Home / Lainnya / Dendam Wanita Teraniaya / Bab 9 Setelah Ibu, suami juga pergi

Share

Bab 9 Setelah Ibu, suami juga pergi

Author: Hapyhapy
last update Last Updated: 2025-09-24 18:28:13

Setelah beberapa bulan bekerja sebagai kuli bangunan, tiba-tiba Dipta memutuskan untuk buka usaha kecil-kecilan.

“Jualan sate?”

“Iya! Aku ingin buka usaha jualan sate kambing dan ayam,” ucap Dipta dengan nada penuh semangat dan raut wajah sumringah.

Kirana mengangkat alisnya, “Memangnya Mas bisa buatnya?”

“Dipta mengangguk penuh semangat, “Tentu saja, beberapa bulan ini  aku belajar dari temanku yang orang tuanya punya warung makan, untuk meracik bumbu dan cara membakar daging biar hasilnya enak.”

Kirana tersenyum,  perasaan  semangat dari suaminya menular pada dirinya.

“Apapun yang ingin Mas lakukan,  lakukan saja, aku ngikut saja dan dukung sepenuhnya.”

Mendengar perkataan istrinya, raut wajah Dipta tambah bersemangat lagi.

__

Maka seperti itulah. Hari-hari berikutnya dan seterusnya rutinitas mereka menjadi pedagang sate, segala sesuatunya mereka lakukan berdua, dari mulai memotong daging, menusuknya, mempersiapkan  bahan untuk racikan bumbu, bahkan Kirana membantu menemani suaminya berjualan.

Kalau untuk belanja Dipta lakukan sendiri, karena Kirana sedang hamil, dia takut istrinya itu kelelahan karena banyak aktivitas.

Semakin hari peminatnya semakin banyak, kadang membuat mereka kewalahan. Tapi justru itu yang mereka syukuri, usaha mereka ada kemajuan.

Setelah dagangan habis, Kirana rehat sejenak, duduk di kursi kayu panjang. Tangannya mengelus perut yang kini sudah membesar karena usia kehamilannya sudah menginjak delapan bulan.

  “Sebaiknya kamu jangan terlalu sering ikut aku jualan mulai sekarang,” Dipta berkata sambil sibuk membereskan alat-alat untuk membakar sate, juga membersihkan meja gerobak nya.

Dia melirik ke arah sang istri, “Kamu harus banyak istirahat. Tinggal beberapa minggu lagi kamu akan lahiran, jadi jangan terlalu kecapean.”

“Iya Mas, aku tahu.” Kirana tersenyum lalu kembali memandang ke arah depan.

Dipta mengikuti arah pandang Kirana, rupanya dia melihat ke arah tukang roti bakar yang mangkal di seberang jalan sana.

“Kamu mau Roti bakar?” Dipta bertanya.

“Mau” jawab Kirana di barengi senyum.

“Tunggu, ya.”

Dipta menyeberang jalan dengan hati-hati karena kendaraan lumayan rame yang berlalu-lalang.

Dia menunggu pesanan roti bakarnya dibuat, sesekali memandang ke arah Kirana yang menunggu di seberang, memberi kedipan dan senyum menggoda untuk sang istri.

Kirana tersenyum geli melihat tingkah suaminya.

Roti bakarnya sudah siap dan dibungkus. Dipta menenteng kresek berisi roti bakar itu, dan akan menyeberang kembali.

Seperti biasa sebelum menyeberang Dipta selalu menengok kiri dan kanan, merasa aman dia mulai melangkahkan kakinya. 

Saat di tengah tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang melesat ke arah Dipta.

Dan …

Tubuh itu terpental melayang di udara lalu jatuh membentur aspal. Roti bakar yang baru dibelinya berhamburan.

 Suara benturan dan suara decitan ban mobil serta klakson begitu memekakan telinga. 

Kirana langsung berdiri, kedua matanya membola, nafasnya tersengal.

Mobil yang menabrak berhenti sesaat, lalu kembali melaju. Tidak ada rasa tanggung jawab sama sekali.

Beberapa orang yang menyaksikan menjerit, sebagian berlari untuk melihat keadaan Dipta. Kirana tidak peduli, fokusnya hanya pada sosok yang terkapar tak bergerak di aspal.

Darah mulai merembes menodai aspal hitam itu.

__

Dipta dinyatakan meninggal, tabrakan itu mengakibatkan luka yang parah di bagian kepala.

Mendengar keterangan dari Dokter, Kirana hanya bisa bersandar lesu pada tembok sambil memegangi perutnya yang besar.

