Fayla muda berusia enam belas tahun baru saja menutup bukunya ketika ia menyadari suara bisik-bisik menggema dan sangat mengganggu terjadi di seluruh perpustakaan. Ia mengedarkan pandangan dan menyadari beberapa gadis yang tersebar duduk di banyak saling berbisik dan melirik ke arahnya dengan dahi mengerut.
Ia ingin menghiraukannya. Ini bukan kali pertama Fayla menjadi bahan gosip seluruh sekolah. Ibu Girish menegurnya dengan sangat ramah hingga menimbulkan tatapan penuh tanya oleh seluruh teman kelasnya. Lalu beberapa pekan kemudian ia mendebat habis salah seorang gadis satu tingkat di atasnya akibat perundungan yang tidak ada hubungannya dengan menjadi bagian dari klub buku.
Setelah itu setiap gerak-geriknya diawasi oleh banyak pasang mata.
Dengung itu makin keras. Fayla bahkan mendengar namanya disebut secara terang-terangan sekarang. Ia juga mendengar nama “Girish Bersaudara” terikut. Ia tidak tahan. Diletakkannya kembali buku yang baru saja ia baca kembali ke lemari sambil menarik napas panjang.
Seharusnya ia sudah terbiasa dengan semua itu.
Fayla baru saja keluar dari perpustakaan sekolah ketika tiba-tiba lengannya di tarik ke samping. Ia nyaris menjerit, namun ia urungkan begitu menyadari jika salah satu teman satu klub bukunya yang melakukannya. Gadis itu menariknya ke salah satu lorong sepi menuju toilet umum sekolah. Mendorongnya hingga punggung menempel pada dinding yang dingin. Ia mengaduh kesakitan.
“Fayla, ada yang ingin kutanyakan padamu.”
Fayla yang masih meringis sambil menggosok-gosok belakang pundaknya itu hanya menatap gadis dengan jepit rambut bentuk bintang besar berwarna merah muda.
“Apa benar kau adalah calon menantunya Ibu Girish?”
Pertanyaan itu membuat Fayla berdiri tegak. “Apa?”
“Iya! Beliau sendiri yang mengatakannya padaku.”
Jadi gadis itu menceritakan jika Ibu Girish memintanya untuk mengumpulkan tugas susulan teman sekelasnya dan dititipkan pada Fayla. Dan ketika gadis itu bertanya apa hubungan Ibu Girish dengan Fayla, beliau menjawab dengan...
“...Karena dia adalah calon menantuku.”
Fayla mengerang keras. Dalam hati ia berdoa akan “keselamatan dirinya sendiri.”
“Namun ketika aku tanya lagi “Fayla itu calon istri untuk anaknya yang mana?” Cain yang seangkatan dengan kita? Kak Bahram kelas 11 atau Kak Anael kelas 12?” Kau tahu apa yang beliau lakukan? Beliau hanya tertawa! Tapi entah kenapa semua orang menebak kalau itu adalah Kak Bahram.”
Fayla juga ikut tertawa, namun lebih ke arah miris.
“Jadi apa itu benar?” desak gadis itu lagi.
Fayla menyisir rambutnya ke samping sebelum berkata, “Dengar. Aku tidak tahu menahu soal itu. Itu mungkin hanya lelucon.”
Tapi sekelompok gadis terdiri dari tiga orang baru saja melewati mereka dan memberinya tatapan mencemooh. Fayla merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan.
Gadis itu sepertinya sudah mendapatkan jawabannya karena Fayla jelas sama tidak tahunya dengannya. Ia sekarang memberi Fayla tatapan penuh simpati. Ia kemudian meminta Fayla ikut dengannya untuk mengambil tumpukan buku bersampul kuning yang dimasukkan ke tas kain.
Fayla lalu kembali berjalan menuju kelasnya dengan tas itu. Langkah kakinya terasa sangat berat. Masa masa SMA-nya harus ternodai seperti ini.
