Langit cerah membangunkan Adhira dari keterlelapan yang singkat itu. Hujan yang mengguyur tubuhnya kemarin berhasil mengganggu mimpi indahnya. Cericit bocah kecil di tepi sungai turut mewarnai kekisruhan pagi. Mereka melompat riang di tengah garis-garis tipis tanah basah berkerikil, tidak peduli cacing tambang yang menyelinap dari punggung kaki yang berlumuran lumpur itu.
Sebuah batu mendarat tepat di atas garis, menimbulkan peperangan sengit antara bocah tadi. Nostalgia lampau akan masa-masa menyenangkan tak berbeban itu menghinggapi panggung khayalan Adhira. Melihat keadaan demikian, Adhira seperti berpacu pada memori lama itu. Dia ingat dengan seorang gadis kecil yang pernah ditolongnya dari para pengamen jalanan dulu. Entah bagaimana nasibnya sekarang? Ketidakbecusannya menjaga anak itu membuatnya tak lagi punya muka untuk menemuinya.
Di balik kekisruhan yang terjadi di hadapannya, perhatian Adhira tak luput dari sosok seorang anak laki-laki yang tengah duduk mengenyam buku yang bertebaran di atas meja batu itu. Adhira sudah memperhatikannya sejak beberapa menit lalu. Sebelum duduk di sana, seorang laki-laki sempat berjumpa dengannya. Dia tak bisa melihat sosok di balik pohon itu dengan jelas, tapi anak kecil itu ditinggal dalam keadaan muram setelah mereka berdebat cukup lama.
Sangking seriusnya dia berkutat dengan soal di lembaran abu-abu itu, anak kecil tadi tak menyadari kehadiran Adhira yang sejak tadi bertengger di belakangnya. Pakaian merah putih yang dikenakan sama kumalnya dengan Adhira. Mulutnya sibuk menggigiti karet gelang yang dipuntir ke pensil yang tinggal tiga senti itu. Jika usianya lebih tua beberapa bulan lagi, mungkin tangan mungil itu tidak akan bisa menggerakkan pensilnya secara menyeluruh.
Dipayungi rimbunan daun angsana, bocah tadi meratapi barisan angka yang menanti untuk digenapkan. Pose layak cendekiawan di zaman aksara itu mengundang kerinduan Adhira akan cerita lama, ketika masalah terberat yang membebani dirinya hanyalah harus mengerjakan PR sejarah.
Adhira mengintip dari balik bahu mungil itu untuk membaca soal yang tertera di bukunya.
“Kalau aku jadi kau, nomor tiga tidak akan kujawab dengan lima.” Suara Adhira memutus rangkaian konsentrasi sang bocah.
Kedua bintik mata yang lebar itu langsung saja tersorot ke arah Adhira. Dia menggeser bukunya menjauhi pria berbaju oranye tak dikenal tersebut. Perjagaan awas yang terekspresi dari wajahnya tak lekang dari ingatan Adhira tentang seseorang. Seseorang yang begitu dingin menghadapi segala jenis gurauan yang sering dilontarkan untuknya.
Tapi Adhira tak berlama-lama menggubris tatapan tadi. Dia lanjut mengomentari jawaban bocah kecil itu tanpa rasa bersalah. Saat sadar anak itu terlihat terusik dengan keberadaan Adhira, dia pun melangkah mundur.
“Bagaimana kamu bisa berpikir jawabannya tiga?” pungkas Adhira lebih keras.
Anak itu tersentak dan segera menutup buku di depannya. Dia bangkit. “Pergi.”
“Hei, aku berniat baik membantumu.”
Anak itu diam sejenak. Mungkin tengah menimbang apakah bisa memercayai ucapan Adhira atau tidak.
“Begini-begini aku pernah ikut olimpiade matematika lho waktu di sekolah dulu,” imbuhnya kembali membanggakan diri.
Guratan halus tercermin dari wajah anak laki-laki itu. Dia seperti ragu dengan pernyataan Adhira barusan. Bagaimana bisa ada pengemis yang memenangkan olimpiade matematika?
“Kamu tak percaya?” Adhira makin ingin membela dirinya. Dia terbatuk-batuk sejenak, lalu lanjut menimpal, “Kasih aku soal paling sulit yang ada di bukumu itu.”
Anak itu menggeleng.
“Odin!” pekik seorang perempuan dari balik pepohonan.
Salah satu tangannya membawa rotan. Dia berjalan tergopoh ke arah anak laki-laki yang bernama Odin itu. Lutut kirinya yang agak bengkok ke kanan berusaha keras menopang tubuh berlemak perempuan itu.
Seketika Odin membeku. Dia menatap Adhira dengan cemas.
“Dasar anak bandel! Sini, kamu! Kerjanya keluyuran saja!” Langkahnya tinggal dua meter dari Odin.
