Share

Bab 6

Author: Ina Qirana
last update Last Updated: 2023-01-19 15:34:26

 

Aku memotret paspor itu walaupun kamera ponsel ini cukup buram, dan aku harus beberapa kali memotret agar hasilnya terlihat jelas.

 

Di kamar ini aku tak bisa menemukan apa-apa lagi karena semua lemari terkunci, dan sepertinya semua berkas ada di dalam lemari.

 

Aku gegas menelpon Nining yang berjaga di luar rumah.

 

"Ning, kamu bisa tunjukkan kamar Delia di mana?"

 

"Kamar Non Delia? Ya udah bentar saya ke sana."

 

Tak lama Nining masuk dan membawaku ke lorong sebelah kiri, tapi ternyata kamar ini terkunci.

 

"Saya akan cari kuncinya, sebentar." 

 

Nining melengos pergi lalu kembali membawa seikat kunci yang begitu banyak, dengan sangat terpaksa aku memasukkan satu persatu kunci tersebut.

 

Kunci ke lima barulah pintu itu terbuka, kamar Delia terlihat rapi, saat masuk ke dalam aroma debu tercium, sepertinya sudah lama tak dibersihkan.

 

"Saya ke luar dulu, Ya, Bu. Kalau ada apa-apa saya akan telpon." Aku mengangguk.

 

Tubuh ini sebenarnya lemas sekali, mengingat hanya dua tahun saja kebersamaan kami, bahkan sekarang aku tak tahu wajahnya seperti apa.

 

Aku duduk sebentar di kasurnya yang sudah berdebu, dahulu putriku mungkin sering menangis di tempat ini seorang diri.

 

Mataku tertuju pada sebuah lemari dua pintu, dan lemari itu terbuka dengan mudah membuat debu-debu beterbangan karena gerakannya.

 

Baju-baju milik Delia masih berjejer rapi hanya saja baju itu terlihat sedikit, aku mengambil satu lalu mencium dan memeluknya, tak terasa air mataku mengalir.

 

Akan kubawa baju ini untuk melampiaskan rindu padanya, lalu kumasukkan ke dalam tas pemberian Nining, wanita baik itu tak hanya memberikan tas dan uang ia juga memberikan baju yang layak pakai.

 

Di dalam lemari tersebut ada ijazah milik Delia dari mulai SD sampai SMA, raportnya pun masih tertata rapi.

 

Aku fokus pada potonya ketika masa sekolah, dari mulai SD hingga SMA, ternyata ia sangat cantik, hidungnya mirip denganku sedangkan matanya milik Mas Ilyas.

 

Lagi dan lagi air mataku mengalir karena merasa tak berguna menjadi ibunya, kuletakan kembali berkas itu ke tempatnya lalu mulai mencari sesuatu di sana.

 

Aku menemukan sebuah buku diary, karena situasinya tidak tepat, kumasukkan benda itu ke tas.

 

Di tumpukan baju paling bawah aku menemukan sebuah ponsel n*kia jadul, sayang sekali benda yang berbentuk kotak panjang nan tebal itu mati.

 

Tanpa pikir panjang benda itu pun kumasukkan ke dalam tas, nanti aku akan berusaha membuat ponsel jadul itu hidup kembali.

 

Saat ingin menutup lemari mataku tertuju pada selembar Poto yang terselip di pintu, itu Poto Delia saat remaja sedang memamerkan sebuah piala.

 

aku tersenyum haru lalu memasukkan Poto itu ke dalam tas, dirasa cukup aku menelpon Nining hendak ke luar.

 

"Udah selesai, Bu?" tanya Nining.

 

Aku mengangguk lalu mengikutinya ke luar dari rumah ini menuju belakang.

 

"Mbak Nining!" 

 

Aku dan Nining terkejut mendengar suara teriakkan perempuan, sepertinya ia menuju ke arah belakang.

 

"Siapa itu?" tanyaku.

 

"Itu Nona Monic, cepet sembunyi di kamar mandi, Bu."

 

Aku bergegas lari menuju kamar mandi khusus pembantu.

 

"Nih siapin di piring ya saya mau makan." Terdengar perempuan itu memerintah Nining.

