Share

Bagian Empat

Bela menatap frustasi tumpukan hadiah yang kembali datang tadi sore. Dia tidak mengerti bagaimana cara kerja otak Yoga.

Bela rasa sikapnya sudah sangat jelas ketika mengembalikan hadiah yang Yoga berikan sebelumnya tapi kenapa lelaki itu malah mengiriminya hadiah lagi dan kali ini lebih besar, bentuk dan harganya.

Dengan ujung jarinya, Bela menyentuh tutup kotak itu  untuk mengintipnya dengan enggan. "Aku tidak tahu kalau kau punya phobia terhadap barang malah." ejek Jiah yang meihat kelakuan aneh Bela.

Merasa malu dengan kelakuannya, Bela berdeham dan menetralkan ekspresi wajahnya. 

"Aku tidak phobia kepada barang-barang itu!" belanya sambil menunjuk kotak hadiah itu dengan dagu.

"Orang akan mengataimu gila jika kau phobia pada barang bagus seperti itu." sindir Jiah yang membuat Bela kembali diam.

Oke, dia memang tidak mungkin menang beradu mulut dengan Jiah.

Tidak mau membalas Jiah lagi, Bela memilih membuka kotak hadiah itu. Di dalamnya terdapat sebuah tas berwarna violet dengan model modis yang terlihat manis dan feminin.

Dari tempatnya duduk, Jiah menjulurkan lehernya untuk melihat isi kotak itu lalu mendesah kecil.

"Aku tidak mengerti kenapa kau masih tidak memaafkan siapa pun itu yang membelikanmu barang-barang ini." Menggelengkan kepalanya heran, Jiah menyeruput santai kopinya. 

"Dia bahkan tidak mengatakan maaf kepadaku." ujar Bela membela dirinya. Dia melempar tutup kotak asal untuk menutup kembali kotak hadiahnya.

Bela kembali kesal jika diingatkan oleh kelakuan Yoga. "Kalau dia mengirim barang ini dengan kartu ucapan maaf, aku masih bisa menerimanya tapi dia hanya melempariku barang-barang mahal seperti ini. Memangnya aku mata duitan?"

Entah kenapa Bela perlu meluapkan ini kepada Jiah. Dia sudah menahan kata-kata ini selama beberapa hari dan Bela perlu mengeluarkannya.

"Apalagi ketika aku diami dan dia malah berbalik marah. Memang karena apa aku mendiaminya?! Jika bukan karena ucapan dan sikap kasarnya memang aku akan seperti ini." tambah Bela bersungut-sungut.

Dia pun menjatuhkan badannya ke atas sofa, mengambil bantal sofa dan memeluknya untuk meredam emosinya yang menggebu-gebu.

"Tapi dia mengirimi barang ini tidak sembarangan, kau tahu itu. Dari yang kemarin dia kirim, sudah jelas dia tahu seleramu dan mengirim ini dengan memikirkanmu. Bukankah itu artinya dia tulus ingin berbaikan denganmu?"

Persetan dengan tulus tapi tidak ada tindakan nyata.

"Bukankah itu karena dia pengecut dan tidak mau mengakui kesalahannya? Kau tahu, kan, berharap dengan ini dimaafkan tanpa benar-benar meminta maaf." Bela sudah sering melihat orang seperti itu.

Di awal mereka memang serius tapi untuk kelima dan keenam kalinya, mereka akan mengirim hadiah asal-asalan dengan pikiran kalau maaf akan segera mereka dapatkan dengan mudah. Menghabiskan uang sedikit bukan masalah selama mereka tidak menundukan kepala pada orang lain. 

Jiah tidak mengerti kenapa temannya ini begitu keras kepala.

"Aku tahu apa yang kau khawatirkan tapi Bela, ingat, kau bisa mengubah caramu menerima maaf seseorang. Menerima permintaan maafnya yang ini, bukan berarti kau harus menerima maafnya yang seperti ini lagi jika kau merasa dia tidak serius dan tulus. Pada akhirnya, kau sendiri yang memutuskan mau memaafkan atau tidak, mereka tidak bisa memaksamu." 

