Share

Bungkam

Semua orang sudah tampak terlelap, tapi kedua mataku masih saja tak bisa berpejam. Jarum pendek telah menunjuk pada angka dua pada jam dinding yang terpajang di sisi kanan rumah.

“Kamu milikku, Nay. Takkan kubiarkan kamu lepas begitu saja, bagaimanapun caranya.” Ancaman yang dibisikkan Kak Ijul tadi sore masih saja terdengar, seperti kaset yang terus diputar berulang di kepala tanpa aku tahu di mana tombol untuk menghentikannya.

Aku mendadak rindu hari-hari yang tenang. Aku rindu bernapas tanpa sedikit pun menghirup aroma-aroma ketakutan. Bukankah seharusnya Kak Ijul takkan bisa mengganggu lagi sekarang? Namun, bagaimanapun perasaan kotor dan tak berharga lagi tak jua bisa menghilang. Keinginan-keinginan tentang kematian itu terus saja berdatangan.

Kulirik Kak Yuni yang tertidur dengan nyenyak, kemudian duduk dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Rasanya, tak terlihat sedikit pun gurat-gurat kesedihan atau mungkin kegelisahan karena masalah yang sedang menimpanya. Ah, andai saja hidupku bisa setenang dia.

Bosan berdiam, aku memilih ke luar.

Langit malam yang indah dihiasi bintang-bintang terang. Bulan sabit sesekali bersembunyi karena dilewati awan. Angin malam yang sejuk dengan lembut menyapu kulit. Kedua tangan memeluk bahu untuk mengusir rasa dingin. Sesekali kuayunkan kaki yang menjuntai untuk mengusir nyamuk. Sendir. Benar, luka yang kutanggung hanya sedang memerlukan sepi. Dalam suasana ramai, bercanda dan berpura-pura tertawa saja tak cukup untuk mengobati perih.

Aku lelah bersandiwara di depan mereka. Aku lelah berpura baik-baik saja.

Gelisah kembali bertandang. Pertanyaan-pertanyaan yang mustahil mendapat jawaban kembali berdesakan. Aku menarik napas panjang dan mengempaskannya kasar, tapi pekat di dada tak juga teruraikan.

Dalam sekali sentak, tubuh telah berdiri tegak. Rasanya, ujian yang menimpaku sekarang terlalu berat. Aku ingin lari dari kenyataan. Aku ingin menyerah jika diizinkan.

Kepala kutengadahkan untuk menahan air mata yang kembali memberontak. Namun, sekeras apa pun aku menahan, kaca-kaca itu malah semakin tebal dan terus memaksa pecah. Tanpa berpikir panjang, langkah terayun dengan pantai sebagai tujuan. Di sana, takkan ada yang mendengar tangisanku lagi. Jam-jam seperti ini pasti pantai dalam keadaan sepi, takkan ada orang-orang.

Aku mempercepat langkah seiring pandangan yang semakin buram. Sesak, napasku serasa tersendat. Setelah dari halaman berbelok ke arah kanan, aku memilih melewati jalan kecil di antara perkebunan dan SMA Satu. Terpa angin pantai yang menyambut sejenak mengundang gigil karena aku hanya memakai setelan baby doll lengan pendek.

Setelah sampai pada perbatasan, aku mengambil langkah ke kiri dengan tujuan sejauh mungkin dari pemukiman. Aku ingin leluasa berteriak dan melepaskan semuanya.

Sesekali, aku menendang pelan pasir yang menjadi pijakan. Suara debur ombak yang tak lagi bercampur bising kesibukan manusia-manusia sejenak terasa memanjakan. Kurentangkan tangan dengan sedikit membusungkan dada, berharap bisa terbang seperti burung-burung yang bebas mengudara.

Suara plastik yang terinjak oleh kaki lain di belakang sesaat menyadarkanku kalau ada yang mengikuti. Bukankah seharusnya aku sendirian sekarang?

Tergesa aku menunduk dan mempercepat gerak kaki hingga setengah berlari. Namun, langkah itu terasa semakin jelas juga mendekati.

Kuatur napas sebelum akhirnya berpejam dan berlari agar bisa menjauh secepat mungkin, ke mana pun itu. Tapi lagi-lagi bayangan yang tampak saat melewati bekas pabrik tahu menunjukkan sosok lain selain aku. Tanpa sadar, aku yang terlalu sibuk memperhatikan bayangan hingga langkah memelan ternyata memberi kesempatan untuk orang itu mendekat.

Bertepatan saat tangannya berhasil mencengkeram bahu, kedua tungkai seketika terkunci. Keringat dingin dengan cepat membasahi telapak tangan. Seluruh tubuh rasanya membeku, gigil yang semakin menelusupi sendi-sendi menjalarkan reaksi gemetar hebat. Seluruh sarafku seakan tak lagi mematuhi sinyal bahaya yang dikirimkan oleh otak.

“Nay!” Pemilik tangan itu memanggil seiring langkah yang kurasakan bergerak ke hadapan.

Ketakutan semakin terundang meski hampir sepenuhnya aku sadar suara itu bukanlah milik Kak Ijul, sekaligus pasti dari seseorang yang mengenalku.

“Ngapain malam-malam?” tanya sesosok pria yang tingginya tak jauh berbeda dariku. Kepala yang hanya ditumbuhi rambut tipis itu dengan cepat membuatku mengenalinya.

“A-anu, cari angin segar, Kak,” sahutku yang masih tak bisa menghentikan gemetar di sekujur tubuh.

“Kamu mau disamperin malah lari!” kekehnya. Di tangan kanan, dia tampak memegangi sebuah senter kecil yang sengaja tak dinyalakan.

“Kita duduk dulu.” Kak Makmur menggandengku dan mengajak duduk pada salah satu akar yang menonjol ke atas dari pohon besar di sisi bekas pabrik tahu.

Aku hanya menurut sekaligus lega karena yang mengikuti bukanlah orang tak dikenal. Kuarahkan pandangan pada air laut, ombak sesekali mengempaskan pasir di pinggiran. Langit malam seolah tercermin karena air yang masih begitu bersih.

“Aku denger tadi kaya ada suara orang jalan di depan, karena takut maling akhirnya keluar buat mengecek. Eh, ternyata kamu jalan sendirian ke pantai,” celetuk pria yang telah memiliki lima anak di usianya yang baru tiga puluh enam tahun itu.

Aku hanya menoleh dan mengulas senyum kecil sebagai resppon, setelahnya kembali mengalihkan pandangan ke laut.

“Lagi ada masalah, Nay? Aku dengar semuanya dari Aulia. Badan kamu penuh bekas luka, kamu yang melakukannya?” tanyanya lagi.

Kali ini, aku yang menoleh memilih memandang Kak Makmur lebih lama. Bingung harus memberikan jawaban atau membiarkan saja pertanyaan-pertanyaan itu terabaikan saja.

“Jangan simpan semua sendirian, ceritakan pada orang yang bisa kamu percaya. Kenapa malam-malam ke pantai?” Kak Makmur tak henti memberikan pertanyaan.

“Emang kalau aku cerita, bisa menyelesaikan semuanya?” Aku balas bertanya tanpa berniat menjawab satu pun pertanyaan Kak Makmur sebelumnya.

“Tergantung. Semua masalah pasti punya jalan keluar, kan?” jawab Kak Makmur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status