Home / Urban / Dendam Membara Sang Pewaris! / 2. Aldan Bukan Pembunuh!

Share

2. Aldan Bukan Pembunuh!

Author: imam Bustomi
last update Last Updated: 2022-08-08 12:47:14

Di ruang VIP penerima tamu bandara Soekarno-Hatta di Kota Jakarta, Aldan tersenyum hangat saat dirinya melihat kedatangan seorang wanita berusia 50 tahunan.

Dia adalah Bundanya,“Selamat datang kembali di Negara kelahiranmu, nak.”

Aldan tersenyum lembut. Lalu dia meraih tangan wanita berambut sebahu itu dan langsung menciumnya dengan penuh kasih sayang, “Makasih Bunda sudah menyambut kedatanganku.”

“Mana mungkin Bunda gak menyambutmu pulang? Emm mari pulang. Bunda sudah menyiapkan tempat tinggal khusus untuk anak Bunda.” Wanita yang memakai kacamata hitam dan masker itu tersenyum dengan penuh kasih sayang, meskipun Aldan bukan anak kandungnya. “Bunda juga sudah menyusun rencana biar kamu bisa masuk di perusahaan tempat Papamu dulu bekerja.”

“Makasih, Bunda. 10 tahun bukan waktu yang singkat. Aldan menderita, tersiksa ... Sekarang waktunya Aldan menuntut keadilan. Mereka harus merasakan apa yang Aldan, Papa, Mama rasakan.”

Energi membunuh dalam diri Aldan mulai keluar. Tatapannya menerawang jauh, membayangkan para pembunuh yang menghabisi nyawa kedua orang tercinta.

Wanita itu tersenyum sembari menepuk bahu Aldan, “Kamu benar. Kamu harus menemukan siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan kedua orang tuamu. Mereka harus dihukum seberat-beratnya ... Bersihkan namamu, buktikan pada dunia bahwa kamu tidak bersalah ... Tapi kamu harus tetap waspada. Jangan sampai amarahmu menghancurkan rencanamu sendiri.” 

10 tahun silam!

Pihak kepolisan malah memberi keterangan yang mengejutkan. Penyelidikan yang mereka lakukan menyimpulkan bahwa pembunuh Chandra dan Yuyun adalah anak kandungnya sendiri, Aldan.

Mendengar itu, tentu saja Aldan sangat sedih, terluka, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu. Namun, publik justru percaya dan termakan oleh keterangan kepolisan. Akibatnya, semua orang sangat membenci dan mengutuk Aldan dengan kalimat sampah. Di saat itu pula, datang wanita yang menyelamatkan Aldan dan membawanya pergi ke Malaysia.

***

Aldan pergi mengunjungi daerah lain di kediaman Kakeknya. Namun, dia datang bukan sebagai Aldan Pratama Chandra Putra. Dia membawa identitas lain, menyamar dengan memakai rambut palsu serta aksesoris yang mendukung.

Saat tiba di sana, tampaknya ada sebuah pesta yang sedang berlangsung. 

‘Pesta apa ini?’ batin Aldan bertanya sambil tetap membawa langkahnya masuk ke dalam dan berbaur dengan tamu pesta.

Aldan semakin berjalan menyusuri ruangan tengah yang dipadati tamu pesta. Langkahnya terhenti ketika melihat dua bingkai foto besar mendiang Chandra dan Yuyun terpampang di samping sebuah banner pesta yang ada di depan.

Kedua mata Aldan berkaca-kaca tak kuasa menahan tangis. Perasaan sedih yang amat mendalam membekas hingga detik ini.  Jiwa dan raganya terkoyak setiap kali mengingat kematian mengenaskan kedua orang tuanya. 

Aldan segera mengusap air mata saat hampir saja terjatuh. Pandangannya bergeser ke arah banner pesta dan membacanya, “Ow jadi kakek mengadakan pesta tahunan dan mengundang banyak orang.”

Di titik ini, pria sepuh berjalan ke depan dan berdiri tepat di depan banner. Seketika itu pula, tamu pesta menatap dengan tatapan penuh hormat. Aldan yang memperhatikannya Pun menerbitkan senyuman, ada kerinduan yang mendalam di matanya.

Dia adalah Ilham , kakek Aldan.“Setiap tahun, keluarga kita mengadakan pesta sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Terima kasih pada saudara yang berkenan hadir.” 

