima Bayukana berada di tingkat Beladiri sedangkan Dimas sudah di tingkat Kanuragan Pernapasan. Tentu tidak akan imbang jika melakukan pertarungan. Apalagi teman masa kecilnya itu bertubuh cacat.

Tanpa bisa diintervensi lagi, Bima Bayukana dan Dimas kini saling berhadapan di tengah lapangan. Karena kerja jantung dipicu, Dimas merasakan tubuhnya memanas dan ringan untuk digerakkan. Dengan percaya diri dia memulai serangan.

"Tch, lambat!" imbuh Bima Bayukana menghindar.

Berbeda dengan tingkatan di atasnya yang dapat merepresentasikan tenaga dalam untuk perlindungan tubuh, tingkat Kanuragan Pernapasan hanya sebatas mengandalkan ledakan energi yang dipicu kerja jantung. Selama dia dapat menyimpan energi di setiap gerakan, Bima Bayukana merasa tidak akan kalah.

Selama berlangsungnya pertarungan Bima Bayukana terlihat seperti tidak bergerak banyak. Namun, pukulan ataupun tendangan dari Dimas selalu dia hindari. Perbedaan ini mungkin tidak dapat dilihat oleh murid lain, tapi tidak dengan seorang guru seperti Wijaya.

"Segala gerakan yang aku ajarkan kepada Dimas tidak berguna kepadanya. Dan yang lebih penting, dia menghindari setiap serangan dengan jarak yang begitu tipis. Gerakan yang begitu berani dan juga meremehkan."

Dimas menyerang tanpa henti karena berpikir sedikit lagi serangannya akan berhasil. Dia tidak menyadari alur pertarungan telah direncanakan Bima Bayukana secara demikian. Hingga dalam beberapa waktu, gerakan Dimas menjadi lemah dan tidak terkendali dengan benar.

"Sungguh tidak sabaran," gumam Bima Bayukana lalu melayangkan pukulan pertamanya.

Bug!

Dengan tidak terduga Dimas terpental beberapa kaki. Sudut mulutnya berdarah akibat pukulan Bima Bayukana yang mengenai pipinya. Pukulan itu terlihat ringan, tapi menyimpan benturan kuat dan dalam.

"Sialan! Aku akan mengha—"

"Jangan sombong dengan perkataanmu. Jika ini pertarungan nyata kau pasti sudah kehilangan kepalamu tadi," potong Bima Bayukana sebelum Dimas mampu menyelesaikan perkataannya.

Merasa digurui oleh orang cacat, urat-urat di dahi Dimas bermunculan karena marah. Dia merupakan murid peringkat satu angkatan mereka. Mana mungkin dia perlu pengajaran dari murid yang berada di peringkat terakhir.

"Tahu apa kau tentang pertarungan nyata dasar cacat?!" Dimas Bangkit dan dengan pasti memperagakan kuda-kuda yang diajarkan Wijaya padanya selama di perguruan Angkinang. "Mari lihat seberapa lama senyummu bertahan setelah aku menghajarmu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    Bab 40: Pembentukan Alam Sukma

    Energi sekitar masuk ke tubuh seperti luapan sungai. Dari yang tadinya di tingkat Kebangkitan Sukma, usai mengolahnya menjadi tenaga dalam, Bima Bayukana kini naik tingkat ke tingkat Intervensi Sukma. Bagi para pendekar naik tingkat kependekaran adalah hal menggembirakan. Tingkat Intervensi Sukma memungkinkan seorang pendekar mampu menggunakan pusaka. Lebih dari itu, di tingkat ini, tenaga dalam sudah mulai dapat dialirkan ke benda.Meski demikian, mengingat bahaya yang dihadapi pemuda tersebut, tidak lantas semua pendekar ingin menggantikan posisinya. "Tubuhku mulai rusak, jika aku tidak mengimbangi pengolahan energi menjadi tenaga dalam, energi yang masuk ke tubuhku akan tertumpuk dan meledak," pikir pemuda itu.Pengekang yang difokuskannya untuk membatasi ledakan sukma telah hancur. Imbasnya, beberapa organ miliknya mengalami luka. Kerusakan tersebut akan bertambah seiring dengan menumpuknya energi mentah yang belum diolah."Baiklah, aku akan merepresentasikan alam sukma sebelum

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 39: Menahan Penyerapan Energi

    "Tidak ... memakai Akar Jantung Bumi sebagai obat sama saja bunuh diri," tolak Arkadewi. "Kau tampak baik-baik saja. Aku berjanji akan mencarikan obat yang jauh lebih baik setelah kita ke luar dari pegunungan Mangkurat." Dalam segala percobaan, Akar Jantung Bumi selalu menghasilkan kesembuhan bagi pengonsumsinya. Akan tetapi, kesembuhan tersebut akan sia-sia saat ledakan sukma terjadi, memicu tubuh menyerap tanpa ampun energi mentah. Demi menghindari kematian, berbagai cara telah dilakukan untuk menghindari efek samping ini. Mulai dari pergi ke tempat yang minim energi, sampai mengembangkan cara cepat mengolah energi alam menjadi tenaga dalam. Namun, setiap pendekar yang melakukannya tetap terbunuh karena terlalu banyaknya energi yang belum stabil terolah. Melakukan penyerapan tanpa ampun atas energi alam menjadi tenaga adalah adalah dinding kemustahilan. Arkadewi tentu tidak ingin Bima Bayukana menanggung risiko yang orang-orang terdahulu tidak berhasil melewatinya. Seperti mere

