Share

Bab 7

 

Dengan jemari bergetar aku terus melihat isi kotak keluar, sayang sekali menu SMS pada zaman dahulu tak seperti W******p zaman sekarang yang tersusun rapi dari atas hingga bawah.

 

[Sedih banget, Nay, padahal pengen banget kuliah]

 

Aku menengadah rasanya tak sanggup membaca semuanya, Delia benar-benar tak bahagia hidup dengan papanya.

 

Keterlaluan kamu, Mas! Sama sekali tak punya nurani pada anak sendiri, jika saja sekarang Delia kenapa-napa maka tanganku sendiri yang akan menghabisimu, Mas!

 

Jemariku terus memencet tombol ponsel ini dengan pelan sambil membaca isi pesan-pesan Delia, ternyata yang lainnya tidak ada yang penting, ia hanya mengirim pesan pada teman dan guru di sekolahnya.

 

Lalu aku beralih ke menu kotak masuk, di sana banyak sekali pesan dari teman Delia yang bernama Naya.

 

[Saranku sih kamu kabur aja cari ibu kandung kamu, Del, aku ga bisa bantu banyak karena mau kuliah di luar negri, sorry ya]

 

[Papa kamu kok kejam banget ya, Del, apa dia papa tiri kamu]

 

Dan masih banyak pesan balasan dari Naya yang begitu prihatin terhadap kehidupan Delia.

 

Aku kembali mengecek kotak keluar dan menemukan pesan yang teramat menyakitkan.

 

[Aku tanya Papa katanya ibu kandung aku pergi sama lelaki lain, Nay]

 

Aku menunduk sambil menutup wajah, bukan hanya menyakiti mental putriku tapi Mas Ilyas juga merusak nama baikku.

 

Awas kamu, Mas, suatu hari aku berjanji akan membalas semua ini.

 

*

 

Pukul sembilan malam Nining datang membawa martabak, makanan yang sudah lama tak kusantap itu sama sekali tak membuatku berselera.

 

"Baca ini, Ning, ini hape Delia." Aku menyodorkan ponsel itu padanya.

 

"Masa sih? Kok bisa ya hape Non Delia masih hidup?"

 

Aku menatap Nining dengan tajam, tak habis fikir kenapa ia sama sekali tak antusias untuk mencarikan putriku sejak dulu.

 

"Bertahun-tahun kamu hidup di rumah itu, masa masuk ke kamar anakku saja kamu ga bisa, Ning? Setidaknya kamu tahu sekarang dia da di mana?"

 

Nining menunduk, raut penyesalan tercetak di wajahnya.

 

"Maaf, Bu, tapi saya butuh kerjaan itu, jangankan masuk ke kamar Non Delia nanya sama Erina dan Tuan Ilyas aja saya ga berani karena mereka suka marah, Bu."

 

Aku memejamkan mata, mendadak merasa bersalah karena sudah menyalahkannya.

 

"Ok, saya minta maaf, Ning."

 

Wanita yang mengenakan gamis batik itu mendekat lalu memegang tanganku.

 

"Saya akan bantu Ibu mulai sekarang, dulu saya ga bisa apa-apa karena merasa bod*h dan sendirian."

 

Aku mengangguk, lalu Nining mulai memeriksa ponsel milik Delia.

 

"Bu, gimana kalau kita cari perempuan bernama Naya ini."

 

Aku langsung menoleh.

 

"Caranya kita ke sekolah SMA Non Delia lalu mencari identitas perempuan bernama Naya ini, saya yakin dia salah satu sahabat Non Delia dan pasti tahu dia di mana."

 

"Kamu tahu 'kan tempat Delia sekolah?"

 

Nining mengangguk.

 

"Besok saya minta izin libur sama Nyonya Erina, dan kita akan sama-sama pergi ke sekolah Non Delia."

 

"Baiklah, semoga ini berhasil ya, Ning."

 

"Semoga saja, Bu."

 

"Oh ya, Ning, perempuan di rumah Ilyas yang namanya Monic tadi apakah dia anaknya Erina?" tanyaku.

 

"Iya, Bu, dia anak bungsu Nyonya Erina dan Tuan Ilyas, masih kuliah sedangkan anak pertamanya ngelanjutin S2 di luar kota."

 

Aku merenung, kehidupan kedua anak Erina sangat terbalik dengan kehidupan Delia. Tuhan, kenapa seperti ini setidaknya jika aku tak bahagia maka putriku tak perlu menderita.

 

"Lalu yang kamu tahu tentang pekerjaan Ilyas sekarang apa?"

 

Aku masih penasaran tentang kehidupan mantan suamiku itu.

 

"Setahu saya dia buka usaha di luar kota, Bu, kadang mereka tidak ada di rumah sampai seminggu, soal usahanya apa saya ga tahu."

