Share

Korban kedua

Penulis: Nathalie
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-01 08:58:51

Raksa menyesap kopinya, menikmati pahit dan harumnya kopi yang menyelusup di indra pengecap dan penciumannya. Ia menunggu dokter Frans keluar dari ruangan otopsi.

"Apa otopsinya sudah selesai?" Dian berjalan mendekat, wajahnya masih terlihat pucat.

"Hem, sudah tinggal menunggu hasilnya."

"Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali." Raksa sedikit mengkhawatirkan kondisi rekannya.

"Sedikit pusing tapi kafein pasti membantu."

Tak lama kemudian dokter Frans keluar ruangan. Ia membawa salinan hasil otopsi untuk Raksa.

"Maaf sedikit lama. Ini hasilnya, dari bentuk luka yang ada di tubuhnya tidak menunjukkan keragu raguan. Sembilan tusukan di perut dan satu tepat melubangi jantung. Kami menyimpulkan, Amelia melakukannya sendiri."

"Apa? Itu mustahil, satu tusukan saja biasanya cukup membuat pelaku bunuh diri ragu. Tusukan kedua biasanya tidak terlalu dalam, rasa takut mati akan menguasai." Dian mencoba mematahkan pendapat forensik.

Dokter Frans menaikkan sudut bibirnya. "Faktanya begitu, semua luka memiliki kedalaman yang hampir sama antara tiga sampai lima centimeter. Awalnya aku juga ragu tapi itu yang terjadi."

"Gunting yang diperkirakan sebagai alat juga sesuai dengan bentuk dan ukuran lukanya." Dokter Frans kembali melanjutkan analisanya.

Raksa masih belum menanggapi, ia membaca dengan cepat hasil analisa tim forensik.

"Luka di wajahnya apakah sama?"

Dokter Fran mengangguk, "Dia melakukannya sendiri, mengerikan bukan? Kasus ini sedikit janggal apa rekaman cctv mobil tidak ada?"

Raksa menggelengkan kepala, "Kami hanya memiliki rekaman dari ponselnya itupun tidak memberikan banyak informasi selain suara aneh."

"Suara aneh?" Dokter Frans mengernyit.

"Suara bergumam tidak jelas, kami sedang menyelidiki kemungkinan pelaku lain dalam mobil. Baiklah dok, kami pergi dulu. Hubungi aku jika kau menemukan sesuatu."

Raksa dan Dian berpamitan, beberapa jam berada di ruang otopsi membuat Raksa lapar. Ia baru ingat jika seharian belum sempat mengisi perutnya.

"Aku lapar sekali, temani aku makan oke?"

"Makan? Perutku masih mual melihat tadi." Dian menjawab dengan wajah mengiba.

"Hei, kau harus tetap mengisi perutmu! Pekerjaan kita banyak, aku menebak ini baru permulaan." Raksa menarik nafas dalam-dalam, memasang seatbelt dan melakukan mobil ke tempat makan favorit keluarga nya dulu.

Sementara itu kehebohan terjadi di sebuah apartemen. Salah satu lift ditemukan dalam posisi terbuka dengan darah membanjir di dalamnya. Namun anehnya tak ada tubuh kaku yang menjadi korban disana.

"Apa mungkin ini cuma darah hewan?" Salah satu penghuni bertanya dengan petugas keamanan, wajahnya terlihat sangat ketakutan.

"Lebih baik, hubungi polisi sekarang! Kita tidak bisa berandai-andai!" Yang lain menimpali.

Seorang petugas keamanan bernama Agus melongok ke dalam lift sambil menutup hidungnya. Bau anyir darah yang membanjir membuat ruangan sempit lift itu bak ruang jagal.

"Atapnya terbuka, apa seseorang naik dan membukanya?" Agus bergumam heran.

Ia tak berani mendekat, hanya memperhatikan percikan darah yang merata dalam lift. Agus mengusap tengkuknya, ngeri membayangkan apa yang terjadi di dalam lift.

Selang beberapa menit kemudian tim dari kepolisian datang. Pemberian garis batas polisi dilakukan, penghuni apartemen saling berbisik dan hanya bisa menduga apa yang terjadi.

"Baiklah, ayo kita bekerja kawan!"

Andi memasang sarung tangan, ia melongok ke dalam lift. Kali ini dia ditemani oleh Rian karena Budi masih membantu dokter Frans melakukan otopsi.

"Kira-kira apa ini darah hewan?" Rian bertanya, memperhatikan sampel darah yang diambilnya.

