Share

Bab 2.2

Author: Miss Abbas
last update Last Updated: 2025-05-12 23:16:34

Walau dengan amat berat hati. Fayla menghabiskan sisa sore itu berdebat dengan bunda pakaian apa yang bisa ia gunakan untuk acara makan malamnya dengan Anael. Fayla tidak ingin ia terlihat seperti bersusah-payah atau mencoba mendapatkan nilai tambah di mata pria itu. Toh, Fayla belum tahu motif pria itu dan alasannya kenapa begitu keras kepala untuk menikahinya.

Jadi ia memilih pakaian kasual biasa yang terdiri dari sebuah kemeja longgar berwarna biru laut, ditambah kaos putih di dalamnya, dan celana jeans. Sedangkan bunda memaksanya untuk memakai pakaian yang lebih feminin. Berupa blouse dan rok span semata kaki. Tapi ia bersikeras hingga membuat bunda menyerah.

“Kalau begitu  paling tidak pakai ini.” Bunda mengeluarkan sebuah cincin perak dengan batu permata putih keci di tengah dari kotak perhiasannya dan menyematkannya di jari manis kiri Fayla.

“Ini...”

“Iya, cincin kawin mendiang ayahmu. Anggap saja ini cincin tunangan sementara.”

Fayla baru akan membantah, namun Bunda sudah menggeleng. Menyuruhnya untuk menutup mulut agar ia bisa menambah warna pada bibirnya.

Bahkan di Ibukota sekalipun, Fayla jarang berdandan seheboh ini.

Tidak berapa lama kemudian ia mendengar suara mobil di depan. Bunda tampak lebih heboh dan menyahuti salam Anael. Mendorong Fayla ikut keluar dari kamarnya.

Wanita paruh baya itu tidak lupa menyuruh Fayla untuk cepat-cepat. Padahal ia tinggal memakai sepatu kets berwarna senada. Ketika ia sudah berada di teras ia mendapati bunda tengah tersenyum lebar kepada Anael dan memuji penampilan pria itu. Anael menanggapinya dengan senyum tipis yang sopan.  

Ketika Fayla sudah berada cukup dekat. Ia menyadari Anael jauh lebih tinggi daripada terakhir kali ia ingat. Puncak kepala Fayla hanya mencapai dada pria itu. Bahkan dengan bantuan sepatu yang sudah memberinya tambahan dua centi.

Untuk malam ini Anael memakai kemeja berwarna putih dengan satu kancing terbuka. Kedua lengan kemejanya ia gulung hingga siku. Kulitnya yang kecokelatan terlihat kontras dengan warna pakaiannya. Ia tampak cukup berolahraga dengan bahu yang bidang dan saat ini menyadari penuh Fayla tengah mengamatinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Membuat Fayla dengan cepat mengalihkan pandangan.

“Jadi Tante Lachlan. Jam berapa Fayla harus sudah di rumah?” tanyanya dengan kedua tangan di belakang tubuh. Tapi Fayla merasakan tatapan pria itu malah tertuju padanya.

“Sebelas. Itu sudah termasuk dalam perjalanan pulang kalian. Ia sendiri pasti masih kelelahan dengan perjalanannya tadi pagi.” Bunda lembut namun dengan ketegasan yang biasa ia pakai kepada para pegawai warung makannya untuk memenuhi jam jemput makanan dari pelanggan mereka.

“Lalu jika bunda sadar tentang itu. Kenapa kami harus melakukan ini malam ini juga?” Fayla tanpa bisa menahan diri.

Bundanya hanya memberinya pelototan mengerikan. Sedangkan Anael hanya menggumam mengiyakan. Ia tidak lupa mencium tangan bunda dan Fayla memilih untuk mencium pipi sebagai salah perpisahan mereka. Mobil Anael adalah Toyota Camry berwarna metalik yang sepertinya baru saja dicuci. Ia bahkan tidak lupa membukakan Fayla pintu yang membuat wanita itu melemparkan pandangan menyipit ke arahnya. Jelas curiga dengan tata-krama yang sama sekali asing bagi mereka.  

Bunda melepas kepergian mereka hingga menghilang di belokan. Fayla mengawasi dari kaca spion di sebelahnya sebelum akhirnya ia menghempaskan diri untuk menyandar. Hembusan AC mobil yang menyembur dingin langsung ke kulitnya membuat sensasi dingin yang sedari tadi diidamkan tubuhnya. Pening di kepalanya entah karena kurang tidur atau karena belum makan.

Sepertiga perjalanan mereka dilewati tanpa suara. Fayla merasa pilihan itu lebih baik, namun matanya mulai memberat. Dan sepertinya Anael menyadari keadaannya, “Boleh aku tahu bagaimana perasaanmu akhirnya memilih untuk pulang ke kampung halaman?” Setelah mereka berada di jalan utama.

