Share

bab 5: Cemoohan

Author: Adaha Kena
last update Last Updated: 2025-05-29 11:03:21

Lautan Dunia memuat lebih dari jutaan alam. Berdasarkan seberapa kuat dan banyak ahli yang tinggal di dalamnya, setiap alam diklasifikasikan lagi menjadi beberapa tingkatan.

Sebagai Jendral Dewa Tertinggi tentu dulu Bima Bayukana tinggal di Alam Dewa, salah satu alam teratas dari setiap tingkatan alam. Sungguh berbanding terbalik dengan dirinya yang sekarang ternyata terlahir di alam fana.

Alam fana merupakan alam terabaikan yang tidak termasuk ke dalam tingkatan alam, bahkan untuk yang terendah. Alam fana jumlahnya lebih dari puluhan ribu dan dianggap sebagai alam sampah di Lautan Dunia.

Meski begitu, Bima Bayukana tidak dapat mengarungi alam-alam lain dengan keterbatasannya yang sekarang. Setelah 17 tahun sejak kelahirannya di alam ini pun dia belum benar-benar bisa meningkatkan kemampuannya. Sebab, meskipun telah berlatih sejak kecil, tubuhnya belum memungkinkan menampung tenaga dalam.

Masih banyak yang perlu dibenahi dan dia sama sekali tidak boleh membuang waktu. Seperginya Lyra dari gubuk, dia lekas memulai hari dengan latihan tubuh di sisi lapangan. Dia memiliki waktu sekitar setengah jam lagi sebelum sesi latihan perguruan benar-benar dimulai.

Keseriusan terpancar jelas di wajah pemuda itu. Tanpa istirahat, gerakan berulang-ulang terus ia peragakan. Hal ini membuat murid lain yang juga mulai berkumpul di lapangan tidak tahan untuk tidak mencibirnya.

"Dasar aib perguruan. Gerakan aneh apa yang kamu lakukan? Guru tidak pernah mengajari kita gerakan seperti itu!"

"Hei! Sampah! Aku tidak pernah melihat ada orang bermuka setebal dirimu."

"Apa yang kamu harapkan dengan satu tangan dan tanpa tenaga dalam, Bima? Gerakan yang benar dari guru saja tidak cukup untukmu, apalagi gerakan asal-asalan yang kamu lakukan."

"Sungguh noda hitam di sutra putih. Bagaimana mungkin ada orang cacat di perguruan termasyhur ini?"

Bukan rahasia umum jika Bima Bayukana sangat giat berlatih, tapi bukan rahasia pula kalau dia hanya memiliki satu lengan.

Semua murid perguruan Angkinang menganggap usaha Bima Bayukana hanya pemaksaan terhadap kebuntuan. Apalagi pemuda tersebut diketahui tidak mampu menguasai ilmu tenaga dalam. Mengejeknya sudah seperti tradisi semenjak dirinya ada di perguruan Angkinang.

Untunglah perhatian semua murid segera teralihkan sedatangnya seorang guru. Dalam hitungan menit mereka semua membentuk barisan rapi. Tak terkecuali untuk Bima Bayukana yang langsung menghentikan latihannya dan masuk ke barisan paling belakang.

Dengan pakaian serba putih dan jenggot senada yang khas, guru itu kemudian berhenti di depan mereka. Tampaklah kini sosok yang menekuni jalan kependekaran begitu lama. Salah satu sosok penting di perguruan Angkinang.

"Oh, apa kau sudah tidak lagi sibuk dengan dirimu sendiri?" Wijaya tersadar saat melihat Bima Bayukana berada di antara murid-muridnya. "Kau bahkan mengejek pelatihan yang kuajarkan selama ini."

Dengan wajah malas Bima Bayukana membalas, "Sebenarnya aku juga tidak ingin mengikuti latihanmu, Bocah Tua. Jadi bisakah kita langsung saja ke pengujian Khodam?"

Mulut Wijaya berkedut akan jawaban ketus Bima Bayukana. Dia kira pemudah tersebut sedikit tersadar akan kehebatannya dalam melatih.

Lagipula siapa yang dia panggil dengan sebutan bocah? Sebelum pemuda itu bisa melangkahkan kaki dengan benar Wijaya sudah menjadi guru.