"Entahlah, jika ini darah hewan bisa dipastikan ini ulah orang gila!"

Andi memasang beberapa nomor pada bukti yang ditemukan.

"Yup, ini darah manusia!" Rian berseru setelah melakukan uji sampel darah.

Andi menoleh pada Dian, ditangannya ada kalung dengan inisial RF yang diambil menggunakan pinset.

"Kau benar, mungkin namanya RF." Andi menyusuri lantai lift dengan jeli, ia tersenyum saat menemukan kunci yang tergeletak di sudut ruangan.

Sedikit berjingkat melewati genangan darah, Andi mengambil kunci mobil dan memeriksa surat kendaraan yang ada di dalam gantungan.

"Ronald Frederick?" Ia mengernyit saat membaca alamat yang tertera.

Andi berjalan menuju parkiran mobil mencari nomor kendaraan yang tertera di sana. Ia berhenti tepat di depan mobil mewah yang terparkir khusus.

"Ini dia." Andi mencari memanggil salah satu anggota kepolisian. "Hei, bisa bantu aku kawan?"

Andi berbicara pada salah satu anggota, ia meminta bantuan untuk melakukan kroscek kepemilikan kendaraan. Setelah mendapatkan informasi lengkap petugas itu pergi meninggalkan Andi.

"Baiklah ayo kita lihat apa isi mobilmu!"

Hanya perlu beberapa menit saja bagi Andi untuk melepas kamera kecil yang terpasang di dalam mobil. Ia segera memindahkan rekaman cctv ke dalam tablet miliknya. Sambil menunggu, Andi menghubungi detektif Jack yang datang bersamanya tadi.

"Hei, detektif! Apa kau menemukan hal ganjil disana?"

"Aku baru sampai, dan belum menemukan apa pun."

"Sebaiknya kau cepat, karena ada hal menarik yang pasti ingin kau lihat." Andi memperhatikan keganjilan yang didapat dari rekaman cctv mobil.

"Baiklah, simpan untukku Andi!"

Andi memutuskan sambungan, "What the hell … apa ini?!"

*

*

*

Detektif Jack mulai bekerja di ruangan pengawas, ia meminta Rekaman cctv yang mengarah pada lift di TKP. Ia mendapatkan rekaman cctv di sekitar apartemen, menunjukkan Ronald yang berlari ketakutan. Wajahnya terlihat jelas di kamera dan selalu melihat pada satu sisi.

"Ruang keamanan menerima panggilan darurat pada jam satu dini hari." Salah satu petugas menerangkan pada Jack, salah satu detektif yang bertugas.

"Ada feedback?"

Petugas keamanan itu menggeleng, "Tidak, kami mencoba bertanya tapi sepertinya dia tidak mendengar."

Rekaman cctv kembali diputar dan tepat lima belas menit setelahnya seseorang berpakaian hitam yang selalu membelakangi kamera masuk dalam lift yang sama.

"Siapa dia? Penghuni apartemen ini?" Jack mulai curiga, instingnya sebagai detektif mulai meraba.

"Entahlah pak, kami tidak pernah memperhatikan satu persatu penghuni. Selama ini tidak ada kejadian yang mengkhawatirkan jadi …,"

"Berhenti!" Jack tiba-tiba saja berteriak.

"Lihat, pintu lift terbuka cukup lama tapi tak ada yang keluar sama sekali. Mundurkan waktu ketika orang itu masuk!"

Setelah memundurkan rekaman, Jack kembali memperhatikan. "Tunjukkan rekaman di jam yang sama pada lantai dua belas!"

Petugas itu menuruti perintah Jack, mata mereka awas memperhatikan perubahan situasi.

"Hei, aku yang salah atau memang tidak ada yang keluar dari lift? Cek rekaman semua lantai!" Jack mulai kesal, "Sial, ini akan jadi malam yang panjang." Gumamnya sambil menarik kursi.

Beberapa jam berlalu tapi Jack tak juga menemukan jawaban dari hal ganjil yang terjadi. Ia semakin frustasi, telponnya kembali berdering.

"Ya, ada apa?" Suaranya ketus dan malas menjawab.

Jack mendengarkan dengan seksama sebelum matanya membulat sempurna. "Apa?! Baik, aku segera kesana!"

Ia menutup telponnya, lalu menoleh pada tiga petugas keamanan. "Tolong kirimkan semua rekaman yang terhubung dengan lift sialan itu!"

"Dex, ikut aku! Mayatnya ditemukan!" Jack mengajak rekan kerjanya untuk segera keluar dari ruangan pengawas.