Tak ada air mata yang menetes atau jeritan yang memilukan, namun tatapannya kosong.

Marina sudah menangis histeris di pelukan Purwa, suaminya. Sambil memanggil-manggil nama sang putra yang tentu saja tidak akan lagi di dengarnya.

Biar bagaimanapun, orang tua tetaplah orang tua,  semarah apapun mereka tidak akan sampai membenci. Mereka tetaplah merasa sedih dan sakit ketika kehilangan anggota keluarga tercinta walau sedang tidak akur.

__  

 

Di pemakaman, setelah para pelayat pergi tinggalah anggota keluarga yang tersisa. Marina dan Alma masih terisak pilu menangisi kepergian Dipta, sedangkan untuk Purwa, hanya bisa diam termenung sambil mengelus-ngelus nisan kayu yang tertancap di sana.

Sebenarnya hati Purwa sangat hancur, tapi dia berusaha tetap tegar.

Kirana berdiri beberapa meter jauhnya dari pusara sang suami. Dia dilarang mendekat oleh Marina.

Bahkan mertuanya itu memberi hardikan yang sangat kejam.

“Pergi kamu! Jangan dekat-dekat, ini semua gara-gara kamu Dipta meninggal!” Itulah teriakan Marina tadi saat Kirana ingin menabur bunga di atas makam suaminya.

Kirana tak merespon atau membantah, biarlah, mungkin ini cara Marina melampiaskan kesedihannya karena kehilangan putra tercinta.

Satu hal yang tidak dimengerti wanita paruh baya itu, Kirana juga sedih, sakit bahkan bingung.

Biar bagaimanapun dia adalah istri Dipta. Tentu saja   seorang istri akan merasakan sakit saat kehilangan suami, apa lagi secara tiba-tiba.

Kirana baru saja akan merengkuh bahagia dalam hidupnya,   Tuhan mengirimkan seseorang yang bisa Kirana jadikan sandaran  dan tumpuan hidupnya yang malang. Tapi hanya sebentar, Tuhan ambil kembali orang itu tanpa aba-aba.

Kirana menyentuh perutnya yang besar, dia bingung harus bagaimana, sama seperti saat kehilangan ibunya dia merasa hampa dan sakit.

Sampai dadanya terasa sesak.

__

“Minumlah, Kiran.” Arumi menyodorkan air putih pada Kirana yang duduk di sofa dengan punggung bersandar dan tatapan kosong.

Dalam diam Kirana mengambil gelas itu lalu menegak airnya.

Arumi menatap sahabatnya dengan prihatin, dia tidak tahu harus berkata apa, sepertinya kata-kata penghibur tidak ada gunanya untuk saat ini.

Arumi menyentuh telapak tangan Kirana, “Kalau kamu ingin menangis, menangislah   jangan menahannya.”

Kirana menggeleng, “Aku tidak apa-apa.” Dia menghela nafas panjang, “Aku bingung harus apa, ingin menangis, air mataku sudah kering, ingin menjerit dan meraung aku sudah tidak ada tenaga.” 

Mata Arumi berkaca-kaca, sungguh berat ujian yang harus dihadapi sahabatnya ini. Dia memeluk Kirana penuh kehangatan, hanya seperti ini yang bisa Arumi lakukan.

__

Beberapa hari setelah pelaporan kasus tabrak lari, polisi mengirim pemberitahuan kalau Kirana harus datang ke kantor.

Kirana langsung memenuhi panggilan itu, berharap polisi telah menangkap pelaku yang menabrak suaminya, dan kasus ini akan segera diproses.

 Sesampainya di kantor polisi, Kirana langsung diarahkan ke ruang  Komisaris. 

Di dalam ruangan itu sudah ada Purwa dan Marina juga Alma. Di seberang mereka duduk Mahesa dan Gauri.

Lemaslah tubuh Kirana saat melihat mereka, walau begitu dia berusaha tetap kuat, hatinya mulai menduga mungkinkah …

“Ini adalah berkas perjanjian damai yang harus kalian tandatangani.”

Komisaris itu meletakkan kertas di atas meja,   menggesernya mendekat ke arah orang-orang yang ada di sofa.

Hati Kirana menjadi dingin, sudah dia duga.

“Cara damai ini harus kita lakukan agar masalah ini tidak berlarut-larut dan membuang-buang waktu kita.” Gauri berkata, “Lagi pula kecelakaan itu karena unsur ketidaksengajaan,  putraku tidak sengaja menabrak almarhum.” Gauri melirik Mahesa yang diam menunduk.

Maka mereka pun menandatangani berkas perjanjian damai itu.