"Seandainya aku tidak menghormati pimpinan perguruan yang begitu memedulikanmu, Bima. Aku ataupun guru lai pasti sudah lama akan menendangmu dari perguruan ini," ungkapnya menahan amarah.

Bima Bayukana mengorek telinganya malas dan kemudian menjawab, "Perlu sepuluh ribu tahun agar kau layak menendangku. Jadi, bisakah kita tidak membuang waktu lagi, Bocah Tua?"

"Kau bahkan tidak pernah ikut dalam pelatihan. Kenapa hari ini begitu terburu-buru?"

"Apa telingamu kemasukan air? Aku baru mengatakannya tadi, aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang kau ajarkan."

Gerakan yang selama ini Bima Bayukana paragakan memang bukan ajaran dari perguruan Angkinang. Lebih tepatnya dia tidak peduli sama sekali dengan gerakan yang diajarkan perguruannya, walaupun jelas perguruan Angkinang adalah salah satu perguruan teratas pendekar aliran putih.

Bagi Bima Bayukana tingkatan mereka terlalu rendah dan membuang waktu. Tidak ada alasan baginya untuk mempelajarinya. Dia ikut berbaris hanya untuk mengikuti pengujian Khodam yang akan diadakan setelah sesi latihan pagi.

Wijaya selalu pusing dibuatnya. Dari pada terus bertukar kata dengan Bima Bayukana, dia lantas memandang murid lain yang sejak tadi disipilin berbaris tanpa kata dan gerak. Sungguh terbalik dengan perilaku Bima Bayukana yang susah diatur.

Wijaya mulai mondar-mandir di depan barisan yang kurang lebih berjumlah 40 murid. Dia menyimpan satu tangannya ke belakang dan tangannya yang lain menarik-narik jenggot.

"Hari ini aku tidak akan mengajarkan pada kalian jurus berpedang atau pun pertarungan tangan kosong. Kalian hanya perlu menaiki tangga ke atas bukit. Di sana, kalian akan Langsung bisa mengikuti pengujian khodam."

Kegembiraan melanda setiap murid. Tidak hanya Bima Bayukana, ternyata mereka juga tidak sabar untuk mengetahui Khodam apa yang bersemayam di dalam diri mereka. Ini adalah titik balik yang akan menentukan nasib seorang pendekar.

"Tunggu apa lagi? Kalian langsung saja menaikinya," ucap Wijaya.

Semua murid tanpa pikir panjang berlarian menaiki bukit setelah dipersilahkan. Setiap anak tangga akan membawa mereka ke bukit yang lebih tinggi. Pada ketinggian tertentu terdapat halaman untuk berlatih.

Ini adalah level yang telah ditentukan perguruan Angkinang, murid dengan kemampuan tinggi akan ditempatkan di tempat yang lebih tinggi pula. Begitu pun dengan guru yang membimbing mereka.

Pada dasarnya, ada sepuluh tingkat kependekaran di alam ini, tingkatan itu adalah:

1. Tingkat beladiri

2. Tingkat Kanuragan Pernapasan

3. Tingkat Kanuragan Zirah

4. Tingkat Kanuragan Sejati

5. Tingkat Kebangkitan Sukma

6. Tingkat Intervensi Sukma

7. Tingkat Sukma Sejati

8. Tingkat Kebangkitan Khodam

9. Tingkat Intervensi Khodam

10. Tingkat Khodam Sejati

Saat ini Bima Bayukana berada di tingkat terendah, yaitu tingkat Beladiri. Pada tingkatan ini seorang pendekar memiliki kemampuan yang mempuni dalam keterampilan gerak tubuh hingga dapat mempelajari berbagai aliran gerak beladiri. Ini merupakan tingkatan dasar dan siapapun dapat belajar selama memiliki fisik, bahkan tanpa tenaga dalam.

Di sisi lain, teman teman seangkatan Bima Bayukana yang lain telah memasuki tingkat Kanuragan Pernapasan. Ini adalah tingkatan di mana tenaga dalam terlibat langsung dalam pengendalian kerja jantung, sehingga kerja tubuh menjadi meningkat segala aspek. Petarung di tingkat ini seakan meledak-ledak.

