“Yun, kayanya adekmu lagi kasmaran. Ketauan mandangin Zulfi langsung salah tingkah,” kekeh Kak Ijul yang beringsut bangkit dan berdiri menjauh dariku.
Mendengar jawaban itu, bisa kupastikan gerak mata Kak Yuni beralih pada sosok laki-laki yang sebelumnya menarik seluruh perhatianku. “Hm,” dehamnya yang aku sendiri tak mengerti kenapa.
“Aku jalan ke warung dulu, Yun. Mau beli rokok,” pamit Kak Ijul yang gegas berpaling dan meninggalkan halaman. Hal yang tentu saja membuatku bisa kembali bernapas lega meski keringat dingin masih saja membasahi telapak tangan dan gemetar tak juga mereda.
Kak Yuni kali ini duduk di sisi kiriku, aku bisa menangkap rasa ketidakpercayaan di balik tatapan datar yang diberikan itu. “Kak Ijul sering ngajak ngobrol, Nay?”
“Kalau lagi kena angin entah dari pintu surga yang mana, Kak,” sahutku sekenanya.
Mendengar hal itu, sontak saja raut wajah Kak Yuni berubah diiringi tawa yang pecah. “Ngawur kamu, Nay!” sungutnya di sela tawa yang masih tersisa sambil kembali melangkah memasuki rumah.
Tubuh langsing itu berhenti tepat di depan lemari televisi yang pada rak bawahnya juga tersedia DVD. Usai memasukkan kaset dan menyambungkan kabel-kabel, musik remix yang menjadi favoritnya menggema keras dari dua salon bazoka. Musik yang pasti juga akan sampai hingga dua bahkan tiga rumah lain di sisi kiri dan kanan.
Sepasang mata yang telah dipoles maskara juga eyeliner itu berpejam. Pinggang rampingnya mulai meliuk mengikuti irama. “Nanti kalau ke pasar, kita cari kaset baru, Nay!” ajaknya lagi.
Aku yang mengulum senyum akhirnya mengangguk. Wanita yang telah bersedia menampungku hampir setahun terakhir ini memang berjiwa bebas, dan kali ini aku cukup menyadari kalau hal itu tak terlalu buruk.
“Sudah lawas hati batagur
Amun aku tatap badiam
Kumarasa hati dandaman
Karindangan wan urang subarang.”
Kak Yuni sengaja turut menyanyikan bait dari lagu yang mulai terdengar paling pertama. Aku yang mendengarnya sontak membulatkan mata karena mengerti alasan kenapa Kak Yuni memilih kaset ini.
“Goyang, Nay!” seru Kak Lily yang entah sejak kapan berada tak jauh dariku. Sama seperti Kak Yuni, wanita itu tak bisa berdiam dan turut menggerakkan pinggulnya.
Kak Aulia yang juga baru mengeluarkan sepeda motor dan mendorongnya ke halaman tampak hanya menggeleng melihat tingkah Kak Lily dan Kak Yuni. Wanita berkerudung lepas itu saja yang cukup berbeda meski kalau sedang berkumpul dan bercanda tetap satu frekuensi.
Tak lama, Kak Makmur yang telah berseragam rapi turut menghampiri. “Gak tidur, Nay?” tanyanya heran.
Sejenak, aku bisa merasakan hangat di dada. Ada kelegaan yang perlahan-lahan mengisi karena masih dikelilingi orang-orang seperti mereka. Otang-orang baik dan perhatian, meskipun itu pada Kak Lily aku menyimpan rasa bersalah yang kian meraksasa. Ah, bagaimana mereka jika mengetahui kenyataan siapa aku di balik topeng yang akan terpasang seumur hidup ini?
“Kalau tidur pagi gak bisa nengokin yang itu, tuuuh,” ejek Kak Lily dengan lirikan mata yang terarah pada Zulfi di seberang. Bersamaan dengan itu, mereka secara kompak tertawa diiringi kedua pipiku yang terasa memanas.
Kak Makmur dan Kak Aulia telah berpamitan pergi meski memakai sepeda motor masing-masing. Sedang Kak Lily yang masih menunggu Kak Ijul memilih turut menikmati musik bersamaku dan Kak Yuni. Sekian menit, Kak Ijul telah kembali dengan rokok yang menyala terselip di jari telunjuk dan tengah pada tangan kirinya. Meski tak menyapa, aku bisa mendapati pandangan yang dilayangkannya saat lewat untuk mengambil sepeda motor di belakang.
