Setibanya di puncak bukit, para murid langsung disambut oleh lapangan yang membentang luas. Tiga bangunan besar berdiri di setiap sisi dan lautan awan di belakangnya tampak tak berujung.
Selain pemandangan menakjubkan itu, hampir seluruh murid dan sosok penting perguruan Angkinang ada di sana. Setiap tahun pengujian Khodam memang selalu menjadi sorot utama. Pada kegiatan inilah bakat seseorang murid dapat diketahui. "Ternyata pedang itu yang menekan sukma siapa pun yang mencoba menaiki bukit." Setelah matanya memindai, pandangan Bima Bayukana berakhir pada sebuah pedang yang tertancap di tengah lapangan. Dia memang sudah dari kecil berada di perguruan Angkinang. Namun, dia tidak pernah sekalipun naik ke puncak bukit. Hal-hal yang ada selain di dasar bukit hanya dia ketahui berdasarkan desas-desus murid lain saja. Sependengarnya, setiap murid yang baru saja melakukan pengujian Khodam diperkenankan untuk mencoba mencabut pedang pusaka berumur ratusan tahun. Sampai kini pusaka tersebut tidak memiliki tuan baru setelah pimpinan perguruan Angkinang yang pertama. "Tunggu!" teriak seorang murid ketika melihat Bima Bayukana melangkah mengikuti Wijaya. "Kenapa kau masih bisa berdiri? Apa kau curang?!" Semua murid kelelahan setelah menaiki anak tangga yang jumlahnya tidak hanya seratus atau dua ratus, tapi ribuan. Sesampainya di atas mereka tidak sanggup lagi bahkan sekedar berdiri. Tanpa mengenal kotor mereka berbaring di depan anak tangga untuk memulihkan diri. Anehnya rintangan menyiksa tersebut seakan tidak begitu mempengaruhi Bima Bayukana. Sesuatu yang tampaknya mustahil dilakukan kecuali pemuda itu berlaku curang. "Jika kau cukup pintar untuk mengejek latihanku selama ini. Seharusnya kau tidak cukup bodoh untuk tidak mengetahui kemampuan fisikku," jawab Bima Bayukana memasang wajah acuh tak acuh. "Tch, mustahil!" balas murid tersebut. "Mana mungkin orang cacat sepertimu dapat memiliki fisik yang bagus. Kau pasti mendapat keistimewaan!" Bukan hanya kemampuan fisiknya yang diragukan, ketiadaan tenaga dalam di dalam tubuh Bima Bayukana juga membuatnya dianggap mustahil mencapai pucak. Bahkan untuk seorang guru, Wijaya tampak tidak bisa untuk tidak menaruh curiga yang sama. Di tengah kekacauan itu, tekanan aneh langsung terasa tatkala seorang pria tua keluar dari balkon bangunan besar di depan mereka. Tiga wajah asing yang sama sekali tidak pernah terlihat di perguruan Angkinang turut mengiringi sosok itu dari belakang. serentak semua murid ataupun guru yang ada di puncak bukit memberi penghormatan. "Apa yang terjadi, Wijaya?" Disuguhi kekacauan di depannya, Bahuwirya tidak bisa untuk tidak bertanya. Wijaya segera meninggalkan pandangannya dari Bima Bayukana lalu menunduk hormat pada Bahuwirya. Tidak hanya pada pimpinan perguruan tersebut, Wijaya juga memberi penghormatan pada dua suhu yang kemudian keluar dari bangunan sebelah kiri dan kanan. Dua suhu perguruan tersebut bernama Kamandaka dan Basagita Cahyaning. "Lapor pimpinan dan suhu sekalian," ucap Bahuwirya menangkupkan kedua belah tangan. "Murid yang mencapai puncak bukit tahun ini sekitar 20 murid, tapi anehnya salah satu dari mereka berada di peringkat terakhir." Tidak akan ada yang tidak mengenal murid yang dimaksud. Semua orang seketika memandang jijik ke arah di mana Bima Bayukana berdiri. "Lancang! Apa kau berani menuduh pimpinan memberikan hak istimewa pada Bima?" Lyra yang ada di belakang Basagita Cahyaning dengan spontan menyela. "Lyra! Meskipun kau berbakat, kau tidak berhak nyela guru." Kamandaka melayangkan tatapan tidak senang ke seberang bangunan. "Jika keadilan diragukan. Pimpinan harus menjelaskan hal ini agar keadilan ditegakkan. Kita tidak bisa mengistimewakan