Share

Salah Langkah

Author: Asy'arie
last update Last Updated: 2021-07-21 16:41:16

“Yun, kayanya adekmu lagi kasmaran. Ketauan mandangin Zulfi langsung salah tingkah,” kekeh Kak Ijul yang beringsut bangkit dan berdiri menjauh dariku.

Mendengar jawaban itu, bisa kupastikan gerak mata Kak Yuni beralih pada sosok laki-laki yang sebelumnya menarik seluruh perhatianku. “Hm,” dehamnya yang aku sendiri tak mengerti kenapa.

“Aku jalan ke warung dulu, Yun. Mau beli rokok,” pamit Kak Ijul yang gegas berpaling dan meninggalkan halaman. Hal yang tentu saja membuatku bisa kembali bernapas lega meski keringat dingin masih saja membasahi telapak tangan dan gemetar tak juga mereda.

Kak Yuni kali ini duduk di sisi kiriku, aku bisa menangkap rasa ketidakpercayaan di balik tatapan datar yang diberikan itu. “Kak Ijul sering ngajak ngobrol, Nay?”

“Kalau lagi kena angin entah dari pintu surga yang mana, Kak,” sahutku sekenanya.

Mendengar hal itu, sontak saja raut wajah Kak Yuni berubah diiringi tawa yang pecah. “Ngawur kamu, Nay!” sungutnya di sela tawa yang masih tersisa sambil kembali melangkah memasuki rumah.

Tubuh langsing itu berhenti tepat di depan lemari televisi yang pada rak bawahnya juga tersedia DVD. Usai memasukkan kaset dan menyambungkan kabel-kabel, musik remix yang menjadi favoritnya menggema keras dari dua salon bazoka. Musik yang pasti juga akan sampai hingga dua bahkan tiga rumah lain di sisi kiri dan kanan.

Sepasang mata yang telah dipoles maskara juga eyeliner itu berpejam. Pinggang rampingnya mulai meliuk mengikuti irama. “Nanti kalau ke pasar, kita cari kaset baru, Nay!” ajaknya lagi.

Aku yang mengulum senyum akhirnya mengangguk. Wanita yang telah bersedia menampungku hampir setahun terakhir ini memang berjiwa bebas, dan kali ini aku cukup menyadari kalau hal itu tak terlalu buruk.

“Sudah lawas hati batagur

Amun aku tatap badiam

Kumarasa hati dandaman

Karindangan wan urang subarang.”

Kak Yuni sengaja turut menyanyikan bait dari lagu yang mulai terdengar paling pertama. Aku yang mendengarnya sontak membulatkan mata karena mengerti alasan kenapa Kak Yuni memilih kaset ini.

“Goyang, Nay!” seru Kak Lily yang entah sejak kapan berada tak jauh dariku. Sama seperti Kak Yuni, wanita itu tak bisa berdiam dan turut menggerakkan pinggulnya.

Kak Aulia yang juga baru mengeluarkan sepeda motor dan mendorongnya ke halaman tampak hanya menggeleng melihat tingkah Kak Lily dan Kak Yuni. Wanita berkerudung lepas itu saja yang cukup berbeda meski kalau sedang berkumpul dan bercanda tetap satu frekuensi.

Tak lama, Kak Makmur yang telah berseragam rapi turut menghampiri. “Gak tidur, Nay?” tanyanya heran.

Sejenak, aku bisa merasakan hangat di dada. Ada kelegaan yang perlahan-lahan mengisi karena masih dikelilingi orang-orang seperti mereka. Otang-orang baik dan perhatian, meskipun itu pada Kak Lily aku menyimpan rasa bersalah yang kian meraksasa. Ah, bagaimana mereka jika mengetahui kenyataan siapa aku di balik topeng yang akan terpasang seumur hidup ini?

“Kalau tidur pagi gak bisa nengokin yang itu, tuuuh,” ejek Kak Lily dengan lirikan mata yang terarah pada Zulfi di seberang. Bersamaan dengan itu, mereka secara kompak tertawa diiringi kedua pipiku yang terasa memanas.