“Kak, aku mau minum dulu, ya,” pamitku pada Kak Lily sengaja untuk menghindari berdekatan dengan Kak Ijul nanti. Tergesa ke dapur dan mengambil segelas air, menenggaknya kasar untuk meredam gemuruh hebat yang kembali tandang.
‘Dia gak akan bisa ganggu lagi, Nay. Cukup jaga jarak aman,’ gumamku terus mengulang mantra itu.
Musik di depan tiba-tiba berhenti, diiringi langkah cepat Kak Yuni yang mengambil jaket dari kapstok. “Nay, mau ikut? Kakak mau ke rumah Husin buat jemput Roby,” tawarnya.
“Ikut, Kak,” sahutku yang juga segera meletakkan gelas pada bekas dipan tua. Ingatan-ingatan saat aku hanya sendirian di rumah Kak Lily hingga menjadi kesempatan Kak Ijul melakukan semuanya kembali membekas.
‘Tuhan, kapan luka itu akan sembuh? Semuanya selalu saja terasa segar di kepala,’ batinku.
Saat mengikuti langkah Kak Yuni hingga ke depan pintu, pria yang bayangnya terus menghantui kepala itu tampak sudah mulai meninggalkan halaman dengan membonceng Kak Lily. Begitu Kak Yuni menyalakan sepeda motor yang hanya terparkir di depan pelatar, aku segera naik pada jok belakang.
Jarak antar rumah Kak Yuni dengan rumah Husin yang merupakan adik sepupunya Kak Hendrik memang tak terlalu jauh. Hanya perlu waktu kurang dari sepuluh menit, kami sudah sampai pada halaman dari rumah besar bergaya klasik yang cukup besar dan luas.
Meski telah dijatuhi talak oleh Kak Hendrik, kehadiran Kak Yuni untuk menjemput Roby masih disambut baik. Sebuah keluarga luar biasa yang juga telah berhasil menjadikan Kak Hendrik pria hebat.
Aku memilih duduk di ruang tamu saat Kak Yuni diminta masuk. Sekitar lima belas menit, Kak Yuni kembali menghampiri dan menyampaikan hal mendadak yang harus segera diurusnya hingga tak bisa mengantarkanku pulang. Saat aku mengutarakan akan menunggu pun Kak Yuni menolak karena akan pergi cukup lama.
Husin, laki-laki berkulit sawo matang yang hanya lebih tua dariku enam tahun menawarkan diri untuk mengantarkan. Atas persetujuan Kak Yuni, aku yang merasa tak terlalu akrab dan canggung jika terus di sini akhirnya menerima. Setelah pamit, kuhampiri Husin yang telah menunggu di sepeda motornya.
“Nay, sebentar lagi pesta pantai. Mau pergi bareng aku?” tanya Husin memulai percakapan. Kami yang hanya saling mengenal nama dan sapa sesekali, tentu saja membuatku tak berani menerima ajakannya.
“Kalau diizinin Kak Yuni,” sahutku tak menerima juga tak menolak.
“Pasti dikasih izin. Nanti saat penutupannya, bareng sama Kak Yuni juga. Sesekali ikut melabuh sesajen, kapalnya punya Mas Tris juga,” jelas Husin.
Tak terasa kami telah sampai di depan rumah. Dari rumah paling belakang, terdengar musik cukup keras pertanda Kak Ijul lagi-lagi tak bekerja. Tak kuhiraukan lagi Husin yang entah tengah berbicara apa karena kembali diselimuti ketakutan jika harus sendirian. Tubuh seketika berat jika harus bergerak turun dari sepeda motor.
