Share

Kabur

Seusai melahap habis nasi kuning berkuah gulai yang diberikan sipir perempuan tadi, Adhira diminta untuk memasuki sebuah ruang lain di lapas itu, tempat lain yang juga belum pernah dijamahnya. Bau klorin bercampur desinfektan mengelilingi dirinya. Ia diminta untuk mandi sebelum memasuki ruang perawatan yang berada dalam satu kawasan.

Baru kali ini sejak bertahun-tahun lamanya Adhira tidak mandi dengan air hangat dan busa yang menyejukkan. Luka segar yang terpahat di sekujur tubuhnya sudah tak dia gubris lagi. Dia membiarkan air membasuh segala jenis perih dan sakit yang senantiasa menyengat dirinya. Tak pernah dia merasakan kedamaian hakiki yang berlimpah ruah seperti ini. Bahkan orang-orang ini juga menyediakan pakaian baru yang lebih wangi, menggantikan kaos oblong tipis yang berbau anyir itu.

Kedua matanya kembali ditutup setelah keluar dari tempat tersebut. Dua orang menggiringnya memasuki ruang perawatan. Seluruh luka dioles semacam salep dengan aroma yang menyengat. Luka bekas tusukan di area punggung juga kembali dibalut dengan perban.  Meski dia tahu di balik kulit yang telah terbalut perban itu, beberapa tulangnya sudah remuk. Gigi gerahamnya ada yang patah akibat hantaman sekelompok napi. Darah yang mengalir sudah berhenti. Kadangkala dia menyayangkan hal tersebut. Terlebih saat sedang sangat haus, darah dari mulutnya sering diisap ulang. Namun sekarang dia tak perlu melakukannya. Minuman menyegarkan tadi siang lebih dari cukup merehidrasi tubuhnya yang gersang ini.

“Apakah ini waktunya aku dieksekusi?” tanya Adhira pada salah satu perawat yang mengoles luka di bibirnya.

Tidak ada suara yang menjawabnya. Adhira juga tidak berminat bertanya lagi. Dia tidak akan menerkanya jika saja memang waktu kematiannya sudah dekat. Tapi dia curiga, apakah seperti ini perlakuan yang diberikan untuk narapidana yang akan dieksekusi mati? Dia tahu kesalahannya sangat fatal sehingga hukuman mati bukan hal yang mengerikan lagi. Hanya saja, membuai dirinya dalam kenyamanan sebelum menjemput ajal seperti ini, bukan pula sesuatu yang dia senangi.

Setelah mereka menjelma sosok runyam itu menjadi manusia yang baru, dua orang pria kekar tadi kembali mengaitkan kedua tangannya. Makanan siang besar yang disantapnya tanpa jeda itu mulai memompa sebongkah energi ke setiap atom di tubuhnya, tapi Adhira harus menunggu sedikit lebih lama untuk menjalankan misinya.

“Kalian membawaku ke tempat lain lagi?” Adhira bertanya tanpa mengharapkan jawaban.

Biasanya dia akan segera ditempeleng saat mengutarakan hal seperti itu. Untuk kali ini mereka hanya diam, mengawasi tanpa reaksi. Selain menebak kejutan apa lagi yang hendak mereka persembahkan untuknya, Adhira hanya diam menunggu mobil yang membawanya ini berhenti dan kedua matanya bisa kembali melihat dalam terang.

Terakhir dia ingat dia dibawa memasuki sebuah kendaraan besar. Di dalamnya ada jok besar yang cukup luas untuk merebahkan tubuhnya. Mereka membiarkan Adhira tertidur sepanjang perjalanan. Dia terlalu lelah memikirkan kemungkinan tak menyenangkan apa yang akan terjadi padanya. Hal terburuk adalah organ tubuhnya dijual atau dia dibunuh. Walau Adhira yakin itu tidak mungkin, darahnya terlalu kotor untuk bisa dijadikan pendonor. Tidak ada yang mau menerima setitik saja bagian dari dirinya yang hina-dina ini.

