Raksa datang ke kantor hampir mendekati jam makan siang. Wajahnya terlihat berseri ketika menyapa anak buahnya."Selamat pagi!"Dex dan Jack dibuat terheran heran, "ini sudah siang bos! Apa pagimu menyenangkan? Sepertinya segar bugar habis berolahraga?" tanya Jack sedikit sarkas, Dex terkekeh geli.Raksa menatap dua anak buahnya bergantian. Ia memicingkan mata kemudian berkata, "Aku akan mencatat kalimat itu dalam buku merah kalian!"Dex dan Jack seketika terkesiap, "Oh no, jangan lakukan itu, Capt! Kita cuma bercanda ya kan Dex?!" Ucapan Jack terdengar tulus, ia sungguh tak berharap Raksa melakukannya.Raksa terkekeh geli, "Bawa masuk perkembangan terakhir dua kasus kita! Aku ingin laporan lengkapnya sekarang!""Oke, pak!""Dimana Airlangga dan Dian?" Raksa mencari dua timnya yang lain."Ke pusat forensik, mencari tahu si jaket hitam!" jawab Dex cepat."Ah, jaket hitam! Sayang sekali dia mati! Aku tunggu dalam sepuluh menit!" seru Raksa yang berlalu menuju kantornya."Lihatlah dia, t
"Yap, ada apa?" Raksa akhirnya menjawab panggilan dari Willy."Anak-anak mau ngajak kamu ketemuan, malam nanti di kafe ku?" Suara Willy terdengar payah diseberang sana."Ehm, ok. Jam berapa?""Good, sembilan malam! Sepulang kerja, mereka merindukanmu kawan!" Willy lagi-lagi terdengar kesulitan mengatur nafas."Wil, you ok?""Yup, treadmill bro! Aku juga ingin sehat seperti kalian!" sahutnya dengan tawa."Aku pikir kau sedang makan pedas." balas Raksa mengusap keningnya dari peluh."Nope! Oh ya satu lagi kamu ingat Francis? Dia juga datang, mau pamer kalau dia bisa jadi guru mematahkan ucapan pak Fatah yang mengatainya dulu!" Willy begitu bersemangat menceritakan siapa saja yang bakal hadir, melupakan nafas setengah-setengah yang menganggu.Raksa mencoba mengingat orang yang dimaksud Willy, seingatnya Francis murid dengan IQ standar dan sialnya ia selalu menduduki peringkat terbawah di kelas. Lalu bagaimana bisa dia menjadi guru? Dunia memang terkadang bekerja dengan ajaib."Sepertinya
Nafas Raksa tersengal, kepalanya berdenyut kencang diikuti tetesan darah yang perlahan keluar dari hidung. Ia terlalu memaksakan diri untuk mencoba kemampuan baru. Raksa masih belum memahami cara kerjanya dan tubuh Raksa perlu penyesuaian diri."Capt! Cepat ambilkan air!" Airlangga berseru pada Dian, detektif muda itu membantu Raksa berdiri dengan benar."Apa yang terjadi?" Airlangga bertanya setelah berhasil membantu Raksa duduk di kursi.Raksa tidak menjawab, tangannya menopang kepala yang masih terasa berat. Bisikan itu kembali muncul membuat suara Airlangga terasa bergema di ruang hampa.Detektif, tolong aku …,Pandangan mata Raksa membayang, ada sosok lain yang berdiri mematung menatapnya di sebelah Airlangga. Bayangan samar yang tak jelas. Raksa tanpa sadar telah membuka pintu dua dunia untuk nya. Kalung yang dikenakannya menghangat di balik kemeja."Siapa kau?" Raksa bergumam lirih,"Siapa? Airlangga, Capt! Apa kau lupa?" Airlangga mengerutkan dahi, cemas dengan kondisi Raksa.