sebagian murid, tapi sebagian lagi tidak," lanjutnya. "Tap—" Pandangan tajam Basagita Cahyaning menghentikan Lyra yang ingin terus berdebat dengan Kamandaka. Melihat itu, Bima Bayukana menjadi semakin malas dengan permasalahan yang semakin panjang. Jika bukan karena cek Khodamnya dia tidak akan datang ke puncak bukit. Dia mendongak ke banguna sebelah kiri lalu berkata, "Sebagai seorang suhu. Apakah kau tidak mengetahui bahwa tekanan yang dirasakan semua murid dalam menaiki bukit adalah tekanan sukma?" "Tentu saja aku tahu, tapi bukan berarti aku akan percaya bahwa kau memiliki khodam dengan sukma yang besar," jawab Kamandaka pada pemuda tersebut. Untuk mengatasi tekanan sukma, tentu seseorang setidaknya harus berada di tingkatan ke empat kependekaran, yaitu tingkat Kebangkitan Sukma. Jelas sekarang Bima Bayukana berada di tingkat Beladiri dan tidak mungkin melakukannya. Adapun cara lain, itu adalah dengan memiliki khodam yang mempunyai sukma kuat, sehingga tuannya terlindungi dari tekanan sukma. Dengan tekanan sukma, secara tidak langsung murid tanpa dukungan khodam akan gugur sebelum mencapai puncak bukit. Oleh karena itu 20 murid yang berhasil naik kemungkinan memiliki khodam yang cukup kuat. Tapi siapa yang percaya pemuda cacat seperti Bima Bayukana memilikinya? "Apa Suhu tidak cukup berpengetahuan sehingga tidak tahu tekanan sukma bisa diatasi dengan kemampuan fisik?" tanya Bima Bayukana memberikan tatapan mencemooh. "Jika memang begitu, aku bisa membuktikannya dengan melawan siapapun." "Kau ...." "Suhu meragukanku dan aku ingin membuktikannya. Apa yang salah dengan itu?" Bima Bayukana mempertahankan keteguhannya tanpa rasa takut. Jika itu dia yang dulu, Kamandaka tidak lebih dari debu berterbangan yang amat tidak layak menempel bahkan di kakinya. "Baik, karena kau ingin itu, maka aku akan mengabulkan permintaanmu." Kamandaka melempar sebutir pil ke murid peringkat satu di angkatan Bima Bayukana. "Lawanlah dia, pil itu akan memulihkan kemampuan fisikmu secara menyeluruh." Murid peringkat satu di angkatan Bima Bayukana bernama Dimas. Dia jugalah murid yang tadi menuduh Bima Bayukana melakukan kecurangan. Setelah menelan pil dari Kamandaka, kelelahan yang dialaminya menghilang dan dapat kembali berdiri seperti semula! "Hahaha ... hari ini aku akan memberikan pelajaran padamu," ucap Dimas mengrengangkan badan. "Tunggu! Apa ini tidak berlebihan?" tanya Lyra Angraeni. "Lyra, aku tahu bocah itu memiliki ikatan senasib denganmu, tapi kau memiliki batasan untuk terus membelanya," jawab Basagita Cahyaning. "Terlebih ia seorang laki-laki yang tidak perlu perlindungan dari seorang perempuan." "Tapi ...." Lyra mengigit bibir karena khawatir. Bima Bayukana berada di tingkat Beladiri sedangkan Dimas sudah di tingkat Kanuragan Pernapasan. Tentu tidak akan imbang jika melakukan pertarungan. Apalagi teman masa kecilnya itu bertubuh cacat. Tanpa bisa diintervensi lagi, Bima Bayukana dan Dimas kini saling berhadapan di tengah lapangan. Karena kerja jantung dipicu, Dimas merasakan tubuhnya memanas dan ringan untuk digerakkan. Dengan percaya diri dia memulai serangan. "Tch, lambat!" imbuh Bima Bayukana menghindar. Berbeda dengan tingkatan di atasnya yang dapat merepresentasikan tenaga dalam untuk perlindungan tubuh, tingkat Kanuragan Pernapasan hanya sebatas mengandalkan ledakan energi yang dipicu kerja jantung. Selama dia dapat menyimpan energi di setiap gerakan, Bima Bayukana merasa tidak akan kalah. Selama berlangsungnya pertarungan Bima Bayukana terlihat seperti tidak bergerak banyak. Namun, pukulan ataupun tendangan dari Dimas selalu dia hindari. Perbedaan ini mungkin tidak dapat dilihat oleh murid lain, tapi tidak dengan