Share

Bab 6

 

Aku memotret paspor itu walaupun kamera ponsel ini cukup buram, dan aku harus beberapa kali memotret agar hasilnya terlihat jelas.

 

Di kamar ini aku tak bisa menemukan apa-apa lagi karena semua lemari terkunci, dan sepertinya semua berkas ada di dalam lemari.

 

Aku gegas menelpon Nining yang berjaga di luar rumah.

 

"Ning, kamu bisa tunjukkan kamar Delia di mana?"

 

"Kamar Non Delia? Ya udah bentar saya ke sana."

 

Tak lama Nining masuk dan membawaku ke lorong sebelah kiri, tapi ternyata kamar ini terkunci.

 

"Saya akan cari kuncinya, sebentar." 

 

Nining melengos pergi lalu kembali membawa seikat kunci yang begitu banyak, dengan sangat terpaksa aku memasukkan satu persatu kunci tersebut.

 

Kunci ke lima barulah pintu itu terbuka, kamar Delia terlihat rapi, saat masuk ke dalam aroma debu tercium, sepertinya sudah lama tak dibersihkan.

 

"Saya ke luar dulu, Ya, Bu. Kalau ada apa-apa saya akan telpon." Aku mengangguk.

 

Tubuh ini sebenarnya lemas sekali, mengingat hanya dua tahun saja kebersamaan kami, bahkan sekarang aku tak tahu wajahnya seperti apa.

 

Aku duduk sebentar di kasurnya yang sudah berdebu, dahulu putriku mungkin sering menangis di tempat ini seorang diri.

 

Mataku tertuju pada sebuah lemari dua pintu, dan lemari itu terbuka dengan mudah membuat debu-debu beterbangan karena gerakannya.

 

Baju-baju milik Delia masih berjejer rapi hanya saja baju itu terlihat sedikit, aku mengambil satu lalu mencium dan memeluknya, tak terasa air mataku mengalir.

 

Akan kubawa baju ini untuk melampiaskan rindu padanya, lalu kumasukkan ke dalam tas pemberian Nining, wanita baik itu tak hanya memberikan tas dan uang ia juga memberikan baju yang layak pakai.

 

Di dalam lemari tersebut ada ijazah milik Delia dari mulai SD sampai SMA, raportnya pun masih tertata rapi.

 

Aku fokus pada potonya ketika masa sekolah, dari mulai SD hingga SMA, ternyata ia sangat cantik, hidungnya mirip denganku sedangkan matanya milik Mas Ilyas.

 

Lagi dan lagi air mataku mengalir karena merasa tak berguna menjadi ibunya, kuletakan kembali berkas itu ke tempatnya lalu mulai mencari sesuatu di sana.

 

Aku menemukan sebuah buku diary, karena situasinya tidak tepat, kumasukkan benda itu ke tas.

 

Di tumpukan baju paling bawah aku menemukan sebuah ponsel n*kia jadul, sayang sekali benda yang berbentuk kotak panjang nan tebal itu mati.

 

Tanpa pikir panjang benda itu pun kumasukkan ke dalam tas, nanti aku akan berusaha membuat ponsel jadul itu hidup kembali.

 

Saat ingin menutup lemari mataku tertuju pada selembar Poto yang terselip di pintu, itu Poto Delia saat remaja sedang memamerkan sebuah piala.

 

aku tersenyum haru lalu memasukkan Poto itu ke dalam tas, dirasa cukup aku menelpon Nining hendak ke luar.

 

"Udah selesai, Bu?" tanya Nining.

 

Aku mengangguk lalu mengikutinya ke luar dari rumah ini menuju belakang.

 

"Mbak Nining!" 

 

Aku dan Nining terkejut mendengar suara teriakkan perempuan, sepertinya ia menuju ke arah belakang.

 

"Siapa itu?" tanyaku.

 

"Itu Nona Monic, cepet sembunyi di kamar mandi, Bu."

 

Aku bergegas lari menuju kamar mandi khusus pembantu.

 

"Nih siapin di piring ya saya mau makan." Terdengar perempuan itu memerintah Nining.

 

"Iya, Nona."

 

Apa wanita itu anak anaknya Erina?

 

"Cepetan ya."

 

Setelah itu terdengar suara kursi di geser lalu denting sendok dan piring beradu, sepertinya wanita itu makan di meja makan, jika begini bagaimana caraku ke luar?

 

Beruntung kamar mandi ini cukup wangi jadi tak membuatku mual meski berada di dalam cukup lama.

