Share

Suara Misterius

Seorang wanita gemetar memperhatikan Raksa dari balik tiang besar. Kerumunan orang dan petugas kepolisian yang berlalu lalang memancing perhatiannya. Wanita itu salah satu pekerja di gedung perkantoran. Rasa penasarannya membuat ia nekat menyelinap diam-diam.

Dari bisikan yang masuk ke telinganya, telah terjadi pembunuhan di basement. Mayat wanita ditemukan tewas dengan sejumlah luka tusuk pada wajah dan tubuhnya. Beruntung, ia memiliki kartu pass yang membuatnya bisa melewati penjagaan ketat petugas keamanan.

Wanita itu langsung menuju basement demi memuaskan rasa penasarannya. Tapi betapa terkejutnya ia saat tiba di lokasi pembunuhan dan mengetahui siapa yang terbunuh. Wanita itu tak mampu lagi menahan rasa ketakutannya. Tangannya gemetar, wajah cantiknya memucat. Ia menutup mulut agar suara tangisannya tak terdengar.

"Bukan, itu bukan dia kan?" Gumam wanita itu lirih di sela air mata yang membasahi pipinya.

Wanita itu terkesiap saat matanya beradu dengan Raksa, detektif muda itu mengetahui keberadaan dirinya dibalik tiang besar. Tubuh wanita cantik itu melorot ke lantai, lututnya gemetar setengah mati. Ia memejamkan mata dan menarik nafas panjang sebelum akhirnya bisa menguasai diri.

"Tidak, itu tidak mungkin terjadi! Aku hanya ketakutan, yang mati tetaplah mati! Tidak mungkin bisa kembali lagi!"

Tangannya masih gemetar dan dingin saat mengetik sebuah pesan singkat untuk seseorang.

[Lihat berita pagi! Amelia mati terbunuh. Aku melihatnya sendiri!]

Ia kembali mengintip dengan was-was. "Aku harus memastikan lagi, semoga dugaanku salah."

Jantungnya masih berdegup kencang tak karuan saat membaca pesan balasan.

[Tidak mungkin! Apa kamu yakin itu Amelia, bisa saja itu orang lain!]

[Aku yakin! Aku takut kita akan menjadi korban selanjutnya!]

Wanita itu meremas erat tas ditangannya menunggu balasan.

[Jangan konyol! Bisa jadi itu bukan Amelia! Kalaupun dia terbunuh mungkin karena Amelia punya musuh atau mungkin memang menjadi sasaran orang gila yang membunuhnya. Sudahlah jangan berlebihan, semua itu tidak ada hubungannya, lagipula itu cuma nasib buruk yang kebetulan menimpa Amelia!]

"Kau gila, apa-apaan ini! Kau melupakan kalimat terakhirnya sebelum dia mati!" Wanita itu kembali bergumam dengan frustasi. Ia tak membalas pesan terakhir dari seseorang itu. Kesal, takut sekaligus frustasi mendera wanita cantik bergaun A-line dengan motif bunga lembut.

Wanita cantik itu kembali mengintip, ia memutuskan untuk segera pergi karena detektif muda tampan yang resah itu mulai berjalan menuju ke tempatnya bersembunyi.

*

*

*

Hari belum beranjak sore tapi kelelahan sudah mendera Raksa. Beberapa jam berada di TKP membuatnya lelah. Belum dua puluh empat jam ia berada di kota ini tapi tugas berat sudah menantinya.

Ruangan Raksa terpisah dari ruangan dari detektif lainnya. Sebagai detektif senior tentu saja ia diberi fasilitas lebih, ruangan berpendingin, layanan televisi dua puluh empat jam, lemari es penuh air mineral favoritnya, plus sambungan internet tanpa batas yang dikhususkan kan untuk para pejabat kepolisian.

Raksa membuka laci mejanya dan menempatkan botol berisi obat-obatan miliknya, pereda nyeri, asam lambung, dan anti depresan.

Raksa harus meminum antidepresan semenjak gangguan tidur yang kerap dialaminya memburuk akhir-akhir ini. Ia menjadi terlalu sensitif dengan keadaan sekitar setelah menangani kasus pembunuhan berantai yang menghebohkan.

Ia menjadi lebih peka terhadap gangguan dan seringkali merasakan delusi berlebihan. Kalung yang dipakai Raksa tak lagi memberikan efek pelindung baginya, padahal sebelumnya kalung itu sangat bermanfaat dan membantunya menghalau roh jahat penganggu.

"Masuk!" Raksa berseru ketika pintu ruangannya diketuk.

"Maaf pak, ini data korban pembunuhan yang bapak minta. Apa ada yang lain?" Seorang detektif muda dengan sopan meletakkan file dalam map biru di mejanya.

Mata Raksa langsung tertuju pada ID yang tergantung di leher pemuda itu. "Dian? Umur kamu berapa?"

"Dua puluh tujuh tahun, pak!"

"Kita seumuran. Tolong jangan panggil saya bapak! Saya masih muda belum ingin jadi bapak!" Senyuman lebar terbit di wajah tampan Raksa.

"Tapi pak …,"

"Ssstt, saya nggak nerima penolakan!" Raksa berjalan mengitari mejanya, menepuk bahu Dian sebelum melangkah keluar ruangan.

Raksa mengedarkan pandangan ke sekitar, ia membawahi sepuluh detektif muda pada departemen investigasi kriminal. Melihat Raksa keluar ruangan para detektif muda pilihan itu berdiri dari tempat duduknya. Hari ini mereka baru melihat Raksa dengan jelas karena seharian Raksa berada di TKP pembunuhan pertamanya.

