Langit malam menurunkan gerimis lembut yang menyelimuti halaman rumah keluarga Farhan. Suasana rumah sepi, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak monoton. Anisa duduk di meja makan, menatap piring-piring kotor yang belum sempat ia cuci. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya lebih lelah lagi.
Di kamar, Adit sudah terlelap, tetapi Anisa belum bisa tidur. Ia merasa sesuatu menggantung di pikirannya, seperti perasaan gelisah yang tidak ia mengerti. Saat itu, suara pintu depan yang terbuka pelan membuatnya mendongak.
Farhan masuk ke rumah dengan langkah hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara. Anisa berdiri dari kursinya, menatap ke arah suaminya yang terlihat sedikit gugup.
“Kamu baru pulang?” tanyanya pelan.
Farhan terdiam sesaat sebelum menjawab, “Iya. Banyak kerjaan di kantor.”
Anisa memperhatikan wajah suaminya yang tampak sedikit pucat, seperti orang yang baru saja melakukan sesuatu yang tidak ingin ketahuan. Ia menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh.
“Sudah makan?” tanya Anisa, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral.
Farhan hanya mengangguk tanpa melihatnya, lalu berjalan menuju kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika ponsel di sakunya berbunyi. Farhan buru-buru mengeluarkan ponselnya, tapi Anisa sudah melihat sekilas nama yang muncul di layar: Melisa.
Anisa tidak mengatakan apa-apa, tetapi jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tahu nama itu. Melisa adalah rekan kerja Farhan, seorang perempuan muda yang sering disebut-sebut dalam percakapan Farhan dengan ibunya.
“Kamu nggak mau angkat telepon itu?” tanya Anisa akhirnya.
Farhan menoleh dengan wajah kesal. “Itu cuma urusan kantor. Kamu nggak perlu ikut campur.”
Anisa menelan ludah, mencoba menahan kata-kata yang hampir keluar dari mulutnya. Ia tahu, konfrontasi hanya akan berujung pada pertengkaran yang tidak ia menangkan. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada rasa sakit bercampur marah yang membakar dadanya.
Farhan berjalan pergi ke kamar, meninggalkan Anisa yang masih berdiri di ruang makan.
Malam semakin larut. Anisa tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan tentang suaminya dan perempuan itu. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak benar. Selama ini, ia memilih diam, berharap semua akan membaik. Tetapi surat dari ibunya yang ia baca tadi siang kembali terngiang-ngiang di kepalanya.
Kamu lebih kuat dari yang kamu bayangkan.
Kalimat itu seperti memukul kesadarannya. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, Apakah aku memang selama ini hanya diam? Apakah aku membiarkan diriku terus-menerus diperlakukan seperti ini?
Anisa bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah pelan menuju kamar Farhan. Pintu kamar sedikit terbuka, memperlihatkan Farhan yang sedang memegang ponselnya.
“Kamu nggak bisa tidur?” tanya Anisa, mencoba menyembunyikan rasa curiga di balik nada suaranya.
Farhan terkejut, lalu dengan cepat menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. “Iya, cuma balas pesan kantor tadi.”
Namun, Anisa menangkap ekspresi gugup di wajah suaminya. Ia merasa dadanya semakin sesak, tetapi ia menahan diri.
“Baiklah,” jawab Anisa akhirnya, lalu kembali ke kamarnya.
Esok harinya, Anisa bangun lebih awal dari biasanya. Ia memutuskan untuk bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Rutinitas pagi tetap berjalan seperti biasa. Tetapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang berubah.
Saat Farhan bersiap berangkat kerja, Anisa memperhatikannya dengan lebih teliti. Dasi yang dipilihnya, parfum yang dipakainya, bahkan sepatu yang ia poles sendiri pagi itu. Semua itu membuat Anisa merasa semakin yakin, Farhan sedang berusaha tampil sempurna untuk seseorang—tetapi bukan dirinya.
“Aku mau pergi sekarang. Jangan telepon aku, aku ada meeting penting,” ujar Farhan tanpa menatap Anisa.
“Meeting di mana?” tanya Anisa, mencoba menyelidik.
