Beranda / Romansa / Dendam Sang Pewaris / Bab 1: Awal yang Menyedihkan

Share

Dendam Sang Pewaris
Dendam Sang Pewaris
Penulis: drhell

Bab 1: Awal yang Menyedihkan

Penulis: drhell
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-20 14:54:56

Langit baru mulai berwarna biru keabu-abuan saat Anisa membuka matanya. Dini hari selalu terasa dingin di rumah mertuanya, bukan hanya karena udara, tetapi juga suasananya. Ia menarik selimut tipis dari tubuhnya, menatap sekilas Adit, anaknya yang masih terlelap di atas kasur kecil di sudut kamar. Wajah polos bocah berusia lima tahun itu menjadi satu-satunya alasan Anisa bertahan di rumah ini.

Dengan langkah pelan agar tidak membangunkan Adit, ia menuju dapur. Seperti rutinitas setiap pagi, ia harus memastikan semuanya siap sebelum anggota keluarga lain bangun. Mulai dari sarapan, air panas untuk mandi, hingga seragam kerja suaminya.

Dapur itu kecil dan sempit, dengan dinding bercat pudar yang sudah lama tidak diperbaiki. Anisa meraih apron dan mulai memasak. Tangannya lincah mengiris bawang, meski matanya terasa perih akibat asap dari kompor minyak. Namun, perih itu tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang ia sembunyikan di dalam hatinya.

Saat itu, suara ketukan sepatu terdengar mendekat. Anisa menegakkan tubuhnya, tahu persis siapa yang datang.

“Anisa! Mana kopiku?” suara nyaring Bu Ratna, ibu mertuanya, membuat tubuh Anisa refleks menegang.

“Sebentar, Bu. Ini masih dibuatkan,” jawab Anisa lembut sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir. Tangannya gemetar sedikit karena ia tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat Bu Ratna meledak.

Ketika ia menyajikan kopi di meja makan, Bu Ratna sudah duduk dengan ekspresi tidak puas, seperti biasa. Perempuan paruh baya itu menatap Anisa dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah mencari alasan untuk mengkritiknya.

“Kenapa kamu masih pakai baju seperti itu? Kalau ada tamu pagi ini, mereka pasti pikir kita mempekerjakan pembantu yang tidak tahu tata krama.”

Anisa hanya menunduk. Ia ingin menjelaskan bahwa bajunya ini adalah yang paling bersih yang ia miliki, tetapi ia tahu tidak ada gunanya. Bu Ratna tidak pernah peduli pada penjelasan atau alasannya.

“Lain kali pakai baju yang pantas. Jangan bikin malu keluarga ini,” sambung Bu Ratna sambil menyeruput kopinya. Namun, setelah satu tegukan, wajahnya langsung berkerut.

“Manis sekali! Apa kamu pikir saya suka minum gula?” Bu Ratna menatapnya tajam.

“Maaf, Bu. Saya akan buat yang baru,” ujar Anisa, buru-buru mengambil cangkir itu lagi.

Namun, sebelum ia sempat beranjak ke dapur, suara langkah lain terdengar. Kali ini Farhan, suaminya, muncul dari arah tangga. Dengan kemeja kusut dan wajah yang tampak masih mengantuk, ia langsung mendekati meja makan tanpa sepatah kata untuk istrinya.

“Apa lagi ini?” Farhan mencicipi kopi di cangkir Bu Ratna yang belum sempat dibawa Anisa ke dapur. Ia langsung meletakkan cangkir itu dengan kasar di meja.

“Kamu nggak bisa bikin kopi, ya? Manis banget!” bentaknya.

Anisa menunduk, menggenggam cangkir itu erat untuk menyembunyikan getar di tangannya. “Maaf, aku akan bikin yang baru.”

“Sudahlah, nggak usah bikin. Aku beli kopi di jalan saja. Nggak perlu buang waktu dengan kopi buatanmu,” balas Farhan dengan nada sinis. Ia mengambil tas kerjanya, lalu berjalan keluar tanpa menoleh lagi.

Anisa berdiri di sana, memandangi punggung Farhan yang menghilang di balik pintu. Setiap kata yang ia ucapkan tadi meninggalkan luka, tapi bukan luka yang baru. Luka itu sudah ada sejak lama, hanya semakin menganga setiap harinya.


Setelah sarapan selesai, Anisa mulai membereskan meja. Ia menyaksikan Adit yang sedang bermain dengan balok kayu di ruang tamu. Bocah kecil itu terlihat begitu gembira, senyum ceria menghiasi wajahnya. Melihat itu, Anisa merasa ada sedikit kehangatan di dalam hatinya, meski hanya sesaat.