Fayla menoleh ke arah berlawanan itu menjawab dengan, “Aku hanya lupa kalau ternyata kota ini bisa menyerap semua cairan di tubuhmu dalam sekejap.”

Well, kau tahu kota ini tepat berada di pinggir laut.”

“Dan Ibukota berada di gunung...”

“...Lalu pada akhirnya mereka bertemu di kuali.”

Kalimat terakhir itu membuat Fayla menoleh ke arah Anael yang saat ini terlihat nyengir lebar. “Apa? Kau kira aku sekaku papan?”

Fayla mendengus. Mencoba untuk mencari kalimat yang tepat. “Dikatakan oleh orang yang selama di SMA menghindariku sedemikian rupa.”

Senyuman Anael perlahan menghilang. “Sepertinya kau salah orang.”

Fayla mengerjap. Dahinya mengerut dalam. Berusaha mengingat dengan benar, namun Anael sudah menambahkan. “Apa kau tidak ingat kalau aku masih mau satu angkot denganmu pulang. Masih mau menegurmu di jalan. Apa karena wajah kami mirip kau jadi lupa tentang itu?”

Wanita itu mengerjap. Pikirannya terlalu campur aduk untuk menarik kembali apa yang sudah  dikatakan. Anael sendiri bahkan tidak sekalipun melirik ke arahnya. Fokus pria itu tetap berada di jalan. Tubuhnya tampak cukup rileks di bawah cahaya lampu jalan yang sekali-sekali menampakkan ekspresi wajahnya.  

Jadi ia buru-buru menambahkan untuk menutupi kecanggungan. Untuk masalah itu ia bisa cari jawabannya ketika keadaannya lebih baik.  “Jadi kita akan makan apa?” Fayla berusaha untuk terdengar antusias sekarang.

“Tante Lachlan (Atau bolehkah aku mulai saat ini memanggil beliau dengan Bunda juga?) berkata kalau kau suka sekali menu jepang atau korea...”

Fayla mendengus lagi.

“...Karena makanan dengan menu seperti itu terbatas di kota ini.” Anel melanjutkan seakan tidak mendengar tanggapannya. “Maka aku akan membawamu ke Merugame. Jika kau tidak keberatan.”

Well, tidak ada yang lebih enak dari suasana pengap ditambah dengan kuah panas.” Fayla tidak punya cukup tenaga untuk mencari alternatif. Ia sudah terlalu lelah.

Anael menanggapi dengan tertawa kecil.

Terperangkap dalam mobil hanya berdua dengan pria yang entah kapan terakhir kali mereka berbincang membuat Fayla memutuskan untuk mencuri tidur sejenak. Perbincangan mereka bisa dilakukan di restoran nanti. Toh, dulu mereka bisa tidak saling menegur hingga berbelas-belas tahun.  

Bahkan ia lupa kapan terakhir kali mereka mampu saling pandang. Apa di acara pernikahan Bahram? Atau berpapasan di jalan ketika Fayla jajan ke warung kelontong punya tetangga mereka beberapa tahun lalu?

Hubungan mereka juga ikut canggung dengan adik pria itu menjadi cinta pertamanya dan semua orang tahu mengenai hal itu.

Kota mereka memang hanya berukuran tidak lebih dari sepertiga Ibukota. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk mereka sampai di mall yang letaknya bertetangga dengan Kantor Gubernur Provinsi. Mall dengan konsep green building terbuka itu jelas membuat Fayla mengerang pelan.

Ia sebenarnya sama sekali tidak ingin berpisah dengan dinginnya AC yang menerpa kulitnya saat ini.

“Tenang. Restorannya tertutup dan full AC. Atau kita pindah...”

Fayla dengan cepat menggeleng. “Tidak. Aku sudah tidak punya cukup tenaga untuk pindah. Kita di sini saja.”

Anael menggumamkan sesuatu, tapi Fayla tidak begitu memperhatikan. Dengan ganasnya pengendara di kota ini membuatnya takut jika Anael yang sedang berputar-balik karena mall yang ingin mereka datangi berada di sisi seberang jalan bisa ditabrak oleh orang-orang yang tidak sabaran itu. Dan mulut Fayla jelas harus tetap dijaga di dalam mobil kedap suara ini agar tidak keceplosan untuk memaki.

Untungnya mereka pergi di hari kerja. Sehingga tidak sulit untuk Anael mendapatkan parkir. Begitu ia keluar dari mobil suasana tanpa angin dan juga tidak panas itu membuat Fayla harus menarik napas tajam. Ia sangat bersyukur memakai pakaian yang ringan sehingga mengurangi ketidak-nyamanannya.

