Share

Rapat Aliansi

Awan gemawan tebal meliputi langit kelabu. Angin bertiup menggeser gumpalan pekat tadi menjadi butiran hujan yang menyatu bersama asap dan debu. Hiruk pikuk perkotaan memudar di tengah guyuran hujan. Di balik rintik air yang bersemangat membasahi kaca klinik di persimpangan jalan itu, duduklah seorang pria berjas putih. Setiap kali petir menyambar, ingatannya selalu menerawang pada kejadian dua belas tahun lalu. Tak lama kemudian, air mata akan menggenangi pelupuk matanya. Dia tak pernah selemah ini saat menatap hujan.

Matahari tak kunjung bersinar hingga tengah hari, membuat kesuraman makin merajalela. Hanya ada lima pasien yang masuk ke dalam. Terlihat sedikit, tapi konsultasi yang berlangsung bisa terjalin lebih dari satu jam lamanya.

Pasien pertama keluar dari ruangan dengan terburai air mata.

Selang sejam kemudian, pasien perempuan melangkah sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu dan memaki para petugas yang ada dengan sebutan ‘penipu’.

Lima belas menit setelah pasien ketiga masuk, terdengar gertakan meja yang keras. Petugas langsung menghampiri, meja kaca itu sudah retak terbelah dua dan pria yang masih di dalam tengah mengancam akan menuntutnya.

Hampir tiga jam pasien keempat duduk di dalam ruangan itu. Dia keluar dengan pandangan kosong seolah jiwanya sudah direnggut oleh malaikat maut.

Pasien kelima adalah pasangan suami istri. Mereka muncul dari ruangan sambil bertengkar hebat dan dari suaranya yang keras, sang istri hendak mengajukan surat cerai pada suaminya.

Itu keseharian yang harus dijalani Ervan mungkin sepanjang sisa hidupnya. Ketika berita menyedihkan harus terucap dari bibirnya, maka biasanya dia hanya akan diam menunggu sampai luapan emosi itu terlampiaskan. Dia akan menunggu dengan sabar hingga akhirnya masing-masing pasien menyerah menyalahkan dirinya.

“Tidak mungkin, ini tak mungkin kan, Dok?”

Ervan termenung selama beberapa menit. Dia tahu itu pertanyaan demikian tidak membutuhkan jawaban. Dia tak akan menjawabnya kalaupun mereka menggertak dengan keras.

“Ada terapi yang bisa menekan jumlah virusnya,” ucap Ervan di sela-sela bergumulan batin.

Setelah mendengar pernyataan menenangkan tadi, mereka akan mulai tenang. Mencoba mengendalikan amarahnya dan mulai mendengarkan penjelasan Ervan.

Rutinitas ini dilakukan Ervan dari pukul tiga sore hingga pukul tujuh malam. Setelah sesi konsultasi berakhir, dia pun pulang kembali ke apartemennya yang tak jauh dari klinik tersebut. Sudah setahun ini dia tidak lagi pulang ke rumah. Kesendiriannya kian membuat Ervan makin terpuruk. Siapa yang tidak kenal dengannya? Seorang ilmuwan cendekiawan yang berasal dari keluarga berada di kota ini. Ervan memiliki apa saja yang bisa membuatnya tetap berada di tangga teratas dari kasta peradaban manusia.

Lebih dari ini, Ervan hanyalah pria biasa yang tak lagi menyala. Api hidupnya seperti sudah padam sejak dua belas tahun lalu. Kisah memilukan menyelubungi ekspresi sedih tadi. Kadangkala dia menyiksa tubuhnya untuk mengatasi kesedihan itu. Menyembunyikan rasa sakit ternyata lebih mudah daripada mengatasi kehilangan.

“Ervan, besok Om mau kembali ke Jakarta, kamu bisa jemput di bandara?” Ucapan dari telepon memecah suara hujan yang masih menerpa kaca jendela.

“Ya,” jawab Ervan singkat.

“Oke, nanti waktu mau take off, Om telepon lagi ya.”

Sambungan terputus. Om Renal merupakan adik dari ayahnya. Umur mereka hanya terpaut tiga tahun. Jadi Ervan selalu menganggapnya seperti kakaknya sendiri ketimbang pamannya.

