“Mungkin kau benar. Ingatanku bercampur aduk antara kau dan Bahram. Namun yang aku tahu dengan pasti aku tidak pernah mengobrol dengan salah satu dari kalian sebanyak ini selama seumur hidupku.” Fayla menunjuk Anael dengan sumpit dan tangannya yang lainnya menopang dagu. Kelakuan yang jelas membuat Fayla dicubit oleh bunda jika beliau melihatnya.
“Well, itu karena kau menampakkan dengan jelas kalau kau menyukainya.”
“Itu ketika usiaku sepuluh tahun, demi Tuhan. Dan ibumu menambah bensin ke api ketika beliau membuat pemberitahuan kalau aku adalah calon anak menantunya. Di sekolah! Padahal itu sudah bertahun-tahun setelahnya.”
Anael mengelap mulutnya dengan tisu. “Aku rasa kita tidak bisa menyalahkan Mama-ku sepenuhnya. Kau berprestasi, beberapa kali memenangkan kontes memasak sekolah, dan berkelahi dengan kakak kelas ketika masih di kelas 10?” Pria itu menyeringai. Matanya berbinar entah karena kepedasan atau karena kata-katanya tadi.
“Sekarang lupakan dulu masa lalu. Kita butuh membahas hal yang perlu kita bahas sekarang.” Lalu menyadari jika telah makan dengan sangat cepat di hadapan pria yang berencana (dengan amat memaksa) menikahinya. Ia bahkan sudah menyelesaikan isi mangkuk Niku Udon-nya ketika Anael masih setengah jalan. Sekarang matanya sedang menatap kakiage Anael yang belum tersentuh.
“Berarti pilihan restoranku tepat. Kau makan dengan lahap.” Anael sepertinya tidak mendengar apa yang baru saja Fayla katakan. Malah mengomentari hal yang hanya dikatakan Fayla di dalam kepalanya. Tidak ada kesan menggoda dalam suaranya. Ia malah takjub.
“Biasanya aku bahkan bisa makan dua mangkuk sendirian.” Fayla tanpa bisa ia tahan.
Alis mata Anael terangkat. “Kenapa kau tidak bilang....”
Namun Fayla sudah menarik turun pergelangan tangannya agar pria itu duduk kembali. Merasakan tekanan otot keras pria itu dalam genggamannya lagi dan melepaskannya secepat ia meraihnya. “Katamu tadi kita bisa pindah tempat.” Ia menekan setiap kata-katanya.
Saat ini Anael tampak geli. “Tapi kalau kau masih lapar dan sekali lagi tidak keberatan. Kau bisa membantuku menghabiskan punyaku.”
“Jangan tersinggung. Bukan karena aku tidak ingin melakukannya. Aku hanya mundur karena banyaknya cabai rawit yang mengambang di mangkukmu.” Wanita itu menggeleng kuat-kuat.
Pria itu mengedikkan dagu ke arah mangkuk Fayla. “Ah, maafkan aku. Bunda memberitahuku kalau kau tidak bisa makan pedas.”
Perlahan, Fayla lalu menarik piring gorengan Anael lain ke arahnya. “Jadi lebih baik aku bantu makan kakiage-mu saja.”
Keduanya melanjutkan mengunyah. Fayla memerhatikan Anael sesekali tersenyum saat ia menyuap. Saking sibuknya ia menatap Anael, tanpa sadar ia sudah menghabiskan makanan pria itu.
“Aku anggap itu karena kau baru saja melewati perjalanan jauh dan banyak hal yang terjadi dalam satu hari.” Anael setelah ia menyingkirkan seluruh piring kotor ke jendela akses dapur. Sekarang mereka saling pandang tanpa ada halangan selain dua gelas ocha yang baru saja pria itu isi untuk keduanya.
Mengedarkan pandangan, Fayla mendapati ada banyak pasangan yang makan bersama seperti mereka. Ada yang duduk berdampingan sambil sesekali tertawa. Ada yang duduk berhadapan seperti mereka, namun masing-masing sedang memegang ponsel. Sebuah lagu tentang perpisahan antara kekasih akibat kehilangan rasa cinta menyelimuti dengung percakapan lain di sekitar mereka. Di bawah temaram lampu kuning dan tentu saja AC yang sejuk.
Pemikiran tersebut membuat Fayla tertunduk. Jemarinya menyentuh embun dingin di gelasnya. “Jadi kenapa aku?”
“Kau sadar tidak gadis terakhir yang belum menikah di blok itu tinggal kau?” Anael mengambil tisu untuk mengelap hidungnya.
Mata Fayla masih fokus pada aliran embun yang mengikuti jarinya. “Kalau begitu dari seluruh gadis yang belum menikah yang juga tinggal di perumahan kita. Kenapa aku?”
