LOGINBab 8
Mendengar suara lemah itu membuat Dipta tersadar dari amarahnya. Dia mengatur napas mencoba menstabilkan emosinya. Dia memandang Kirana penuh kelembutan, “Aku akan mengantarmu pulang.” Kirana menggeleng, “Nggak usah.” Dia mengalihkan pandangan ke arah keluarga Dipta, “Saya permisi, Om, Tante, Mbak.” Kirana menundukkan kepalanya, kemudian berlalu dengan langkah cepat. “Kirana, tunggu!” Dipta menyusul. “Kamu nggak perlu nganterin aku.” Saat sampai halaman Kirana menghentikan langkahnya. Dia memandangi wajah pria baik hati ini, “Sebaiknya kamu jangan melawan kedua orang tuamu, dari awal sudah kukatakan kalau aku tidak pantas untukmu.” Dipta menyentuh kedua bahu Kirana, “Apapun yang terjadi aku akan tetap menikahimu.” “Dipta!” Suara Purwa menggelegar. Kirana dan Dipta mengalihkan pandangan ke arah pria paruh baya itu. Dia berdiri di ambang pintu, di belakangnya ada Marina dan Alma. “Kalau kamu ngotot ingin menikahi wanita ini, sebaiknya kamu pergi dari rumah ini dan jangan kembali lagi!” Semua orang yang ada di sana sontak terkejut mendengar ucapan Purwa yang lantang dan tegas. “Pak …” Marina ingin bicara, tapi urung saat melihat mata suaminya yang melotot menakutkan. Dipta mendengkus, “Baik. Sekarang juga aku pergi dari rumah ini!” Purwa dan Marina, juga Alma terkejut mendengar perkataan Dipta. Dipta menarik pergelangan tangan Kirana, membawanya pergi meninggalkan halaman rumahnya. Kirana memandangnya dengan raut cemas, “Apa kamu yakin dengan apa yang kamu lakukan?” Dipta menghentikan langkahnya, berbalik menatap pada Kirana, “Tentu saja aku yakin,” ucapnya mantap dan tanpa keraguan sedikitpun. “Mereka itu keluargamu, Dipta. Hanya demi wanita sepertiku kamu tidak perlu melakukan sampai sejauh ini, aku __” Kata-kata Kirana terhenti karena Dipta tiba-tiba merengkuhnya dalam dekapan hangat. “Aku mencintaimu, dan akan berjuang demi cintaku.” __ Maka disinilah Dipta berada. Dia berdiri canggung di ruang tengah di rumah Kirana. Pandangannya mengedar ke segala penjuru ruangan, “Mm … karena aku sudah minggat dari rumah, untuk malam ini bolehkah tidur di sini?” Ada senyum kaku di bibirnya. Kirana terkekeh, “Baiklah, kamu bisa tidur di kamar Ibuku.” “Tidak, tidak, aku bisa tidur di sofa.” “Sofanya kecil, kamu tidak akan nyaman tidur di sana,” ucap Kirana, “Aku akan membuatkanmu teh manis, bagaimana?” “Boleh.” Dipta menimpali. Kirana berbalik berniat pergi ke dapur. “Tunggu!” Seruan itu membuat Kirana kembali menghadap Dipta. Dia menatapnya menunggu kata selanjutnya. “B_ bagaimana kalau besok kita pergi ke KUA untuk melakukan pendaftaran nikah.” Suara Dipta sedikit bergetar, tangannya meremas celana yang dipakainya dengan kuat. Sepasang mata Kirana membulat. 'Secepat itu?’ Tapi dia tidak memiliki alasan dan tidak ingin menolak, maka dengan kesungguhan hati, Kirana menganggukkan kepalanya. Senyum kebahagiaan terukir di bibir Dipta, tangan yang meremas kain kini terlepas, seolah-olah batu besar yang menghimpitnya beberapa waktu lalu terangkat, dia merasa lega. Keesokan harinya Kirana dan Dipta pergi ke KUA untuk mendaftar, di sana mereka diberitahu syarat apa saja yang harus dibawa dan dokumen yang harus dilengkapi. Tanggal pernikahan telah ditetapkan yaitu sepuluh hari dari waktu pendaftaran. __ “Kamu benar-benar akan meninggalkan keluargamu sendiri demi gadis gembel