Namun, tawa Adit terhenti ketika Bu Ratna mendekati bocah itu.

“Adit, jangan main di sini! Kotor sekali, nanti tamu datang malu kita!” hardik Bu Ratna.

“Bu, biar Adit main di sini dulu. Setelah selesai, saya akan bersihkan,” ujar Anisa dengan nada hati-hati.

Bu Ratna menatapnya dengan tatapan dingin. “Kamu memang ibu yang malas. Adit ini jadi susah diatur karena kamu tidak mendidiknya dengan baik. Kalau saja Farhan menikah dengan wanita lain, pasti anak ini tidak begini.”

Anisa tidak menjawab. Ia tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan memperkeruh suasana. Sebaliknya, ia menarik napas dalam-dalam dan membantu Adit membereskan mainannya.


Malam itu, setelah semua pekerjaan rumah selesai, Anisa kembali ke kamarnya yang kecil di bagian belakang rumah. Adit sudah tertidur, pelan mendengkur di atas kasur kecilnya. Anisa duduk di sudut ruangan, matanya menatap kosong ke arah laci tua di meja.

Ia membuka laci itu perlahan, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya penghiburan. Di dalamnya, ia menemukan sebuah amplop tua dengan tulisan tangan yang sudah familiar.

Ia mengenali tulisan itu. Itu adalah tulisan tangan ibunya. Dengan hati-hati, ia membuka surat itu dan mulai membacanya.

"Anisa, anakku, jika kau membaca ini, mungkin hidupmu sedang sulit. Tapi ketahuilah, kau adalah pewaris sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kau kira. Kekuatan dan kebesaranmu ada di dalam dirimu sendiri. Jangan biarkan siapa pun meremehkanmu. Kau lebih kuat dari yang kau bayangkan, dan waktumu akan tiba."

Anisa menutup surat itu dengan tangan gemetar. Air mata mengalir di pipinya tanpa suara. Kata-kata ibunya terasa seperti pelukan hangat yang sudah lama hilang dari hidupnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Anisa merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Meskipun kecil, ada api yang mulai menyala. Sebuah harapan yang perlahan tumbuh, seperti tunas kecil yang muncul dari tanah yang tandus.

Ia menatap Adit yang terlelap, lalu memejamkan matanya. Ia tahu, jika waktunya tiba, ia tidak akan membiarkan siapa pun merendahkannya lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 31: Pelarian di Tengah Kegelapan

    Ranting-ranting tajam menggores kulit Anisa dan Sara saat mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Suara angin yang menerpa daun-daun menciptakan irama yang menyeramkan, seolah alam sedang mengamati pelarian mereka.Anisa berhenti sejenak, menatap kembali ke arah terowongan yang kini tak lagi terlihat. "Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja, Sara," gumamnya dengan nada penuh penyesalan.Sara, yang tampak lelah dan frustasi, mencengkeram bahu Anisa. "Kau pikir Haris ingin kau kembali? Dia mengorbankan dirinya supaya kita bisa pergi. Jangan sia-siakan itu!"Namun, hati Anisa tidak mudah diyakinkan. Tatapannya penuh dengan keraguan, dan langkahnya ragu-ragu. Setiap suara dari arah belakang membuatnya berharap bahwa Haris akan muncul, tapi yang ia dengar hanyalah suara hutan yang sunyi, menambah kesendiriannya."Bagaimana jika dia butuh bantuan? Bagaimana jika aku salah meninggalkan dia?" Anisa bertanya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri."Dan bagaimana jika k

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 30: Pelarian yang Penuh Ketegangan

    Hening melingkupi mobil yang melaju di jalanan sepi. Malam semakin larut, dengan hanya suara deru mesin dan hembusan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka. Anisa duduk gelisah di kursi belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Sara di sampingnya, tetap waspada, sementara Haris dengan tenang mengemudi, pandangannya lurus ke depan."Kita mau ke mana?" Anisa akhirnya memecah keheningan.Haris meliriknya lewat kaca spion. "Ke tempat yang aman. Itu yang kau butuhkan sekarang."Sara mendengus. "Aman? Aman menurut siapa? Kita bahkan tidak tahu siapa yang kau hubungi tadi."Haris tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat Sara semakin jengkel. "Kau mungkin sudah menyelamatkan kami beberapa kali, Haris, tapi itu tidak berarti kami bisa sepenuhnya percaya padamu.""Cukup, Sara," potong Anisa dengan nada tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Haris ingin mengkhianati kita, dia sudah melakukannya sejak tadi."Namun, bahkan saat dia mengucapkan itu, hat