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 38: Kepedulian Arkadewi

    "Di kota Bayan, aku ragu masih ada seorang ahli obat," imbuh salah satu pendekar kemudian mengedar pandang. "Kalau tidak terbunuh, seharusnya semua ahli obat pasti ada di sini sekarang." Seorang pendekar tingkat Kebangkitan Khodam menangguk setuju. "Benar, aku memiliki kemampuan cukup mempuni sebagai ahli obat. Yang bisa kita lakukan sekarang memang hanya membuat lukanya tidak bertambah buruk dengan pil obat, aku mempunyainya beberapa." "Aku juga punya." "Beberapa obat—aku juga memilikinya!" Para ahli obat mengeluarkan sebagian dari apa yang ada di kantong mereka. Umumnya perdekar pasti memiliki persediaan obat, oleh karenanya, pendekar yang tidak memiliki kemampuan mengolah obat juga memberikan sebagian persediaan yang mereka punya. Arkadewi mengambil semua obat sambil mengusap air mata. Meskipun mustahil mengobati Bima Bayukana, dia berharap obat yang dimasukkan ke dalam mulut pemuda tersebut mampu membuatnya sembuh. "Kenapa masih diam saja?!" teriak Abinaya kewalahan me

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 37: Seni Tubuh Keseribu

    "Aku akan membunuh mereka sekaligus!" teriak Bima Bayukana mengambil semua perhatian sambil berlari menuju tempat yang lebih tinggi. "Tolong arahkan mereka supaya berkumpul di jarak serangku." Tidak ada pendekar yang tidak mengerti bahwa apa yang dilakukan oleh mereka saat ini hanyalah menyibukkan tiga Ular Langit Malam. Bertahan hingga Bratadikara atau sosok pendekar hebat lainnya selesai juga sebuah kemustahilan. Jelas mereka sedang terjebak pada situasi tanpa harapan. Meski para pendekar meremehkan Bima Bayukana yang berteriak sambil berlari ke arah kaki gunung, entah kenapa perintahnya begitu meyakinkan. Tanpa harapan yang jelas, meski sangat berisiko, mereka tetap menurut karena memang tidak mempunyai pilihan lain. Bima Bayukana memejamkan matanya sesaat sampai di tempat yang lebih tinggi. Memiliki pengetahuan sebagai Jendral Dewa Tertinggi tidak serta merta membuatnya dapat mempraktikkan kemampuannya di kehidupan yang lalu. Dia tidak boleh kehilangan fokus. Sembari menung

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 36: Ular Langit Malam

    "Yang pertama Lebah, tadi Beruang Madu Api serta Macan Dahan, dan sekarang Ular Langit Malam," decak Bima Bayukana ketika sembilan ular berukuran besar akhirnya muncul dari balik pepohonan. "Tidak mungkin semua ini sebuah kebetulan. Sesuatu Pasti telah mengarahkan mereka." Hampir semua kaki pendekar di bawah tingkat Intervensi Khodam dibuat bergetar oleh tekanan sukma. Perasaan yang sama seperti saat berhadapan dengan Pendekar Intervensi khodam mereka rasakan dari ular-ular bercorak biru tua itu. Malahan mereka terasa lebih kuat dari seorang pendekar tingkat Intervensi Khodam. Meski tak terpengaruh tekanan sukma, Bima Bayukana sadar dirinya tidak akan mampu berbuat banyak. Tapi melihat jumlah binatang buas yang datang hanya sembilan ekor, kesempatan bertahan hidup masih ada. Bagaimana pun beberapa pendekar hebat Kerajaan Kastara ada di sana. Bratadikara menjadi pendekar pertama yang menerjang ke depan, tempat ia berdiri seketika meledak. Sosoknya melesat seperti peluru meriam lal

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    Bab 35: Binatang Berbahaya

    Beruang Madu Api dan Macan Dahan termasuk ke dalam binatang langka berbahaya. Secara alami Beruang Madu Api dewasa memiliki ketahanan tubuh tingkat Kanuragan Zirah. Di lain hal—Macan Dahan—satu tingkat di bawahnya. Dua binatang ini bukanlah binatang yang bergerak secara berkelompok, terutama Beruang Madu Api. Gerakan yang terorganisir membuat Bima Bayukana berspekulasi ada yang mengendalikan mereka. Sekurang-kurangnya sesuatu telah mengembala dua binatang ini hingga sampai di celah dua gunung. Ratusan Beruang Madu Api tiba lebih dulu di antara pepohonan. Sebelum menyerang, beruang yang tingginya dua kali lebih besar dari orang dewasa itu mengaum ganas, kemudian langsung berlari ke arah para pendekar. "Mereka datang," imbau Bima Bayukana dan segera bergerak ketika salah satu beruang besar itu tiba di hadapannya. Arkadewi bergerak membantu. Meski terlihat ringan, gerakan gadis itu memberikan dampak kuat saat pedangnya menyentuh tubuh Beruang Madu Api. Yang patut disayangkan tidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status