Ia berjalan dengan kepala menunduk dan tanpa sadar nyaris menabrak seseorang di depannya. Ia berhenti mendadak dan tepat waktu. Ia mendongak, mengucapkan permintaan maaf berulang kali dan langsung menutup mulutnya ketika menyadari orang yang nyaris ia tabrak adalah Bahram. Di sebelahnya berdiri pacarnya. Seorang gadis dengan tubuh kurus, kulit putih bening, rambut hitam panjang bergelombang sepunggung yang seangkatan dengan pemuda itu.
Salah seorang primadona sekolah.
Mereka berjalan dengan saling menggenggam tangan. Fayla yang butuh waktu untuk menyadari posisinya saat ini akhirnya mundur selangkah. Memberi mereka jalan. Namun primadona itu dengan suaranya yang sangat mendayu berkata,
“Kau harus melihat jalan yang kau lewati, Fayla.”
Fayla mengerjap. Bahram bahkan memandang ke arah lain. Sikap tubuhnya tidak nyaman. Entah sikap pemuda itu dan kalimat yang baru saja terucap itu membuat jantungnya terasa seperti baru saja tertusuk paku. Menusuk hingga ke bagian belakang punggungnya. Apalagi ketika melihat keduanya berjalan melewatinya dengan kedua tangan bertautan.
Gadis itu bahkan bergelendotan di lengan Bahram. Seakan ingin menunjukkan padanya kalau mereka tidak terpengaruh oleh gosip yang baru saja tersebar itu.
***
Fayla berusia tiga puluh satu tahun menggeliat sambil membuka mata. Berusaha sekuat tenaga untuk mengingat di mana ia sedang berada. Mimpi masa remajanya itu datang kembali disaat paling tidak ia inginkan. Sakitnya bahkan masih terasa sampai sekarang. Penolakan dalam setiap sikap yang ditunjukkan oleh Bahram hari itu membuatnya mempertanyakan perasaan dan perasaan pria yang pernah menyatakan cinta padanya.
“Well, aku tidak berani membangunkanmu.”
Fayla tersentak lalu duduk tegak. Ia ternyata masih berada di mobil Anael. Merutuki dirinya sendiri dengan kebiasaannya yang langsung mengantuk jika sudah kenyang. Ia menyisir rambutnya ke atas dan tanpa sengaja terbelit dengan sabuk pengaman. Membuat Anael membungkuk ke arahnya untuk membantunya keluar dari lilitan tali tersebut.
Pria yang ada dibalik kemudi ini jelas juga butuh untuk dipertanyakan motifnya.
Napas hangat pria itu menerpa wajahnya. Mereka sangat dekat hingga Fayla bisa mencium aroma yang menguar dari pria itu. Poninya menutup sebagian matanya sehingga Fayla harus mundur agar mereka tidak saling bersentuhan. Ia menahan napas dan mengecilkan diri ke pintu mobil selama Anael menyelesaikan pekerjaannya
Entah kenapa mobil yang terasa sejuk akibat AC itu tiba-tiba terasa sesak.
Setelah Fayla bisa duduk dengan baik. Ia menyadari Anael memarkirkan mobilnya di taman bermain yang ada di tengah-tengah blok rumah mereka. Taman penuh nostalgia yang telah banyak berubah. Sama seperti keduanya yang saat ini memandang ke arah yang sama. Ayunan yang menghadap ke arah lapangan lengkap dengan dua tiang gol yang dibuat dengan jaring buatan tangan. Saat ini tampak usang akibat tidak banyak generasi kanak-kanak penerus di blok tersebut.
“Aku memerhatikan kau selalu duduk di ayunan sana. Menonton kami bermain bola. Namun jelas perhatianmu hanya tertuju pada Bahram seorang.”
Fayla menghela napas panjang. Karena ia memang pernah – bukan, beberapa kali – melakukan hal yang baru saja dikatakan oleh Anael tersebut. Namun Bahram tidak pernah sekalipun melirik ke arahnya. Bahkan ketika ia sudah menghabsikan uang jajan yang ia tabung untuk mentraktir para pemain sepak bola itu minuman dingin.