itu!” Marina kesal dengan sikap putranya ini, nafasnya tersengal. Dipta yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam koper hanya bisa menghela nafas untuk menahan emosi. Perkataan ibunya benar-benar kasar, menghina wanita yang dicintainya. Hari ini Dipta terpaksa harus pulang dulu ke rumah untuk membawa beberapa pakaiannya. “Dipta, kalau kamu tetap nekad, Bapakmu pasti akan mencoret namamu dari kartu keluarga dan mencabut hakmu sebagai ahli waris!” Suara Marina menggelegar. Dipta memutar bola matanya, “Dipta nggak peduli, Bu,” timpalnya singkat. Dia menutup kopernya dan menarik resletingnya, lalu menjinjing dan melangkah meninggalkan sang Ibu yang masih berteriak memanggil namanya. Langkahnya mantap saat meninggalkan rumah yang dua puluh tahun lebih dia tinggali. Hatinya tanpa keraguan sedikitpun, hari ini dan sembilan hari ke depan, Dipta akan tinggal di kontrakan milik temannya. Sebelum resmi menikah Dipta tidak mungkin tinggal serumah dengan Kirana, takut menjadi fitnah, dan membuat nama baik wanita itu semakin tercoreng. Kemarin saja waktu Dipta menginap selama satu malam hatinya tak karuan. __ Hari H telah tiba, Dipta dan Kirana bersiap untuk melangsungkan pernikahan di KUA. Tidak ada undangan, tidak ada pesta, hanya mereka berdua dan tiga saksi, mereka tetangga Kirana. Penampilan sepasang pengantin juga sangat sederhana, Kirana hanya memakai kemeja satin berwarna putih dipadu dengan rok plisket berwarna krem, rambutnya dikuncir ekor kuda. Begitu juga dengan Dipta, dia sama memakai kemeja putih dipadu celana bahan warna hitam. Hanya seperti itu mereka mendatangi KUA. Dipta dan Kirana mengangkat buku nikah mereka setinggi dada, tersenyum ke arah kamera ponsel. Dipta meminta tolong seorang saksi untuk memotret, biar bisa dijadikan sebagai kenangan-kenangan. Walaupun dengan penampilan sederhana mereka berdua terlihat serasi. Ya, sekarang Kirana telah resmi menjadi istri Dipta, dia dengan tulus berdo'a dalam hati semoga keluarga mereka selalu harmonis sampai tua nanti. Kirana kini tidak sendirian, dia akan membuka lembaran baru dalam hidupnya. Melupakan cerita kelam yang pernah terjadi. __ “Kamu beneran ingin berhenti kuliah?” Kirana bertanya saat Dipta nyeletuk kalau dia akan berhenti kuliah. Saat ini sepasang pengantin yang baru menikah selama tujuh hari itu tengah sibuk di dapur. Kirana sibuk mencuci beras, Dipta asyik memetik bayam. “iya, mending aku kerja, kan kita butuh biaya untuk kehidupan sehari-hari dan biaya untuk nanti kamu lahiran.” Kirana mendesah, terdiam, tangannya asyik mengubek-ubek beras yang hampir bersih itu. “Lagi pula sekarang ’kan nggak ada yang biayain aku kuliah.” Dipta melanjutkan, “Aku sudah minggat dari rumah, jadi keluargaku mana mau membiayaiku.” Setelah dirasa bersih, Kirana menambahkan air sebanyak dua ruas jari telunjuk lalu memasukkan beras itu ke dalam magic com dan menekan tombol masak. “Kamu ‘kan bisa kerja sambil kuliah, Mas,” ucap Kirana. Ya, semenjak Dipta resmi menjadi suaminya, Kirana mulai memanggil dengan sebutan Mas. “Aku nggak pandai mengatur waktu, dan biayanya nggak kekejar.” Dipta menyodorkan bayam yang telah dipetik pada Kirana. Kirana mencuci bayam itu untuk dimasak, dijadikan menu makan sore. __ Dipta tak lagi kuliah, dia sibuk bekerja. Walaupun hanya sebagai kuli bangunan, dia sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaannya itu. Dia juga rajin menyisihkan uang gaji nya untuk di tabung. “Tabungan ini untuk keperluan lahiran kamu nanti,” ucapnya di suatu ketika. “Dan untuk membeli perlengkapan bayi.” Dipta berkata di barengi dengan senyuman cerah. Sebagian hati Kirana senang mendengar kata-kata itu, suaminya ini benar-benar pria yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Tapi disisi lain ada rasa tak enak yang mengganjal, karena anak yang ada dalam perut Kirana bukanlah darah dagingnya. Tetapi Dipta begitu perhatian pada anak ini. Padahal Kirana yang sebagai ibunya tak peduli pada anak yang ada dalam perutnya, malahan hati kecilnya berharap anak ini tidak lahir.Bab 21__“Cepat cari! Aku tidak mau tahu, pokoknya kalian harus menemukan kalung itu!”Sekar berteriak pada para pelayan wanita yang berjejer di hadapannya.“Baik, Nyonya.” Para pelayan itu menjawab serentak, mereka mulai menelusuri setiap sudut ruangan, bahkan sebagian berjongkok untuk memeriksa kolong tempat tidur.Pagi-pagi, Sekar sudah heboh karena tiba-tiba kalung berlian miliknya hilang. Dia memanggil seluruh pelayan di mansion ini untuk membantu mencarinya.Beberapa pelayan ada yang mencari ke kamar mandi. “Kenapa bisa hilang, apa Nyonya lupa menaruhnya, mungkin?” Lala bergumam, kedua bola matanya lincah mengamati setiap sudut. Siapa tahu kalung berlian itu jatuh di kamar mandi ini.“Entahlah.” Tina menimpali, “Selama ini Nyonya tidak pernah kehilangan benda berharga miliknya, ini baru pertama kalinya.”Lala mengangguk setuju.Mereka berdua celingukan sambil menelusuri setiap sudut kamar mandi.Sekar memperhatikan dengan matanya yang memicing pada Kirana yang sedang membuka-
Bab 20__“Dari mana kamu? Kenapa lama sekali?”Wira menatap Kirana penuh penasaran, tumben pelayannya ini lambat saat mengantarkan minuman untuknya.“Maaf, Tuan.” Kirana menyodorkan gelas jus ke mulut Wira, “Saya keasyikan ngobrol dengan teman-teman di dapur, jadi lupa waktu.”Tentu saja Kirana berbohong, dia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah kaca pada Tuannya ini. Walau sebenarnya Kirana ingin sekali mengadu tentang Sekar dan Ravi, tapi Wira tidak akan percaya begitu saja.“Tuan Wira, ayo kita lanjutkan sesi berikutnya.”Ravi datang dari arah luar, seperti biasa, langkahnya selalu penuh semangat. Di belakangnya ada Malvin mengikuti.Dia tersenyum nakal pada Kirana, yang tentu saja tidak ditanggapi olehnya. Wira pun mulai bersiap untuk melakukan terapi sesi berikutnya.Kirana undur diri, akan menunggu di luar ruangan.Ternyata Ravi juga keluar mengikuti Kirana, dia menarik tubuh Kirana ke sudut ruangan tersembunyi, menekannya ke tembok.“Aku hanya ingin kembali mengingatk
Bab 19__Jemari Sekar bergerak lembut menelusuri setiap inci body mobil berwarna merah, ini adalah mobil barunya. Pemberian dari sang suami.Wajahnya terus mengukir senyum cerah, kedua matanya berbinar. Dalam hati bergumam, mobil yang cantik dan mewah, harganya pasti sangat mahal.Ah, Sekar sama sekali tidak peduli mau berapapun harganya, toh, duit suaminya sangat banyak, hartanya tidak akan berkurang hanya karena membeli mobil cantik ini. “Bagaimana? Apa kamu suka?” Wira yang sedari tadi berada di belakang Sekar bertanya.Sekar menatap ke arah sang suami, senyumnya masih tersemat.“Mobil yang cantik, mana mungkin aku tidak menyukainya, aku sangat menyukainya.” Dia memeluk Wira, “Terimakasih, Sayang.” Kemudian mencium pipinya.“Aku senang kalau kamu menyukainya.” Wira menimpali dan ikut tersenyum.__“Nyonya Sekar benar-benar wanita yang sangat beruntung.” Susy bertopang dagu sambil mengaduk kopi moka buatannya sendiri, “Dia dicintai begitu dalam oleh Tuan Wira.” Kemudian menyerup