Ekspresi pria itu mengerut dalam dan ia butuh waktu lama sebelum menghela napas panjang. Membuat Fayla mengangkat pandangan. Keduanya saling tatap tepat di mata ketika Anael berkata,
“Aku memutuskan tidak ingin menyembunyikan apapun padamu. Jadi akan kuberitahu tahu kenapa harus kau.” Anael menunduk sedikit. Mata cokelat hazelnut-nya tampak menyala ketika ia melanjutkan dengan, “Aku ingin menghancurkan Bahram.” Suaranya terdengar amat dalam sekarang.
Butuh dua detik untuk Fayla mencerna perkataan itu diikuti dengan sensasi panas relung dadanya. “Maaf?”
“Iya, kau dengar aku. Aku ingin menghancurkan Bahram.”
Fayla sudah akan bangkit untuk pergi saat itu juga ketika Anael sudah menyambar pergelangan tangannya. Sangan kuat sehingga membuatnya tidak bergerak. Seluruh sentuhan pria itu terasa panas dikulitnya. Jemarinya besar, kasar, dan kokoh sehingga membuat Fayla membeku.
Namun bukan berarti ia tidak bisa memberi pria itu tatapan mematikan. Jemari tangan Fayla mengepal pada tangan yang masih dicengkeram oleh Anael.
“Aku tahu kau masih ingin mendengar sisanya. Dan aku tidak akan memaafkan diriku membiarkanmu pulang sendiri dengan mendapatkan murka Bunda dan dengan kalau keadaanmu sekarang.”
“Kalau kau tahu semua itu kenapa kau malah mengungkit nama Bahram di sini?” desis Fayla. Ia menyadari perlahan orang-orang mulai melirik ke arah mereka.
“Kau mau tahu alasan kenapa ia tidak pernah mau bicara denganmu lagi sejak usia kita beranjak remaja, kan? Dan itu bukan hanya karena kedua orangtua kita yang saling berpanggil besan hanya karena mereka dekat.” Karena Fayla masih tampak tidak mengerti. Anael melanjutkan dengan buru-buru. Seakan Fayla tidak butuh berpikir keras untuk tahu cerita lanjutannya. “Itu karena ia tidak pernah menganggapmu pantas untuknya.”
Fayla sekarang memandang pria itu dengan bibir sedikit berbuka.
“Sejak kita remaja, Fayla. Ia tidak pernah menganggapmu sebagai sesuatu. Bahkan ketika kau jelas-jelas menyukainya. Dan jangan bilang kau sudah berusaha kuat untuk menutupinya. Dia cinta pertamamu, kan? Tapi ia menganggapmu bukan apa-apa dibanding dirinya.”
Anael mengatakan itu dengan rasa percaya diri yang membuat Fayla merasakan gejolak di perutnya.
Cengkeraman Anael mengendur dan ia sekarang berpindah pada kepalan tangan Fayla. Menyelipkan jemarinya di bawah buku-buku jari wanita itu. Dan ketika kepalan tangannya terbuka. Ibu jari Anel mengusap punggung tangan Fayla. Membuat pola melingkar, seakan dengan begitu ia bisa membuat Fayla lebih tenang.
“Karena kau tidak mampu menyembunyikan perasaanmu dari semua orang. Membuatnya masih bertingkah seperti itu hingga kita masuk SMA yang sama. SMA di mana Mama-ku mengajar. Di mana kau tiba-tiba menjadi perbincangan karena Mama-ku terang-terangan berkata kau adalah calon anak menantunya.”
Cerita yang baru saja disebutkan Anael tersebut memang benar terjadi. Dua tahun yang terasa seperti neraka untuknya saat itu. Ia harus menghadapi para fans Girish Bersaudara mulai teman sekelas hingga kakak kelasnya. Mengingat kembali tatapan penuh penilaian dari atas sampai kaki membuatnya merinding setengah mati.
Seakan-akan Fayla memang tidak pernah layak.
“Dan lihatlah kau sekarang. Tumbuh cantik, hebat, dengan seluruh pengetahuan yang kau punya. Pernah bekerja di Ibukota. Memutuskan pulang dengan niat mulia untuk berada dekat dengan orangtua. Menjadi kebanggaan Bunda. Beliau tidak hentinya memujimu di depan semua orang! Tidakkah itu menjadi pukulan yang telak untuknya?”
Usapan Anael di punggung tangannya serasa mencoba membungkam pikiran rasional miliknya. Sehingga Fayla harus menarik tangannya sebelum berkata, “Jadi itu proposalmu?”
Anael tampak terperanjat, namun dengan cepat ia dapat menguasai diri dan berkata, “Tidakkah kau ingin membalas dendam? Tidakkah kau ingin tunjukkan padanya kalau kau telah menjadi sesuatu yang jauh di luar jangkauannya? Ayolah, jangan bilang hal tersebut tidak pernah terpikir olehmu.”
