Share

Bab 4

Author: Miss Abbas
last update Last Updated: 2025-05-12 23:18:37

Fayla muda berusia enam belas tahun baru saja menutup bukunya ketika ia menyadari suara bisik-bisik menggema dan sangat mengganggu terjadi di seluruh perpustakaan. Ia mengedarkan pandangan dan menyadari beberapa gadis yang tersebar duduk di banyak saling berbisik dan melirik ke arahnya dengan dahi mengerut.

Ia ingin menghiraukannya. Ini bukan kali pertama Fayla menjadi bahan gosip seluruh sekolah. Ibu Girish menegurnya dengan sangat ramah hingga menimbulkan tatapan penuh tanya oleh seluruh teman kelasnya. Lalu beberapa pekan kemudian ia mendebat habis salah seorang gadis satu tingkat di atasnya akibat perundungan yang tidak ada hubungannya dengan menjadi bagian dari klub buku.

Setelah itu setiap gerak-geriknya diawasi oleh banyak pasang mata. 

Dengung itu makin keras. Fayla bahkan mendengar namanya disebut secara terang-terangan sekarang. Ia juga mendengar nama “Girish Bersaudara” terikut. Ia tidak tahan. Diletakkannya kembali buku yang baru saja ia baca kembali ke lemari sambil menarik napas panjang.

Seharusnya ia sudah terbiasa dengan semua itu.

Fayla baru saja keluar dari perpustakaan sekolah ketika tiba-tiba lengannya di tarik ke samping. Ia nyaris menjerit, namun ia urungkan begitu menyadari jika salah satu teman satu klub bukunya yang melakukannya. Gadis itu menariknya ke salah satu lorong sepi menuju toilet umum sekolah. Mendorongnya hingga punggung menempel pada dinding yang dingin. Ia mengaduh kesakitan.

“Fayla, ada yang ingin kutanyakan padamu.”

Fayla yang masih meringis sambil menggosok-gosok belakang pundaknya itu hanya menatap gadis dengan jepit rambut bentuk bintang besar berwarna merah muda.

“Apa benar kau adalah calon menantunya Ibu Girish?”

Pertanyaan itu membuat Fayla berdiri tegak. “Apa?”

“Iya! Beliau sendiri yang mengatakannya padaku.”

Jadi gadis itu menceritakan jika Ibu Girish memintanya untuk mengumpulkan tugas susulan teman sekelasnya dan dititipkan pada Fayla. Dan ketika gadis itu bertanya apa hubungan Ibu Girish dengan Fayla, beliau menjawab dengan...

“...Karena dia adalah calon menantuku.”

Fayla mengerang keras. Dalam hati ia berdoa akan “keselamatan dirinya sendiri.”

“Namun ketika aku tanya lagi “Fayla itu calon istri untuk anaknya yang mana?” Cain yang seangkatan dengan kita? Kak Bahram kelas 11 atau Kak Anael kelas 12?” Kau tahu apa yang beliau lakukan? Beliau hanya tertawa! Tapi entah kenapa semua orang menebak kalau itu adalah Kak Bahram.”

Fayla juga ikut tertawa, namun lebih ke arah miris.

“Jadi apa itu benar?” desak gadis itu lagi.

Fayla menyisir rambutnya ke samping sebelum berkata, “Dengar. Aku tidak tahu menahu soal itu. Itu mungkin hanya lelucon.”

Tapi sekelompok gadis terdiri dari tiga orang baru saja melewati mereka dan memberinya tatapan mencemooh. Fayla merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan.

Gadis itu sepertinya sudah mendapatkan jawabannya karena Fayla jelas sama tidak tahunya dengannya. Ia sekarang memberi Fayla tatapan penuh simpati. Ia kemudian meminta Fayla ikut dengannya untuk mengambil tumpukan buku bersampul kuning yang dimasukkan ke tas kain.

Fayla lalu kembali berjalan menuju kelasnya dengan tas itu. Langkah kakinya terasa sangat berat. Masa masa SMA-nya harus ternodai seperti ini.