Bab 18__Sekar melangkah dengan anggun menghampiri Ravi, sang Dokter pun berdiri merentangkan tangan untuk menyambut sang kekasih. Sekar langsung menghambur ke pelukan Ravi.Mereka pun saling menempelkan bibir.“Iya, Sayang, aku sudah sampai dengan selamat satu jam lalu.” Sekar berucap pada suaminya melalui telepon.“Saat sampai ke hotel aku langsung ketiduran karena lelah, makanya aku baru nelpon.”Di sampingnya, Ravi menciumi bahu Sekar yang telanjang. “Iya, Sayang, aku akan hati-hati dan jaga kesehatan, Mas nggak perlu khawatir, ya sudah telponnya aku tutup dulu, ya, dah, muach.”Pembicaraan pun berakhir, Sekar meletakkan handphone-nya di meja nakas.Dia tersenyum senang pada Ravi yang mulai menindih tubuhnya. Sekar terkikik dan merangkul leher pria tampan itu.__“Bagaimana kalau kita pergi ke Pekan Raya Mandira,” ucap Wira secara tiba-tiba.Membuat Kirana yang sedang membacakan narasi novel untuknya sontak berhenti. Dia menatap sang Tuan.“Ke pekan Raya Mandira?”“Hu’um.” Wra
Bab 17__“Tuan, Dokter Ravi sudah datang.”Suara Edy menghentikan aksi tatap-menatap antara Kirana dan Wira.“Iya, Pak.” Wira mengangguk.Kirana dengan sigap mendorong kursi roda Wira menuju ruangan terapi.“Selamat pagi Tuan Wira.” Ravi menyapa dengan senyum cerahnya, lalu pandangannya beralih pada Kirana, dia memberi senyum nakal pada Kirana.Kirana hanya menanggapi dengan senyum singkat.Malvin, sang perawat membantu Wira untuk turun dari kursi rodanya, berpindah tempat ke meja tarik/ traction table.Dia membenahi posisi tidur Wira agar nyaman, Ravi juga ikut membantu.Kirana undur diri dia akan menunggu di luar. __ Setelah dua jam, Kirana kembali ke ruang terapi sambil membawa minuman segar untuk Wira. Dia kira terapinya sudah selesai dan sedang beristirahat, ternyata Wira sedang berjuang keras melangkahkan kakinya dengan bantuan palang paralel.Di kanan-kirinya ada Ravi dan Malvin yang menopang agar tubuh Wira tidak oleng. Pelipisnya sudah penuh keringat, karena tangan
Bab 16__Kirana mundur dua langkah, kebingungan. Baru dua hari berada di mansion ini dia harus melihat hal yang membuatnya syok dan tak percaya.Di tempat ini dia hanya ingin bekerja dengan tenang, tanpa terlibat masalah apapun. Kirana berpikir sebaiknya dia menyingkir, berpura-pura tidak melihat kejadian antara Nyonya Sekar dan Dokter Ravi.Dia tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga majikannya. Dia hanya seorang pelayan disini, maka harus bersikap layaknya srorang pelayan.Menutup mata dan telinga mengenai yang terjadi di mansion ini.Kirana berbalik, melangkah cepat kembali ke lift.__“Mari bersulang untuk kesuksesan pembangunan PJG.” Adiwangsa, rekan bisnis Wira, mengangkat gelas anggurnya tinggi, “Bahkan sekarang sudah mencapai tahap operasional.” Clarissa, salah satu investor, tertawa lembut, ikut mengangkat gelasnya.“Mari bersulang untuk kesuksesan PJG,” ucapnya.Wira mengangguk, lalu mengangkat gelas anggurnya dengan tangan kiri yang sedikit gemetar.Mereka kemudia