 Ervan melirik ke botol obat yang masih tergeletak di atas meja sambil melirik jumlah di dalamnya. Botol kaca bening tanpa tulisan itu berisi sekitar lima butir tablet obat yang tidak bernama. Ervan meraupnya masuk ke dalam kantung bajunya sebelum dia akhirnya beranjak dari tempat duduknya.

“Dokter Ervan?” Suara seorang perempuan bergema dari earphone yang terpasang di telingnya. “Sudah ditemukan.”

Ervan nyaris menghentikan mobilnya di tengah jalan raya. Jantungnya berdegup cepat saat mendengar berita yang diwartakan orang dalam teleponnya tadi.

“Di mana?”

“Pemakasan.”

“Hm.” Telepon ditutup.

Ervan segera memutar roda kemudinya. Mengarah ke jalan yang lebih lengang di sudut kota. Kali ini dia tak akan membiarkan kesempatan itu hilang.

Jembatan penghubung dua pulau yang membelah Selat Madura ini mengakomodasi mobil putih itu berpindah dari satu pulau ke pulau lain dalam waktu yang singkat. Ervan belum berhenti hingga malam menjelang dan dia tiba halaman lapas. Seseorang bertengger menantinya di muka jalan.

Secara beriringan keduanya memasuki ruang periksa yang berada di lantai dua.

“Aku sudah mengurus berkas yang diperlukan. Besok pagi dia akan diantar ke Pusat Rehabilitasi.”

“Apa aku bisa menemuinya sekarang?” Ervan bertanya penuh harap.

Pria yang kacamata dan berkumis tebal di depannya menggeleng pasrah. “Kita tidak bisa melepaskan tahanan tanpa izin kepala lapas. Semua prosedurnya sudah jelas. Jika hasil pemeriksaannya benar, dia bisa dipindahkan ke Pusat Rehabilitasi.”

Lirikan Ervan pada berkas di depannya membiaskan keresahan yang terselubung. Dia membaca nama yang tertera tanpa berkomentar lebih lama. Bergegas Ervan merapikan berkas tadi dan memasukkannya dalam sebuah map plastik tebal, memperlakukannya sebagai kertas rapuh yang bisa hancur bahkan saat tertiup angin.

Ada kertas koran yang sudah menguning terselip di dalam map tadi. Pria itu menengok separuh tercengang.

“Ini?”

Ervan mengangguk. Lembaran usang tadi mewartakan kabar yang sudah berlalu belasan tahun silam. Berita baik bagi orang-orang yang hanya membaca dari sepotong surat kabar itu.

“Dari mana kau mendapat berita ini? Kenapa di sini ditulis dia sudah meninggal?”

Ervan tersenyum getir. “Terlihat meyakinkan bukan?”

Pria di hadapan Ervan melihat barisan tulisan di kertas tadi dengan lebih saksama. Sebuah berita menggembirakan bagi sebagian orang mereka kejadian bunuh diri yang dilakukan pembunuh berantai di kota ini. Jika saja tidak ada inisial Adhira yang diterangkan dengan sangat jelas dalam deretan tulisan tadi, mereka mungkin tak percaya bahwa Adhira yang kini masih mendekam di dalam sel penjara itu masih hidup.

Ervan merunduk cukup lama saat membaca ulang koran usang itu. Dia baru sadar isi yang tertera hanyalah rekayasa keluarga Sadana untuk mengalihkan dirinya dari cedera masa lalu itu.

“Tenanglah, aku pastikan dia dibawa ke Pusat Rehabilitasi besok,” ucap pria berkaca mata itu sambil menepuk bahu Ervan.

“Jam berapa aku bisa bertemu dengannya?”

“Kita tidak bisa memastikan. Kami akan menghubungimu lagi bila waktunya sudah tiba.”

“Kau sempat berjumpa dengannya?”

Pria itu mengangguk. “Aku hanya ingin tahu, siapa sebenarnya orang yang begitu ingin kau temui ini?”

“Dia… sahabat baikku.”