Ilham menghentikan ucapannya sebentar. Dia terlihat sangat sedih, “Andai anakku Yuyun dan suaminya, Chandra masih hidup ... kebahagiaan keluarga ini semakin lengkap. Meski 10 tahun, bahkan sampai aku mati ... aku masih merindukan mereka.”

“Ini semua gara-gara anaknya yang biadap membunuh kak Chandra dan kak Yuyun.” Tiba-tiba ada orang yang menyahut dengan penuh emosi. Dia adalah Syarif, saudara kandung Yuyun. “Aldan, anak iblis! Dia bukan manusia! Jika sekarang anak itu masih hidup, aku berdoa semoga hidupnya menderita. Jika anak itu sudah mati, aku yakin dia membusuk di neraka!”

Sumpah serapah itu membuat hati Aldan tertusuk. Dia menangis dalam hati karena menanggung derita yang bukan kesalahannya. Namun, dia tidak marah. Dia memaklumi kenapa Syarif merutukinya, itu karena termakan oleh hasutan para pembunuh itu.

“Tidak ada yang tau keberadaan Aldan. Apakah dia masih hidup atau sudah membusuk di Neraka? Tapi dimanapun dia berada, Tuhan pasti menghukumnya.”

“Ya, anak durhaka seperti Aldan tidak pantas hidup.”

“Dia pasti kekal di jurang neraka.”

Awalnya Aldan cukup tenang, tetapi dia tidak bisa menahan lagi saat para tamu pesta ikut memberikan sumpah serapah padanya atas dosa yang tak pernah dia lakukan.

“Cukup! Aldan bukan pembunuh! Aldan difitnah!”

Suara lantang Aldan seperti memiliki kekuatan magic sehingga membuat seluruh tamu pesta melihat ke arahnya.

Dia? Siapa dia? Semua orang pun kasak-kusuk mempertanyakan orang yang berani bicara lantang itu.

“Siapa kamu? Sepertinya aku gak mengenalmu.” Syarif berjalan mendekati Aldan dengan tatapan penuh curiga. “Siapa kamu? Kenapa kamu bilang seperti itu barusan?”

“Aku teman kecil Aldan. Dulu aku sangat akrab dengannya. Aku sangat mengenalnya, Aldan anak baik, Aldan bukan pembunuh. Aldan juga korban dari pembunuhan itu.” Aldan serius memberitahu kebenaran, meskipun dia berbohong mengenai identitas aslinya.

“Semua orang pun dulu sempat percaya dengan bualan anak iblis itu! Siapa yang bakalan menduka Aldan akan membunuh orang tuanya? Tidak ada ... Tapi setelah polisi menyelidikinya, bukti-bukti pembunuhan mengarah pada Aldan.” Syarif merespon dengan wajah serius, semua orang pun mengangguk.

“Yang dikatakan anakku, benar. Dulu kakek juga gak percaya, tapi bukti-bukti itu sangat kuat. Aldan tega membunuh kedua orang tuanya dengan sangat kejam.” Ilham menyahut. Lalu dia berjalan mendekati Aldan dengan wajah berbalut kesedihan. “Polisi berhasil menemukan fakta di balik pembunuhan itu. Aldan membunuh karena cuma masalah sepele. Dia gak diberikan uang buat beli laptop mahal buat dipamerin ke teman-temannya. Kakek gak habis pikir. Kenapa cucuku menjadi seorang pembunuh?”

Syarif mengusap air matanya yang menetes, Aldan pun juga tak kuasa menumpahkan air mata. Aldan bersedih karena kakek dan kerabat lainnya termakan oleh tipu daya para pembunuh itu.

“Aku mengerti apa yang kamu pikirkan, tapi itulah kenyataannya,” kata Syarif sambil menepuk pelan bahu Aldan.

“Mereka berbohong. Mereka telah memberikan keterangan palsu. Bukan Aldan yang membunuh Papa Mamanya, tapi justru mereka yang membunuh. Dan salah satu pembunuhnya adalah seorang polisi,” ungkap Aldan lembut meskipun dia tahu semua orang tidak akan percaya, tetapi setidaknya dia berusaha membuka mata kebenaran.

Namun, Ilham dan Syarif justru mulai menaruh rasa curiga kembali setelah mendengar penjelasan Aldan.

“Siapa kamu sebenarnya? Atas dasar apa kamu membela Aldan?” tanya Syarif memicingkan mata. Lalu perlahan dia melebarkan matanya. “atau jangan-jangan kamu ...”