"Ditemukan? Dimana?" Dex segera berlari menyusul Jack.

"Ditempat yang mustahil orang jangkau!"

*

*

*

Seorang pria menatap kerumunan orang yang berkumpul di parkiran gedung dari kaca jendela apartemen miliknya. Jarinya mengetik pesan untuk sebuah nomor.

"Gus, ada apa dibawah?" Rupanya lelaki muda itu menghubungi Agus, salah satu anggota keamanan apartemen yang ditinggalinya.

"Saya belum bisa memastikan pak, tapi sebaiknya bapak menghindari pemakaian Lift di sisi kiri, karena masih dalam penyelidikan."

Pria itu menutup panggilannya, menatap lekat kerumunan orang jauh dibawah sana. "Apa ini kebetulan? Terlalu dini untuk menyimpulkan tapi …,"

Ponselnya kembali berdering, satu pesan masuk diterima. Selarik senyum sinis menghiasi wajahnya. "Ya, ya … aku yakin kalian pasti ketakutan. Aku jadi penasaran apa yang selanjutnya akan terjadi."

Rahangnya mengeras, tatapannya tajam, memorinya kembali ke masa lalu. Masa dimana dirinya menjadi saksi betapa brutalnya penyerangan sekelompok anak muda yang dilakukan pada seorang wanita yang tak berdaya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Sang Biduan    Akhir dari cerita

    “Kalian menipuku! Kalian memanfaatkan diriku!” James berteriak kasar pada Airin.“Huh, benarkah? Kami membantumu membalas dendam, apa kau lupa itu?!” balas Airin sengit.“Tapi kau tidak mengatakan jika Kevin secara tidak langsung menjadi otak dari pembunuhan adikku!” mata James melotot menahan amarah yang membuncah.“Kau menikmati setiap kematian mereka! Jangan lupakan itu James. Dan yah memang benar, Kevin bertanggung jawab atas semua kemalangan ini!”“Brengsek! Dasar jalang, pelacur, kau pantas disebut penyihir jalang!”“Lakukan apa yang kau mau, karena aku bisa membunuhmu kapan saja!”“Brengsek!”James menghempas tubuh Airin dengan keras, ia gelap mata. Tanpa belas kasihan James kembali menghajar Airin, memukul dan menendang tak peduli dengan rintihan sakit yang keluar dari bibir Airin yang mulai berdarah.Marina berteriak minta tolong, ia berusaha menghentikan tingkah brutal James yang menghajar Airin. Mariana berusaha menghalangi dan melindungi Airin tapi ia justru terkena pukula

  • Dendam Sang Biduan    Penyergapan

    “Bersiaplah Dex kita akan menyergap sebelum tim yang menyamar ikut berhalusinasi! Bergerak dengan aba-aba ku oke!”Raksa bergegas keluar diikuti Dex. “Kita kesana?!”“Yup, aku ingin melihat bagaimana terkejutnya Airin saat melihat ku!”Raksa mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju gedung tua yang terbengkalai. Kevin rupanya pintar memilih lokasi. Ia menemukan gedung tua yang terbengkalai di dalam hutan pinus di sekitar rumahnya. Dengan sedikit perbaikan gedung tua itu disulap menjadi aula pemujaan sekte iblis.Tim penyergap bersiap, berjalan mengendap ngendap memutari gedung. Tak ada penjaga di bagian depan, Kevin rupanya tak pernah menyangka jika sekte sesat yang tengah didirikannya lagi itu tercium pihak berwenang. Lantunan kidung terdengar menggema, mengusik ketenangan hutan pinus.“Baiklah apa kalian siap?” Raksa memberi aba-aba untuk bersiap masuk.Setelah mendapat kabar kepastian dari pemantau situasi di kantor pusat mereka pun mendobrak masuk. Suasana ricuh terjadi, beberapa