seorang guru seperti Wijaya. "Segala gerakan yang aku ajarkan kepada Dimas tidak berguna kepadanya. Dan yang lebih penting, dia menghindari setiap serangan dengan jarak yang begitu tipis. Gerakan yang begitu berani dan juga meremehkan." Dimas menyerang tanpa henti karena berpikir sedikit lagi serangannya akan berhasil. Dia tidak menyadari alur pertarungan telah direncanakan Bima Bayukana secara demikian. Hingga dalam beberapa waktu, gerakan Dimas menjadi lemah dan tidak terkendali dengan benar. "Sungguh tidak sabaran," gumam Bima Bayukana lalu melayangkan pukulan pertamanya. Bug! Dengan tidak terduga Dimas terpental beberapa kaki. Sudut mulutnya berdarah akibat pukulan Bima Bayukana yang mengenai pipinya. Pukulan itu terlihat ringan, tapi menyimpan benturan kuat dan dalam. "Sialan! Aku akan mengha—" "Jangan sombong dengan perkataanmu. Jika ini pertarungan nyata kau pasti sudah kehilangan kepalamu tadi," potong Bima Bayukana sebelum Dimas mampu menyelesaikan perkataannya. Merasa digurui oleh orang cacat, urat-urat di dahi Dimas bermunculan karena marah. Dia merupakan murid peringkat satu angkatan mereka. Mana mungkin dia perlu pengajaran dari murid yang berada di peringkat terakhir. "Tahu apa kau tentang pertarungan nyata dasar cacat?!" Dimas Bangkit dan dengan pasti memperagakan kuda-kuda yang diajarkan Wijaya padanya selama di perguruan Angkinang. "Mari lihat seberapa lama senyummu bertahan setelah aku menghajarmu?"Bima Bayukana menghindar ketika Dimas kembali menerjang membawa tangan terkepal kuat. Pukulan yang luput darinya menghantam lapangan hingga menimbulkan bunyi gedebuk keras—memberi sinyal kepada semua orang bahwa gerakan yang dilatih Dimas berada di level yang cukup tinggi. Sayangnya, Bima Bayukana telah melihat murid-murid melatih gerakan itu hampir setiap hari. Ditambah pengalamannya sebagai jendral Dewa Tertinggi, tentu tidak sulit untuknya menanggulangi kepalan tangan yang terus dilayangkan terhadapnya tersebut. "Kordinaasiku cukup buruk karena hanya memiliki satu tangan. Namun, untuk mengatasi bocah ini sepertinya tidak akan sesusah yang aku bayangkan," pikir Bima Bayukana menilai situasi. "Mungkin aku terbiasa mempersepsikan anak-anak berbakat di alam Dewa sampai-sampai lupa kalau di sini adalah alam fana, alam buangan." Di alam ini gerakan Dimas dianggap terstruktur dan tanpa celah. Hanya saja, di mata Bima Bayukana itu merupakan gerakan yang amat biasa. Pemuda tersebut da
Setibanya di puncak bukit, para murid langsung disambut oleh lapangan yang membentang luas. Tiga bangunan besar berdiri di setiap sisi dan lautan awan di belakangnya tampak tak berujung. Selain pemandangan menakjubkan itu, hampir seluruh murid dan sosok penting perguruan Angkinang ada di sana. Setiap tahun pengujian Khodam memang selalu menjadi sorot utama. Pada kegiatan inilah bakat seseorang murid dapat diketahui. "Ternyata pedang itu yang menekan sukma siapa pun yang mencoba menaiki bukit." Setelah matanya memindai, pandangan Bima Bayukana berakhir pada sebuah pedang yang tertancap di tengah lapangan. Dia memang sudah dari kecil berada di perguruan Angkinang. Namun, dia tidak pernah sekalipun naik ke puncak bukit. Hal-hal yang ada selain di dasar bukit hanya dia ketahui berdasarkan desas-desus murid lain saja. Sependengarnya, setiap murid yang baru saja melakukan pengujian Khodam diperkenankan untuk mencoba mencabut pedang pusaka berumur ratusan tahun. Sampai kini pusaka te