Syarif menggantungkan ucapannya, semua orang pun curiga dan menebak-nebak orang asing itu yang datang ke pesta. 

“Siapa kamu? Jawab!” Seorang perempuan cantik datang mendekat dengan raut wajah memerah.

Dia adalah sepupu Aldan. Namanya Nisa, “Ow jangan-jangan kamu orang suruhan Aldan? Kamu datang buat menghasut kami, bukan?!” tanya Nisa meninggikan suaranya.

“Hah? Aldan masih hidup?” tanya Syarif sambil mengepalkan tangan. Lalu tiba-tiba dia mencengkeram kerah baju Aldan dengan penuh emosi. “Dimana anak iblis itu berada? Cepat katakan! Aku ingin membunuhnya!”

“Aku mengetahui segala-nya.” Aldan kesusahan berbicara karena cengkeraman Syarif sedikit mencekik lehernya. “Aku saksi pembunuhan itu, aku berada di tempat kejadian.”

Syarif melepaskan cengkeramannya, tetapi tatapannya masih terpancar kecurigaan yang amat besar.

“Jika memang kamu berada di tempat kejadian, jelaskan pada kami apa yang sebenarnya terjadi,” pinta Ilham ramah. Sepertinya dia tak sabar mendengarkan penjelasan orang asing di hadapannya, karena di lubuh hatinya dia berharap bahwa Aldan memang bukan sang pembunuh.

“Tidak perlu!” Ada suara lantang yang menyahut dan berjalan mendekat. Dia adalah anak pertama Ilham, namanya Mukafi. Dia menatap Aldan dengan senyuman miring. “jelaskan saja di kantor polisi. Aku yang akan membawamu kesana.”

Syarif dan Nisa mengambangkan senyuman. Mereka mengerti maksud dari Mukafi yang berpikir bahwa orang asing itu adalah penjahat suruhan Aldan untuk menghasut keluarga ini.

Sementara itu Aldan seketika berpikir keras. Dia tidak mungkin pergi ke kantor polisi karena identitasnya pasti terbongkar. Balas dendamnya masih belum dimulai, dia tidak mau 10 tahun penantian berakhir sia-sia. Dia harus menghukum para pembunuh kedua orang tuanya.

“Kenapa diam? Takut?” tanya Mukafi, diiringi dengan senyuman seringai di bibir. “Kamu sudah tertangkap basah, bung. Apa Aldan menyuruhmu berakting di depan semua orang? Tidak semudah itu, bung. Kami tidak bodoh!”

Semua orang pun kini sangat yakin bahwa orang asing itu adalah penjahat suruhan Aldan. Dengan kata lain, Aldan masih hidup.

PLAK!

Tiba-tiba Ilham memberikan tamparan keras pada Aldan. 

“Kurang ajar!” berang Ilham dengan wajah memerah dan otot-otot leher tuanya menyembul di atas permukaan kulit. “Dimana Aldan? Aku ingin menghajarnya!”

“Kakek, aku—”

“Aku bukan kakekmu. Cepat katakan dimana Aldan bersembunyi. Dia harus bertanggung jawab atas semua dosa-dosanya,” potong Ilham tegas.

Saat ini Aldan menahan air mata yang mulai memberontak ingin keluar. Dia menderita selama 10 tahun lamanya, ditambah lagi keluarga besarnya sangat membenci dirinya atas sesuatu yang tak pernah dia lakukan.

“Aku sudah menelpon polisi. Tahan dia.” Istri Syarif berucap. Dia Melanie. “Bodoh sekali! Aldan sendiri yang memberi tahu persembunyiannya dengan mengirim orang ini datang kesini.”

Mendengar ucapan Melanie, mata Aldan bergerak-gerak memperhatikan sekitar. Dia tidak mau kejadian 10 tahun lalu terulang kembali saat dirinya tertangkap dan hampir terbunuh oleh sang pembunuh. Saat ini dia harus pergi sebelum polisi datang.

Namun, saat tubuh Aldan bergerak sedikit saja, Mukafi memegang kuat tangan kanannya.

“Mau kemana? Tunjukkan keberadaan Aldan. Dia harus mendapatkan hukuman seberat-beratnya!” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   113. Dhea Belum Siap

    Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   112. Bukan Malaikat Penolong

    Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   111. Dhea Justru Ketakutan

    Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   110. Deal?

    “Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   109. Temuilah Akhir Riwayatmu!

    Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   108. Aldan Melihat Kalung Liontin

    Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status