Dendam Sang Pewaris

Dendam Sang Pewaris

last updateLast Updated : 2024-12-10
By:  drhellOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
31Chapters
403views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

Anisa, wanita sederhana yang hidupnya dipenuhi penderitaan akibat suami dan mertuanya, menemukan kekuatan tak terduga setelah dikhianati. Sebagai pewaris kerajaan bisnis, Anisa kembali sebagai CEO berkuasa dan merencanakan pembalasan elegan terhadap mereka yang meremehkannya. Sambil memastikan anaknya, Adit, tumbuh di lingkungan penuh kasih, Anisa membuktikan bahwa wanita yang dianggap lemah bisa bangkit dan mengubah nasib dengan kekuatan luar biasa.

View More

Chapter 1

Bab 1: Awal yang Menyedihkan

Langit baru mulai berwarna biru keabu-abuan saat Anisa membuka matanya. Dini hari selalu terasa dingin di rumah mertuanya, bukan hanya karena udara, tetapi juga suasananya. Ia menarik selimut tipis dari tubuhnya, menatap sekilas Adit, anaknya yang masih terlelap di atas kasur kecil di sudut kamar. Wajah polos bocah berusia lima tahun itu menjadi satu-satunya alasan Anisa bertahan di rumah ini.

Dengan langkah pelan agar tidak membangunkan Adit, ia menuju dapur. Seperti rutinitas setiap pagi, ia harus memastikan semuanya siap sebelum anggota keluarga lain bangun. Mulai dari sarapan, air panas untuk mandi, hingga seragam kerja suaminya.

Dapur itu kecil dan sempit, dengan dinding bercat pudar yang sudah lama tidak diperbaiki. Anisa meraih apron dan mulai memasak. Tangannya lincah mengiris bawang, meski matanya terasa perih akibat asap dari kompor minyak. Namun, perih itu tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang ia sembunyikan di dalam hatinya.

Saat itu, suara ketukan sepatu terdengar mendekat. Anisa menegakkan tubuhnya, tahu persis siapa yang datang.

“Anisa! Mana kopiku?” suara nyaring Bu Ratna, ibu mertuanya, membuat tubuh Anisa refleks menegang.

“Sebentar, Bu. Ini masih dibuatkan,” jawab Anisa lembut sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir. Tangannya gemetar sedikit karena ia tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat Bu Ratna meledak.

Ketika ia menyajikan kopi di meja makan, Bu Ratna sudah duduk dengan ekspresi tidak puas, seperti biasa. Perempuan paruh baya itu menatap Anisa dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah mencari alasan untuk mengkritiknya.

“Kenapa kamu masih pakai baju seperti itu? Kalau ada tamu pagi ini, mereka pasti pikir kita mempekerjakan pembantu yang tidak tahu tata krama.”

Anisa hanya menunduk. Ia ingin menjelaskan bahwa bajunya ini adalah yang paling bersih yang ia miliki, tetapi ia tahu tidak ada gunanya. Bu Ratna tidak pernah peduli pada penjelasan atau alasannya.

“Lain kali pakai baju yang pantas. Jangan bikin malu keluarga ini,” sambung Bu Ratna sambil menyeruput kopinya. Namun, setelah satu tegukan, wajahnya langsung berkerut.

“Manis sekali! Apa kamu pikir saya suka minum gula?” Bu Ratna menatapnya tajam.

“Maaf, Bu. Saya akan buat yang baru,” ujar Anisa, buru-buru mengambil cangkir itu lagi.

Namun, sebelum ia sempat beranjak ke dapur, suara langkah lain terdengar. Kali ini Farhan, suaminya, muncul dari arah tangga. Dengan kemeja kusut dan wajah yang tampak masih mengantuk, ia langsung mendekati meja makan tanpa sepatah kata untuk istrinya.

“Apa lagi ini?” Farhan mencicipi kopi di cangkir Bu Ratna yang belum sempat dibawa Anisa ke dapur. Ia langsung meletakkan cangkir itu dengan kasar di meja.

“Kamu nggak bisa bikin kopi, ya? Manis banget!” bentaknya.

Anisa menunduk, menggenggam cangkir itu erat untuk menyembunyikan getar di tangannya. “Maaf, aku akan bikin yang baru.”

“Sudahlah, nggak usah bikin. Aku beli kopi di jalan saja. Nggak perlu buang waktu dengan kopi buatanmu,” balas Farhan dengan nada sinis. Ia mengambil tas kerjanya, lalu berjalan keluar tanpa menoleh lagi.

Anisa berdiri di sana, memandangi punggung Farhan yang menghilang di balik pintu. Setiap kata yang ia ucapkan tadi meninggalkan luka, tapi bukan luka yang baru. Luka itu sudah ada sejak lama, hanya semakin menganga setiap harinya.


Setelah sarapan selesai, Anisa mulai membereskan meja. Ia menyaksikan Adit yang sedang bermain dengan balok kayu di ruang tamu. Bocah kecil itu terlihat begitu gembira, senyum ceria menghiasi wajahnya. Melihat itu, Anisa merasa ada sedikit kehangatan di dalam hatinya, meski hanya sesaat.

Namun, tawa Adit terhenti ketika Bu Ratna mendekati bocah itu.

“Adit, jangan main di sini! Kotor sekali, nanti tamu datang malu kita!” hardik Bu Ratna.

“Bu, biar Adit main di sini dulu. Setelah selesai, saya akan bersihkan,” ujar Anisa dengan nada hati-hati.

Bu Ratna menatapnya dengan tatapan dingin. “Kamu memang ibu yang malas. Adit ini jadi susah diatur karena kamu tidak mendidiknya dengan baik. Kalau saja Farhan menikah dengan wanita lain, pasti anak ini tidak begini.”

Anisa tidak menjawab. Ia tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan memperkeruh suasana. Sebaliknya, ia menarik napas dalam-dalam dan membantu Adit membereskan mainannya.


Malam itu, setelah semua pekerjaan rumah selesai, Anisa kembali ke kamarnya yang kecil di bagian belakang rumah. Adit sudah tertidur, pelan mendengkur di atas kasur kecilnya. Anisa duduk di sudut ruangan, matanya menatap kosong ke arah laci tua di meja.

Ia membuka laci itu perlahan, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya penghiburan. Di dalamnya, ia menemukan sebuah amplop tua dengan tulisan tangan yang sudah familiar.

Ia mengenali tulisan itu. Itu adalah tulisan tangan ibunya. Dengan hati-hati, ia membuka surat itu dan mulai membacanya.

"Anisa, anakku, jika kau membaca ini, mungkin hidupmu sedang sulit. Tapi ketahuilah, kau adalah pewaris sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kau kira. Kekuatan dan kebesaranmu ada di dalam dirimu sendiri. Jangan biarkan siapa pun meremehkanmu. Kau lebih kuat dari yang kau bayangkan, dan waktumu akan tiba."

Anisa menutup surat itu dengan tangan gemetar. Air mata mengalir di pipinya tanpa suara. Kata-kata ibunya terasa seperti pelukan hangat yang sudah lama hilang dari hidupnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Anisa merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Meskipun kecil, ada api yang mulai menyala. Sebuah harapan yang perlahan tumbuh, seperti tunas kecil yang muncul dari tanah yang tandus.

Ia menatap Adit yang terlelap, lalu memejamkan matanya. Ia tahu, jika waktunya tiba, ia tidak akan membiarkan siapa pun merendahkannya lagi.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
31 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status