Lautan Dunia memuat lebih dari jutaan alam. Berdasarkan seberapa kuat dan banyak ahli yang tinggal di dalamnya, setiap alam diklasifikasikan lagi menjadi beberapa tingkatan.
Sebagai Jendral Dewa Tertinggi tentu dulu Bima Bayukana tinggal di Alam Dewa, salah satu alam teratas dari setiap tingkatan alam. Sungguh berbanding terbalik dengan dirinya yang sekarang ternyata terlahir di alam fana. Alam fana merupakan alam terabaikan yang tidak termasuk ke dalam tingkatan alam, bahkan untuk yang terendah. Alam fana jumlahnya lebih dari puluhan ribu dan dianggap sebagai alam sampah di Lautan Dunia. Meski begitu, Bima Bayukana tidak dapat mengarungi alam-alam lain dengan keterbatasannya yang sekarang. Setelah 17 tahun sejak kelahirannya di alam ini pun dia belum benar-benar bisa meningkatkan kemampuannya. Sebab, meskipun telah berlatih sejak kecil, tubuhnya belum memungkinkan menampung tenaga dalam. Masih banyak yang perlu dibenahi dan dia sama sekali tidak boleh membuang waktu. Seperginya Lyra dari gubuk, dia lekas memulai hari dengan latihan tubuh di sisi lapangan. Dia memiliki waktu sekitar setengah jam lagi sebelum sesi latihan perguruan benar-benar dimulai. Keseriusan terpancar jelas di wajah pemuda itu. Tanpa istirahat, gerakan berulang-ulang terus ia peragakan. Hal ini membuat murid lain yang juga mulai berkumpul di lapangan tidak tahan untuk tidak mencibirnya. "Dasar aib perguruan. Gerakan aneh apa yang kamu lakukan? Guru tidak pernah mengajari kita gerakan seperti itu!" "Hei! Sampah! Aku tidak pernah melihat ada orang bermuka setebal dirimu." "Apa yang kamu harapkan dengan satu tangan dan tanpa tenaga dalam, Bima? Gerakan yang benar dari guru saja tidak cukup untukmu, apalagi gerakan asal-asalan yang kamu lakukan." "Sungguh noda hitam di sutra putih. Bagaimana mungkin ada orang cacat di perguruan termasyhur ini?" Bukan rahasia umum jika Bima Bayukana sangat giat berlatih, tapi bukan rahasia pula kalau dia hanya memiliki satu lengan. Semua murid perguruan Angkinang menganggap usaha Bima Bayukana hanya pemaksaan terhadap kebuntuan. Apalagi pemuda tersebut diketahui tidak mampu menguasai ilmu tenaga dalam. Mengejeknya sudah seperti tradisi semenjak dirinya ada di perguruan Angkinang. Untunglah perhatian semua murid segera teralihkan sedatangnya seorang guru. Dalam hitungan menit mereka semua membentuk barisan rapi. Tak terkecuali untuk Bima Bayukana yang langsung menghentikan latihannya dan masuk ke barisan paling belakang. Dengan pakaian serba putih dan jenggot senada yang khas, guru itu kemudian berhenti di depan mereka. Tampaklah kini sosok yang menekuni jalan kependekaran begitu lama. Salah satu sosok penting di perguruan Angkinang. "Oh, apa kau sudah tidak lagi sibuk dengan dirimu sendiri?" Wijaya tersadar saat melihat Bima Bayukana berada di antara murid-muridnya. "Kau bahkan mengejek pelatihan yang kuajarkan selama ini." Dengan wajah malas Bima Bayukana membalas, "Sebenarnya aku juga tidak ingin mengikuti latihanmu, Bocah Tua. Jadi bisakah kita langsung saja ke pengujian Khodam?" Mulut Wijaya berkedut akan jawaban ketus Bima Bayukana. Dia kira pemudah tersebut sedikit tersadar akan kehebatannya dalam melatih. Lagipula siapa yang dia panggil dengan sebutan bocah? Sebelum pemuda itu bisa melangkahkan kaki dengan benar Wijaya sudah menjadi guru. "Seandainya aku tidak menghormati