"Aku senang diberi kesempatan bekerjasama dengan kalian. Kembali ke kota kelahiranku adalah tantangan baru. Seperti yang kalian ketahui, hari ini ada pembunuhan sadis yang cukup menghebohkan. Ayo kita bekerja keras untuk memecahkan kasus ini."

"Aku akan membagi dalam tiga kelompok kerja. Dian, saya dan … kau! Siapa namamu?" Raksa menunjuk seorang lelaki muda yang mejanya terletak paling ujung di sisi kanan.

"Airlangga, pak!" Jawabnya tegas dan posisi siap.

"Oke, kau masuk dalam tim! Kami akan menangani kasus pembunuhan di basement, dua kelompok lain akan menangani kasus kriminal lain yang masuk pada hari ini!"

"Siap, pak!" Sahut para detektif bersamaan.

Raksa memberi kode pada Airlangga untuk mendekat. "Kita bahas kasus ini di dalam!"

Dian dan Airlangga mengikuti Raksa, "apa yang kita dapat?"

"Korban Amelia, public relation, lajang, kekasihnya bernama Alan, kerja diluar kota dan saat kejadian mereka sedang chat … mesum?" Airlangga menaikkan kedua alisnya, lalu mengembangkan senyum dengan terpaksa.

Dian terkekeh geli sambil menggelengkan kepala, sementara Raksa yang duduk santai langsung berujar.

"Poin pentingnya adalah, jangan chat mesum karena bisa membunuhmu!"

"Yup, that's right boss! Saya setuju!" Dian menimpali.

"Baiklah, apa lagi yang kita dapat? Kesaksian dari kekasihnya?" Raksa kembali bertanya.

"Namanya Alan dan dia baru bisa memenuhi panggilan besok. Saya sudah menghubungi pihak keluarga Amelia dan mereka baru berkenan diwawancarai setelah masa berkabung." Dian menjawab.

"Oke, mau tidak mau kita harus menghormatinya. Alan? Apa pekerjaannya?" Raksa kembali bertanya.

"Pengusaha kafe, dia sedang membuka cabang di kota lain." Airlangga menjawab sambil memeriksa data Alan.

Ketiganya berhenti sejenak, sama-sama memeriksa hasil laporan sementara yang dikumpulkan di lapangan. Raksa memperhatikan beberapa foto dan hasil video yang berhasil diunduh dari ponsel Amelia. Berkali kali ia menggeser hasil jepretan Amelia.

"Apa ini?" Raksa bergumam lirih.

Ia memperbesar hasil foto yang terlihat gagal. Matanya memicing, sesosok bayangan hitam terekam samar dalam frame. Ia buru-buru menggeser foto menggantinya dengan video sesaat sebelum ponselnya terlihat kacau tak fokus.

Bulu di sekujur tubuh Raksa meremang. Ia merasakan kengerian yang terekam jelas beberapa detik sebelum kamera dalam posisi hitam. Telinganya berdengung, Raksa kembali masuk dalam dimensi yang berbeda. Sebuah bisikan samar kembali terdengar ditelinganya, diikuti suara tawa cekikikan yang lambat laun terdengar menggaung jelas dikepala.

Kau pantas mati!

Kengerian tercipta di depan mata Raksa, sosok wanita seram itu kembali hadir dihadapannya secara tiba-tiba. Menjerit dan tertawa pada saat bersamaan. Wanita seram itu mengelilinginya, menduplikasi sosok seramnya, mengurung Raksa dalam ilusi ketakutan.

Kau pantas mati!

Kalimat itu terus berulang terdengar bertumpuk, menggema dan semakin memekakkan telinga. Nafasnya terasa sesak, telinganya kembali berdengung sebelum akhirnya satu tepukan keras menariknya dari ruang hampa dengan cepat dan menyadarkan Raksa kembali.

"Pak, anda baik-baik saja?!" Dian yang berada paling dekat dengan Raksa bertanya.

"A-aku …," Raksa tergagap.

Ia mengerjap beberapa kali, memijat kening sebelum akhirnya kembali berkata. "Tolong cek ulang video dan pastikan apakah ada penumpang lain dalam mobil!"

"Menemukan sesuatu?"

Airlangga mendekat, membesarkan volume video setelah melakukan penyaringan suara dengan mengurangi noise yang masuk. "Coba kita dengarkan bersama."

Video kembali diputar, berawal dari Amelia yang sedang memeriksa bagian belakang mobil saat hendak berswafoto, kondisi kaca mobil yang aneh, kamera mendadak tak fokus. Kepanikan melanda Amelia, yang terdengar kemudian hanya suara teriakan frustasi dan ketakutan teramat sangat dari gadis malang itu.

Gambar selanjutnya terlihat semakin tak jelas sebelum kemudian gelap. Yang terdengar hanya suara samar tusukan berkali kali yang menggidikkan telinga. Tak terdengar perlawanan atau jeritan apa pun hanya tusukan berkali kali sebelum akhirnya hening. Suara tawa samar terdengar diakhir video.

Ketiganya saling pandang dalam kengerian. "Itu suara perempuan? Pembunuhnya?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
🇳 🇱 🇿
judulna naon nya nih buku? oh iya DSB Dendam sang Biduan.... jdi yg Raksa liat dgn kelebihannya itu mayat si biduan yg dibunuh, mungkin mayat itu saat mati posisinya spt itu, trs di mskin ke mobil si amel ini... analisa abdi nya ... wkwkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status