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 29: Kejaran Tanpa Henti

    Mereka semua terpaku pada layar ponsel Sara. Kalimat singkat itu terasa seperti sebuah bom waktu yang baru saja dinyalakan."Bagaimana bisa?" suara Dimas pecah di tengah keheningan. Tangannya terkepal erat. "Kita sudah berhati-hati."Sara mencoba tetap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan kegelisahan. "Mungkin ada alat pelacak di tempat ini. Atau seseorang membocorkan keberadaan kita."Anisa menggenggam ponsel Sara dengan erat, napasnya tertahan. "Kita tidak punya waktu untuk menebak-nebak. Kita harus pergi sekarang."Mereka bertiga bergerak cepat, mengemas dokumen dan barang-barang penting yang bisa mereka bawa. Anisa memasukkan foto dan peta dari Haris ke dalam tasnya, sementara Dimas menyiapkan senjata seadanya—pisau dapur yang diasah tajam."Sara, kau sudah punya rencana rute keluar?" tanya Anisa sambil memeriksa pintu belakang.Sara mengangguk. "Ada gang kecil di belakang rumah ini. Kita bisa keluar lewat sana, lalu menyusuri jalan sempit menuju stasiun kereta. Tapi kita ha

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 28: Perlawanan yang Tak Terduga

    Suara gemerincing senjata memecah keheningan gang sempit itu. Dua pria berbaju hitam menyerang tanpa ragu, gerakan mereka cepat dan terlatih, mencerminkan ancaman serius. Dimas langsung menyambar sebuah tongkat besi dari dekat dan menggunakannya untuk menangkis serangan pertama. Dentingan logam menghantam udara, menggema di antara dinding-dinding tua.Anisa mundur beberapa langkah, tubuhnya tegang, tapi matanya waspada. Dia tahu ini bukan saatnya untuk panik. Dia harus berpikir cepat. Namun, sebelum dia sempat bergerak, wanita muda yang muncul di akhir bab sebelumnya sudah melangkah maju. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak tergoyahkan."Aku menangani mereka," katanya singkat, nada suaranya dingin.Wanita itu menarik pisau kecil dari pinggangnya. Dalam sekejap, dia sudah meluncur ke depan dengan kelincahan luar biasa. Gerakannya begitu gesit sehingga salah satu pria berbaju hitam tidak sempat menghindar ketika pisaunya bergerak cepat ke arah tang

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 27: Jalan Berliku yang Tak Terduga

    Suasana pagi terasa tegang di rumah persembunyian yang sempit. Hujan semalam meninggalkan jejak genangan air di luar, membasahi jalan-jalan berbatu yang dipenuhi dengan bau lembap. Dimas duduk di dekat pintu dengan tatapan kosong, sementara Anisa dan wanita yang telah menolong mereka, yang bernama Ibu Maimunah, berada di sisi Satria yang sedang beristirahat.Satria masih terlihat lemah, tetapi matanya sudah mulai terbuka. Tangan kanannya menggenggam erat tempat tidurnya, berusaha untuk bangkit meski tubuhnya terasa teramat sakit."Satria, kau harus beristirahat," kata Anisa dengan lembut, meraih tangan Satria yang gemetar. "Kami akan mencari solusi, tapi kau harus kuat."Satria memandang Anisa, ada kesan kedalaman dalam tatapannya. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu melakukannya sendirian, Anisa."Anisa terdiam sejenak, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Sejak pertama kali melangkah ke jalan ini, semua pilihan terasa pen

  • Dendam Sang Pewaris   Bab 26: Titik Balik dalam Kegelapan

    Udara terasa semakin berat di dalam terowongan sempit itu. Kallen berdiri di ujung lorong, tubuhnya terlihat gagah meskipun bayang-bayang mengaburkan sebagian wajahnya. Pria-pria berbadan besar di belakangnya menggenggam senjata dengan sikap siaga, mata mereka menatap tajam ke arah Anisa, Dimas, dan Satria.Anisa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa rencana yang direncanakan dengan begitu matang akan berantakan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang."Kau benar-benar licik, Kallen," kata Anisa dengan suara tegas, meskipun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bahkan setelah merebut segalanya dariku, kau masih merasa perlu menjebakku."Kallen terkekeh pelan. "Oh, ini bukan sekadar menjebak, Anisa. Aku ingin memastikan kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuh Umbra tanpa konsekuensi. Kau pikir kau bisa menyusup ke kantorku tanpa aku tahu? Kau terlalu meremehkanku.""Apa kau meremehkan kami?" potong Dimas denga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status