***

Rapat Aliansi Lima Pilar yang dahulu secara misterius dilaksanakan oleh para keluarga konglomerat di kota ini sudah lama tak lagi digaungkan. Bukan karena mereka tidak lagi melaksanakan pertemuan tahunan tersebut. Akan tetapi, sudah bukan lagi lima keluarga yang hadir di pertemuan itu. Mereka tidak berminat memberinya nama baru meski ritual itu tetap diadakan secara bergilir di rumah para anggota aliansi.

Ada empat ketua aliansi yang akan menjadi pemimpin rapat: Lodra Refendra; Gerwin Defras; Kuswan Pranadipa; dan Haris Sadana. Kekayaan tak terhingga yang mereka miliki menguasai berbagai bidang di negara ini secara turun-temurun.

Lodra Refendra baru-baru ini diangkat sebagai ketua utama rapat aliansi penting ini. Dia seorang pengusaha terkaya yang memiliki belasan saham besar. Sejak sebelas tahun belakangan, namanya menjadi nomor satu keluarga berada. Sahamnya membidangi berbagai sektor. Rata-rata rumah sakit di kota itu masih berjangkar di bawah perusahaan yang dikelolanya. Meski sebagian sekolah dan universitas ada dalam lingkupan keluarga Sadana, Refendra juga memiliki beberapa badan pelatihan besar di negara ini.

Baru-baru ini Lodra menyatukan seluruh sahamnya dalam naungan Hadaya Group. Sebuah icon besar bersimbol lima roda bergerigi dikenal orang-orang sebagai lambang kekayaan dan kemakmuran yang tak berhenti berputar layaknya kincir air.

“Tuan, rapatnya sudah dimulai.” Seorang pelayan berseragam serba hitam memanggil Lodra yang masih termenung di dalam ruang kerja.

Dia pun melangkah menuju paviliun besar yang ada di tengah-tengah danau. Suasana sekeliling paviliun begitu gemerlap dan tenang malam itu. Lampu-lampu yang berjajar mengitari jalan menuju ke tengah danau, mewarnai pemandangan malam yang damai.

Di dalam aula besar itu sudah ada sekitar 50 orang yang hadir. Mereka duduk sesuai dengan aturan yang tak kasat mata. Semua memakai pakaian paling glamor yang bisa mereka beli di kota itu, terkecuali dua pria yang duduk di tengah aula. Wajah anggun nan bersahaja itu mengamati sekitar ruangan dalam diam. Semerbak bunga lavender menyeruak saat mereka berjalan. Pakaian mereka selalu paling sederhana di antara keluarga yang lain. Bukan karena mereka tidak mampu, mereka hanya memiliki aturan khusus tentang cara berpakaian.

Baju mereka hanya berupa kemeja putih dengan jas yang berwarna biru muda. Senada dengan celananya yang hanya berwarna krem terang dan sepatu slip on berwarna putih. Yang menandakan mereka dari keluarga Sadana hanyalah dari penampakan sederhana yang monoton itu.

“Renal?” sapa Lodra memecah perhatian kerumunan orang-orang.

Renal menoleh dan tersenyum ramah. Di sampingnya ada sosok pria yang lebih muda. Ekspresinya hanya diam tanpa reaksi. Dia mengikuti Renal menuju ke si penyapa tadi.

“Wah, senang sekali kalian bisa hadir. Bagaimana proyekmu di Singapura? Sudah beres?” tanya Lodra berbasa-basi. “Dan Ervan? Katanya klinikmu makin ramai saja.”

“Masih ada sisa sedikit lagi. Mungkin akhir tahun baru selesai,” jawab Renal.

Lodra langsung menjawab, “Haha, baguslah. Hari ini rencananya kita mau bahas tentang ikatan kerja sama Sadana Group dengan Hadaya. Tadinya mau diresmikan sama-sama. Tapi berhubung ada urusan mendesak, aku terpaksa harus tunda dulu.”

“Oh, ya? Urusan apa?”

“Pernikahanku dan Kiara,” jawab Lodra.

Jawaban tadi sempat membuat Ervan memaku pandangannya pada Lodra. Nama calon pengantin yang disebutkan Lodra begitu menarik perhatiannya sekarang. Namun Ervan hanya diam menyimak obrolan Renal dengan Lodra tanpa menyela.