Bahram memilih untuk jajan minumannya sendiri.
“Pertimbangkanlah, Fay. Tidak ada yang lebih memahami perasaanku daripada kau,” ucapnya sangat lembut mengalahkan dengung AC mobilnya.
Diujung taman itu adalah rumah Fayla. Penunjuk waktu yang ada di dasbor mobil Anael menunjukkan lima belas menit lagi pukul sebelas malam. Anael menyadari arah pandang Fayla, membuat ia mendorong tuas transmisi dan mobil bergerak pergi.
“Aku tidak ingin Bunda memarahiku karena terlambat. Karena aku telah bersusah-payah untuk menenangkan hatinya.”
***
“Apa kau mau menceritakan pada Bunda apa saja yang kalian bincangkan semalam?”Fayla yang sedari tadi sedang membaca setiap kiriman yang ada pada beranda Linkeidn langsung mematikan layar ponselnya dan berkata dengan senyum simpul, “Tidak banyak.”Suasana ruang tunggu rawat jalan rumah sakit umum daerah tempat mereka saat ini cukup ramai akibat awal bulan. Wajah-wajah paruh baya mendominasi ruangan tersebut. Di temani oleh sanak keluarga yang membantu memegangkan amplop berisi kertas berbagai macam hasil pemeriksaan. Sebagian tampak melamun di kursinya. Sebagian lagi sedang sibuk sarapan dengan jajanan pasar yang dibungkus dalam plastik makanan.Agar mendapatkan kuota pemeriksaan penyakit dalam. Mereka – termasuk Fayla dan bunda – harus datang sangat pagi dan mengantri untuk mendapatkan nomor antrian. Bersama para pemegang asuransi milik negara dan para pensiunan lainnya. Akhirnya mereka baru bisa duduk tenang menunggu giliran untuk bertemu dokter pada pukul sembilan pagi.“Kau tahu k
Fayla muda berusia enam belas tahun baru saja menutup bukunya ketika ia menyadari suara bisik-bisik menggema dan sangat mengganggu terjadi di seluruh perpustakaan. Ia mengedarkan pandangan dan menyadari beberapa gadis yang tersebar duduk di banyak saling berbisik dan melirik ke arahnya dengan dahi mengerut.Ia ingin menghiraukannya. Ini bukan kali pertama Fayla menjadi bahan gosip seluruh sekolah. Ibu Girish menegurnya dengan sangat ramah hingga menimbulkan tatapan penuh tanya oleh seluruh teman kelasnya. Lalu beberapa pekan kemudian ia mendebat habis salah seorang gadis satu tingkat di atasnya akibat perundungan yang tidak ada hubungannya dengan menjadi bagian dari klub buku.Setelah itu setiap gerak-geriknya diawasi oleh banyak pasang mata. Dengung itu makin keras. Fayla bahkan mendengar namanya disebut secara terang-terangan sekarang. Ia juga mendengar nama “Girish Bersaudara” terikut. Ia tidak tahan. Diletakkannya kembali buku yang baru saja ia baca kembali ke lemari sambil menar
“Mungkin kau benar. Ingatanku bercampur aduk antara kau dan Bahram. Namun yang aku tahu dengan pasti aku tidak pernah mengobrol dengan salah satu dari kalian sebanyak ini selama seumur hidupku.” Fayla menunjuk Anael dengan sumpit dan tangannya yang lainnya menopang dagu. Kelakuan yang jelas membuat Fayla dicubit oleh bunda jika beliau melihatnya.“Well, itu karena kau menampakkan dengan jelas kalau kau menyukainya.”“Itu ketika usiaku sepuluh tahun, demi Tuhan. Dan ibumu menambah bensin ke api ketika beliau membuat pemberitahuan kalau aku adalah calon anak menantunya. Di sekolah! Padahal itu sudah bertahun-tahun setelahnya.”Anael mengelap mulutnya dengan tisu. “Aku rasa kita tidak bisa menyalahkan Mama-ku sepenuhnya. Kau berprestasi, beberapa kali memenangkan kontes memasak sekolah, dan berkelahi dengan kakak kelas ketika masih di kelas 10?” Pria itu menyeringai. Matanya berbinar entah karena kepedasan atau karena kata-katanya tadi.“Sekarang lupakan dulu masa lalu. Kita butuh membah
