Home / Romansa / Dendam Wanita Simpanan / Biar Menjadi Rahasia

Share

Biar Menjadi Rahasia

Author: Asy'arie
last update Huling Na-update: 2021-07-21 16:28:43

Pendar cahaya putih yang berangsur-angsur mendominasi warna langit pertanda pagi telah menjelang. Aku kembali mengangkat kepala dan sedikit mengambil jarak dari Kak Makmur.

“M-maaf, Kak,” ucapku pelan setelah sadar sudah bersikap tak pantas.

“Sekarang udah tenang, Nay?” tanya Kak Makmur tanpa menghiraukan ucapanku.

Aku hanya menarik simpul senyum sambil mengangguk pelan. Kak Makmur berdiri lebih dahulu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantuku. Meski ragu, kuterima uluran tangannya hingga saat turut berdiri kami tepat berhadapan. Sejenak, pandangan kami saling bertumbuk. Aku terpaku saat tangannya dengan hati-hati menyeka sisa air yang masih menggantung di sudut mata.

“Kalau nanti perlu teman bicara, kamu bisa cari aku, Nay. Aku biasanya malam juga begadang buat lembur,” pesan Kak Makmur.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk.

Detik berikutnya, Kak Makmur berpaling ke arah pantai dan memunggungiku. Kedua tangannya direntangkan lebar seiring empasan napas panjang yang terdengar cukup keras. “Pulang, yuk, Nay!” ajaknya menggenggam tanganku.

“I-iya, Kak.” Kulepaskan genggaman tangannya dan bergegas melangkah lebih dulu menuju rumah. Langkah terasa lebih ringan seolah-olah beban yang ditimpakan pada pundak telah berkurang.

Kak Makmur yang semula terus memberondongku dengan pertanyaan akhirnya mengerti bahwa yang kuperlukan hanya menangis sepuasnya.

Begitu langkah sampai pada halaman, tampak Kak Yuni yang tengah menjemur pakaian di samping kanan rumah. Saat menoleh ke arahku, raut wajahnya jelas menyiratkan rasa bingung. Gerak matanya berganti menatapku dan Kak Makmur yang melangkah bersisian.

“Dari mana aja, Nay?” sambut Kak Yuni yang segera menghampiri tanpa menyelesaikan pekerjaannya.

“Dari pantai, Kak,” sahutku singkat.

“Tadi malam Nayla jalan sendirian ke pantai, jadi kuikutin. Kan, bahaya anak gadis sendirian malam-malam,” timpal Kak Makmur.

“Nah, bener itu kata Kak Makmur, Nay! Kamu bikin Kakak kaget aja, dicariin sampe toilet gak ada,” keluh Kak Yuni.

Aku hanya menyengir. “Maaf, Kak. Nay izin mau mandi dulu, ya,” pamitku yang segera mengambil langkah menuju rumah. Sebelum kaki menginjak pelatar, Kak Ijul yang berjalan dari sisi kiri rumah menatap tajam. Aku hanya berpura-pura tak melihat dan gegas menuju kamar untuk mengambil handuk.

Di kamar mandi, aku menatap sekujur tubuh dengan luka gores yang belum memudar. Kulit putihku kini tak lagi bersih, ada noda yang akan terus melekat seumur hidup. Noda yang aku tak tahu harus bagaimana cara menghilangkannya.

“Nay, kamu masih muda, cantik ....” Sepotong kalimat yang diucapkan Kak Makmur sejenak membuatku tertawa. Apa gunanya cantik jika tak lagi suci?

Kunyalakan kran air dan segera mengguyurnya ke badan. Tanpa berniat lama, kuselesaikan mandi hanya dengan menggosokkan sabun sekenanya. Setelahnya, segera meraih handuk dan beralih ke kamar untuk berpakaian.

Di dalam kamar, tampak Kak Yuni yang tengah duduk di depan meja rias. Bedak dan lipstik yang masih terbuka terabaikan karena Kak Yuni sibuk dengan pensil alis di tangan kanannya. Di sudut ranjang, pakaian ganti untukku telah disediakan bahkan tanpa aku meminta.

“Makasih, Kak,” ungkapku menutup pintu juga tirai kemudian memakai celana jins selutut serta kaos bergambar emoticon tertawa yang sudah menjadi pakaian harian.

“Setelah itu jangan lupa sarapan, Nay. Sudah Kakak siapkan di dapur,” jawab Kak Yuni.

Usai berpakaian lengkap, aku duduk di pinggiran ranjang memandang Kak Yuni yang telah menyelesaikan ritual berdandannya dan berdiri mematut  diri di depan cermin. Kaos lengan pendek yang melekat di tubuhnya menampakkan lekuk pinggang serta tonjolan dada cukup besar, celana jins di atas lutut tak kalah memamerkan kedua kaki yang memiliki warna kulit kuning langsat. Jika dilihat seperti ini, mungkin banyak yang tak percaya jika Kak Yuni telah memiliki tiga anak. Kecantikannya terus terpancar meski enam tahun lagi usianya mencapai kepala empat.

“Kakak baik-baik aja, kan?” tanyaku mengingat hubungan rumah tangganya yang baru saja kandas.