“Di hotel.” Jawabannya begitu singkat, tetapi cukup untuk membuat hati Anisa terasa seperti dihantam sesuatu yang berat.
“Semoga lancar,” kata Anisa, meski suaranya terdengar pelan.
Farhan tidak menjawab. Ia keluar rumah dengan langkah cepat, meninggalkan Anisa sendirian di ruang tamu.
Sepanjang hari, Anisa terus memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ia tahu, ada sesuatu yang harus ia lakukan. Ia tidak bisa terus membiarkan dirinya terjebak dalam situasi ini.
Sore itu, saat ia sedang membersihkan kamar Farhan, ia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah kotak kecil di dalam lemari, yang selama ini selalu terkunci. Tetapi kali ini, kotak itu terbuka sedikit, memperlihatkan isinya.
Anisa membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ia menemukan sebuah gelang emas dengan inisial M terukir di atasnya.
Tangannya gemetar. Ia tahu gelang itu bukan miliknya, dan tidak mungkin itu milik ibunya atau keluarga Farhan.
Ia memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu. Gelang itu milik seseorang—dan kemungkinan besar, orang itu adalah Melisa.
Anisa duduk di tepi tempat tidur Farhan, memegang gelang itu erat di tangannya. Emosinya bercampur aduk, antara marah, sedih, dan kecewa.
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Sebuah tekad. Ia tahu, waktunya untuk tetap diam sudah habis.
Ia memasukkan gelang itu kembali ke dalam kotak, menutupnya rapat-rapat. Tetapi kali ini, Anisa tidak merasa dirinya kecil. Ia merasa, untuk pertama kalinya, ia punya kekuatan untuk melakukan sesuatu.
Malam itu, sambil menatap Adit yang sedang bermain, ia membuat keputusan besar. Apa pun yang terjadi, ia harus melindungi anaknya dari semua ini. Dan ia harus mempersiapkan diri, karena ia tahu, badai besar sedang mendekat.
Ranting-ranting tajam menggores kulit Anisa dan Sara saat mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Suara angin yang menerpa daun-daun menciptakan irama yang menyeramkan, seolah alam sedang mengamati pelarian mereka.Anisa berhenti sejenak, menatap kembali ke arah terowongan yang kini tak lagi terlihat. "Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja, Sara," gumamnya dengan nada penuh penyesalan.Sara, yang tampak lelah dan frustasi, mencengkeram bahu Anisa. "Kau pikir Haris ingin kau kembali? Dia mengorbankan dirinya supaya kita bisa pergi. Jangan sia-siakan itu!"Namun, hati Anisa tidak mudah diyakinkan. Tatapannya penuh dengan keraguan, dan langkahnya ragu-ragu. Setiap suara dari arah belakang membuatnya berharap bahwa Haris akan muncul, tapi yang ia dengar hanyalah suara hutan yang sunyi, menambah kesendiriannya."Bagaimana jika dia butuh bantuan? Bagaimana jika aku salah meninggalkan dia?" Anisa bertanya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri."Dan bagaimana jika k
Hening melingkupi mobil yang melaju di jalanan sepi. Malam semakin larut, dengan hanya suara deru mesin dan hembusan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka. Anisa duduk gelisah di kursi belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Sara di sampingnya, tetap waspada, sementara Haris dengan tenang mengemudi, pandangannya lurus ke depan."Kita mau ke mana?" Anisa akhirnya memecah keheningan.Haris meliriknya lewat kaca spion. "Ke tempat yang aman. Itu yang kau butuhkan sekarang."Sara mendengus. "Aman? Aman menurut siapa? Kita bahkan tidak tahu siapa yang kau hubungi tadi."Haris tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat Sara semakin jengkel. "Kau mungkin sudah menyelamatkan kami beberapa kali, Haris, tapi itu tidak berarti kami bisa sepenuhnya percaya padamu.""Cukup, Sara," potong Anisa dengan nada tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Haris ingin mengkhianati kita, dia sudah melakukannya sejak tadi."Namun, bahkan saat dia mengucapkan itu, hat