Tapi tidak dengan Kirana. 

“Saya tidak ingin damai, Pak.” Kirana menatap Komisaris,  suaranya tegas walau sedikit bergetar, “Saya ingin kasus ini diusut tuntas dan pelaku yang menyebabkan suami saya meninggal dihukum!”  Pandangannya beralih pada Mahesa, menatapnya tajam.

“Jangan pedulikan  dia. Dia bukan siapa-siapa.” Purwa berkata tak acuh sambil menyelesaikan proses tandatangannya.

Mata Kirana membola, tak menyangka ayah dari suaminya dan seluruh keluarga dengan mudah menyetujui untuk berdamai.

Gauri mengeluarkan selembar kertas kecil dari dalam tasnya.   Itu adalah sebuah cek.

“Kalian tulislah nominal jumlah uang berapapun yang kalian inginkan, di atas cek yang sudah ditandatangani itu. Itu adalah kompensasi dari kami.” Gauri berdiri, “Baiklah, karena masalah sudah diselesaikan, kami pamit undur diri.”

Gauri melangkah dengan anggun dan penuh percaya diri keluar dari ruangan Komisaris, diikuti oleh Mahesa.

    

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Wanita Teraniaya   Bab 21 rencana yang gagal

    Bab 21__“Cepat cari! Aku tidak mau tahu, pokoknya kalian harus menemukan kalung itu!”Sekar berteriak pada para pelayan wanita yang berjejer di hadapannya.“Baik, Nyonya.” Para pelayan itu menjawab serentak, mereka mulai menelusuri setiap sudut ruangan, bahkan sebagian berjongkok untuk memeriksa kolong tempat tidur.Pagi-pagi, Sekar sudah heboh karena tiba-tiba kalung berlian miliknya hilang. Dia memanggil seluruh pelayan di mansion ini untuk membantu mencarinya.Beberapa pelayan ada yang mencari ke kamar mandi. “Kenapa bisa hilang, apa Nyonya lupa menaruhnya, mungkin?” Lala bergumam, kedua bola matanya lincah mengamati setiap sudut. Siapa tahu kalung berlian itu jatuh di kamar mandi ini.“Entahlah.” Tina menimpali, “Selama ini Nyonya tidak pernah kehilangan benda berharga miliknya, ini baru pertama kalinya.”Lala mengangguk setuju.Mereka berdua celingukan sambil menelusuri setiap sudut kamar mandi.Sekar memperhatikan dengan matanya yang memicing pada Kirana yang sedang membuka-

  • Dendam Wanita Teraniaya   Bab 20 Tidak gentar

    Bab 20__“Dari mana kamu? Kenapa lama sekali?”Wira menatap Kirana penuh penasaran, tumben pelayannya ini lambat saat mengantarkan minuman untuknya.“Maaf, Tuan.” Kirana menyodorkan gelas jus ke mulut Wira, “Saya keasyikan ngobrol dengan teman-teman di dapur, jadi lupa waktu.”Tentu saja Kirana berbohong, dia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah kaca pada Tuannya ini. Walau sebenarnya Kirana ingin sekali mengadu tentang Sekar dan Ravi, tapi Wira tidak akan percaya begitu saja.“Tuan Wira, ayo kita lanjutkan sesi berikutnya.”Ravi datang dari arah luar, seperti biasa, langkahnya selalu penuh semangat. Di belakangnya ada Malvin mengikuti.Dia tersenyum nakal pada Kirana, yang tentu saja tidak ditanggapi olehnya. Wira pun mulai bersiap untuk melakukan terapi sesi berikutnya.Kirana undur diri, akan menunggu di luar ruangan.Ternyata Ravi juga keluar mengikuti Kirana, dia menarik tubuh Kirana ke sudut ruangan tersembunyi, menekannya ke tembok.“Aku hanya ingin kembali mengingatk

  • Dendam Wanita Teraniaya   Bab 19 Ketahuan

    Bab 19__Jemari Sekar bergerak lembut menelusuri setiap inci body mobil berwarna merah, ini adalah mobil barunya. Pemberian dari sang suami.Wajahnya terus mengukir senyum cerah, kedua matanya berbinar. Dalam hati bergumam, mobil yang cantik dan mewah, harganya pasti sangat mahal.Ah, Sekar sama sekali tidak peduli mau berapapun harganya, toh, duit suaminya sangat banyak, hartanya tidak akan berkurang hanya karena membeli mobil cantik ini. “Bagaimana? Apa kamu suka?” Wira yang sedari tadi berada di belakang Sekar bertanya.Sekar menatap ke arah sang suami, senyumnya masih tersemat.“Mobil yang cantik, mana mungkin aku tidak menyukainya, aku sangat menyukainya.” Dia memeluk Wira, “Terimakasih, Sayang.” Kemudian mencium pipinya.“Aku senang kalau kamu menyukainya.” Wira menimpali dan ikut tersenyum.__“Nyonya Sekar benar-benar wanita yang sangat beruntung.” Susy bertopang dagu sambil mengaduk kopi moka buatannya sendiri, “Dia dicintai begitu dalam oleh Tuan Wira.” Kemudian menyerup

