Share

Biar Menjadi Rahasia

Pendar cahaya putih yang berangsur-angsur mendominasi warna langit pertanda pagi telah menjelang. Aku kembali mengangkat kepala dan sedikit mengambil jarak dari Kak Makmur.

“M-maaf, Kak,” ucapku pelan setelah sadar sudah bersikap tak pantas.

“Sekarang udah tenang, Nay?” tanya Kak Makmur tanpa menghiraukan ucapanku.

Aku hanya menarik simpul senyum sambil mengangguk pelan. Kak Makmur berdiri lebih dahulu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantuku. Meski ragu, kuterima uluran tangannya hingga saat turut berdiri kami tepat berhadapan. Sejenak, pandangan kami saling bertumbuk. Aku terpaku saat tangannya dengan hati-hati menyeka sisa air yang masih menggantung di sudut mata.

“Kalau nanti perlu teman bicara, kamu bisa cari aku, Nay. Aku biasanya malam juga begadang buat lembur,” pesan Kak Makmur.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk.

Detik berikutnya, Kak Makmur berpaling ke arah pantai dan memunggungiku. Kedua tangannya direntangkan lebar seiring empasan napas panjang yang terdengar cukup keras. “Pulang, yuk, Nay!” ajaknya menggenggam tanganku.

“I-iya, Kak.” Kulepaskan genggaman tangannya dan bergegas melangkah lebih dulu menuju rumah. Langkah terasa lebih ringan seolah-olah beban yang ditimpakan pada pundak telah berkurang.

Kak Makmur yang semula terus memberondongku dengan pertanyaan akhirnya mengerti bahwa yang kuperlukan hanya menangis sepuasnya.

Begitu langkah sampai pada halaman, tampak Kak Yuni yang tengah menjemur pakaian di samping kanan rumah. Saat menoleh ke arahku, raut wajahnya jelas menyiratkan rasa bingung. Gerak matanya berganti menatapku dan Kak Makmur yang melangkah bersisian.

“Dari mana aja, Nay?” sambut Kak Yuni yang segera menghampiri tanpa menyelesaikan pekerjaannya.

“Dari pantai, Kak,” sahutku singkat.

“Tadi malam Nayla jalan sendirian ke pantai, jadi kuikutin. Kan, bahaya anak gadis sendirian malam-malam,” timpal Kak Makmur.

“Nah, bener itu kata Kak Makmur, Nay! Kamu bikin Kakak kaget aja, dicariin sampe toilet gak ada,” keluh Kak Yuni.

Aku hanya menyengir. “Maaf, Kak. Nay izin mau mandi dulu, ya,” pamitku yang segera mengambil langkah menuju rumah. Sebelum kaki menginjak pelatar, Kak Ijul yang berjalan dari sisi kiri rumah menatap tajam. Aku hanya berpura-pura tak melihat dan gegas menuju kamar untuk mengambil handuk.

Di kamar mandi, aku menatap sekujur tubuh dengan luka gores yang belum memudar. Kulit putihku kini tak lagi bersih, ada noda yang akan terus melekat seumur hidup. Noda yang aku tak tahu harus bagaimana cara menghilangkannya.

“Nay, kamu masih muda, cantik ....” Sepotong kalimat yang diucapkan Kak Makmur sejenak membuatku tertawa. Apa gunanya cantik jika tak lagi suci?

Kunyalakan kran air dan segera mengguyurnya ke badan. Tanpa berniat lama, kuselesaikan mandi hanya dengan menggosokkan sabun sekenanya. Setelahnya, segera meraih handuk dan beralih ke kamar untuk berpakaian.

Di dalam kamar, tampak Kak Yuni yang tengah duduk di depan meja rias. Bedak dan lipstik yang masih terbuka terabaikan karena Kak Yuni sibuk dengan pensil alis di tangan kanannya. Di sudut ranjang, pakaian ganti untukku telah disediakan bahkan tanpa aku meminta.

“Makasih, Kak,” ungkapku menutup pintu juga tirai kemudian memakai celana jins selutut serta kaos bergambar emoticon tertawa yang sudah menjadi pakaian harian.

“Setelah itu jangan lupa sarapan, Nay. Sudah Kakak siapkan di dapur,” jawab Kak Yuni.

Usai berpakaian lengkap, aku duduk di pinggiran ranjang memandang Kak Yuni yang telah menyelesaikan ritual berdandannya dan berdiri mematut  diri di depan cermin. Kaos lengan pendek yang melekat di tubuhnya menampakkan lekuk pinggang serta tonjolan dada cukup besar, celana jins di atas lutut tak kalah memamerkan kedua kaki yang memiliki warna kulit kuning langsat. Jika dilihat seperti ini, mungkin banyak yang tak percaya jika Kak Yuni telah memiliki tiga anak. Kecantikannya terus terpancar meski enam tahun lagi usianya mencapai kepala empat.

“Kakak baik-baik aja, kan?” tanyaku mengingat hubungan rumah tangganya yang baru saja kandas.