. Anael sendiri memilih jalan satu langkah di depan Fayla. Telinga dan tubuh Fayla sendiri masih berusaha keras untuk beradaptasi dengan suasana dan aksen khas daerah. Membuatnya tersadar Anael memakai bahasa standar dengan sangat sedikit aksen daerah selama berbincang dengannya. Mungkin untuk mengimbangi Fayla yang sudah terbiasa memakai aksen Ibukota selama tujuh tahun terakhir hidupnya.

Tidak. Aksen Anael terlalu Ibukota untuk seorang pria yang menghabiskan seluruh hidup tidak pernah tinggal kota lain. Fayla mengingatkan diri untuk menanyakan perihal itu pada Anael.  

Pikirannya masih sibuk untuk menyusun pertanyaan yang akan diajukan pada pria itu. Sehingga tanpa sadar ia sudah berada di depan antrean Marugame dengan Anael yang menaruh dua baki di hadapan mereka. Bersiap untuk mengantre makanan.

“Sebelum kita masuk aku ingin memastikan apa kita akan pisah bill apa tidak.”

Anael memandangnya seperti ia sudah gila.

Fayla masih menggeleng. “Kita belum punya hubungan apa-apa...”

Anael memutar bola mata terang-terangan sebelum ia mengangkat tangan kirinya. Ia ternyata memakai cincin bermodel sama dengan apa yang Fayla pakai. Fayla mengenalinya sebagai cincin kawin milik Bunda.

 “Katakan itu sekali lagi dan aku akan berteriak hingga terdengar ke seluruh lantai ini kalau kita sudah tunangan.”

Fayla menarik pergelangan tangan Anael turun. Merasakan hangat kulit, kencangnya otot, dan tonjolan nadi sebelum ia melepaskannya seakan-akan baru saja menggenggam tangkai panci panas. “Baiklah. Kumohon jangan.” Ia merasakan wajahnya mendidih. Untungnya tidak ada pelanggan lain berada di belakang mereka.

“Aneh ketika di perjalanan tadi aku dengan terang-terangan menyetir dengan tangan kiri agar kau bisa melihatnya,” katanya dengan salah satu sudut bibir tertarik ke atas. Dengan sopan menyampaikan pesanannya kepada pramusaji yang sedari tadi mengawasi mereka dan tanpa sadar menahan tawa...

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 16

    Walau pernikahan itu dilaksanakan secara sederhana — menurut ukuran Mama Girish — Bahram merasakan kalau pernikahan ini diadakan bahkan lebih heboh daripada miliknya dulu. Karena kedua mempelai hanya berjarak sekitar dua ratus meter satu sama lain, para tetangga nyaris tidak butuh kendaraan. Mereka berlalu-lalang dari satu rumah ke rumah lain hanya dengan berjalan kaki. Anak-anak berlari-lari kecil mengitari teras rumah-rumah yang didekorasi seadanya, sementara para ibu menyusun hantaran.Ia bisa merasakan seluruh euforia dan antusiasme lingkungan ini terhadap pernikahan Anael dan Fayla. Akhirnya, keluarga Girish mewujudkan mimpi lama mereka — mimpi yang sempat terasa mustahil saat Fayla memilih merantau ke Ibu Kota. Untuk menjadikan Fayla Lachlan menantu keluarga mereka.Kata orang, seseorang yang akan menikah akan tampak lebih cantik. Itu tidak terkecuali bagi Fayla. Bahkan seluruh teman sepermainan mereka dulu mengakuinya, meski dalam bentuk candaan khas para lelaki yang sedang ber

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 15

    Suasana rumah Girish mencekam setelah kepulangan mereka dari pengepasan terakhir pakaian seragam pernikahan Anael dan Fayla. Cain merasakan suasana itu lebih dari siapapun di sana. Lebih dari pria yang baru saja pulang dari mengantar tunangannya untuk membagikan undangan.Cain tidak yakin apakah ia bisa dianggap beruntung apa tidak menjadi yang mendengar dengan cukup jelas apa yang dipertengkarkan oleh Jaibah dan Fayla di ruang ganti wanita tadi. Menjadi anak terakhir membuatnya telinganya menjadi sangat tajam untuk mendengarkan setiap teriakan paling keras ataupun bisikan paling lembut. Apalagi ditambah dengan kelebihannya untuk membaca situasi dan bertingkah sesuai dengan kebutuhan situasi tersebut.Suasana menegang, tentu saja. Namun Bunda Lachlan menjadi yang paling aktif untuk berusaha mencairkan suasana. Jaibah sudah menyentak pakaiannya, namun apapun yang pikirkan setelahnya ia urungkan karena Mama dan Papa Girish datang bersama Bahram tidak berapa lama kemudian.Dan wanita itu