Mereka semua terpaku pada layar ponsel Sara. Kalimat singkat itu terasa seperti sebuah bom waktu yang baru saja dinyalakan."Bagaimana bisa?" suara Dimas pecah di tengah keheningan. Tangannya terkepal erat. "Kita sudah berhati-hati."Sara mencoba tetap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan kegelisahan. "Mungkin ada alat pelacak di tempat ini. Atau seseorang membocorkan keberadaan kita."Anisa menggenggam ponsel Sara dengan erat, napasnya tertahan. "Kita tidak punya waktu untuk menebak-nebak. Kita harus pergi sekarang."Mereka bertiga bergerak cepat, mengemas dokumen dan barang-barang penting yang bisa mereka bawa. Anisa memasukkan foto dan peta dari Haris ke dalam tasnya, sementara Dimas menyiapkan senjata seadanya—pisau dapur yang diasah tajam."Sara, kau sudah punya rencana rute keluar?" tanya Anisa sambil memeriksa pintu belakang.Sara mengangguk. "Ada gang kecil di belakang rumah ini. Kita bisa keluar lewat sana, lalu menyusuri jalan sempit menuju stasiun kereta. Tapi kita ha
Suara gemerincing senjata memecah keheningan gang sempit itu. Dua pria berbaju hitam menyerang tanpa ragu, gerakan mereka cepat dan terlatih, mencerminkan ancaman serius. Dimas langsung menyambar sebuah tongkat besi dari dekat dan menggunakannya untuk menangkis serangan pertama. Dentingan logam menghantam udara, menggema di antara dinding-dinding tua.Anisa mundur beberapa langkah, tubuhnya tegang, tapi matanya waspada. Dia tahu ini bukan saatnya untuk panik. Dia harus berpikir cepat. Namun, sebelum dia sempat bergerak, wanita muda yang muncul di akhir bab sebelumnya sudah melangkah maju. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak tergoyahkan."Aku menangani mereka," katanya singkat, nada suaranya dingin.Wanita itu menarik pisau kecil dari pinggangnya. Dalam sekejap, dia sudah meluncur ke depan dengan kelincahan luar biasa. Gerakannya begitu gesit sehingga salah satu pria berbaju hitam tidak sempat menghindar ketika pisaunya bergerak cepat ke arah tang
Suasana pagi terasa tegang di rumah persembunyian yang sempit. Hujan semalam meninggalkan jejak genangan air di luar, membasahi jalan-jalan berbatu yang dipenuhi dengan bau lembap. Dimas duduk di dekat pintu dengan tatapan kosong, sementara Anisa dan wanita yang telah menolong mereka, yang bernama Ibu Maimunah, berada di sisi Satria yang sedang beristirahat.Satria masih terlihat lemah, tetapi matanya sudah mulai terbuka. Tangan kanannya menggenggam erat tempat tidurnya, berusaha untuk bangkit meski tubuhnya terasa teramat sakit."Satria, kau harus beristirahat," kata Anisa dengan lembut, meraih tangan Satria yang gemetar. "Kami akan mencari solusi, tapi kau harus kuat."Satria memandang Anisa, ada kesan kedalaman dalam tatapannya. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu melakukannya sendirian, Anisa."Anisa terdiam sejenak, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Sejak pertama kali melangkah ke jalan ini, semua pilihan terasa pen
Udara terasa semakin berat di dalam terowongan sempit itu. Kallen berdiri di ujung lorong, tubuhnya terlihat gagah meskipun bayang-bayang mengaburkan sebagian wajahnya. Pria-pria berbadan besar di belakangnya menggenggam senjata dengan sikap siaga, mata mereka menatap tajam ke arah Anisa, Dimas, dan Satria.Anisa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa rencana yang direncanakan dengan begitu matang akan berantakan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang."Kau benar-benar licik, Kallen," kata Anisa dengan suara tegas, meskipun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bahkan setelah merebut segalanya dariku, kau masih merasa perlu menjebakku."Kallen terkekeh pelan. "Oh, ini bukan sekadar menjebak, Anisa. Aku ingin memastikan kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuh Umbra tanpa konsekuensi. Kau pikir kau bisa menyusup ke kantorku tanpa aku tahu? Kau terlalu meremehkanku.""Apa kau meremehkan kami?" potong Dimas denga