Mobil yang membawanya baru berhenti setelah melaju sekitar dua jam dari waktu pertama kali Adhira masuk. Kemungkinan besar mereka membawanya kembali ke Surabaya. Sudah ada jembatan besar yang menghubungkan kedua pulau tersebut. Adhira diturunkan dan digiring lagi memasuki sebuah gedung.

Kedua matanya dibuka ketika dia telah berada di sebuah ruangan berdinding putih dan berjendela kaca di lantai tiga bangunan bertingkat enam itu. Adhira mengambil tempat duduk dan mulai mengamati sekitarnya bingung. Tangannya sudah tidak lagi diborgol, tapi bekas kemerahan masih menoreh di tempat semula.

Adhira selalu membayangkan dirinya berada dalam ikatan. Keinginan untuk kabur kembali terbesit dalam pikirannya. Dua perawat hilir mudik melakukan pemeriksaan padanya. Setelah menilai keadaan Adhira yang baik-baik saja, mereka pun kembali meninggalkannya. Adhira mengintip ke balik pintu yang ternyata dijaga dengan ketat oleh dua orang pria kekar. Dia melirik ke jendela kaca.

Ada jalan!

Dia bisa melompat dari koridor sana dan berlari melalui halaman belakang.

Walau tidak tahu apa yang akan ditemuinya di balik semak itu, Adhira tak lagi bisa berpikir terlalu jauh. Sekarang dia harus keluar atau kembali terkurung dalam jeruji besi lagi. Adhira menarik selot yang menutupi kaca jendela. Dia berharap keberuntungan kembali memihak padanya. Adhira mengambil ancang-ancang.

Dengan cepat dia melangkahi pembatas jendela. Tubuhnya dilipat sedemikian ramping hingga seluruh anggota geraknya berhasil menyelinap dari rekahan sempit itu. Ketika sudah sampai ke pijakan pendingin ruangan di balik dinding, Adhira melepaskan tangannya dari pegangan jendela. Dia merayap ke pijakan pipa di bagian tepi AC. Masih ada jarak sekitar sepuluh meter dari posisinya ke tanah basah di bawah sana. Terlepas tulang belulangnya yang sudah remuk dikeroyok para napi berandalan saat di lapas, tidak ada pilihan baginya untuk tidak melompat.  

Untung saja ada pohon beringin besar yang menutupi sisi dinding tempatnya kabur. Bayangan pohon yang menjiplak di sudut dinding menyamarkan pelariannya.

“Ada yang kabur!” pekik seorang wanita dari balkon gedung seberang.

Seruan tadi meramaikan segenap penghuni gedung. Tanpa banyak pertimbangan, Adhira pun melompat ke ranting pohon terdekat. Tubuhnya terantuk keras ke batang pohon sebelum akhirnya meluncur jatuh ke tanah berumput. Pada detik yang sama dia segera memacu kedua kakinya untuk berlari sekencang-kencangnya dari tempat itu.

Yang dipikirkannya saat ini adalah keluar dari tempat apa pun yang terlihat mengancam baginya. Gonggongan anjing membahana dari kejauhan. Tiga anjing ras muncul dari balik gedung, merangsek ke arah Adhira yang baru tiba di tepi pagar. Beruntung mereka tak bisa menggapai tubuhnya karena ada pagar besi yang membatasi predator bertaring itu dari pengejaran.

Adhira tak membuang lebih banyak waktu untuk bersyukur karena di depannya masih ada penjaga yang juga sama galaknya dengan hewan berbulu di belakang mereka. Namun dari raut wajah mereka, dua penjaga tersebut masih bingung. Karena mereka belum mengerti permasalahan apa yang tengah terjadi. Adhira tidak ingin mengambil risiko. Para pengejarnya sudah hampir mendekati pintu depan.

Adhira segera memanjat dinding tanaman yang membatasi halaman luar dengan jalan raya. Tidak sulit baginya untuk menarik tanaman rambat tersebut dan memanjat naik. Hanya saja, tubuhnya terlalu letih saat ini. Luka di tangan dan kakinya yang baru diobati beberapa jam lalu kembali terbuka. “Ah!”