Kak Yuni berbalik dan menatapku dengan senyum lepas. Perlahan mendekat dan turut duduk di sisiku kemudian merangkul erat. “Harusnya Kakak yang tanya seperti itu ke kamu, Nay. Biasanya juga kalau kamu ada masalah pasti cerita.”

“Aku ... cuma sedikit depresi karena susah tidur di rumah Kak Lily. Enak di rumah Kakak,” dustaku.

“Gara-gara si Ijul itu mabuk terus, ya? Tapi kamu gak diapa-apain, kan?” tanya Kak Yuni yang telak menebak hal itu.

Aku hanya menggeleng lemah. Rasa-rasanya, ada banyak telinga yang siap mendengarkan. Tapi, aku masih saja tak tahu bagaimana jika harus menceritakannya. Kadang, aku hanya berharap ini hanya mimpi buruk yang panjang dan akan berakhir saat fajar datang. Aku masih ingin terus menyangkal bahwa yang dilakukan pria itu nyata.

“Biasanya Kak Ijul gak kerja, ngapain aja di rumah?” Kak Yuni seolah tak puas bertanya.

“Aku cuma di kamar, jadi gak tahu,” kilahku segera. Biarlah semua menjadi rahasia, biar hanya aku yang terluka. Cukup aku saja yang menanggung sakitnya.

Seperti ini saja aku merasa tak memiliki wajah lagi untuk bertemu Kak Lily. Aku takut dibenci dan tak dipercaya lagi.

Argh! Kepingan-kepingan rekam ingatan saat Kak Ijul terus memaksaku melayaninya kembali membayang. Rasanya hatiku kembali patah dan berdarah. Nyeri yang teramat sangat. Aku menunduk dan mengepalkan tangan, berusaha keras menahan air mata agar tak lagi berjatuhan. Jeda berikutnya, aku mendongak seirama tarikan napas cukup panjang.

“Kakak sendiri gak masalah cerai sama Kak Hendrik? Nisa sama Via gimana?” Kualihkan pembicaraan setelah mengempaskan napas dengan kasar.

“Kakak sebenarnya memang nyari celah buat ninggalin Kak Hendrik baik-baik, tapi malah keburu dibongkar orang. Itu aja sih yang bikin Kakak kesal. Soal Nisa sama Via kalau mau ikut Kak Hendrik, itu keputusan mereka sendiri, kan? Gak masalah buat Kakak,” jelas Kak Yuni panjang lebar.

Aku membulatkan bibir sebagai respon karena benar-benar tak mengerti mengapa Kak Yuni bisa seacuh itu pada masalahnya. Atau mungkin Kak Yuni malah menganggap perceraian ini adalah anugerah?

“Kakak mau cuci piring dulu, Nay. Kamu sarapan sana. Mau santai di luar juga terserah. Tapi, kalau mau main ke pantai bilang-bilang dulu!” Kak Yuni bangkit dan beranjak lebih dahulu meninggalkan kamar.

Aku yang masih tak berselera untuk makan memilih duduk di pelatar. Sejenak, pandangan mata tertuju pada sesosok laki-laki yang memakai celana boxer pendek serta kaos tanpa lengan yang sedang membaca sebuah buku. Laki-laki tampan berkulit putih bersih dengan rambut pendek yang sejak kali pertama melihat telah mengundang debar-debar aneh di dada. Laki-laki yang selalu kuimpikan untuk dekat dengannya walau sebagai apa saja.

Namun sekarang aku harus cukup sadar diri dengan keadaan agar bisa mengubur paksa harapan bodoh itu. Lelaki mana yang akan menerima perempuan kotor sepertiku?

Aku menghela napas panjang dan menengadahkan kepala menatap langit. ‘Tuhan, kapan aku akan dijemput?’ batinku.

Seseorasng yang duduk merapat di sisi kanan seketika membuatku tersentak. Aku yang menoleh untuk memastikan berubah gemetar saat menyadari sosok itu.

“Baru pulang sehari, udah nakal main sama si Makmur, ya,” sindirnya.

Pelan aku menggeser duduk untuk mengambil jarak darinya.

“Kamu lupa kalau kamu milik siapa?” Kak Ijul melayangkan tatapan yang seakan-akan berhasil mencuri oksigen di sekitarku. Aku yang mulai merasakan sesak dan kesulitan bernapas seketika tak bisa bergerak sedikt pun.

“Kamu harus jelasin semuanya! Aku tunggu di belakang SPBU,” bisiknya dengan senyum yang menampilkan barisan gigi kuning menjijikkan. Meski begitu, tatap yang dilayangkannya masih saja terasa dipenuhi dengan ancaman.

“Nay, ngapain?” Teguran Kak Yuni seketik menarik kembali simpul kesadaranku yang sempat lumpuh. Saat aku menoleh, pemilik suara itu berdiri tepat di depan pintu dengan tatapan yang benar-benar tak bisa kuartikan.

Apa yang harus kukatakan sekarang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status