“Siapa dia?” Adhira berbisik halus, walau terdengar keras karena suara seraknya.
“Mama,” jawab Odin.
Adhira seperti memasang tubuhnya di antara anak kecil dan ibunya yang murka itu. Perempuan tadi terlihat amat kesal ada Adhira di tengah-tengah mereka. Dia hendak memukul Odin dengan rotannya, tapi berulang kali lolos. Lagi-lagi rotan itu mengingatkan Adhira pada seseorang.
“Kamu siapa?”
“Aku?”
“Iya, siapa lagi?”
“A… Gauhar,” jawab Adhira berusaha menyusun kata-katanya.
Nama itu secara serampangan dicomot dari buku cetak yang masih terngaga di atas batu.
“Terus sedang apa kamu dengan anak saya?”
“Dia yang membantuku menyelesaikan soal matematika, Ma.” Odin langsung menyela.
Adhira menyengir sambil mengangguk. “Ya, kami sedang belajar. Mbok jangan marah-marah dulu,” timpal Adhira.
Kedua alis perempuan tadi kembali berkerut. Dia terlihat tidak senang dipanggil dengan sebutan seperti tadi. Dan pikiran Adhira tidak pernah sampai ke perkara seperti itu. Ibu tadi mengelilingi Adhira dengan sorotan penuh kecurigaan. Wajah lusuh serta pakaian penjaranya mengindikasikan sebuah kecurigaan bagi siapa pun yang memandangnya.
Adhira menyambar buku Odin dan memperlihatkan jawaban yang penuh dengan coretan itu. Tentu saja sebagian besar jawabannya salah. Hanya ibunya terlihat tak sadar akan hal tadi. “Masih ada beberapa yang salah. Nanti saya koreksi lagi,” timpal Adhira.
“Kamu habis ini langsung pulang. Jangan main-main di sungai lagi,” kecam sang ibu dengan galak. “Mama tak mau lihat ada kotoran di seragam sekolahmu.”
Adhira melirik seram. Dia ingat masa-masa saat dia pernah dimarahi oleh Tante Durga karena bolos sekolah dan malah bermain nintendo di rumah temannya. Kejadian yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya kembali terukir dalam ingatan Adhira.
Odin mengangguk. Dia mengantar ibunya pergi dari bantaran sungai. Dari kejauhan dia bisa melihat anak-anak lain yang tadi bersamanya menertawakan dia dari kejauhan. Odin langsung mendengus sebal. Dia kembali duduk di depan buku tulis yang menjadi bukti belajarnya itu. Hati kecilnya sadar tidak ada cara lain untuk membuat mamanya tidak marah kecuali naik kelas dengan nilai yang baik.
“Jangan sedih, dulu aku juga sering dimarahi oleh tanteku.”
Odin mengerling pada Adhira. “Apa gara-gara tidak mengerjakan PR?”
Adhira membersihkan tenggorokannya yang sangat gatal dari dahak dan darah kering. Kemudian menjawab, “Bisa dibilang begitu.”
“Pasti kau sering dipukul juga ya,” simpul Odin.
Suasana sejenak menjadi sendu. Ada kekecewaan mendalam yang tersirat dari ekspresi Adhira yang murung. Dia mendongak ke langit seolah berusaha membuat air matanya tak mengalir. Namun Adhira segera mengusap wajahnya. Dia menyunggingkan sedikit senyum sebelum akhirnya melanjutkan cerita tersebut, “Dia sudah meninggal bertahun-tahun silam.”
Diam menyusup, jadi Adhira segera berkata, “Baiklah, jangan bahas itu lagi.”
Adhira menengok lagi ke arah buku yang ada di hadapan Odin. Dia mencoret seluruh jawaban salah yang ada di buku tersebut. “Kamu tidak bisa menghitung dengan cara seperti ini. Kamu harus mengerjakan perkalian terlebih dahulu baru penjumlahannya.”
“Mengapa?”
“Karena… begitu aturannya?”
“Apakah kalau aku tak mengikuti aturannya jawabanku salah?”
Adhira meraih alat tulis dan memperlihatkan cara menyelesaikan soal yang sempat salah dikerjakan anak itu.
“Kalau begitu, coba lepas sepatumu!” pinta Adhira.
Anak itu mengikuti dengan ragu.
“Sekarang, pakai sepatu yang kanan ke kaki kirimu, terus pasang talinya ke sepatu yang kanan.”
“Mana bisa?”
“Aku tak mengikuti aturannya. Apakah salah?” ujar Adhira.
Odin mengulum manyun. Dia mengerti analogi yang disampaikan Adhira barusan. Dia kembali lagi melihat deretan angka yang ada di lembaran kertas tadi. Walau terlihat enggan, anak tadi akhirnya mau mengikuti ajaran yang disampaikan Adhira.
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A