 

"Sial, mau pipis lagi." Perempuan itu mengumpat.

 

"Mbak, toilet ini bersih ga?"

 

Dadaku berpacu hebat saat wanita itu bertanya, apa yang harus kukatakan jika wanita itu melihatku di sini?

 

"Emm, kotor, Non, belum disikat."

 

"Heuh gimana sih, bersihin dong." Setelah itu terdengar suara langkah kaki menjauh.

 

Nining membukakan pintu.

 

"Cepat keluar, Bu."

 

Aku mengangguk tanpa kata lalu pergi.

 

Setelah keluar dari pintu belakang barulah aku merasa lega, melewati lahan kosong yang ditumbuhi rumput liar aku berjalan menuju jalan lintas.

 

Sebelum pulang terlebih dahulu mampir ke konter, hendak memeriksa ponsel Delia.

 

"Saya cari chargernya dulu ya, Bu."

 

"Kalau ga bisa dicas berarti emang udah rusak," ucap lelaki penjaga konter tersebut.

 

Dengan penuh harap aku berdoa agar ponsel itu menyala.

 

"Mas mau kuota dong." Aku melirik ke samping, ternyata perempuan yang membeli kuota tersebut Kak Lastri.

 

Ia sedang menuliskan nomor ponselnya di buku besar.

 

"Yang seratus ya, Mas." Ia bicara lagi.

 

Melihat wanita ini tiba-tiba saja aku memiliki ide licik untuk mencari keberadaan Delia, bagaimana pun juga dia sangat dekat dengan Erina dan Ilyas pastinya tahu anakku ada di mana.

 

Setelah transaksi dengan penjaga konter itu selesai Kak Lastri lalu pergi menggunakan motor maticnya.

 

"Bu, hape ini udah mati ga bisa hidup lagi," ucap penjaga konter itu.

 

Jujur hatiku nelangsa sekali mendengarnya.

 

"Kalau gitu bisa diperbaiki, Mas?"

 

"Ga bisa, Bu, onderdilnya udah ga ada, lagian untuk apa sih hape jadul ini."

 

Rasanya kesal sekali dengan lelaki ini, banyak tanya dan terkesan meremehkan.

 

"Hape ini penting sekali buat saya!" tegasku sambil melotot, seketika wajah lelaki itu langsung berpaling.

 

Bilang saja malas memperbaiki, aku pun segera pergi dari konter itu lalu masuk ke konter yang lain.

 

"Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanya penjaga konter yang tak terlalu besar ini.

 

Aku gegas menyerahkan ponsel tebal ini padanya, dan menjelaskan dengan penuh harap padanya.

 

"Oh sebentar ya saya cek dulu." Pria itu masuk ke dalam, setelah setengah jam baru ia kembali.

 

"Di cas dulu ya, Bu, nanti kalau nyala berarti udah bagus."

 

Aku duduk di kursi plastik sambil memandang ponsel Delia dengan was-was, beberapa menit kemudian penjaga konter tadi berusaha menghidupkan ponsel Delia dan akhirnya benda itu menyala.

 

Terdengar suara dering khasnya ketika ponsel itu menyala untuk pertama kali, rasa gembira ini tak bisa tergambarkan seperti apa, semoga saja aku bisa menemukan petunjuk keberadaan Delia.

 

"Alhamdulillah nyala ya, Bu."

 

"Terima kasih, Mas, boleh ga chargernya saya beli?" Mengingat charger ponsel ini berbeda dengan charger yang kupunya.

 

"Boleh, Bu."

 

Aku tersenyum lega, memberinya uang seratus ribu untuk harga servis ponsel sekaligus membayar charger.

 

Tiba di kosan Tania aku langsung membuka ponsel Delia karena sudah tak sabar.

 

Ponsel ini sudah memiliki fitur kamera dan internet, jadi tak sejadul ponsel tahun delapan puluhan.

 

Aku membuka aplikasi pesan SMS, banyak sekali deretan pesan yang diketik Delia, tak terasa air mataku menitik lagi.

 

Yang menjadi pusat perhatianku sekarang adalah pesan antara Delia dan dan seseorang yang ia namai Naya.

 

[Nay, gimana ini papaku ngasih pilihan katanya mau dijual atau dinikahkan, padahal aku mau kuliah, Nay, aku mau kabur tapi harus ke mana?]

 

Tanganku seketika bergetar membaca pesan yang diketik Delia, itu tandanya selama ini ia hidup menderita?

 

Lalu kenapa Mas Ilyas setega itu pada anaknya?

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status