pimpinan perguruan yang begitu memedulikanmu, Bima. Aku ataupun guru lai pasti sudah lama akan menendangmu dari perguruan ini," ungkapnya menahan amarah. Bima Bayukana mengorek telinganya malas dan kemudian menjawab, "Perlu sepuluh ribu tahun agar kau layak menendangku. Jadi, bisakah kita tidak membuang waktu lagi, Bocah Tua?" "Kau bahkan tidak pernah ikut dalam pelatihan. Kenapa hari ini begitu terburu-buru?" "Apa telingamu kemasukan air? Aku baru mengatakannya tadi, aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang kau ajarkan." Gerakan yang selama ini Bima Bayukana paragakan memang bukan ajaran dari perguruan Angkinang. Lebih tepatnya dia tidak peduli sama sekali dengan gerakan yang diajarkan perguruannya, walaupun jelas perguruan Angkinang adalah salah satu perguruan teratas pendekar aliran putih. Bagi Bima Bayukana tingkatan mereka terlalu rendah dan membuang waktu. Tidak ada alasan baginya untuk mempelajarinya. Dia ikut berbaris hanya untuk mengikuti pengujian Khodam yang akan diadakan setelah sesi latihan pagi. Wijaya selalu pusing dibuatnya. Dari pada terus bertukar kata dengan Bima Bayukana, dia lantas memandang murid lain yang sejak tadi disipilin berbaris tanpa kata dan gerak. Sungguh terbalik dengan perilaku Bima Bayukana yang susah diatur. Wijaya mulai mondar-mandir di depan barisan yang kurang lebih berjumlah 40 murid. Dia menyimpan satu tangannya ke belakang dan tangannya yang lain menarik-narik jenggot. "Hari ini aku tidak akan mengajarkan pada kalian jurus berpedang atau pun pertarungan tangan kosong. Kalian hanya perlu menaiki tangga ke atas bukit. Di sana, kalian akan Langsung bisa mengikuti pengujian khodam." Kegembiraan melanda setiap murid. Tidak hanya Bima Bayukana, ternyata mereka juga tidak sabar untuk mengetahui Khodam apa yang bersemayam di dalam diri mereka. Ini adalah titik balik yang akan menentukan nasib seorang pendekar. "Tunggu apa lagi? Kalian langsung saja menaikinya," ucap Wijaya. Semua murid tanpa pikir panjang berlarian menaiki bukit setelah dipersilahkan. Setiap anak tangga akan membawa mereka ke bukit yang lebih tinggi. Pada ketinggian tertentu terdapat halaman untuk berlatih. Ini adalah level yang telah ditentukan perguruan Angkinang, murid dengan kemampuan tinggi akan ditempatkan di tempat yang lebih tinggi pula. Begitu pun dengan guru yang membimbing mereka. Pada dasarnya, ada sepuluh tingkat kependekaran di alam ini, tingkatan itu adalah: 1. Tingkat beladiri 2. Tingkat Kanuragan Pernapasan 3. Tingkat Kanuragan Zirah 4. Tingkat Kanuragan Sejati 5. Tingkat Kebangkitan Sukma 6. Tingkat Intervensi Sukma 7. Tingkat Sukma Sejati 8. Tingkat Kebangkitan Khodam 9. Tingkat Intervensi Khodam 10. Tingkat Khodam Sejati Saat ini Bima Bayukana berada di tingkat terendah, yaitu tingkat Beladiri. Pada tingkatan ini seorang pendekar memiliki kemampuan yang mempuni dalam keterampilan gerak tubuh hingga dapat mempelajari berbagai aliran gerak beladiri. Ini merupakan tingkatan dasar dan siapapun dapat belajar selama memiliki fisik, bahkan tanpa tenaga dalam. Di sisi lain, teman teman seangkatan Bima Bayukana yang lain telah memasuki tingkat Kanuragan Pernapasan. Ini adalah tingkatan di mana tenaga dalam terlibat langsung dalam pengendalian kerja jantung, sehingga kerja tubuh menjadi meningkat segala aspek. Petarung di tingkat ini seakan