Kak Makmur dan Kak Aulia telah berpamitan pergi meski memakai sepeda motor masing-masing. Sedang Kak Lily yang masih menunggu Kak Ijul memilih turut menikmati musik bersamaku dan Kak Yuni. Sekian menit, Kak Ijul telah kembali dengan rokok yang menyala terselip di jari telunjuk dan tengah pada tangan kirinya. Meski tak menyapa, aku bisa mendapati pandangan yang dilayangkannya saat lewat untuk mengambil sepeda motor di belakang.

“Kak, aku mau minum dulu, ya,” pamitku pada Kak Lily sengaja untuk menghindari berdekatan dengan Kak Ijul nanti. Tergesa ke dapur dan mengambil segelas air, menenggaknya kasar untuk meredam gemuruh hebat yang kembali tandang.

‘Dia gak akan bisa ganggu lagi, Nay. Cukup jaga jarak aman,’ gumamku terus mengulang mantra itu.

Musik di depan tiba-tiba berhenti, diiringi langkah cepat Kak Yuni yang mengambil jaket dari kapstok. “Nay, mau ikut? Kakak mau ke rumah Husin buat jemput Roby,” tawarnya.

“Ikut, Kak,” sahutku yang juga segera meletakkan gelas pada bekas dipan tua. Ingatan-ingatan saat aku hanya sendirian di rumah Kak Lily hingga menjadi kesempatan Kak Ijul melakukan semuanya kembali membekas.

‘Tuhan, kapan luka itu akan sembuh? Semuanya selalu saja terasa segar di kepala,’ batinku.

Saat mengikuti langkah Kak Yuni hingga ke depan pintu, pria yang bayangnya terus menghantui kepala itu tampak sudah mulai meninggalkan halaman dengan membonceng Kak Lily. Begitu Kak Yuni menyalakan sepeda motor yang hanya terparkir di depan pelatar, aku segera naik pada jok belakang.

Jarak antar rumah Kak Yuni dengan rumah Husin yang merupakan adik sepupunya Kak Hendrik memang tak terlalu jauh. Hanya perlu waktu kurang dari sepuluh menit, kami sudah sampai pada halaman dari rumah besar bergaya klasik yang cukup besar dan luas.

Meski telah dijatuhi talak oleh Kak Hendrik, kehadiran Kak Yuni untuk menjemput Roby masih disambut baik. Sebuah keluarga luar biasa yang juga telah berhasil menjadikan Kak Hendrik pria hebat.

Aku memilih duduk di ruang tamu saat Kak Yuni diminta masuk. Sekitar lima belas menit, Kak Yuni kembali menghampiri dan menyampaikan hal mendadak yang harus segera diurusnya hingga tak bisa mengantarkanku pulang. Saat aku mengutarakan akan menunggu pun Kak Yuni menolak karena akan pergi cukup lama.

Husin, laki-laki berkulit sawo matang yang hanya lebih tua dariku enam tahun menawarkan diri untuk mengantarkan. Atas persetujuan Kak Yuni, aku yang merasa tak terlalu akrab dan canggung jika terus di sini akhirnya menerima. Setelah pamit, kuhampiri Husin yang telah menunggu di sepeda motornya.

“Nay, sebentar lagi pesta pantai. Mau pergi bareng aku?” tanya Husin memulai percakapan. Kami yang hanya saling mengenal nama dan sapa sesekali, tentu saja membuatku tak berani menerima ajakannya.

“Kalau diizinin Kak Yuni,” sahutku tak menerima juga tak menolak.

“Pasti dikasih izin. Nanti saat penutupannya, bareng sama Kak Yuni juga. Sesekali ikut melabuh sesajen, kapalnya punya Mas Tris juga,” jelas Husin.

Tak terasa kami telah sampai di depan rumah. Dari rumah paling belakang, terdengar musik cukup keras pertanda Kak Ijul lagi-lagi tak bekerja. Tak kuhiraukan lagi Husin yang entah tengah berbicara apa karena kembali diselimuti ketakutan jika harus sendirian. Tubuh seketika berat jika harus bergerak turun dari sepeda motor.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Wanita Simpanan   Kekhawatiran yang Sebenarnya

    "Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me

  • Dendam Wanita Simpanan   Kembali

    Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan

  • Dendam Wanita Simpanan   Mimpi yang Gila

    Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi

  • Dendam Wanita Simpanan   Hadirnya Sosok Lama(?)

    “Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai

  • Dendam Wanita Simpanan   Tak Selalu Baik

    Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se

  • Dendam Wanita Simpanan   Sangat Berbeda

    Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status