Ia berjalan dengan kepala menunduk dan tanpa sadar nyaris menabrak seseorang di depannya. Ia berhenti mendadak dan tepat waktu. Ia mendongak, mengucapkan permintaan maaf berulang kali dan langsung menutup mulutnya ketika menyadari orang yang nyaris ia tabrak adalah Bahram. Di sebelahnya berdiri pacarnya. Seorang gadis dengan tubuh kurus, kulit putih bening, rambut hitam panjang bergelombang sepunggung yang seangkatan dengan pemuda itu.

Salah seorang primadona sekolah.

Mereka berjalan dengan saling menggenggam tangan. Fayla yang butuh waktu untuk menyadari posisinya saat ini akhirnya mundur selangkah. Memberi mereka jalan. Namun primadona itu dengan suaranya yang sangat mendayu berkata,

“Kau harus melihat jalan yang kau lewati, Fayla.”

Fayla mengerjap. Bahram bahkan memandang ke arah lain. Sikap tubuhnya tidak nyaman. Entah sikap pemuda itu dan kalimat yang baru saja terucap itu membuat jantungnya terasa seperti baru saja tertusuk paku. Menusuk hingga ke bagian belakang punggungnya. Apalagi ketika melihat keduanya berjalan melewatinya dengan kedua tangan bertautan.

Gadis itu bahkan bergelendotan di lengan Bahram. Seakan ingin menunjukkan padanya kalau mereka tidak terpengaruh oleh gosip yang baru saja tersebar itu.

***

Fayla berusia tiga puluh satu tahun menggeliat sambil membuka mata. Berusaha sekuat tenaga untuk mengingat di mana ia sedang berada. Mimpi masa remajanya itu datang kembali disaat paling tidak ia inginkan. Sakitnya bahkan masih terasa sampai sekarang. Penolakan dalam setiap sikap yang ditunjukkan oleh Bahram hari itu membuatnya mempertanyakan perasaan dan perasaan pria yang pernah menyatakan cinta padanya.

“Well, aku tidak berani membangunkanmu.”

Fayla tersentak lalu duduk tegak. Ia ternyata masih berada di mobil Anael. Merutuki dirinya sendiri dengan kebiasaannya yang langsung mengantuk jika sudah kenyang. Ia menyisir rambutnya ke atas dan tanpa sengaja terbelit dengan sabuk pengaman. Membuat Anael membungkuk ke arahnya untuk membantunya keluar dari lilitan tali tersebut.

Pria yang ada dibalik kemudi ini jelas juga butuh untuk dipertanyakan motifnya.

Napas hangat pria itu menerpa wajahnya. Mereka sangat dekat hingga Fayla bisa mencium aroma yang menguar dari pria itu. Poninya menutup sebagian matanya sehingga Fayla harus mundur agar mereka tidak saling bersentuhan. Ia menahan napas dan mengecilkan diri ke pintu mobil selama Anael menyelesaikan pekerjaannya

Entah kenapa mobil yang terasa sejuk akibat AC itu tiba-tiba terasa sesak.

Setelah Fayla bisa duduk dengan baik. Ia menyadari Anael memarkirkan mobilnya di taman bermain yang ada di tengah-tengah blok rumah mereka. Taman penuh nostalgia yang telah banyak berubah. Sama seperti keduanya yang saat ini memandang ke arah yang sama. Ayunan yang menghadap ke arah lapangan lengkap dengan dua tiang gol yang dibuat dengan jaring buatan tangan. Saat ini tampak usang akibat tidak banyak generasi kanak-kanak penerus di blok tersebut.  

“Aku memerhatikan kau selalu duduk di ayunan sana. Menonton kami bermain bola. Namun jelas perhatianmu hanya tertuju pada Bahram seorang.”

Fayla menghela napas panjang. Karena ia memang pernah – bukan, beberapa kali – melakukan hal yang baru saja dikatakan oleh Anael tersebut. Namun Bahram tidak pernah sekalipun melirik ke arahnya. Bahkan ketika ia sudah menghabsikan uang jajan yang ia tabung untuk mentraktir para pemain sepak bola itu minuman dingin.