meledak-ledak. Dengan pencapaian latihan masing-masing ini, setiap murid berjuang menuju ke puncak bukit. Langkah mereka yang tadinya cepat melambat seiring bertambahnya ketinggian. Ada dua alasan di baliknya, ketinggalan mempengaruhi tekanan fisik dan juga tekanan sukma. Semua murid seakan dipaksa kelelahan. Satu demi satu dari mereka mulai menemukan batasan sebelum benar-benar sampai di atas. Sebagian dari murid bahkan ada yang berakhir tidak sadarkan diri. Melihat hal tersebut Wijaya menjadi murung dan bermuka masam. "Dengan berkembang pesatnya pendekar Aliran Hitam akhir-akhir ini, sungguh aku mengharapkan lebih banyak murid yang berhasil," gumamnya menatap puncak bukit yang sebentar lagi akan mereka capai.Energi sekitar masuk ke tubuh seperti luapan sungai. Dari yang tadinya di tingkat Kebangkitan Sukma, usai mengolahnya menjadi tenaga dalam, Bima Bayukana kini naik tingkat ke tingkat Intervensi Sukma. Bagi para pendekar naik tingkat kependekaran adalah hal menggembirakan. Tingkat Intervensi Sukma memungkinkan seorang pendekar mampu menggunakan pusaka. Lebih dari itu, di tingkat ini, tenaga dalam sudah mulai dapat dialirkan ke benda.Meski demikian, mengingat bahaya yang dihadapi pemuda tersebut, tidak lantas semua pendekar ingin menggantikan posisinya. "Tubuhku mulai rusak, jika aku tidak mengimbangi pengolahan energi menjadi tenaga dalam, energi yang masuk ke tubuhku akan tertumpuk dan meledak," pikir pemuda itu.Pengekang yang difokuskannya untuk membatasi ledakan sukma telah hancur. Imbasnya, beberapa organ miliknya mengalami luka. Kerusakan tersebut akan bertambah seiring dengan menumpuknya energi mentah yang belum diolah."Baiklah, aku akan merepresentasikan alam sukma sebelum
"Tidak ... memakai Akar Jantung Bumi sebagai obat sama saja bunuh diri," tolak Arkadewi. "Kau tampak baik-baik saja. Aku berjanji akan mencarikan obat yang jauh lebih baik setelah kita ke luar dari pegunungan Mangkurat." Dalam segala percobaan, Akar Jantung Bumi selalu menghasilkan kesembuhan bagi pengonsumsinya. Akan tetapi, kesembuhan tersebut akan sia-sia saat ledakan sukma terjadi, memicu tubuh menyerap tanpa ampun energi mentah. Demi menghindari kematian, berbagai cara telah dilakukan untuk menghindari efek samping ini. Mulai dari pergi ke tempat yang minim energi, sampai mengembangkan cara cepat mengolah energi alam menjadi tenaga dalam. Namun, setiap pendekar yang melakukannya tetap terbunuh karena terlalu banyaknya energi yang belum stabil terolah. Melakukan penyerapan tanpa ampun atas energi alam menjadi tenaga adalah adalah dinding kemustahilan. Arkadewi tentu tidak ingin Bima Bayukana menanggung risiko yang orang-orang terdahulu tidak berhasil melewatinya. Seperti mere
"Di kota Bayan, aku ragu masih ada seorang ahli obat," imbuh salah satu pendekar kemudian mengedar pandang. "Kalau tidak terbunuh, seharusnya semua ahli obat pasti ada di sini sekarang." Seorang pendekar tingkat Kebangkitan Khodam menangguk setuju. "Benar, aku memiliki kemampuan cukup mempuni sebagai ahli obat. Yang bisa kita lakukan sekarang memang hanya membuat lukanya tidak bertambah buruk dengan pil obat, aku mempunyainya beberapa." "Aku juga punya." "Beberapa obat—aku juga memilikinya!" Para ahli obat mengeluarkan sebagian dari apa yang ada di kantong mereka. Umumnya perdekar pasti memiliki persediaan obat, oleh karenanya, pendekar yang tidak memiliki kemampuan mengolah obat juga memberikan sebagian persediaan yang mereka punya. Arkadewi mengambil semua obat sambil mengusap air mata. Meskipun mustahil mengobati Bima Bayukana, dia berharap obat yang dimasukkan ke dalam mulut pemuda tersebut mampu membuatnya sembuh. "Kenapa masih diam saja?!" teriak Abinaya kewalahan me
