Share

Pria malang dalam lift

Raksa dan Airlangga dibuat penasaran dengan suara tawa ganjil di akhir video. Bagi Raksa suara itu mirip dengan yang ada dalam ilusi nya. Airlangga kembali memutar video, memotong bagian yang tak perlu dan memperjelas suara.

"Dengarkan ini pak, ada suara yang sama sesaat sebelum teriakan Amelia."

Airlangga memperdengarkan suara yang sudah diperhalus sehingga menajamkan kalimat yang terekam.

Kau, harus mati!

Suara itu terdengar begitu cepat dan lirih lebih mirip gumaman hingga telinga Raksa tidak terlalu bisa memahami.

"Kita dengarkan sekali lagi," Airlangga melambatkan rentang waktu, mengeraskan suara.

Kau, harus mati!

"Bagaimana menurutmu?" Raksa bertanya pada dua rekannya.

Dian mengusap tengkuknya. "Jujur, saya merinding. Suara ini seperti bukan suara manusia, ini seperti suara …,"

"Setan?" Airlangga menyambar.

"Yeah, seperti itulah." Jawab Dian tak yakin.

Raksa tersenyum masam melihat tingkah dua rekan sejawatnya itu. Andai dia tidak terbiasa dengan kehadiran para roh bisa dipastikan Raksa juga bersikap tak yakin seperti keduanya. Telepon di meja Raksa berbunyi dan Dian mengangkatnya cepat.

"Ya, dengan divisi Investigasi Kriminal disini!" Dian terdiam sesaat, mendengarkan. "Oke, kami kesana segera!"

"Forensik meminta kita datang kesana, ada hal yang harus didiskusikan." Dian menyampaikan pesan yang diterimanya.

"Kita pergi, Airlangga periksa cctv. Aku yakin ada petunjuk mengingat terdapat tulisan di kaca mobil luar. Aku penasaran siapa yang menulisnya, tidak mungkin tulisan itu tiba-tiba muncul kan?"

Airlangga langsung mengacungkan ibu jarinya pada Raksa. Kedua detektif muda itu langsung menuju ke badan forensik nasional. Setibanya di sana mereka disambut asisten dokter forensik, Budi.

"Detektif, ini salinan hasil pemeriksaan sementara dari bukti yang kami temukan." Budi menyerahkan beberapa lembar kertas pada raksa.

"Apa jasad nya susah diotopsi?" Raksa kembali bertanya sambil memeriksa daftar barang yang ditemukan, mencocokkan dengan temuannya di lapangan.

"Belum kita masih nunggu dokter Frans datang, dan juga kalian berdua.

"Oya kemana mobil Amelia dibawa? Disini atau langsung ke gudang barang bukti?" Dian bertanya sambil ikut mengintip laporan ditangan Raksa.

"Kami belum selesai melakukan identifikasi dan rekonstruksi jadi sementara ada disini." Jawab Budi sambil berjalan mengantar kedua detektif menuju ruangan otopsi.

Ruangan besar dengan sejumlah lampu terang layaknya ruangan operasi itu disekat menjadi dua bagian. Satu ruangan kecil khusus berdinding kaca diperuntukkan untuk para detektif dan saksi ahli yang menyaksikan proses otopsi dan satu ruangan besar dengan berbagai macam peralatan dilengkapi mesin X-ray kecil digunakan tim forensik untuk melakukan otopsi.

"Kau siap detektif?" Suara dokter Frans yang baru datang lengkap dengan pakaian dokter khususnya terdengar lantang di ruangan besar berpendingin itu.

Raksa tak menjawab dia hanya mengedikkan kepalanya, ia menoleh pada Dian yang terlihat pucat.

"Ini otopsi pertamamu?"

Dian terbatuk ringan, berdehem, dan terlihat bingung bercampur gugup. "Ya, i-ini yang pertama."

"Kau kuat? Aku bisa mengatasinya sendiri kalau kau mau keluar dan mungkin …,"

"Nope! I'm ok!" Dian menukas cepat.

Raksa menganggukkan kepalanya meski dia juga tak yakin jika partnernya itu sanggup. Dilihat dari gesture tubuh Dian, lelaki itu sangat gelisah, kakinya bahkan tidak bisa diam saat duduk disebelah Raksa.

"Baiklah, kita mulai!"

Dokter Frans dibantu dua asistennya mulai proses otopsi. Tubuh kaku Amelia yang telah dibersihkan dari darah terbujur kaku di meja besi khusus. Dokter Frans mulai mengamati setiap luka dan perubahan kulit Amelia.

"Tidak ada perubahan warna kulit yang mencolok, semua terlihat normal. Lebam karena tekanan dan perlawanan juga tidak terlihat."

Tangan dokter Frans memeriksa beberapa bagian dari tubuh Amelia, memeriksa kemungkinan penyebab lain selain luka tusuk. Tak lupa juga ia memeriksa tangan Amelia.

"Ini aneh, tidak ada keraguan saat melakukan hal ini. Jika memang dia menusuk dirinya sendiri, lukanya juga tidak akan sebanyak ini." Dokter Frans berkomentar setelah memperhatikan arah dan bentuk luka tusukan di tubuh Amelia.