Lautan Dunia memuat lebih dari jutaan alam. Berdasarkan seberapa kuat dan banyak ahli yang tinggal di dalamnya, setiap alam diklasifikasikan lagi menjadi beberapa tingkatan. Sebagai Jendral Dewa Tertinggi tentu dulu Bima Bayukana tinggal di Alam Dewa, salah satu alam teratas dari setiap tingkatan alam. Sungguh berbanding terbalik dengan dirinya yang sekarang ternyata terlahir di alam fana. Alam fana merupakan alam terabaikan yang tidak termasuk ke dalam tingkatan alam, bahkan untuk yang terendah. Alam fana jumlahnya lebih dari puluhan ribu dan dianggap sebagai alam sampah di Lautan Dunia. Meski begitu, Bima Bayukana tidak dapat mengarungi alam-alam lain dengan keterbatasannya yang sekarang. Setelah 17 tahun sejak kelahirannya di alam ini pun dia belum benar-benar bisa meningkatkan kemampuannya. Sebab, meskipun telah berlatih sejak kecil, tubuhnya belum memungkinkan menampung tenaga dalam. Masih banyak yang perlu dibenahi dan dia sama sekali tidak boleh membuang waktu. Sepe
Meski telah meraung seperti orang gila, Arundari tetap tidak dapat menghalangi dua penjahat itu membawa Bima Bayukana ikut bersama mereka. Sepanjang jalan menuju ke tengah desa, tampak jasad perempuan tua dan laki-laki dibiarkan bergelimpangan begitu saja. Saat sampai, sudah banyak gadis muda berwajah pucat yang dikumpulkan. "Mana wanita cantik tadi? Kenapa kalian malah membawa wanita penuh darah dan seorang bayi ini?" Pimpinan pendekar aliran hitam tampak sangat geram akan kedatangan mereka. "Aku sudah bilang kita hanya butuh wanita muda ... laki-laki, perempuan tua, dan anak-anak langsung saja dihabisi!" "I—ini wanita cantik tadi," lapor salah satu dari mereka gemeteran setengah mati. "Se—sedangkan bayi ini adalah anaknya." "Be—benar, dia melukai wajah dan tubuhnya sendiri," tambah yang satunya tidak kalah ketakutan. Pimpinan pendekar aliran hitam melirik Arundari yang hampir tak dapat dikenali. Seluruh wajah dan tubuh wanita tersebut dipenuhi darah, berbeda sekali denga
Satu tahun berlalu, Bima Bayukana kini mulai terbiasa dengan tubuh lemah seorang bayi. Di kehidupannya yang sekarang dia tetap diberi nama yang sama seperti di kehidupannya yang lalu. Dan dengan segala keterbatasannya tersebut dia berusaha memahami dunia yang baru. Selain tinggal di gubuk reyot, ternyata keluarganya hidup di sebuah desa kecil. Arundari, begitulah seisi desa memanggil ibunya. Sedangkan ayahnya dikenal sebagai pria bernama Suta Narendra. Pagi ini, seperginya Narendra ke dalam hutan, Bima Bayukana diajak Arundari berkeliling desa seperti pagi biasanya. Sesekali ibunya itu bertegur sapa dengan warga desa dan singgah berbincang. Sepanjang Bima Bayukana menyimak, sama sekali tidak ada yang menyinggung tentang pertarungan. Warga desa hanya tahu bertani serta berburu untuk mencukupi makan mereka sehari-hari. Dapat dikatakan mereka tinggal di desa yang aman dan juga damai. "Tunggu ya Bima, kau pasti lapar, di hutan ayahmu sedang mencarikan makan untuk kita," ucap Arun
"Tidak! Anakku masih hidup. Dia tidak mungkin mati!" raung seorang perempuan dengan histeris. Entah sudah berapa lama Bima Bayukana terjebak di keheningan tak berujung, karena raungan tidak terima takdir tersebut dia merasa seperti tersentak dari tidur panjang. Telinganya sampai terasa ditusuk jarum karena tidak pernah menerima suara untuk waktu yang lama. "Kamu pasti salah Nenek Gayatri. Tolong periksa lagi. Aku yakin anak kami pasti masih hidup!" seorang laki-laki terdengar menambahkan, nada penolakan tidak kalah besar dari suara perempuan itu. Selain pendengaran, indra Bima Bayukana yang lain sama sekali tidak berfungsi. Matanya terkunci rapat dan berat untuk dibuka. Dengan keadaan ini tentu dia tidak dapat memastikan siapa yang ada di sekelilingnya. 'Bukankah aku sudah benar-benar mati? Lalu siapa orang-orang ini? Apa ada seseorang yang berhasil menyelamatkanku?' pikir Bima Bayukana kebingungan. Dia sungguh ingin segera mengetahui kebenaran, tapi percobaan untuk membuka