 

"Iya, Nona."

 

Apa wanita itu anak anaknya Erina?

 

"Cepetan ya."

 

Setelah itu terdengar suara kursi di geser lalu denting sendok dan piring beradu, sepertinya wanita itu makan di meja makan, jika begini bagaimana caraku ke luar?

 

Beruntung kamar mandi ini cukup wangi jadi tak membuatku mual meski berada di dalam cukup lama.

 

"Sial, mau pipis lagi." Perempuan itu mengumpat.

 

"Mbak, toilet ini bersih ga?"

 

Dadaku berpacu hebat saat wanita itu bertanya, apa yang harus kukatakan jika wanita itu melihatku di sini?

 

"Emm, kotor, Non, belum disikat."

 

"Heuh gimana sih, bersihin dong." Setelah itu terdengar suara langkah kaki menjauh.

 

Nining membukakan pintu.

 

"Cepat keluar, Bu."

 

Aku mengangguk tanpa kata lalu pergi.

 

Setelah keluar dari pintu belakang barulah aku merasa lega, melewati lahan kosong yang ditumbuhi rumput liar aku berjalan menuju jalan lintas.

 

Sebelum pulang terlebih dahulu mampir ke konter, hendak memeriksa ponsel Delia.

 

"Saya cari chargernya dulu ya, Bu."

 

"Kalau ga bisa dicas berarti emang udah rusak," ucap lelaki penjaga konter tersebut.

 

Dengan penuh harap aku berdoa agar ponsel itu menyala.

 

"Mas mau kuota dong." Aku melirik ke samping, ternyata perempuan yang membeli kuota tersebut Kak Lastri.

 

Ia sedang menuliskan nomor ponselnya di buku besar.

 

"Yang seratus ya, Mas." Ia bicara lagi.

 

Melihat wanita ini tiba-tiba saja aku memiliki ide licik untuk mencari keberadaan Delia, bagaimana pun juga dia sangat dekat dengan Erina dan Ilyas pastinya tahu anakku ada di mana.

 

Setelah transaksi dengan penjaga konter itu selesai Kak Lastri lalu pergi menggunakan motor maticnya.

 

"Bu, hape ini udah mati ga bisa hidup lagi," ucap penjaga konter itu.

 

Jujur hatiku nelangsa sekali mendengarnya.

 

"Kalau gitu bisa diperbaiki, Mas?"

 

"Ga bisa, Bu, onderdilnya udah ga ada, lagian untuk apa sih hape jadul ini."

 

Rasanya kesal sekali dengan lelaki ini, banyak tanya dan terkesan meremehkan.

 

"Hape ini penting sekali buat saya!" tegasku sambil melotot, seketika wajah lelaki itu langsung berpaling.

 

Bilang saja malas memperbaiki, aku pun segera pergi dari konter itu lalu masuk ke konter yang lain.

 

"Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanya penjaga konter yang tak terlalu besar ini.

 

Aku gegas menyerahkan ponsel tebal ini padanya, dan menjelaskan dengan penuh harap padanya.

 

"Oh sebentar ya saya cek dulu." Pria itu masuk ke dalam, setelah setengah jam baru ia kembali.

 

"Di cas dulu ya, Bu, nanti kalau nyala berarti udah bagus."

 

Aku duduk di kursi plastik sambil memandang ponsel Delia dengan was-was, beberapa menit kemudian penjaga konter tadi berusaha menghidupkan ponsel Delia dan akhirnya benda itu menyala.

 

Terdengar suara dering khasnya ketika ponsel itu menyala untuk pertama kali, rasa gembira ini tak bisa tergambarkan seperti apa, semoga saja aku bisa menemukan petunjuk keberadaan Delia.

 

"Alhamdulillah nyala ya, Bu."

 

"Terima kasih, Mas, boleh ga chargernya saya beli?" Mengingat charger ponsel ini berbeda dengan charger yang kupunya.

 

"Boleh, Bu."

 

Aku tersenyum lega, memberinya uang seratus ribu untuk harga servis ponsel sekaligus membayar charger.

 

Tiba di kosan Tania aku langsung membuka ponsel Delia karena sudah tak sabar.