  • Dendam Wanita Teraniaya   Bab 18 Jalan-jalan

    Bab 18__Sekar melangkah dengan anggun menghampiri Ravi, sang Dokter pun berdiri merentangkan tangan untuk menyambut sang kekasih. Sekar langsung menghambur ke pelukan Ravi.Mereka pun saling menempelkan bibir.“Iya, Sayang, aku sudah sampai dengan selamat satu jam lalu.” Sekar berucap pada suaminya melalui telepon.“Saat sampai ke hotel aku langsung ketiduran karena lelah, makanya aku baru nelpon.”Di sampingnya, Ravi menciumi bahu Sekar yang telanjang. “Iya, Sayang, aku akan hati-hati dan jaga kesehatan, Mas nggak perlu khawatir, ya sudah telponnya aku tutup dulu, ya, dah, muach.”Pembicaraan pun berakhir, Sekar meletakkan handphone-nya di meja nakas.Dia tersenyum senang pada Ravi yang mulai menindih tubuhnya. Sekar terkikik dan merangkul leher pria tampan itu.__“Bagaimana kalau kita pergi ke Pekan Raya Mandira,” ucap Wira secara tiba-tiba.Membuat Kirana yang sedang membacakan narasi novel untuknya sontak berhenti. Dia menatap sang Tuan.“Ke pekan Raya Mandira?”“Hu’um.” Wra

  • Dendam Wanita Teraniaya   Bab 17 memandang langit malam.

    Bab 17__“Tuan, Dokter Ravi sudah datang.”Suara Edy menghentikan aksi tatap-menatap antara Kirana dan Wira.“Iya, Pak.” Wira mengangguk.Kirana dengan sigap mendorong kursi roda Wira menuju ruangan terapi.“Selamat pagi Tuan Wira.” Ravi menyapa dengan senyum cerahnya, lalu pandangannya beralih pada Kirana, dia memberi senyum nakal pada Kirana.Kirana hanya menanggapi dengan senyum singkat.Malvin, sang perawat membantu Wira untuk turun dari kursi rodanya, berpindah tempat ke meja tarik/ traction table.Dia membenahi posisi tidur Wira agar nyaman, Ravi juga ikut membantu.Kirana undur diri dia akan menunggu di luar. __ Setelah dua jam, Kirana kembali ke ruang terapi sambil membawa minuman segar untuk Wira. Dia kira terapinya sudah selesai dan sedang beristirahat, ternyata Wira sedang berjuang keras melangkahkan kakinya dengan bantuan palang paralel.Di kanan-kirinya ada Ravi dan Malvin yang menopang agar tubuh Wira tidak oleng. Pelipisnya sudah penuh keringat, karena tangan

  • Dendam Wanita Teraniaya   Bab 16 kolam ikan

    Bab 16__Kirana mundur dua langkah, kebingungan. Baru dua hari berada di mansion ini dia harus melihat hal yang membuatnya syok dan tak percaya.Di tempat ini dia hanya ingin bekerja dengan tenang, tanpa terlibat masalah apapun. Kirana berpikir sebaiknya dia menyingkir, berpura-pura tidak melihat kejadian antara Nyonya Sekar dan Dokter Ravi.Dia tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga majikannya. Dia hanya seorang pelayan disini, maka harus bersikap layaknya srorang pelayan.Menutup mata dan telinga mengenai yang terjadi di mansion ini.Kirana berbalik, melangkah cepat kembali ke lift.__“Mari bersulang untuk kesuksesan pembangunan PJG.” Adiwangsa, rekan bisnis Wira, mengangkat gelas anggurnya tinggi, “Bahkan sekarang sudah mencapai tahap operasional.” Clarissa, salah satu investor, tertawa lembut, ikut mengangkat gelasnya.“Mari bersulang untuk kesuksesan PJG,” ucapnya.Wira mengangguk, lalu mengangkat gelas anggurnya dengan tangan kiri yang sedikit gemetar.Mereka kemudia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status