“Tumben tadi pulang sama Husin, Nay? Bukannya pas berangkat sama Yuni?” sapa Nurul, tetangga yang rumahnya tepat di sisi kiri rumah Kak Yuni saat aku baru melangkah memasuki warung. “Kak Yuni ada urusan mendadak, Mbak. Jadi, aku disuruh pulang duluan dianterin Husin biar gak cape nunggu,” sahutku yang terpaksa menghentikan langkah. Rasanya, tak sopan saja jika sedang diajak bicara tapi aku berlalu begitu saja. “Oh. Dikirain tadi abis janjian. Yuni sama Anto, kamu sama Husin,” kekeh bibir berpoles lipstik keunguan yang benar-benar tak cocok dengan warna kulit di wajahnya itu. Aku menghela napas panjang, sepertinya kabar perselingkuhan Kak Yuni begitu cepat tersebar .... “Enggak, Mbak. Permisi,” pamitku yang segera melepas sandal saat memasuki pintu. Rumah kecil yang ada tak jauh dari SMA Satu ini satu-satunya warung yang menjual makanan ringan dan keperluan sehari-hari terdekat dari rumah. Etalase di sisi kanan ruang yang sekaligus ruang tengah rumah d
Aku termenung memandang pemilik wajah pucat yang terbaring lemas di kasur. Hampir tak percaya karena keadaannya yang menurun drastis hanya dalam satu malam. Dari cerita yang kudengar, Via mendadak demam, saat tidur pun menangis hingga mengigau memanggil Ibu. Kak Hendrik sampai harus begadang untuk menemani dan menenangkannya.Anak perempuan yang selama ini tampak tak terlalu akrab dengan Kak Yuni, anak perempuan yang selama ini selalu dimarahi karena bermain lupa waktu dan pulang dalam keadaan kotor, ternyata malah menjadi seseorang yang benar-benar kehilangan sosok ibunya. Padahal, Kak Hendrik baru saja membawa Via menginap tadi malam dan perceraian baru saja terucap kemarin siang.Sedang Nisa yang selama ini cenderung manja dan selalu mengekori Kak Yuni malah tampak acuh meski sembab serta bengkak masih membekas pada sepasang mata cokelat kehitamannya. Untuk Roby yang baru berumur hampir empat tahun, sewajarnya masih belum mengerti kejadian yang menimpa keluarganya h
“Kata Tante Nun, Bapak nikahin Ibu saat Ibu hamil empat bulan.”Hanya sepenggal kalimat itu yang lolos dari bibir Nisa sebelum akhirnya tangisnya pecah. Tanpa penjelasan, tanpa alasan. Aku yang terkejut sekaligus panik, sampai-sampai lupa ingin bertanya. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa untuk menenangkan Nisa. Jika benar pun seperti itu, wajar Nisa tampak acuh meski jauh di dalam lubuk hati, jelas dia begitu hancur dan terpuruk.**“Makasih udah nganterin,” ucapku pada laki-laki yang masih duduk tersenyum di sepeda motornya. Nisa sendiri sudah lebih dulu berlari ke rumah dan membuka pintu sendiri.“Nay, boleh minta nomor kamu?” Tanya Husin yang tiba-tiba menggenggam tanganku cukup erat.Aku yang semula hendak segera menyusul Nisa terpaksa menghentikan gerak langkah dan menoleh. “Aku gak dibolehin Kak Yuni buat main HP sampai ujian sekolah selesai,” tolakku halus.“Buat jaga-jaga siap
“Kamu sejak datang sama Nisa gak kedengeran suaranya, Nay. Jadi Aulia nyuruh aku buat ngecek ke sini,” jelas pria yang beberapa saat lalu mengetuk pintu rumah tanpa memanggil.Aku masih bersandar pada pintu sambil mengatur napas, detak di dada masih saja riuh karena kekhawatiran yang sempat menguasai. Bukankah sewajarnya Kak Ijul mustahil berani mendekat karena aku tak sendirian?“Kenapa gak dipanggil aja? Kakak bikin takut!” sungutku menekuk wajah.Kak Makmur hanya merespon dengan tawa. Nisa yang kupikir akan segera keluar setelah berganti pakaian malah sama sekali tak terlihat. Beberapa kali, aku menengok ke belakang untuk memastikan tapi pintu kamar masih saja dalam keadaan sama, yaitu terkunci dari dalam.“Nay, kamu masih belum jawab pertanyaanku tadi,” tagih Kak Makmur.“P-pertanyaan yang mana, Kak?” Mendadak, lagi, aku tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang tercermin dari getar pada kedua tanga
