Anisa berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar rumah. Suasana sore begitu tenang, tetapi pikirannya bergolak hebat. Setelah kejadian pagi tadi, ia merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Farhan darinya.
Ketika suara lonceng kecil di pintu depan berbunyi, Anisa bergegas membuka pintu. Seorang kurir berdiri di sana, membawa sebuah kotak kecil yang dibungkus rapi dengan pita merah.
“Ini kiriman untuk Pak Farhan,” kata kurir itu sambil menyerahkan kotak tersebut.
Anisa menerima paket itu dengan alis mengerut. Farhan jarang menerima paket, apalagi yang dibungkus dengan cara seperti ini. Namun, kurir itu sudah pergi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut.
Ia membawa kotak itu ke ruang tamu, meletakkannya di meja dengan hati-hati. Sesuatu tentang paket itu membuat rasa ingin tahunya memuncak.
“Paket apa ini?” gumamnya pelan.
Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar, ia membuka kotak tersebut. Di dalamnya, ia menemukan sebotol parfum mahal dan sebuah kartu kecil bertuliskan:
"Untuk malam spesial kita. -M."
Anisa merasakan jantungnya berdetak kencang. Inisial itu—M—sama dengan yang ada di gelang yang ia temukan di kamar Farhan.
Saat malam tiba, Anisa menunggu Farhan pulang dengan gelisah. Ia duduk di ruang tamu, memandangi jam dinding yang berdetak pelan. Setiap menit terasa seperti jam.
Ketika akhirnya Farhan membuka pintu, Anisa sudah siap dengan kotak itu di tangannya.
“Kamu menerima ini tadi siang,” ujarnya datar sambil menyodorkan kotak tersebut ke arah Farhan.
Farhan tampak terkejut sesaat, tetapi ia segera menguasai ekspresinya. “Oh, itu hadiah dari klien. Kamu nggak perlu pikirkan.”
Namun, Anisa tidak mudah percaya. “Hadiah dari klien? Dengan pesan seperti ini?” Ia mengangkat kartu kecil itu, memperlihatkannya ke arah suaminya.
Farhan menggertakkan giginya, jelas tidak suka dengan nada suara istrinya. “Kamu mulai mencampuri urusan yang bukan urusanmu, ya?”
Anisa menatapnya tajam. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah malam itu. Ia tidak lagi merasa takut, setidaknya tidak seperti biasanya.
“Kalau ini memang bukan urusan aku, kenapa kamu menyembunyikannya?” tanya Anisa dengan suara tegas.
Farhan menghela napas panjang, lalu mendekati Anisa. “Aku capek dengan kecurigaan kamu. Kalau kamu nggak percaya, nggak usah tanya-tanya lagi!”
Ia merampas kotak itu dari tangan Anisa dan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan istrinya berdiri dengan perasaan terluka.
Namun, malam itu tidak berakhir di situ. Setelah memastikan Farhan tertidur, Anisa menyelinap keluar kamar. Ia membuka ponsel lamanya yang sudah lama tidak ia gunakan dan mulai mencari informasi tentang Melisa.
Tidak sulit untuk menemukan akun media sosial perempuan itu. Foto-fotonya penuh dengan senyuman ceria, sering kali diambil di tempat-tempat mewah. Namun, ada satu foto yang membuat Anisa terpaku.
Foto itu diambil di sebuah restoran, dengan Melisa tersenyum di depan meja penuh makanan. Tapi yang menarik perhatian Anisa adalah cincin di jari Melisa. Itu adalah cincin yang sama dengan cincin yang pernah ia berikan kepada Farhan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka.
Tangannya gemetar saat ia memperbesar foto itu, memastikan apa yang ia lihat. Semua potongan mulai menyatu.
Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara langkah terdengar dari arah belakang. Anisa menoleh cepat, dan ia mendapati Farhan berdiri di ambang pintu, matanya penuh kemarahan.
“Apa yang kamu lakukan?” suaranya dingin, penuh ancaman.
Anisa terdiam, merasa seperti seekor rusa yang tertangkap dalam sorotan lampu.
“Jadi, kamu mulai mengawasi aku sekarang?” lanjut Farhan sambil mendekat.
Anisa menggenggam ponsel di tangannya erat-erat, mencoba menyembunyikan layar dari pandangan Farhan. Tetapi Farhan sudah cukup dekat untuk meraih ponsel itu.
“Apa yang kamu lihat?” tanyanya dengan nada mengintimidasi.
“Aku hanya mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Anisa, suaranya bergetar.
Farhan mendekatkan wajahnya ke arahnya, napasnya terasa hangat di wajah Anisa. “Kamu nggak perlu memahami apa-apa. Kamu hanya perlu diam dan lakukan tugasmu sebagai istri.”
Anisa tidak menjawab, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi hanya diam.
Farhan merebut ponsel Anisa dan melihat layar yang menampilkan foto Melisa. Ekspresinya berubah dari marah menjadi dingin. "Jadi, kamu sudah tahu?" katanya, sebelum layar ponsel tiba-tiba mati.