Bahram memilih untuk jajan minumannya sendiri.

“Pertimbangkanlah, Fay. Tidak ada yang lebih memahami perasaanku daripada kau,” ucapnya sangat lembut mengalahkan dengung AC mobilnya.

Diujung taman itu adalah rumah Fayla. Penunjuk waktu yang ada di dasbor mobil Anael menunjukkan lima belas menit lagi pukul sebelas malam. Anael menyadari arah pandang Fayla, membuat ia mendorong tuas transmisi dan mobil bergerak pergi.

“Aku tidak ingin Bunda memarahiku karena terlambat. Karena aku telah bersusah-payah untuk menenangkan hatinya.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 16

    Walau pernikahan itu dilaksanakan secara sederhana — menurut ukuran Mama Girish — Bahram merasakan kalau pernikahan ini diadakan bahkan lebih heboh daripada miliknya dulu. Karena kedua mempelai hanya berjarak sekitar dua ratus meter satu sama lain, para tetangga nyaris tidak butuh kendaraan. Mereka berlalu-lalang dari satu rumah ke rumah lain hanya dengan berjalan kaki. Anak-anak berlari-lari kecil mengitari teras rumah-rumah yang didekorasi seadanya, sementara para ibu menyusun hantaran.Ia bisa merasakan seluruh euforia dan antusiasme lingkungan ini terhadap pernikahan Anael dan Fayla. Akhirnya, keluarga Girish mewujudkan mimpi lama mereka — mimpi yang sempat terasa mustahil saat Fayla memilih merantau ke Ibu Kota. Untuk menjadikan Fayla Lachlan menantu keluarga mereka.Kata orang, seseorang yang akan menikah akan tampak lebih cantik. Itu tidak terkecuali bagi Fayla. Bahkan seluruh teman sepermainan mereka dulu mengakuinya, meski dalam bentuk candaan khas para lelaki yang sedang ber

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 15

    Suasana rumah Girish mencekam setelah kepulangan mereka dari pengepasan terakhir pakaian seragam pernikahan Anael dan Fayla. Cain merasakan suasana itu lebih dari siapapun di sana. Lebih dari pria yang baru saja pulang dari mengantar tunangannya untuk membagikan undangan.Cain tidak yakin apakah ia bisa dianggap beruntung apa tidak menjadi yang mendengar dengan cukup jelas apa yang dipertengkarkan oleh Jaibah dan Fayla di ruang ganti wanita tadi. Menjadi anak terakhir membuatnya telinganya menjadi sangat tajam untuk mendengarkan setiap teriakan paling keras ataupun bisikan paling lembut. Apalagi ditambah dengan kelebihannya untuk membaca situasi dan bertingkah sesuai dengan kebutuhan situasi tersebut.Suasana menegang, tentu saja. Namun Bunda Lachlan menjadi yang paling aktif untuk berusaha mencairkan suasana. Jaibah sudah menyentak pakaiannya, namun apapun yang pikirkan setelahnya ia urungkan karena Mama dan Papa Girish datang bersama Bahram tidak berapa lama kemudian.Dan wanita itu

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 14

    "Bagaimana rasanya ketika seluruh orang sepertinya tidak punya hal jelek untuk diceritakan tentangmu?” Itu Jaibah dari ruang ganti di sebelahnya. “Maaf?” Fayla yang masih berkutat dengan resleting belakang gaunnya itu tiba-tiba berhenti. “Apakah kau tidak menyadarinya? Atau kau sudah terbiasa dengan perhatian macam itu?”Fayla akhirnya berhasil dengan resleting. Menyentak tangannya turun dengan kepala mendongak ke arah asal suara. “Mbak Jaibah, aku...”“Tidak. Panggil nama saja. Toh, kau juga seperti itu dengan Mas Anael. Jadi bagaimana rasanya? Karena aku tidak pernah, selama ini.”Fayla mengerjap. Ia membuka pintu ruang gantinya untuk berdiri di depan ruang ganti Jaibah “Dengar, aku sama sekali tidak tahu apa yang kau bicarakan...”Hening sebelum Jaibah keluar dari ruangannya. Rambutnya disanggul ketat di tengkuk. Kebayanya tampak melekat sempurna di tubuhnya yang berisi. “Dan bisa-bisanya kau masih berlagak lugu seperti itu!” Lamunan Fayla memudar dengan Anael yang menginjak ped