  • Dendam Sang Biduan    Pengakuan Feni

    Raksa duduk berhadapan dengan Feni. Wanita dengan jabatan CEO disalah satu perusahaan nirlaba itu terlihat gugup dan sesekali menggigit kukunya yang terawat.“Minum?” Raksa memberikan botol air mineral kecil pada Feni.“Aku mau pengacaraku, tolong!” ucapnya gugup setelah melegakan tenggorokannya.“Tentu, kau akan mendapatkannya. Apa kau sudah memberi kuasa pada pengacara perusahaan atau mungkin pribadi?” tanya Raksa lagi tak memutuskan tatapan.“Ya, sudah.”Suasana tegang kembali tercipta saat Feni kembali terdiam. Raksa tak ingin memaksa ia bicara, Feni yang datang sendiri untuk mengakui dosanya. Raksa tak ingin menekan meski ia ingin melakukannya.“Dia membunuh Alan! Dia juga membunuh Vivian! Selanjutnya pasti aku detektif, tolong lindungi aku! Aku … masih ingin hidup!” Feni akhirnya berkata dengan kalimat terbata.Raksa tersenyum miring, “Begitukah, kenapa dia mengejarmu? Apa yang kalian lakukan sampai rohnya begitu dendam dan haus darah?”“Aku …,” Feni terkesiap, menatap Raksa cur

  • Dendam Sang Biduan    Agus sang eksekutor

    Agus membersihkan sisa-sisa camilan dan juga gelas-gelas kotor yang tertinggal di meja cafe. Alunan musik dari denting piano masih mengalun merdu menemani para pekerja kafe yang membereskan ruangan.Aluna alias Alicia masih bernyanyi menghibur para pekerja. Matanya sesekali melirik ke arah Agus, mengerling jenaka pada lelaki kurus tinggi tapi cukup enak dipandang itu. Sisa kacang kulit, puntung rokok, bekas kudapan manis yang tercecer dan juga tumpahan jus dibersihkan tanpa terkecuali.“Hai, mau pulang bareng?” Aluna menyapa, mengenakan Coat panjang berwarna coklat ia tersenyum begitu manis pada Agus.“Tentu, tunggu aku sebentar sedikit lagi selesai.” jawab Agus membalas senyuman Aluna.“Aku tunggu di depan?” Agus mengangguk.“Yup, seperti biasa!” Agus berbunga bunga, ia senang Aluna membalas sikap perhatiannya, meski hanya sebatas teman kerja.Ia sesekali menatap Aluna sambil menyelesaikan pekerjaannya. Aluna berhasil mencuri hatinya, tapi sayang Agus harus bersaing dengan yang lain.

  • Dendam Sang Biduan    James, sang sutradara

    Waktu seperti berhenti saat James menerima kabar kematian Aluna. Mirisnya lagi saat ia melihat jasad mengenaskan Aluna di meja otopsi. Adik satu satunya, kesayangan dan kebanggaannya terbujur kaku dengan sejumlah luka pada wajah leher dan kaki.James shock berat, ketika polisi juga mengatakan jika Aluna alias Alicia juga mengalami rudapaksa.“Tak cukupkah dengan menyiksa adikku saja? Apa kalian juga harus mengambil kehormatannya!” ujarnya geram sambil menatap jasad membiru Aluna.Airmata menetes di sela rahangnya yang mengeras. “Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan biadab ini pada adikku!”Sumpah yang nyatanya membuat kekalutan James semakin parah. Ia kesulitan tidur dan fokus pada pekerjaannya. Obsesinya menemukan para pembunuh adiknya menjadikan hidup James kacau. Hingga James tiba di satu titik dimana ia menyerah pada keadaan. James nyaris mati jika Airin tidak datang menyelamatkan dirinya. Pertemuan James dan Airin terjadi secara tak sengaja saat James yang kalut tertabrak

  • Dendam Sang Biduan    Airin

    Seorang lelaki berjaket hitam berdiri tak tenang di tepi gedung. Berkali kali ia menoleh kebelakang menunggu sesuatu. Berjalan kesana kemari sambil sesekali menghisap rokoknya. Leo terkesiap saat mendengar suara langkah sepatu berheels datang mendekat. Ia menunggu dengan was-was.“Leo?!” teriak wanita cantik dengan dress simple selutut.Mendengar namanya disebut Leo pun berbalik. “Apa kau bawa barangnya?”“Ya tentu saja! Tugasmu sudah selesai?” tanya Airin masih berdiri di tempatnya.“Tentu saja.” Leo menjawab dengan gugup, tangannya gemetar saat keluar dari jaketnya. Airin menangkap gejala itu, “tanganmu gemetar?”“Yah, dengar … ini sangat mengerikan dok! Aku takut, lelaki itu mati? Aku tak melihat apa pun. Aku melakukan semua tugas Kevin, membuka lift dan …,”Leo tak kuasa menahan dirinya, ia menangis. “Aku tak tahu apa yang terjadi dok, aku sungguh tak tahu.”Leo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak, frustasi dengan apa yang terjadi di depan matanya.“Apa yang kau lih

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status