Tiga laki-laki sudah mulai menyusulnya naik ke dinding. Mereka seperti tidak pernah kehabisan tenaga mengejarnya. Pecahan kaca yang berada di atas dinding kembali menghalangi dirinya untuk keluar dari wilayah pusat rehabilitasi itu. Goresan sepanjang lima senti terbentuk di paha kanannya saat melangkahi dinding tersebut.

“Sial!” umpatnya tertahan.

Di balik sungai yang mengelilingi bangunan Pusat Rehabilitasi ini ada jalan panjang yang mengarah ke kawasan pasar. Tidak pilihan lain selain menceburkan dirinya ke dalam aliran sungai deras di bawah sana. Adhira menarik napas panjang sebelum akhirnya tubuhnya hanyut bersama buih-buih air sungai kecokelatan di balik dinding.

Desakan arus yang dingin menghajar kulitnya yang compang-camping ini. Secepatnya Adhira mengayunkan kedua tangannya agar kepalanya segera mencapai permukaan air. Dia hanya bisa tetap menggerakkan kaki-kaki yang kian kebas itu menjauhi dasar sungai. Meski terlihat tenang, sungai ini mengalir dengan cukup deras. Bahkan dengan ketidakmampuannya berenang, Adhira tak perlu repot-repot menyeret tubuhnya menuju ke hilir sungai. Tubuhnya seketika terbawa menjauhi bangunan Pusat Rehabilitasi itu.

Dia mendongak ke atas dan mengamati penjaga yang hanya bisa mengintip dari balik tembok. Tidak ada yang berani melompat ke bawah menyusulnya. Sebuah poin kemenangan tipis yang bisa diperoleh Adhira di saat terdesak seperti ini.

Sungai panjang pemisah dua bukit tersebut terlihat tak dalam. Tubuhnya kandas di antara bebatuan pada hilir sungai yang lebih dangkal.

Banyak kancil yang berhasil menyeberangi aliran itu tanpa terlalu banyak hambatan. Darah yang masih bersimbah di wajahnya terbasuh oleh air sungai yang jernih. Berulang kali Adhira terbatuk dengan sangat keras. Darah yang keluar tak kunjung reda dan dia merasakan dadanya lebih sesak dari biasanya. Entah sejak kapan tubuhnya jadi begini lemah.

Apa yang akan dihadapinya sekarang menjadi sebuah tanda tanya besar. Dia bisa mengemis di jalanan seperti yang dulu sering dilakukannya. Atau dia juga bisa mencuri di pasar. Menambah sedikit dosa tidak akan terlalu banyak memengaruhi hidupnya lagi. Saat ini, dia resmi menjadi buronan.

Tidak mungkin lagi kembali ke neraka itu. Mungkin dia akan tidur di alam liar untuk beberapa waktu. Makanan siang tadi dapat dicerna sampai besok pagi. Dia punya waktu untuk mengumpulkan tenaga dan mencari tempat berteduh besok pagi.

Langit juga terlihat mulai redup. Dia merebahkan tubuhnya di bawah langit lembayung yang bertabur bintang. Dengan pelan dia menarik napas. Mengelabui dirinya yang kini tengah terbang di antara awan. Adhira tak berharap menemukan hari esok jika saja kejadian lebih buruk terjadi padanya. Namun dia tahu semua ini tak akan berlangsung lama. Dia harus kembali ke kota dan menyelesaikan persoalan yang belum selesai itu.

Hira?

Suara itu terngiang di telinganya. Adhira bangkit dari lahan berumput dan mendapati kehampaan. Halusinasi semu tadi kembali memburunya.

Dia duduk mengamati sekeliling tepi sungai yang masih lengang. Ada serangga kecil yang berdesing tak jauh darinya. Dia tak memedulikan hal tersebut. Pakaiannya yang baru itu kembali basah oleh air sungai. Adhira terpaksa bergeser ke tempat yang lebih jauh.

Ayam berkokok dari arah yang pemukiman. Dia tak bisa menebak ini sudah jam berapa. Tidurnya terlalu dalam. Namun setelah panggilan halus tersebut, Adhira tak lagi bisa mengatupkan kedua matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status