Walau dengan amat berat hati. Fayla menghabiskan sisa sore itu berdebat dengan bunda pakaian apa yang bisa ia gunakan untuk acara makan malamnya dengan Anael. Fayla tidak ingin ia terlihat seperti bersusah-payah atau mencoba mendapatkan nilai tambah di mata pria itu. Toh, Fayla belum tahu motif pria itu dan alasannya kenapa begitu keras kepala untuk menikahinya.Jadi ia memilih pakaian kasual biasa yang terdiri dari sebuah kemeja longgar berwarna biru laut, ditambah kaos putih di dalamnya, dan celana jeans. Sedangkan bunda memaksanya untuk memakai pakaian yang lebih feminin. Berupa blouse dan rok span semata kaki. Tapi ia bersikeras hingga membuat bunda menyerah.“Kalau begitu paling tidak pakai ini.” Bunda mengeluarkan sebuah cincin perak dengan batu permata putih keci di tengah dari kotak perhiasannya dan menyematkannya di jari manis kiri Fayla.“Ini...”“Iya, cincin kawin mendiang ayahmu. Anggap saja ini cincin tunangan sementara.”Fayla baru akan membantah, namun Bunda sudah meng
“Bunda, sejak kapan besanan dengan Om dan Tante Girish adalah mimpi Bunda juga?” Fayla dengan rambutnya yang masih dalam gulungan handuk. Keluarga Girish sudah pulang sedari tadi dan keinginannya untuk istirahat hilang sudah. Namun Bunda Lachlan menyuruhnya untuk membersihkan diri sebelum ia sempat buka mulut untuk menuntut penjelasan.“Lho, bukannya sejak dulu Bunda juga memanggil beliau dengan sebutan “besan”?” Bunda Lachlan yang sedang membongkar tas oleh-oleh Fayla dan memasukkan sebagian isinya ke kulkas.“Tapi, kan bukan dengan Anael...”Wanita itu paruh baya itu memberi Fayla pelototan. Namun ia tetap melanjutkan dengan keras kepala, “Kan, memang benar!”Ia memerhatikan bunda menghela napas. Perlahan berdiri dari sikap membungkuknya sambil menutup pintu kulkas. “Abang Anael, Fayla. Dan sudah waktunya kau memikirkan masa depanmu.”Handuk tersentak lepas dari rambut Fayla, tampak tidak terima. “Masa depanku adalah membesarkan warung makan Bunda dan hidup bahagia selamanya bersama
Fayla Lachlan dengan keadaan yang sayu dan pakaian berantakan baru saja keluar dari pintu kedatangan bandar udara kota tempat kelahirannya. Dirinya langsung diterpa udara pengap, ciri khas kota yang berada di pinggir laut. Suara riuh para sopir taksi gelap terus saja berteriak ke arahnya yang membuatnya risih, namun berusaha keras untuk tidak tampak di wajahnya.Karena Fayla tahu ia harus kembali membiasakan diri dengan keadaan yang berbanding terbalik dengan ibukota. Baik seluruh tubuh dan perasaannya.Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru untuk mencari wajah familiar yang seharusnya datang untuk menjemputnya. Namun ia malah mendapati wajah lain yang saat ini memberinya isyarat untuk mendekat menggunakan lambaian tangan. Fayla menghela napas lega, namun bukan berarti kekhawatirannya belum sirna.“Om Ian sendirian?” Fayla mengerutkan dahi. Masih berharap bundanya muncul di balik tubuh Om Ian. Seorang pemilik rental mobil yang menjadi langganan keluarganya yang seluruhnya perantauan