Bima Bayukana menghindar ketika Dimas kembali menerjang membawa tangan terkepal kuat. Pukulan yang luput darinya menghantam lapangan hingga menimbulkan bunyi gedebuk keras—memberi sinyal kepada semua orang bahwa gerakan yang dilatih Dimas berada di level yang cukup tinggi. Sayangnya, Bima Bayukana telah melihat murid-murid melatih gerakan itu hampir setiap hari. Ditambah pengalamannya sebagai jendral Dewa Tertinggi, tentu tidak sulit untuknya menanggulangi kepalan tangan yang terus dilayangkan terhadapnya tersebut. "Kordinaasiku cukup buruk karena hanya memiliki satu tangan. Namun, untuk mengatasi bocah ini sepertinya tidak akan sesusah yang aku bayangkan," pikir Bima Bayukana menilai situasi. "Mungkin aku terbiasa mempersepsikan anak-anak berbakat di alam Dewa sampai-sampai lupa kalau di sini adalah alam fana, alam buangan." Di alam ini gerakan Dimas dianggap terstruktur dan tanpa celah. Hanya saja, di mata Bima Bayukana itu merupakan gerakan yang amat biasa. Pemuda tersebut da
Setibanya di puncak bukit, para murid langsung disambut oleh lapangan yang membentang luas. Tiga bangunan besar berdiri di setiap sisi dan lautan awan di belakangnya tampak tak berujung. Selain pemandangan menakjubkan itu, hampir seluruh murid dan sosok penting perguruan Angkinang ada di sana. Setiap tahun pengujian Khodam memang selalu menjadi sorot utama. Pada kegiatan inilah bakat seseorang murid dapat diketahui. "Ternyata pedang itu yang menekan sukma siapa pun yang mencoba menaiki bukit." Setelah matanya memindai, pandangan Bima Bayukana berakhir pada sebuah pedang yang tertancap di tengah lapangan. Dia memang sudah dari kecil berada di perguruan Angkinang. Namun, dia tidak pernah sekalipun naik ke puncak bukit. Hal-hal yang ada selain di dasar bukit hanya dia ketahui berdasarkan desas-desus murid lain saja. Sependengarnya, setiap murid yang baru saja melakukan pengujian Khodam diperkenankan untuk mencoba mencabut pedang pusaka berumur ratusan tahun. Sampai kini pusaka te
Lautan Dunia memuat lebih dari jutaan alam. Berdasarkan seberapa kuat dan banyak ahli yang tinggal di dalamnya, setiap alam diklasifikasikan lagi menjadi beberapa tingkatan. Sebagai Jendral Dewa Tertinggi tentu dulu Bima Bayukana tinggal di Alam Dewa, salah satu alam teratas dari setiap tingkatan alam. Sungguh berbanding terbalik dengan dirinya yang sekarang ternyata terlahir di alam fana. Alam fana merupakan alam terabaikan yang tidak termasuk ke dalam tingkatan alam, bahkan untuk yang terendah. Alam fana jumlahnya lebih dari puluhan ribu dan dianggap sebagai alam sampah di Lautan Dunia. Meski begitu, Bima Bayukana tidak dapat mengarungi alam-alam lain dengan keterbatasannya yang sekarang. Setelah 17 tahun sejak kelahirannya di alam ini pun dia belum benar-benar bisa meningkatkan kemampuannya. Sebab, meskipun telah berlatih sejak kecil, tubuhnya belum memungkinkan menampung tenaga dalam. Masih banyak yang perlu dibenahi dan dia sama sekali tidak boleh membuang waktu. Sepe
Meski telah meraung seperti orang gila, Arundari tetap tidak dapat menghalangi dua penjahat itu membawa Bima Bayukana ikut bersama mereka. Sepanjang jalan menuju ke tengah desa, tampak jasad perempuan tua dan laki-laki dibiarkan bergelimpangan begitu saja. Saat sampai, sudah banyak gadis muda berwajah pucat yang dikumpulkan. "Mana wanita cantik tadi? Kenapa kalian malah membawa wanita penuh darah dan seorang bayi ini?" Pimpinan pendekar aliran hitam tampak sangat geram akan kedatangan mereka. "Aku sudah bilang kita hanya butuh wanita muda ... laki-laki, perempuan tua, dan anak-anak langsung saja dihabisi!" "I—ini wanita cantik tadi," lapor salah satu dari mereka gemeteran setengah mati. "Se—sedangkan bayi ini adalah anaknya." "Be—benar, dia melukai wajah dan tubuhnya sendiri," tambah yang satunya tidak kalah ketakutan. Pimpinan pendekar aliran hitam melirik Arundari yang hampir tak dapat dikenali. Seluruh wajah dan tubuh wanita tersebut dipenuhi darah, berbeda sekali denga
Satu tahun berlalu, Bima Bayukana kini mulai terbiasa dengan tubuh lemah seorang bayi. Di kehidupannya yang sekarang dia tetap diberi nama yang sama seperti di kehidupannya yang lalu. Dan dengan segala keterbatasannya tersebut dia berusaha memahami dunia yang baru. Selain tinggal di gubuk reyot, ternyata keluarganya hidup di sebuah desa kecil. Arundari, begitulah seisi desa memanggil ibunya. Sedangkan ayahnya dikenal sebagai pria bernama Suta Narendra. Pagi ini, seperginya Narendra ke dalam hutan, Bima Bayukana diajak Arundari berkeliling desa seperti pagi biasanya. Sesekali ibunya itu bertegur sapa dengan warga desa dan singgah berbincang. Sepanjang Bima Bayukana menyimak, sama sekali tidak ada yang menyinggung tentang pertarungan. Warga desa hanya tahu bertani serta berburu untuk mencukupi makan mereka sehari-hari. Dapat dikatakan mereka tinggal di desa yang aman dan juga damai. "Tunggu ya Bima, kau pasti lapar, di hutan ayahmu sedang mencarikan makan untuk kita," ucap Arun
"Tidak! Anakku masih hidup. Dia tidak mungkin mati!" raung seorang perempuan dengan histeris. Entah sudah berapa lama Bima Bayukana terjebak di keheningan tak berujung, karena raungan tidak terima takdir tersebut dia merasa seperti tersentak dari tidur panjang. Telinganya sampai terasa ditusuk jarum karena tidak pernah menerima suara untuk waktu yang lama. "Kamu pasti salah Nenek Gayatri. Tolong periksa lagi. Aku yakin anak kami pasti masih hidup!" seorang laki-laki terdengar menambahkan, nada penolakan tidak kalah besar dari suara perempuan itu. Selain pendengaran, indra Bima Bayukana yang lain sama sekali tidak berfungsi. Matanya terkunci rapat dan berat untuk dibuka. Dengan keadaan ini tentu dia tidak dapat memastikan siapa yang ada di sekelilingnya. 'Bukankah aku sudah benar-benar mati? Lalu siapa orang-orang ini? Apa ada seseorang yang berhasil menyelamatkanku?' pikir Bima Bayukana kebingungan. Dia sungguh ingin segera mengetahui kebenaran, tapi percobaan untuk membuka