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 13

    "Tolong hapus seringai itu dari wajahmu, Anael. Kau membuat para karyawanku takut," ujar Lauvi sambil mengerutkan wajahnya jijik. Ruang rapat kecil itu hanya menyisakan mereka berdua setelah pertemuan harian selesai. Anael baru saja membagikan undangan pernikahan kepada para mandor dan Lauvi, membuat suasana kantor mendadak lebih ramai dari biasanya."Kenapa tidak? Senyuman ini diperlukan untuk membuat seluruh ruangan tahu aku sangat senang dengan apa yang akan terjadi di masa depan," jawab Anael santai, menyugar rambutnya dengan jemari bercincin.Lauvi mendengus dan mencibir. "Aku jadi ingin tahu apa saja yang sudah kau katakan pada wanita malang itu."Anael hanya mengedikkan bahu. "Ia berkali-kali berkata kalau aku tampan dan aku bisa saja memilih siapa pun yang aku mau. Tapi aku memilih dia. Dan ia sepertinya menghargai itu.""Dan setelah semua alasanmu yang menyedihkan itu? Dia masih mau menerimamu?" Lauvi memutar mata, lalu menirukan gestur muntah sambil memegang perut, membuat A

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 12

    “Apapun yang diperlukan untuk membalas dendam menahun...”Karena benar seperti itu. Tanpa sadar pengalaman yang ia lalui akibat semua rumor itu membuat Fayla tidak percaya diri untuk menyukai seseorang yang menurut orang lainnya sangat tampan. Namun bukan berarti Anael tidak tampan. Ia bahkan sampai bertanya-tanya kenapa orang setampan Anael bisa memilih dia menjadi calon istrinya.Bukannya Fayla tidak mencoba membuka diri. Ia pernah menyukai seseorang yang menurutnya setara tampannya dengan Anael ketika ia kuliah. Namun hubungan itu berhenti ketika ia tahu pria itu ternyata menggunakannya hanya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Ternyata sudah sedalam itu pengalaman itu melukai dirinya.Jadi jika sesuatu terjadi Fayla sudah bisa mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk.Merasakan sesak yang amat sangat berada di dalam mobil setelah ciuman dadakan mereka. Fayla mengajak Anael untuk duduk di salah satu bangku terbuat dari beton dingin yang ada di alun-alun menghadap laut itu.

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 11

    “Kalian berdua pergilah. Ke mana, begitu. Untuk “pemanasan” sebelum hari H.” Bunda Lachlan ketika mereka berada di parkiran. Menolak ajakan Anael untuk mengantarnya pulang. “Tapi ingat. Sudah sampai rumah jam 11 malam, oke?”Anael tertawa sopan sebelum mengangguk. Fayla tidak memberi tanggapan apapun. Sikap tubuhnya tegang, pandangan matanya jauh. Kakinya mengetuk-ngetuk beton sebelum mencium pipi Bunda Lachlan lalu masuk ke mobil tanpa mengucap sepatah katapun lagi. Membuat Anael dan Bunda Lachlan bertukar pandang penuh arti.Mereka menjadi yang terakhir meninggalkan parkiran. Bunda Lachlan sendiri masuk ke mobil Cain dan mereka berpisah jalan. Anael membalas lambaian kelewat antusias dari Cain dan mengawasi kepergian mobil adiknya itu melalui kaca spion tengah.“Jadi kita “pemanasan” ke mana ini?” tanya Anael setelah kedua mobil rombongan lain berada cukup jauh.Fayla menghela napas panjang. Salah satu lengannya bertopang di pintu mobil sebelum menyebutkan nama pantai pinggir kota y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status