 

Ponsel ini sudah memiliki fitur kamera dan internet, jadi tak sejadul ponsel tahun delapan puluhan.

 

Aku membuka aplikasi pesan SMS, banyak sekali deretan pesan yang diketik Delia, tak terasa air mataku menitik lagi.

 

Yang menjadi pusat perhatianku sekarang adalah pesan antara Delia dan dan seseorang yang ia namai Naya.

 

[Nay, gimana ini papaku ngasih pilihan katanya mau dijual atau dinikahkan, padahal aku mau kuliah, Nay, aku mau kabur tapi harus ke mana?]

 

Tanganku seketika bergetar membaca pesan yang diketik Delia, itu tandanya selama ini ia hidup menderita?

 

Lalu kenapa Mas Ilyas setega itu pada anaknya?

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Tamat

    "Apa kita harus masuk ke dalam?" tanyaku sambil menoleh.Nining mengangguk, lalu aku mengintip jendela bangunan itu ternyata tempat ini telah kosong."Lihat ini, Bu? Pintu bangunan ini sepertinya telah dirusak," ucap Nining.Ya benar, sepertinya pintu ini telah dirusak oleh para penghuni gedung ini lalu mereka kabur entah ke mana, karena saat membuka pintu dan berteriak tak ada satu orang pun yang datang dari dalam, bangunan ini telah kosong "Mungkin karena anak buah Bram dan Ali telah habis di hutan sana, Ning, makanya gadis-gadis di sini bisa melarikan diri.""Mungkin begitu, Bu, syukurlah semoga hidup mereka baik-baik saja di luar sana, Bu, mari kita pulang."Aku mengangguk lalu kembali naik ke atas motor, pulang dengan hati yang nyaman karena orang-orang yang telah menyakiti putriku telah lenyap dan menerima karma sesuai perbuatanya.*Satu bulan kemudian, aku beserta gadis-gadis malang ini berhasil membuka sebuah restoran khas Sunda, mereka mengelola usaha ini dengan baik sesuai

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 27

    "Mau apa kamu, Lastri?" Napasku terengah-engah menatap benda tajam itu hampir menyentuh tenggorokanku.Aku mundur satu langkah sedangkan Lastri maju dua langkah, jika aku berlari wanita ini pasti akan berbuat nekat dan saat itu juga mungkin nyawaku bisa melayang."Aku mau mengg*rok lehermu, karena kamu sudah berani-beraninya memb*nuh adikku!" bentaknya dengan mata membeliak hampir keluar dari tempatnya, sungguh mengerikan."Oh ya, tapi adikmu itu pantas mati, hidup juga percuma karena hanya akan menyengsarakan banyak orang." Kupegang tangannya yang memegang belati itu, hingga benda tajam itu sedikit menjauh, karena tenagaku lebih kuat hampir saja aku bisa membuat benda tajam itu menembus dadanya.Saat ini kami sedang adu kekuatan, saling mendorong belati untuk melukai tubuh kami."Kurang ajar kamu, Mirna! Kamu sudah melenyapkan mesin uangku!" teriaknya hingga ruangan tamu ini mengeluarkan gema."Adikmu yang kurang aj*r, dia sudah menjual putriku! Membuat hidup putriku seperti sampah!

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 26

    Langkah gadis itu pelan tapi tatapan matanya nampak menyeramkan, aku melirik Mas Ilyas yang sepertinya sedang ketakutan, tanganku gegas meraih lengan Frans agar mendekat."Ngapain kalian di sini?!" tanya gadis itu sedikit membentak, kini jarak kami hanya dua meter."Woww anak yatim piatu baru datang," sahut Delia yang baru turun dari lantai atas, putriku itu nampaknya baru selesai ganti baju.Monic melihat Delia seperti menatap musuh bebuyutan, mungkin saat masih tinggal bersama mereka sering bertengkar."Di mana mama sama papaku?!" teriak Monic dengan tatapan bengis."Apa mama papa?" Wajah Delia sengaja dibuat mengejek setelah itu ia tergelak dengan puas."Kur*ng ajar!" Kedua jemari Monic saling mengepal kuat."Hei, kalian harus tahu dia ini anaknya si Ali sama Erina, enak ya mereka punya anak gadis tapi malah menjual gadis-gadis tak berdosa," seru Delia lagi Jelas saja keenam gadis malang itu menatap Monic dengan nyalang, mungkin rasa benci terhadap Ali dan Erina tumbuh lagi di hat