Fayla merasakan belakang matanya terasa panas. Namun dengan sekuat hati berusaha ia tahan dengan mengedarkan pandangan sekali lagi ke seluruh restoran. Orang-orang kembali kepada kesibukannya masing-masing. Pasangan yang tadi hanya bermain ponsel dan tidak saling bicara sekarang tengah berjalan menuju pintu keluar restoran dengan saling bergandengan tangan.
“Dan aku bisa melakukannya dengan menikah denganmu?”
“Anggap saja itu bonus dan tentu saja untuk menyenangkan hati orangtua kita. Paling tidak aku bisa mewujudkan cita-cita mereka untuk menjadikanmu menantu.”
Fayla masih menatap pria itu dengan pandangan tidak percaya. “Kau bahkan terdengar seperti Bahram sekarang. Jika ia benar-benar seperti yang kau katakan barusan.”
“Well, paling tidak aku jujur dengan apa yang kurasakan padamu. Saat ini.” Anael tersenyum dengan bibir tertarik tipis. Sedangkan matanya mengilat dengan suatu perasaan yang Fayla tidak ingin kenali.
Sekarang pria itu seakan-akan menunggunya untuk meledak atau menyiraminya dengan ocha dingin yang ada di hadapan mereka. Walaupun itu terdengar menggoda, Fayla tidak akan melakukan keduanya. Ia hanya berusaha untuk tetap tenang. Ia tidak ingin menitikkan air mata di depan pria ini. Jadi ia berkata dengan nada yang terukur. Seakan mereka baru saja membahas bagaimana caranya agar ia segera terbiasa dengan suasana pengap kota mereka.
“Tolong belikan aku mango yogurt ice cream. Habis itu kita pulang.”
Anael mengulum senyum dan ia bangkit berdiri. Tidak ada antrian lain jadi ia langsung ke kasir. Fayla menyadari porsi yogurt ice cream tersebut jauh lebih besar dari Ibukota punya dan Anael tampaknya berhasil meminta dua sendok...
“Tidak, aku ingin makan ini sendirian.” Fayla mengambil yogurt itu dari tangan Anael dan berbalik badan.
Pria itu hanya mengangkat kedua tangannya di dada. Sebagai tanda menyerah. Lalu kembali ke kasir untuk membeli lagi untuk dirinya sendiri...
***
“Apa kau mau menceritakan pada Bunda apa saja yang kalian bincangkan semalam?”Fayla yang sedari tadi sedang membaca setiap kiriman yang ada pada beranda Linkeidn langsung mematikan layar ponselnya dan berkata dengan senyum simpul, “Tidak banyak.”Suasana ruang tunggu rawat jalan rumah sakit umum daerah tempat mereka saat ini cukup ramai akibat awal bulan. Wajah-wajah paruh baya mendominasi ruangan tersebut. Di temani oleh sanak keluarga yang membantu memegangkan amplop berisi kertas berbagai macam hasil pemeriksaan. Sebagian tampak melamun di kursinya. Sebagian lagi sedang sibuk sarapan dengan jajanan pasar yang dibungkus dalam plastik makanan.Agar mendapatkan kuota pemeriksaan penyakit dalam. Mereka – termasuk Fayla dan bunda – harus datang sangat pagi dan mengantri untuk mendapatkan nomor antrian. Bersama para pemegang asuransi milik negara dan para pensiunan lainnya. Akhirnya mereka baru bisa duduk tenang menunggu giliran untuk bertemu dokter pada pukul sembilan pagi.“Kau tahu k
Fayla muda berusia enam belas tahun baru saja menutup bukunya ketika ia menyadari suara bisik-bisik menggema dan sangat mengganggu terjadi di seluruh perpustakaan. Ia mengedarkan pandangan dan menyadari beberapa gadis yang tersebar duduk di banyak saling berbisik dan melirik ke arahnya dengan dahi mengerut.Ia ingin menghiraukannya. Ini bukan kali pertama Fayla menjadi bahan gosip seluruh sekolah. Ibu Girish menegurnya dengan sangat ramah hingga menimbulkan tatapan penuh tanya oleh seluruh teman kelasnya. Lalu beberapa pekan kemudian ia mendebat habis salah seorang gadis satu tingkat di atasnya akibat perundungan yang tidak ada hubungannya dengan menjadi bagian dari klub buku.Setelah itu setiap gerak-geriknya diawasi oleh banyak pasang mata. Dengung itu makin keras. Fayla bahkan mendengar namanya disebut secara terang-terangan sekarang. Ia juga mendengar nama “Girish Bersaudara” terikut. Ia tidak tahan. Diletakkannya kembali buku yang baru saja ia baca kembali ke lemari sambil menar