Dengan pencapaian latihan masing-masing ini, setiap murid berjuang menuju ke puncak bukit. Langkah mereka yang tadinya cepat melambat seiring bertambahnya ketinggian. Ada dua alasan di baliknya, ketinggalan mempengaruhi tekanan fisik dan juga tekanan sukma.

Semua murid seakan dipaksa kelelahan. Satu demi satu dari mereka mulai menemukan batasan sebelum benar-benar sampai di atas. Sebagian dari murid bahkan ada yang berakhir tidak sadarkan diri. Melihat hal tersebut Wijaya menjadi murung dan bermuka masam.

"Dengan berkembang pesatnya pendekar Aliran Hitam akhir-akhir ini, sungguh aku mengharapkan lebih banyak murid yang berhasil," gumamnya menatap puncak bukit yang sebentar lagi akan mereka capai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    Bab 47: Pusaka Kerajaan Lawas

    "Aku akan menjelaskannya sambil istirahat," putus Arkadewi dan berhenti berjalan. "Aku tidak masalah melakukan perjalanan sejauh apapun, tapi ingat sejak tadi kita berlari dan berjalan tanpa henti." Kondisi tubuh wanita dan lelaki jauh berbeda. Bahkan tubuh sesama lelaki tidak bisa dibandingkan dengan Bima Bayukana yang telah menjalani latihan ekstrem. Keluhan yang datang dari gadis itu merupakan hal yang wajar. Bima Bayukana menghela napas. "Baiklah, kita istirahat. Jelaskan kepadaku hal-hal yang tidak aku ketahui padaku." Dia mengikuti Arkadewi yang duduk lebih dahulu di sisi lorong. Tanpa melepaskan deteksi sukma ia menunggu gadis itu berbicara. "Kau tahu? Ada seorang putri dengan kecantikan tiada tara di kerajaan Kastara?" mulai Arkadewi. "Tidak," jawab Bima Bayukana jujur. Alam fana terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan dan Kerajaan Kastara salah satunya. Bima Bayukana tidak mengetahui keadaan politik atau bagian-bagian yang menurutnya tidak penting. Apalagi sampai me

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    Bab 46: Melarikan Diri

    "Kau berhutang penjelasan tentang memilihku sebagai tunangan," imbuh Bima Bayukana melangkah ke samping Arkadewi lalu dengan dingin menatap Abinaya Bayukana. "Karena kau sudah tahu aku, kurasa aku tidak lagi perlu menyembunyikan kebencianku terhadapmu." "Memang seperti itu seharusnya." Abinaya Bayukana menyeringai. "Gadis di belakangmu pasti telah menjelaskan bagaimana orang tuamu terbunuh karena ayahku. Bagaimana mungkin kita masih bisa bersikap selayaknya sepupu?" Gelap langsung menelan sebagian ekspresi Bima Bayukana. Dengan ringannya pemuda itu mengakui bahwa ia anak dari dalang yang menyebabkan keluarga serta desanya dibantai. Sekarang Bima Bayukana bisa menarik jelas orang seperti apa sepupunya tersebut. "Nanti, aku sendiri yang akan mengambil kehidupan kalian," tegas Bima Bayukana dengan dingin, matanya berkilat penuh dendam. "Seni Tubuh! Langkah Gelombang Cahaya!" Bima Bayukana segera mengais pinggang Arkadewi dan bergerak cepat melarikan diri ke dalam istana Kerajaan L

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 45: Bertemu Abinaya

    Bima Bayukana mengabaikan kebingungan Arkadewi akan tindakannya. Sesuai yang dia duga, semua binatang mundur dan berhenti menyerang. Seolah takut dia akan melukai gadis itu."Sejak awal aku sudah merasa aneh," gumamnya berbicara pada diri sendiri.Setelah memulihkan diri di dalam gua selama beberapa hari, tidak terjadi serangan sama sekali. Bahkan halangan seperti gelombang binatang tidak menghadang mereka saat melanjutkan perjalanan ke gunung cincin. Rasanya itu mustahil mengingat saat melewati celah dua gunung mereka harus melawan kawanan lebah, Beruang Madu Api dan Macan Dahan, serta Ular Langit Malam."Jika aku tidak salah. Kedatangan para pendekar ke gunung ini tidak diharapkan oleh pemilik Fenomena Ghaib. Tapi melihat gadis ini, tampaknya dia berubah pikiran. Apa sebenarnya tujuannya?"Bima Bayukana tercenung dalam pikiran yang rumit. Arkadewi yang sejak tadi menunggu penjelasan menjadi kesal. Bima Bayukana tidak juga menurunkan pedang yang terhunus ke lehernya."Hei! Aku tanya