Ranting-ranting tajam menggores kulit Anisa dan Sara saat mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Suara angin yang menerpa daun-daun menciptakan irama yang menyeramkan, seolah alam sedang mengamati pelarian mereka.Anisa berhenti sejenak, menatap kembali ke arah terowongan yang kini tak lagi terlihat. "Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja, Sara," gumamnya dengan nada penuh penyesalan.Sara, yang tampak lelah dan frustasi, mencengkeram bahu Anisa. "Kau pikir Haris ingin kau kembali? Dia mengorbankan dirinya supaya kita bisa pergi. Jangan sia-siakan itu!"Namun, hati Anisa tidak mudah diyakinkan. Tatapannya penuh dengan keraguan, dan langkahnya ragu-ragu. Setiap suara dari arah belakang membuatnya berharap bahwa Haris akan muncul, tapi yang ia dengar hanyalah suara hutan yang sunyi, menambah kesendiriannya."Bagaimana jika dia butuh bantuan? Bagaimana jika aku salah meninggalkan dia?" Anisa bertanya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri."Dan bagaimana jika k
Hening melingkupi mobil yang melaju di jalanan sepi. Malam semakin larut, dengan hanya suara deru mesin dan hembusan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka. Anisa duduk gelisah di kursi belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Sara di sampingnya, tetap waspada, sementara Haris dengan tenang mengemudi, pandangannya lurus ke depan."Kita mau ke mana?" Anisa akhirnya memecah keheningan.Haris meliriknya lewat kaca spion. "Ke tempat yang aman. Itu yang kau butuhkan sekarang."Sara mendengus. "Aman? Aman menurut siapa? Kita bahkan tidak tahu siapa yang kau hubungi tadi."Haris tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat Sara semakin jengkel. "Kau mungkin sudah menyelamatkan kami beberapa kali, Haris, tapi itu tidak berarti kami bisa sepenuhnya percaya padamu.""Cukup, Sara," potong Anisa dengan nada tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Haris ingin mengkhianati kita, dia sudah melakukannya sejak tadi."Namun, bahkan saat dia mengucapkan itu, hat
Mereka semua terpaku pada layar ponsel Sara. Kalimat singkat itu terasa seperti sebuah bom waktu yang baru saja dinyalakan."Bagaimana bisa?" suara Dimas pecah di tengah keheningan. Tangannya terkepal erat. "Kita sudah berhati-hati."Sara mencoba tetap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan kegelisahan. "Mungkin ada alat pelacak di tempat ini. Atau seseorang membocorkan keberadaan kita."Anisa menggenggam ponsel Sara dengan erat, napasnya tertahan. "Kita tidak punya waktu untuk menebak-nebak. Kita harus pergi sekarang."Mereka bertiga bergerak cepat, mengemas dokumen dan barang-barang penting yang bisa mereka bawa. Anisa memasukkan foto dan peta dari Haris ke dalam tasnya, sementara Dimas menyiapkan senjata seadanya—pisau dapur yang diasah tajam."Sara, kau sudah punya rencana rute keluar?" tanya Anisa sambil memeriksa pintu belakang.Sara mengangguk. "Ada gang kecil di belakang rumah ini. Kita bisa keluar lewat sana, lalu menyusuri jalan sempit menuju stasiun kereta. Tapi kita ha
Suara gemerincing senjata memecah keheningan gang sempit itu. Dua pria berbaju hitam menyerang tanpa ragu, gerakan mereka cepat dan terlatih, mencerminkan ancaman serius. Dimas langsung menyambar sebuah tongkat besi dari dekat dan menggunakannya untuk menangkis serangan pertama. Dentingan logam menghantam udara, menggema di antara dinding-dinding tua.Anisa mundur beberapa langkah, tubuhnya tegang, tapi matanya waspada. Dia tahu ini bukan saatnya untuk panik. Dia harus berpikir cepat. Namun, sebelum dia sempat bergerak, wanita muda yang muncul di akhir bab sebelumnya sudah melangkah maju. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak tergoyahkan."Aku menangani mereka," katanya singkat, nada suaranya dingin.Wanita itu menarik pisau kecil dari pinggangnya. Dalam sekejap, dia sudah meluncur ke depan dengan kelincahan luar biasa. Gerakannya begitu gesit sehingga salah satu pria berbaju hitam tidak sempat menghindar ketika pisaunya bergerak cepat ke arah tang
Suasana pagi terasa tegang di rumah persembunyian yang sempit. Hujan semalam meninggalkan jejak genangan air di luar, membasahi jalan-jalan berbatu yang dipenuhi dengan bau lembap. Dimas duduk di dekat pintu dengan tatapan kosong, sementara Anisa dan wanita yang telah menolong mereka, yang bernama Ibu Maimunah, berada di sisi Satria yang sedang beristirahat.Satria masih terlihat lemah, tetapi matanya sudah mulai terbuka. Tangan kanannya menggenggam erat tempat tidurnya, berusaha untuk bangkit meski tubuhnya terasa teramat sakit."Satria, kau harus beristirahat," kata Anisa dengan lembut, meraih tangan Satria yang gemetar. "Kami akan mencari solusi, tapi kau harus kuat."Satria memandang Anisa, ada kesan kedalaman dalam tatapannya. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu melakukannya sendirian, Anisa."Anisa terdiam sejenak, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Sejak pertama kali melangkah ke jalan ini, semua pilihan terasa pen
Udara terasa semakin berat di dalam terowongan sempit itu. Kallen berdiri di ujung lorong, tubuhnya terlihat gagah meskipun bayang-bayang mengaburkan sebagian wajahnya. Pria-pria berbadan besar di belakangnya menggenggam senjata dengan sikap siaga, mata mereka menatap tajam ke arah Anisa, Dimas, dan Satria.Anisa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa rencana yang direncanakan dengan begitu matang akan berantakan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang."Kau benar-benar licik, Kallen," kata Anisa dengan suara tegas, meskipun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bahkan setelah merebut segalanya dariku, kau masih merasa perlu menjebakku."Kallen terkekeh pelan. "Oh, ini bukan sekadar menjebak, Anisa. Aku ingin memastikan kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuh Umbra tanpa konsekuensi. Kau pikir kau bisa menyusup ke kantorku tanpa aku tahu? Kau terlalu meremehkanku.""Apa kau meremehkan kami?" potong Dimas denga