Kak Yuni berbalik dan menatapku dengan senyum lepas. Perlahan mendekat dan turut duduk di sisiku kemudian merangkul erat. “Harusnya Kakak yang tanya seperti itu ke kamu, Nay. Biasanya juga kalau kamu ada masalah pasti cerita.”

“Aku ... cuma sedikit depresi karena susah tidur di rumah Kak Lily. Enak di rumah Kakak,” dustaku.

“Gara-gara si Ijul itu mabuk terus, ya? Tapi kamu gak diapa-apain, kan?” tanya Kak Yuni yang telak menebak hal itu.

Aku hanya menggeleng lemah. Rasa-rasanya, ada banyak telinga yang siap mendengarkan. Tapi, aku masih saja tak tahu bagaimana jika harus menceritakannya. Kadang, aku hanya berharap ini hanya mimpi buruk yang panjang dan akan berakhir saat fajar datang. Aku masih ingin terus menyangkal bahwa yang dilakukan pria itu nyata.

“Biasanya Kak Ijul gak kerja, ngapain aja di rumah?” Kak Yuni seolah tak puas bertanya.

“Aku cuma di kamar, jadi gak tahu,” kilahku segera. Biarlah semua menjadi rahasia, biar hanya aku yang terluka. Cukup aku saja yang menanggung sakitnya.

Seperti ini saja aku merasa tak memiliki wajah lagi untuk bertemu Kak Lily. Aku takut dibenci dan tak dipercaya lagi.

Argh! Kepingan-kepingan rekam ingatan saat Kak Ijul terus memaksaku melayaninya kembali membayang. Rasanya hatiku kembali patah dan berdarah. Nyeri yang teramat sangat. Aku menunduk dan mengepalkan tangan, berusaha keras menahan air mata agar tak lagi berjatuhan. Jeda berikutnya, aku mendongak seirama tarikan napas cukup panjang.

“Kakak sendiri gak masalah cerai sama Kak Hendrik? Nisa sama Via gimana?” Kualihkan pembicaraan setelah mengempaskan napas dengan kasar.

“Kakak sebenarnya memang nyari celah buat ninggalin Kak Hendrik baik-baik, tapi malah keburu dibongkar orang. Itu aja sih yang bikin Kakak kesal. Soal Nisa sama Via kalau mau ikut Kak Hendrik, itu keputusan mereka sendiri, kan? Gak masalah buat Kakak,” jelas Kak Yuni panjang lebar.

Aku membulatkan bibir sebagai respon karena benar-benar tak mengerti mengapa Kak Yuni bisa seacuh itu pada masalahnya. Atau mungkin Kak Yuni malah menganggap perceraian ini adalah anugerah?

“Kakak mau cuci piring dulu, Nay. Kamu sarapan sana. Mau santai di luar juga terserah. Tapi, kalau mau main ke pantai bilang-bilang dulu!” Kak Yuni bangkit dan beranjak lebih dahulu meninggalkan kamar.

Aku yang masih tak berselera untuk makan memilih duduk di pelatar. Sejenak, pandangan mata tertuju pada sesosok laki-laki yang memakai celana boxer pendek serta kaos tanpa lengan yang sedang membaca sebuah buku. Laki-laki tampan berkulit putih bersih dengan rambut pendek yang sejak kali pertama melihat telah mengundang debar-debar aneh di dada. Laki-laki yang selalu kuimpikan untuk dekat dengannya walau sebagai apa saja.

Namun sekarang aku harus cukup sadar diri dengan keadaan agar bisa mengubur paksa harapan bodoh itu. Lelaki mana yang akan menerima perempuan kotor sepertiku?

Aku menghela napas panjang dan menengadahkan kepala menatap langit. ‘Tuhan, kapan aku akan dijemput?’ batinku.

Seseorasng yang duduk merapat di sisi kanan seketika membuatku tersentak. Aku yang menoleh untuk memastikan berubah gemetar saat menyadari sosok itu.

“Baru pulang sehari, udah nakal main sama si Makmur, ya,” sindirnya.

Pelan aku menggeser duduk untuk mengambil jarak darinya.

“Kamu lupa kalau kamu milik siapa?” Kak Ijul melayangkan tatapan yang seakan-akan berhasil mencuri oksigen di sekitarku. Aku yang mulai merasakan sesak dan kesulitan bernapas seketika tak bisa bergerak sedikt pun.

“Kamu harus jelasin semuanya! Aku tunggu di belakang SPBU,” bisiknya dengan senyum yang menampilkan barisan gigi kuning menjijikkan. Meski begitu, tatap yang dilayangkannya masih saja terasa dipenuhi dengan ancaman.

“Nay, ngapain?” Teguran Kak Yuni seketik menarik kembali simpul kesadaranku yang sempat lumpuh. Saat aku menoleh, pemilik suara itu berdiri tepat di depan pintu dengan tatapan yang benar-benar tak bisa kuartikan.

Apa yang harus kukatakan sekarang?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dendam Wanita Simpanan   Kekhawatiran yang Sebenarnya

    "Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me

  • Dendam Wanita Simpanan   Kembali

    Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan

  • Dendam Wanita Simpanan   Mimpi yang Gila

    Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi

  • Dendam Wanita Simpanan   Hadirnya Sosok Lama(?)

    “Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai

  • Dendam Wanita Simpanan   Tak Selalu Baik

    Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se

  • Dendam Wanita Simpanan   Sangat Berbeda

    Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status