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 44: Tindakan Aneh

    Sebab sulitnya untuk merekonstruksi alam sukma ke dunia nyata, Fenomena Gaib memakan banyak tenaga dalam. Penggunanya hampir mustahil menerapkan kemampuan ini dalam jangka waktu yang lama. Bagi Bima Bayukana yang belum memiliki cara untuk melawan, hal tersebut merupakan celah satu-satunya yang memungkinkan ia keluar dari situasi sekarang. Dia dan Arkadewi harus bertahan setidaknya sampai Fenomena Ghaib berakhir. "Kau harus bertarung untuk dirimu sendiri." Merasakan banyaknya binatang di sekelilingnya, Bima Bayukana merapatkan punggung pada Arkadewi. "Baikkah, jangan khawatirkan bagianku," jawab gadis itu. Seperti makhluk haus darah, ratusan bintang segera menyerbu mereka brutal. Arkadewi mengeratkan cengkeraman pada pedangnya dan apik mempertontonkan tekniknya—memotong setiap binatang yang datang menyerang hingga mereka tak lagi dapat bangkit. Di sisi lain, demi menyimpan energi untuk pertarungan yang mungkin masih panjang, Bima Bayukana bertahan tanpa sedikitpun memaksimalka

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    Bab 43: Fenomena Ghaib

    Arkadewi masih sangat kesal. Namun, sekarang dia dan Bima Bayukana terjebak dalam keadaan genting, tidak ada kesempatan baginya untuk bersikap berlawanan. Ia terpaksa mengenyampingkan perasaannya dan menjaga pegangan terhadap pemuda itu agar tidak terpisah di dalam kabut yang menebal. "Kita harus keluar dari sini," imbuh pemuda itu. Padahal tadi berada di barisan yang sama, tapi semua orang telah menghilangkan dan menyatu dengan kabut. Persepsi sukma yang dilepas memang menangkap keberadaan di sekitar, akan tetapi, Bima Bayukana tetap kesulitan mendekat pada yang lain karena hampir semua posisi tercerai berai. Perubahan struktur tempat mulai dirasakan Bima Bayukana. Ketika dia menyeret Arkadewi untuk melarikan diri, sebuah dinding tiba-tiba tercipta di depan mereka—menutup akses pergi dari kawasan kaki bukit gunung Cincin. "Apa ini ilusi?" tanya Arkadewi menyentuh tembok di depannya dengan serius. "Dinding ini nyata. Apa artinya mekanisme kerajaan lawas membuatnya tiba-tiba mun

  • Dendam Jendral Dewa Tertinggi    bab 42: Melanjutkan Perjalanan

    Penglihatan Bima Bayukana memuat semua orang sesaat kelopak matanya terangkat penuh. Sosok penting seperti Bratadikara, Saktika Senjani, serta Saguna Bayukana menyambutnya dengan tatapan kagum—bercampur keingintahuan besar. "Efek samping Akar Jantung Bumi selalu membunuh pengonsumsinya. Selama ini tidak ada yang pernah berhasil selamat, bahkan pendekar tingkat Khodam Sejati sepertiku," ungkap Bratadikara masih dengan perasan sulit percaya. Ia membawa Akar Jantung Bumi sebagai rencana terakhir seandainya dirinya berada di kondisi hidup dan mati. Dalam kondisi tersebut, walaupun semua pendekar berakhir dengan kematian setelah menggunakan Akar jantung Bumi sebagai obat, resiko mengonsumsinya tidak lagi menjadi hal yang perlu ditakutkan. "Bagaimana kau bisa melakukan hal-hal menakjubkan?" tambah Saktika Senjani menatap serius pemuda itu. "Seandainya tidak membunuh tiga Ular Langit Malam, pertarungan sebelumnya pasti akan lebih banyak memakan waktu dan korban. Padahal kau berumur tid

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status