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 14

    "Bagaimana rasanya ketika seluruh orang sepertinya tidak punya hal jelek untuk diceritakan tentangmu?” Itu Jaibah dari ruang ganti di sebelahnya. “Maaf?” Fayla yang masih berkutat dengan resleting belakang gaunnya itu tiba-tiba berhenti. “Apakah kau tidak menyadarinya? Atau kau sudah terbiasa dengan perhatian macam itu?”Fayla akhirnya berhasil dengan resleting. Menyentak tangannya turun dengan kepala mendongak ke arah asal suara. “Mbak Jaibah, aku...”“Tidak. Panggil nama saja. Toh, kau juga seperti itu dengan Mas Anael. Jadi bagaimana rasanya? Karena aku tidak pernah, selama ini.”Fayla mengerjap. Ia membuka pintu ruang gantinya untuk berdiri di depan ruang ganti Jaibah “Dengar, aku sama sekali tidak tahu apa yang kau bicarakan...”Hening sebelum Jaibah keluar dari ruangannya. Rambutnya disanggul ketat di tengkuk. Kebayanya tampak melekat sempurna di tubuhnya yang berisi. “Dan bisa-bisanya kau masih berlagak lugu seperti itu!” Lamunan Fayla memudar dengan Anael yang menginjak ped

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 13

    "Tolong hapus seringai itu dari wajahmu, Anael. Kau membuat para karyawanku takut," ujar Lauvi sambil mengerutkan wajahnya jijik. Ruang rapat kecil itu hanya menyisakan mereka berdua setelah pertemuan harian selesai. Anael baru saja membagikan undangan pernikahan kepada para mandor dan Lauvi, membuat suasana kantor mendadak lebih ramai dari biasanya."Kenapa tidak? Senyuman ini diperlukan untuk membuat seluruh ruangan tahu aku sangat senang dengan apa yang akan terjadi di masa depan," jawab Anael santai, menyugar rambutnya dengan jemari bercincin.Lauvi mendengus dan mencibir. "Aku jadi ingin tahu apa saja yang sudah kau katakan pada wanita malang itu."Anael hanya mengedikkan bahu. "Ia berkali-kali berkata kalau aku tampan dan aku bisa saja memilih siapa pun yang aku mau. Tapi aku memilih dia. Dan ia sepertinya menghargai itu.""Dan setelah semua alasanmu yang menyedihkan itu? Dia masih mau menerimamu?" Lauvi memutar mata, lalu menirukan gestur muntah sambil memegang perut, membuat A

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 12

    “Apapun yang diperlukan untuk membalas dendam menahun...”Karena benar seperti itu. Tanpa sadar pengalaman yang ia lalui akibat semua rumor itu membuat Fayla tidak percaya diri untuk menyukai seseorang yang menurut orang lainnya sangat tampan. Namun bukan berarti Anael tidak tampan. Ia bahkan sampai bertanya-tanya kenapa orang setampan Anael bisa memilih dia menjadi calon istrinya.Bukannya Fayla tidak mencoba membuka diri. Ia pernah menyukai seseorang yang menurutnya setara tampannya dengan Anael ketika ia kuliah. Namun hubungan itu berhenti ketika ia tahu pria itu ternyata menggunakannya hanya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Ternyata sudah sedalam itu pengalaman itu melukai dirinya.Jadi jika sesuatu terjadi Fayla sudah bisa mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk.Merasakan sesak yang amat sangat berada di dalam mobil setelah ciuman dadakan mereka. Fayla mengajak Anael untuk duduk di salah satu bangku terbuat dari beton dingin yang ada di alun-alun menghadap laut itu.

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 11

    “Kalian berdua pergilah. Ke mana, begitu. Untuk “pemanasan” sebelum hari H.” Bunda Lachlan ketika mereka berada di parkiran. Menolak ajakan Anael untuk mengantarnya pulang. “Tapi ingat. Sudah sampai rumah jam 11 malam, oke?”Anael tertawa sopan sebelum mengangguk. Fayla tidak memberi tanggapan apapun. Sikap tubuhnya tegang, pandangan matanya jauh. Kakinya mengetuk-ngetuk beton sebelum mencium pipi Bunda Lachlan lalu masuk ke mobil tanpa mengucap sepatah katapun lagi. Membuat Anael dan Bunda Lachlan bertukar pandang penuh arti.Mereka menjadi yang terakhir meninggalkan parkiran. Bunda Lachlan sendiri masuk ke mobil Cain dan mereka berpisah jalan. Anael membalas lambaian kelewat antusias dari Cain dan mengawasi kepergian mobil adiknya itu melalui kaca spion tengah.“Jadi kita “pemanasan” ke mana ini?” tanya Anael setelah kedua mobil rombongan lain berada cukup jauh.Fayla menghela napas panjang. Salah satu lengannya bertopang di pintu mobil sebelum menyebutkan nama pantai pinggir kota y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status