“Oh, jodoh memang tidak akan jauh ke mana. Selamat atas pernikahanmu, Lodra,” ucap Renal.

Lodra seperti mengarahkan Renal menuju ke salah satu meja yang berisi banyak minuman dan makanan. Renal mengutus pelayan memindahkan tumpukan kotak buah persik untuk turut mengisi meja yang ditata begitu apik itu.

“Oh ya, kemarin waktu ke Singapura, kami beli buah ini. Rencananya memang mau dibagikan waktu Rapat Lima… emh.. Rapat Tahunan.”

Renal masih belum berpindah dari menyebut rapat spesial mereka itu dengan nama Rapat Aliansi Lima Pilar. Kenyataannya memang hanya tersisa tiga orang saja.

Ervan melirik ke buah-buahan serba mahal yang menjadi primadona mereka malam ini. Bisa ditebak harganya akan sama dengan harga uang sewa apartemennya selama setahun. Namun Ervan tak peduli dengan keangkuhan para keluarga konglomerat itu. Lagian rapat ini memang sudah menjadi ajang pamer kekayaan. Dia mengambil tempat agak ke sudut ketika kepala keluarga akhirnya saling menyatu dan larut dalam obrolan.

Ervan menggeser layar tabletnya tanpa memperhatikan orang-orang itu lagi. Ketika acara makan dimulai, dia justru melangkah keluar.

“Dokter Ervan?” Lodra seperti tahu apa yang hendak Ervan kerjakan untuk menghindari keramaian. “Kamu tidak ikut makan malam?”

“Ada konsul,” jawab Ervan datar. Dia membawa serta tabletnya dan kembali larut dalam layar monitor tersebut. Lodra melirik tajam tak berdaya mencegat Ervan lebih jauh.

Setidaknya Lodra tahu Ervan memang selalu bersikap demikian dingin pada semua orang. Dia melangkah masuk dan mendekati orang-orang yang ada di dalam aula. Mereka mulai menyantap makan malam yang terdengar lebih riuh itu.

Ervan mendekati kursi besi yang ada di taman bunga anggrek milik keluarga Rafendra itu.

Dia kabur.

Pesan singkat itu terpampang di depan Ervan. Itu pesan tadi siang. Ketika keterlambatannya menyebabkan orang yang dia cari-cari tersebut kembali lenyap. Ervan bahkan tak sempat melihatnya.

Dalam sunyi, dia kembali berbalas pesan.

Dia pasti ke rumah sakit. Cari di rumah sakit terdekat.

Gesekan kursi roda menguik semakin dekat ke arah Ervan. Cukup keras untuk membuat Ervan sadar ada orang lain di tempat penyendiriannya itu.

“Ervan, kamu kenapa di sini?” Seorang perempuan yang sepantaran dengan Ervan duduk di atas kursi roda.

Ervan hendak bangkit dari hadapan perempuan tersebut, sebelum dia mencegatnya lagi. “Kamu masih menunggu dia?”

Ervan menghentikan langkahnya. Mencerna pertanyaan menjurus yang diutarakan perempuan tersebut. Dia adalah Myra Defras. Ayahnya adalah salah satu dari Aliansi Lima Pilar. Namun sudah meninggal tiga belas tahun lalu. Menyisakan seorang anak perempuan yang cacat. Myra terlahir dengan penyakit yang membuatnya tak dapat menggerakkan bagian bawah tubuhnya dan hanya mengandalkan kursi roda itu seumur hidupnya.

“Adhira sudah mati,” tandas Myra. “Kamu hanya berharap pada kesia-siaan.”

Ucapan tersebut tak menggoyahkan pergemingan panjang Ervan. Rembulan yang memantulkan cahaya redup itu merundungi Ervan dalam kesepian dan kehilangan. Dia berlalu meninggalkan gadis di atas kursi roda itu dalam gelap. Kembali melanjutkan konsultasinya dengan pasien virtual yang muncul di layar monitor.

Sebuah pesan singkat secara tiba-tiba mencuat dari kolom percakapannya. Ervan membaca dengan mata terpicing.

Ada yang melihatnya di tepi sungai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status