“Mungkin kau benar. Ingatanku bercampur aduk antara kau dan Bahram. Namun yang aku tahu dengan pasti aku tidak pernah mengobrol dengan salah satu dari kalian sebanyak ini selama seumur hidupku.” Fayla menunjuk Anael dengan sumpit dan tangannya yang lainnya menopang dagu. Kelakuan yang jelas membuat Fayla dicubit oleh bunda jika beliau melihatnya.“Well, itu karena kau menampakkan dengan jelas kalau kau menyukainya.”“Itu ketika usiaku sepuluh tahun, demi Tuhan. Dan ibumu menambah bensin ke api ketika beliau membuat pemberitahuan kalau aku adalah calon anak menantunya. Di sekolah! Padahal itu sudah bertahun-tahun setelahnya.”Anael mengelap mulutnya dengan tisu. “Aku rasa kita tidak bisa menyalahkan Mama-ku sepenuhnya. Kau berprestasi, beberapa kali memenangkan kontes memasak sekolah, dan berkelahi dengan kakak kelas ketika masih di kelas 10?” Pria itu menyeringai. Matanya berbinar entah karena kepedasan atau karena kata-katanya tadi.“Sekarang lupakan dulu masa lalu. Kita butuh membah
Walau dengan amat berat hati. Fayla menghabiskan sisa sore itu berdebat dengan bunda pakaian apa yang bisa ia gunakan untuk acara makan malamnya dengan Anael. Fayla tidak ingin ia terlihat seperti bersusah-payah atau mencoba mendapatkan nilai tambah di mata pria itu. Toh, Fayla belum tahu motif pria itu dan alasannya kenapa begitu keras kepala untuk menikahinya.Jadi ia memilih pakaian kasual biasa yang terdiri dari sebuah kemeja longgar berwarna biru laut, ditambah kaos putih di dalamnya, dan celana jeans. Sedangkan bunda memaksanya untuk memakai pakaian yang lebih feminin. Berupa blouse dan rok span semata kaki. Tapi ia bersikeras hingga membuat bunda menyerah.“Kalau begitu paling tidak pakai ini.” Bunda mengeluarkan sebuah cincin perak dengan batu permata putih keci di tengah dari kotak perhiasannya dan menyematkannya di jari manis kiri Fayla.“Ini...”“Iya, cincin kawin mendiang ayahmu. Anggap saja ini cincin tunangan sementara.”Fayla baru akan membantah, namun Bunda sudah meng
“Bunda, sejak kapan besanan dengan Om dan Tante Girish adalah mimpi Bunda juga?” Fayla dengan rambutnya yang masih dalam gulungan handuk. Keluarga Girish sudah pulang sedari tadi dan keinginannya untuk istirahat hilang sudah. Namun Bunda Lachlan menyuruhnya untuk membersihkan diri sebelum ia sempat buka mulut untuk menuntut penjelasan.“Lho, bukannya sejak dulu Bunda juga memanggil beliau dengan sebutan “besan”?” Bunda Lachlan yang sedang membongkar tas oleh-oleh Fayla dan memasukkan sebagian isinya ke kulkas.“Tapi, kan bukan dengan Anael...”Wanita itu paruh baya itu memberi Fayla pelototan. Namun ia tetap melanjutkan dengan keras kepala, “Kan, memang benar!”Ia memerhatikan bunda menghela napas. Perlahan berdiri dari sikap membungkuknya sambil menutup pintu kulkas. “Abang Anael, Fayla. Dan sudah waktunya kau memikirkan masa depanmu.”Handuk tersentak lepas dari rambut Fayla, tampak tidak terima. “Masa depanku adalah membesarkan warung makan Bunda dan hidup bahagia selamanya bersama
Fayla Lachlan dengan keadaan yang sayu dan pakaian berantakan baru saja keluar dari pintu kedatangan bandar udara kota tempat kelahirannya. Dirinya langsung diterpa udara pengap, ciri khas kota yang berada di pinggir laut. Suara riuh para sopir taksi gelap terus saja berteriak ke arahnya yang membuatnya risih, namun berusaha keras untuk tidak tampak di wajahnya.Karena Fayla tahu ia harus kembali membiasakan diri dengan keadaan yang berbanding terbalik dengan ibukota. Baik seluruh tubuh dan perasaannya.Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru untuk mencari wajah familiar yang seharusnya datang untuk menjemputnya. Namun ia malah mendapati wajah lain yang saat ini memberinya isyarat untuk mendekat menggunakan lambaian tangan. Fayla menghela napas lega, namun bukan berarti kekhawatirannya belum sirna.“Om Ian sendirian?” Fayla mengerutkan dahi. Masih berharap bundanya muncul di balik tubuh Om Ian. Seorang pemilik rental mobil yang menjadi langganan keluarganya yang seluruhnya perantauan