“Ibu sudah bilang jangan main keluar, masih aja bandel! Mau kamu apa? Melawan orang tua? Jadi anak durhaka?” cecar wanita yang telah melahirkanku delapan tahun lalu itu. “Tapi, Bu. Nay cuma ke rumah Riska. Nay cuma ikut liat aja,” sahutku menunduk. Tubuh terlalu gemetar hanya untuk mengangkat wajah dan menatap Ibu. “Gak ada tapi-tapi! Kamu itu harus dengerin apa kata orang tua! Mau jadi apa masa depan kamu kalau ngelawan terus!” Sebuah cubitan sepedas gigitan semut api kembali singgah di lengan kananku. Meski sakit, aku bahkan tak berani mengusap sisa jejak cubitan itu. “Sudah belajar sana! Sebentar lagi ulangan kenaikan kelas, kerjanya main aja terus! Coba lihat kakak kamu, dia rajin belajar makanya bisa juara satu tiap semester. Di mana-mana anak orang mau nurut sama omongan ibunya, cuma kamu yang bandel!” Langkah Ibu yang berpaling menuju kamar meninggalkanku sendiri di depan pintu. Setelah memastikan Ibu benar-benar telah memasuki kamar, b
Mataku masih terasa berat karena tak bisa tidur dengan nyenyak. Pertengkaran Ayah dan Ibu membuatku hanya berani pura-pura tidur di balik selimut tanpa benar-benar terlelap. Hingga pagi pun suasana rumah terasa asing karena tak ada percakapan sedikit pun di antara mereka. Ibu mengurung diri di dalam kamar dan hanya ke luar saat hendak mandi, sedang Ayah menyibukkan diri dengan menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah.Saat aku menyalami tangan Ibu untuk berpamitan pergi ke sekolah pun, ucapanku hanya dijawab dengan dehaman serta uluran tangan yang terkesan terpaksa. Meski begitu, aku tak berani bertanya apalagi protes dengan sikap Ibu.Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku segera turun dari sepeda motor Ayah. “Nay sekolah dulu, Yah.”“Kalau pulang nanti Ayah belum datang, tunggu aja. Jangan ke mana-mana, jangan pulang jalan kaki,” pesan Ayah yang bahkan tak melihat lagi pada anggukanku karena telah memutar sepeda motornya dan beranjak me
Aku menunduk dengan tangan memilin ujung jilab. Hani yang diminta ke luar membuatku hanya tertinggal berdua dengan Bu Wati. Ruang bimbingan konseling yang berada di sudut kanan kantor ini sebenarnya memiliki satu kipas yang terpasang di tengah-tengah antara pembatas ruangan. Namun, aku malah merasa tidak nyaman hingga berkeringat.“Nayla,” panggil Bu Wati yang membuatku sedikit mendongak meski gemetar hebat.Gerak tangan gemuk itu melepas kacamata yang sempat bertengger pada hidung mancungnya. “Ada yang mau diceritakan sama Ibu?”Aku mengatupkan bibir rapat-rapat sambil menggeleng.“Kalau Nayla gak cerita, Ibu gak bisa bantu Nayla,” bujuk Bu Wati.Aku masih hanya berani menggelengkan kepala.“Nayla takut? Ibu gak menggigit, lho,” canda beliau yang berhasil membuatku menahan senyum.“Ibay sering nakal sama Nayla? Sering ganggu Nayla?” Pertanyaan itu kembali dilontarkan. Aku ta
“Kamu bikin masalah apa di sekolah?” Ibu melemparkan surat panggilan yang sudah diremas hingga tepat mengenai wajahku.“Nay gak ngapa-ngapain, Bu. Nay juga gak tau,” sahutku hampir-hampir tak bisa mengeluarkan suara dengan benar.“Nanti Ayah yang pergi ke sekolah. Kecil-kecil udah bikin malu, gimana besar nanti? Nyusahin aja.” Ibu berpaling dan melangkah menuju kamar.Meski berat, kulangkahkan kaki turut ke kamar Kak Nila untuk mengambil seragam. Sudah sejak kemarin aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberikan amplop itu pada Ibu, tapi tetap saja aku begitu gemetar saat menyerahkannya.Kak Nila yang telah selesai mandi membuatku bergegas menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Rasanya ingin cepat-cepat pergi ke sekolah karena aku benar-benar takut dengan kemarahan Ibu jika berlama-lama di rumah.Tak perlu waktu lama, kurang dari lima menit aku telah memakai seragam rapi, segera mengambil tas dan bersa