Dex dan Jack pergi ke sekolah tempat Amelia dan Ronald dulunya menimba ilmu. Meski berasumsi terlalu jauh, tapi kedua detektif muda ini tetap menjalankan perintah Raksa."Aku heran, kenapa dia tidak memerintahkan kita untuk menyelidiki tempat kerjanya saja bukankah itu lebih memungkinkan dan lebih update?" Dex menggerutu di perjalanan.Jack menyeringai sinis, "jika tidak begitu bukan bos kan namanya?"Dex tergelak, "tapi asumsinya yang terlalu jauh, Jack!""Hmm, tidak juga aku rasa. Pembunuhan ini bermotif dendam, aku sepaham dengan dia. Dendam tidak terjadi begitu saja, perlu waktu yang cukup panjang untuk membuat seseorang berbuat nekat.""Perlu pemantik untuk memicu satu kejadian kan?" Dex melanjutkan."Tepat sekali, kejadian terdekat bisa jadi menimbulkan dendam yang sifatnya masif tapi itu terjadi karena kesalahan fatal dan biasanya dilakukan cepat tanpa perhitungan jelas. Tapi dua kejadian ini menurutku begitu rapi." Jack berkata semakin lirih sambil membayangkan runutan cerita
Dex menajamkan pandangan ke arah ruangan gelap -dimana penampakan sosok hitam terlihat- samar terlihat siluet manusia di dalam sana. Ia memicingkan mata tapi seketika lututnya lemas.Sepasang mata merah menyala membalas tatapannya. Dex gemetar, ingin berteriak tapi malu dengan profesi. Ia tak ingin dilihat lemah oleh rekan kerjanya. Apalagi Jack, detektif satu angkatannya itu paling kesal jika membahas perhantuan."Hei, ada apa? Kenapa kau menatap terus ke arah itu?" Tepukan Jack memutuskan Dex dari tatapan si mata merah."Kau lihat disana Jack?" tanya nya dengan terbata.Jack meneropong sesuai arah pandang Dex, ia mengernyit heran lalu berpaling menatap Dex. "Kau terlalu banyak berhalusinasi kawan! Ayo masuk dan jangan biarkan dirimu terjebak dalam ilusi hantu konyol!" Lagi-lagi Jack menarik lengan baju Dex agar mengikutinya masuk ke ruangan kepala sekolah. Seorang lelaki dengan rahang tegas, rambut klimis -dengan kebotakan di bagian tengah kepala- terlihat duduk memperhatikan layar
Selagi Dex dan Jack memeriksa keterkaitan Amelia dan Ronald, terjadi keributan di hunian mewah tempat lokasi terbunuhnya Ronald. Para penghuni apartemen ketakutan dan merasa mendapat teror hantu Ronald yang iseng membuka dan menutup lift. Tentu saja hal ini berimbas pada harga sewa apartemen dan merugikan sang pemilik."Brengsek! Gara-gara dia aku harus mengalami kerugian! Kalau begini tidak ada yang mau menyewa atau tinggal di apartemen ini!" Pria gemuk dengan rambut ikal dan berkacamata melemparkan sejumlah kontrak sewa dan jual beli apartemen di gedung miliknya."Apakah yang menjual kembali apartemen kita juga banyak sayang?" Wanita cantik berpakaian khas Chinese dengan belahan samping yang begitu tinggi hingga nyaris memperlihatkan seluruh tungkai indahnya itu bertanya seraya mencondongkan tubuhnya pada si pria gemuk bermarga Han."Tentu saja! Mereka takut dan merasa hantu Ronald itu melakukan teror setiap malam. Bahkan tak ada yang berani menaiki lift sialan itu meski aku sudah
Usai membayangkan keliaran pikiran mereka tentang pak Han dan Mira, keduanya kembali mengobrol ringan. Ditemani kudapan ringan waffle double cheese dengan saus karamel."Apa kau tidak mencurigai kekasih Ronald? Bisa jadi dia pelakunya karena dendam. Sering terjadi bukan jika pembunuhan kejam justru dilakukan oleh pasangan sejenis?" Alex masih penasaran dengan kenyataan bahwa Ronald menyimpang."Curiga pasti ada, tapi itu bukan ranah ku, kawan! Tapi melihat bagaimana temanku itu terpukul, rasanya tidak mungkin jika dia pelakunya."Dahi Alex berkerut, "Setiap orang bisa menjadi tersangka, termasuk temanmu! Seorang psikopat pintar membuat alibi demi menutupi perbuatannya!"Danny menghela nafas panjang. "Aku harap Kevin bukan orang seperti itu! Aku mengenalnya sejak kecil, meski dia berbeda aku yakin bukan dia pelakunya.""Semoga saja. Tapi itu memang pembunuhan terkeji yang pernah aku lihat. Kau tau bau anyir darah bahkan masih tercium meski kami sudah berusaha menghilangkannya dengan be
Raksa duduk berhadapan dengan Donny dan Alex. Airin ditinggalkan sendiri setelah memastikan dokter kejiwaan itu tidak keberatan. Danny mengumpat dan menggerutu pada Alex karena sekretaris pak Han itu bertindak tanpa meminta persetujuan darinya."Alex, kenapa kau panggil dia kemari bodoh!" bisiknya sambil menahan senyuman pada Raksa."Hei aku memanggilnya kemari ada tujuannya kawan. Dia detektif yang menangani kasus Ronald dan aku butuh kepastian untuk menenangkan para penyewa. Setidaknya jika perkembangan kasus positif aku bisa meyakinkan mereka jika gedungku aman.""Yeah, aman tapi tidak dengan hantu!" Danny masih kesal dan jawaban Alex tidak memuaskannya.Alex mengedikkan bahu, Raksa dibuat heran dengan keduanya. "Dengar, bisakah kita bicara langsung? Aku sangat lapar kawan dan kau tahu kan … dia tak bisa menunggu lama."Raksa mengedikkan kepala ke arah Airin yang tersenyum padanya. Danny dan Alex pun memahami hal itu. "Ayo kawan ceritakan apa yang kau tahu tentang Ronald. Waktu ki