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 25.B

    Kuraih bayi kurus tak berdosa itu lalu kupeluk Bram dengan erat, kasihan sekali mereka, hadir ke dunia tapi ibunya tak peduli sama sekali."Mereka cucu kita, Mas.""Sini, Nak," sahut Mas Ilyas meminta Frans untuk mendekat."Dia kakekmu, Frans, papanya ibu kamu."Mas Ilyas memeluk bocah kecil itu sambil menangis."Bu, sepertinya kita harus segera pergi dari sini, karena di rumah ini masih ada Nona Monic, Ibu ingat 'kan dia anaknya Erina?" tanya Nining.Ya, aku baru ingat jika Erina dan Ali memiliki anak gadis yang masih kuliah, apa yang harus kujelaskan padanya jika ada aku dan Mas Ilyas di rumah ini."Ning, apa gadis itu tahu kelakukan ibu dan ayahnya?" "Entahlah, Bu, saya ga tahu soal itu, tapi sekarang kalau menurut saya kita pergi dulu dari sini, lagian Tuan Ilyas juga harus ke dokter 'kan?""Ngapain pergi, kita ga boleh takut sama Monic, lagipula ini rumah Papa, dia yang harusnya pergi dari rumah ini, bukan kita," sahut Delia."Gadis itu dan keluarganya sudah menghancurkan keluar

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 25.A

    Kutatap wajah Nining yang samar karena penerangan lampu di ruangan ini tak begitu cerah."Iya, Bu, dia Tuan Ilyas." Nining menghampiri lelaki yang sedang duduk di kursi roda itu, mendorongnya lalu membawa pria itu ke hadapanku.Jarak kami hanya satu meter, dan terlihat jelas jika lelaki itu memang Mas Ilyas, hanya saja bibirnya terlihat miring, wajahnya pun sangat pucat serta tubuh yang kurus, ya Tuhan apa yang terjadi dengannya?"Papa, ini beneran Papa?" tanya Delia, beberapa detik kemudian ia langsung bertekuk lutut di hadapan ayahnya.Mas Ilyas hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, dari sorotan mata dapat kubaca jika ia sedang berbahagia sekaligus bersedih, karena matanya terlihat berkaca-kaca."Papaaa! Kenapa?! Kenapa Papa di sini?! Papa tahu selama ini si b*adab Ali sudah menghancurkan hidupku! haaaah! Hiks! Hiks!" Delia berteriak histeris Sementara Mas Ilyas tergugu walau bibirnya terlihat miring, mungkin ia terserang stroke. Aku pun bersedih melihat pemandangan ini hingg

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 24

    Aku menatap Nining dengan intens, ia terlihat serius menatapku, entah rahasia apa lagi yang ia sembunyikan yang jelas aku berharap rahasia itu tidak melukai siapapun."Bu, maafkan saya sebenarnya Pak Ilyas ....""Tante, ayo kita lanjutkan perjalanan takut keburu sore," sela Meri tiba-tiba mengehentikan ucapan Nining.Aku dan Nining menatap gadis itu bersamaan, tapi ia betul juga kami harus cepat sampai di kota karena bayi Delia harus segera mandi dan ganti pakaian.Namun, aku kebingungan harus pulang ke mana, ke rumah Mas Ilyas tak mungkin, ikut Nining pun tak enak karena selalu merepotkannya."Ya sudah kita lanjutkan sekarang, bilang teman-temanmu untuk bersiap," ujar Nining."Bu, kita lanjutkan obrolan ini nanti ya."Aku mengangguk lalu melirik bayi yang kuberi nama Maryam ini dengan iba, ia terlihat tidur di pangkuanku sementara ibunya sama sekali tak peduli malah asyik makan dan bercengkrama dengan gadis lain.Nining beranjak dari hadapanku menuju ibu penunggu warung ini dan memba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status