"Aku akan membunuh mereka sekaligus!" teriak Bima Bayukana mengambil semua perhatian sambil berlari menuju tempat yang lebih tinggi. "Tolong arahkan mereka supaya berkumpul di jarak serangku." Tidak ada pendekar yang tidak mengerti bahwa apa yang dilakukan oleh mereka saat ini hanyalah menyibukkan tiga Ular Langit Malam. Bertahan hingga Bratadikara atau sosok pendekar hebat lainnya selesai juga sebuah kemustahilan. Jelas mereka sedang terjebak pada situasi tanpa harapan. Meski para pendekar meremehkan Bima Bayukana yang berteriak sambil berlari ke arah kaki gunung, entah kenapa perintahnya begitu meyakinkan. Tanpa harapan yang jelas, meski sangat berisiko, mereka tetap menurut karena memang tidak mempunyai pilihan lain. Bima Bayukana memejamkan matanya sesaat sampai di tempat yang lebih tinggi. Memiliki pengetahuan sebagai Jendral Dewa Tertinggi tidak serta merta membuatnya dapat mempraktikkan kemampuannya di kehidupan yang lalu. Dia tidak boleh kehilangan fokus. Sembari menung
"Yang pertama Lebah, tadi Beruang Madu Api serta Macan Dahan, dan sekarang Ular Langit Malam," decak Bima Bayukana ketika sembilan ular berukuran besar akhirnya muncul dari balik pepohonan. "Tidak mungkin semua ini sebuah kebetulan. Sesuatu Pasti telah mengarahkan mereka." Hampir semua kaki pendekar di bawah tingkat Intervensi Khodam dibuat bergetar oleh tekanan sukma. Perasaan yang sama seperti saat berhadapan dengan Pendekar Intervensi khodam mereka rasakan dari ular-ular bercorak biru tua itu. Malahan mereka terasa lebih kuat dari seorang pendekar tingkat Intervensi Khodam. Meski tak terpengaruh tekanan sukma, Bima Bayukana sadar dirinya tidak akan mampu berbuat banyak. Tapi melihat jumlah binatang buas yang datang hanya sembilan ekor, kesempatan bertahan hidup masih ada. Bagaimana pun beberapa pendekar hebat Kerajaan Kastara ada di sana. Bratadikara menjadi pendekar pertama yang menerjang ke depan, tempat ia berdiri seketika meledak. Sosoknya melesat seperti peluru meriam lal
Beruang Madu Api dan Macan Dahan termasuk ke dalam binatang langka berbahaya. Secara alami Beruang Madu Api dewasa memiliki ketahanan tubuh tingkat Kanuragan Zirah. Di lain hal—Macan Dahan—satu tingkat di bawahnya. Dua binatang ini bukanlah binatang yang bergerak secara berkelompok, terutama Beruang Madu Api. Gerakan yang terorganisir membuat Bima Bayukana berspekulasi ada yang mengendalikan mereka. Sekurang-kurangnya sesuatu telah mengembala dua binatang ini hingga sampai di celah dua gunung. Ratusan Beruang Madu Api tiba lebih dulu di antara pepohonan. Sebelum menyerang, beruang yang tingginya dua kali lebih besar dari orang dewasa itu mengaum ganas, kemudian langsung berlari ke arah para pendekar. "Mereka datang," imbau Bima Bayukana dan segera bergerak ketika salah satu beruang besar itu tiba di hadapannya. Arkadewi bergerak membantu. Meski terlihat ringan, gerakan gadis itu memberikan dampak kuat saat pedangnya menyentuh tubuh Beruang Madu Api. Yang patut disayangkan tidak