 

Itu artinya Mas Ilyas memang menjalankan bisnis haram itu sejak dulu, lihat saja suatu saat kamu akan merasakan sepertiku, Mas, meringkuk dalam sel yang dingin.

 

*

 

Pagi ini aku mengunjungi sekolah Delia yang letaknya lumayan jauh dari kosan Tania. Seperti biasa aku mengenakan gamis serta masker dan kaca mata untuk menutup wajah.

 

"Lulus tujuh tahun yang lalu ya, Bu," ucap seorang penjaga TU tersebut.

 

Nining sampai memberinya upah agar lelaki itu mau mencarikan identitas rumah Naya.

 

"Namanya Naya Khaira Candrawinta, yang itu bukan, Bu? Karena nama Naya yang lulus di tahun tersebut hanya itu."

 

Nining memandangku dengan yakin.

 

"Iya itu, Pak, tolong berikan alamatnya pada kami."

 

Pria itu mengangguk lalu menulis di sebuah kertas kecil.

 

"Ini, Bu."

 

Kami menerima kertas kecil itu, lalu membacanya dengan teliti.

 

"Baik, Pak, terima kasih."

 

Aku dan Nining pergi, kami menyewa grabcar agar cepat sampai ke alamat tersebut. Benar saja sang supir membawaku ke alamat tujuan tanpa perlu bertanya.

 

Kami turun di sebuah rumah minimalis berwarna coklat, di dalam sana ada seorang ibu-ibu seumuranku yang sedang menyiram tanaman.

 

Aku mengucap salam, wanita itu pun membalas salam kami dengan ramah.

 

"Cari siapa ya?"

 

"Maaf apa ini rumah Naya teman SMA-nya Delia?"

 

Wanita itu terlihat berfikir.

 

"Iya betul anak saya memang bernama Naya, lalu untuk apa mencari Delia?"

 

"Saya ibu kandung Delia, bisakah saya bicara dengan Naya sekarang? Ada yang mau saya tanyakan pada anak Ibu."

 

Wanita itu menatapku dengan pandangan tak suka.

 

"Oh ibu kandungnya Delia. Naya udah menikah sekarang dia tinggal di Bogor sama suaminya."

 

Aku melihat wajah Nining dengan lesu, bagaimana ini? 

 

"Kalau begitu saya minta alamat rumah Naya boleh? Kami sedang mencari Delia siapa tahu saja Naya tahu dia di mana, karena setahu saya Naya itu teman baik Delia," ujar Nining.

 

"Ya sudah sebentar." Sambil memasang tampang culas wanita itu masuk ke dalam, padahal tadi ia ramah sekali.

 

Ia kembali dengan secarik kertas.

 

"Itu alamatnya, sudah ya saya mau masuk." Wanita itu menutup pintu pagar.

 

Aku dan Nining berpandangan sejenak.

 

"Semangat, Bu, kita ke Bogor sekarang."

 

Aku mengangguk.

 

Beruntung ini bukan hari libur hingga perjalanan kami tak terjebak kemacetan, usai sampai di terminal Ciawi, Nining memesan grabcar.

 

Setelah berpuluh-puluh menit akhirnya aku sampai di sebuah perumahan sederhana yang berukuran minimalis.

 

"Rumahnya ini, Ning?"

 

"Iya, Bu, ini rumahnya," sahut sopir grabcar itu.

 

Kami keluar lalu mobil itu melaju pelan meninggal aku dan Nining yang sedang berdiri di depan rumah bercat tosca ini.

 

Tak lama seorang wanita muda yang sedang hamil besar ke luar dari rumah itu.

 

Aku langsung mengucap salam sedangkan wanita itu menghampiri sambil membalas salam kami.

 

"Cari siapa?"

 

"Cari Naya," jawabku.

 

"Oh, saya Naya, ada yang bisa dibantu?"

 

Aku terdiam merasakan kebahagiaan yang tak bisa terungkap, tak hanya itu harapan besar pun mulai membayang.

 

"Saya ibu kandung Delia, apa Dek Naya tahu di mana dia sekarang?"

 

Senyum di wajah wanita itu langsung redup begitu nama Delia kusebut.

 

"Ngapain? Kenapa Tante baru cari Delia sekarang?! Semua sudah terlambat!" Wanita itu mendadak culas.

 

"Saya minta maaf, tapi saya mohon kasih tahu di mana Delia sekarang?" Aku bagaikan pengemis kelaparan yang meminta makan pada orang lewat.

 

Dapat kulihat jelas mata perempuan itu berkaca serta dadanya yang turun naik.

 

"Terakhir kali saya melihat Delia dibawa paksa sama papanya naik ke sebuah mobil, dia menangis tapi aku tak bisa berbuat apa-apa," gumamnya sambil menahan tangis.

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rida Wati
koin oh koin
goodnovel comment avatar
rustianti farid
cerita nya bagus banget. tapi kendala di koin. sedih deh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status