"Apa kau pernah mengotopsi korban seperti ini?" Raksa bertanya dari balik ruangannya.

Dokter Frans menggeleng ringan, "ini sedikit unik."

Dokter senior yang sudah bertahun tahun mendalami dunia forensik itu mulai melakukan bedah otopsi pada tubuh Amelia. Membuka lapisan demi lapisan kulit dan mengeluarkan isinya perlahan, memeriksa jantung, lambung dan juga organ penting lain.

Dian menutup mulutnya dengan tangan, ini kali pertama ia mengikuti bedah otopsi. Mengerikan baginya melihat bagaimana tubuh korban dibedah dan diperiksa secara nyata didepan matanya. Perutnya terasa diaduk aduk, matanya mulai berair, kepalanya mulai pusing dan akhirnya,

"Maaf, aku izin keluar!" Dian berlari keluar ruangan sambil menutup mulutnya.

Dokter Frans dan Raksa dibuat terkejut dengan respon Dian. Melihat hal itu Raksa hanya menatap iba pada Dian.

"Kuat, huh?! Aku rasa dia perlu berlatih membedah ikan dulu!"

*

*

*

Seorang pria keluar dari mobil mewah miliknya, berjalan bersiul sambil menenteng kunci mobil. Ia membiarkan kancing baju atasnya terbuka memperlihatkan kalung titanium berliontin huruf RF yang tak pernah lepas dari leher putihnya.

Ia berjalan santai menikmati udara malam yang mulai dingin menggigit. Kelebatan bayangan hitam melintas cepat di belakangnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hawa tak biasa menyergap pria muda itu, ia merasakan hal aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Kelebatan bayangan itu muncul lagi, dan tertangkap ekor matanya. "Hei, siapa disana!"

Merasa curiga, pria itu berbalik dan melangkah mendekati tempat yang ia yakini sebagai persembunyian bayangan hitam tadi.

"Keluarlah, jangan jadi pengecut! Kau tahu aku petugas keamanan disini, jangan berbuat onar jika tak ingin babak belur!" Ia berteriak memperingati sosok yang kini berdiri dekat dengan mobil berwarna merah.

Suara cekikikan terdengar ganjil bagi lelaki itu, ia pun menghentikan langkahnya. "Siapa disana?!"

Tak ada respon selain tawa tak jelas, pria itu pun ciut nyali. Apalagi sosok hitam itu mulai memperlihatkan separuh wajahnya yang tertutup rambut panjang.

Aku menginginkanmu!

Bisikan mistis yang mengerikan menyapa telinga pria itu. Matanya membulat sempurna saat separuh wajah sosok mencurigakan itu terlihat. Tanpa menunggu lagi ia berbalik dan segera berlari kencang menuju lift.

Pria itu panik, wajahnya memucat dan berkali kali ia menekan tombol lift. Waktu terasa membeku, pintu lift tak kunjung terbuka.

"Brengsek, ayolah cepat!"

Pria itu berkali kali menatap ke arah dimana sosok itu berdiri. "Cepat, cepat, cepat!"

Suara pintu lift terbuka membuatnya lega, ia buru-buru masuk dan segera menekan angka lima. Begitu pintu lift tertutup ia pun bisa bernafas lega.

"Menyeramkan sekali, apa itu tadi?"

Ia mengeluarkan ponselnya, memeriksa beberapa chat masuk dan juga mengirimkan satu pesan untuk karibnya. Lampu lift berkedip kedip, pria itu mendongak ke atas. Jantungnya kembali berdebar tak karuan.

"Brengsek!"

Lampu dalam lift padam seketika, pria itu pun panik dan menekan tombol emergency.

"Hallo, seseorang! Apa ada yang mendengarku? Lift macet dan lampu di dalam mati bisakah kalian memeriksanya?"

Tak terdengar respon hanya suara bergemerisik bak lebah berdengung yang terdengar. Pria itu akhirnya menyalakan senter di ponsel, ia kembali mengulang permintaannya. Kali ini terdengar suara tak jelas yang terputus putus.

"Hallo, bisa kau ulangi sekali lagi?! Tolong aku kawan, ini sangat menyeramkan!"

Kau harus mati!

Pria itu terkejut bukan kepalang, ia segera menjauh dari interkom darurat. Tubuhnya gemetar merasakan perubahan suhu yang mulai berbeda. Kelebatan bayangan diikuti suara cekikikan terlihat jelas dalam ruangan lift yang sempit. Pria itu mengarahkan lampu senter ke kanan dan ke kiri dengan cepat.

"Siapa? Siapa disana?!"

Apa kau merindukanku?

Suara seram itu kembali terdengar berbisik dan menyakiti telinganya.

"Siapa? Siapa kau?! Pergi, jangan ganggu aku!" Teriaknya lantang sambil terus mengibaskan tangan, menghalau sesuatu yang mungkin saja ada didekatnya.

Pengecut, pecundang, pembunuh!

Suara teriakan itu mengakhiri kegelapan dalam lift. Lampu dalam lift akhirnya kembali menyala terang. Pria muda itu tergugu di sudut lift, menangis frustasi. Ia tak menyadari sosok seram yang muncul di hadapannya. Tubuhnya condong ke arah pria malang itu lalu,

Pick a booo …,

Aaaargh!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status