Bela memeluk lututnya dan menopang kepalanya pada lutut. Perkataan Jiah benar. Mereka tidak bisa memaksa Bela jika dia tidak ingin memaafkannya.

Tidak ada yang bisa mengatur dirinya untuk harus selalu menerima permintaan maaf dari orang lain dan bukan berarti juga Bela harus selalu memaaf dengan cara yang sama.

"Tapi, aku masih tidak ingin memaafkannya." Ada sesuatu dalam hati Bela yang mengganjal dan merasa tidak enak kalau dia memaafkan Yoga dengan cara seperti ini. 

Jiah mengangkat kedua tangannya. Dia sudah tidak punya nasihat atau saran yang bisa diberikan kepada Bela lagi.

"Pikirkan saja baik-baik perkataanku dan jangan sampai kau menyesalinya." ujar Jiah yang kini meninggalkan Bela sendiri. 

Menatap hadiah dari Yoga, akhirnya Bela beranjak dari sofa dan membawa hadiah-hadiah itu ke kamarnya. Dia bertekat untuk mengembalikan hadiah-hadiah itu besok. 

Menaruh kado itu pada meja, Bela beringsut ke atas kasur dan menyelimuti tubuhnya hingga menyisakan wajahnya saja. Sambil memeluk gulingnya, Bela perlahan-lahan memasuki dunia mimpi. 

Ruangan itu begitu bising, teriakan, tangisan dan pertengkaran itu menjadi satu. Hal seperti ini tidak asing di kantor polisi. Mereka━ para polisi ━sudah terbiasa dengan ini dan tetap bekerja dengan kebisingan ini.

Orang-orang bermasalah itu selalu ada tiap harinya membuat mereka haru bekerja lembur karena laporan-laporan menumpuk untuk mereka buat. Itu yang membuat kesabaran mereka habis, kurangnya istirahat. 

Begitu juga dengan polisi yang duduk di depan Yoga. dengan wajah tertekuk jengkel dia mengetik paka komputernya untuk merekam kejadian.

"Jadi anda datang ke rumah Nyonya ini dan memulai keributan, benar?" tanya polisi itu, nadanya sedikit tinggi, jika tidak suaranya akan tenggelam di dalam ruangan itu. Yoga menggidikan bahunya.

"Tidak. Jika dia keluar dengan nurut, tidak akan ada keributan." 

Dengan dagu terangkat, mata meremehkan dan tangan yang dilipat di depan dada, Yoga terlihat begitu sombong dan sulit diajak berbicara.

Dibandingkan itu, lelaki di sebelahnya terlihat jauh lebih mudah untuk di atasi. Polisi itu melirik ke arah lelaki disebelah Yoga sebelum menghela napas. Kelakuan kecil itu tidak lepas dari mata Yoga. Dia mendengus geli terhadap pikiran polisi di depannya.

"Kenapa anda mendatangi kediamannya?" 

"Aku ingin menanyakan kenapa pelacur memprovokasi ibuku walau tahu ibuku punya penyakit jantung." 

"Ibuku bukan pelacur!" Lelaki disebelah Yoga menggebrak meja lalu menarik kerah Yoga.

"Sudah berapa kali kubilang jangan mengatai ibuku karena dia bukan pelacur!" ucap lelaki itu geram sementara Yoga hanya menatapnya datar lalu menepis kasar tangannya yang mencengkram kerah Yoga.

Dia mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa sentimeter. "Lalu bagaimana kau bisa lahir, anak haram?"

Suara rendah itu memberikan rasa sakit jauh lebih dalam membuat lelaki yang memiliki setengah darah sama dengan Yoga itu melayangkan tinju telak ke wajah Yoga. 

"Hentikan!" Para polisi segera berdiri dan memisahkan keduanya. "Ini kantor polisi! Sekali lagi kalian melakukan ini, kalian berdua kami tahan!" ancam polisi kepada mereka berdua. 

Kembali duduk di kursi masing-masing secara terpaksa, interogasi kembali dimulai.

"Ibu Karin sedang tidak ada dirumah tapi kenapa anda terus berteriak dan melontarkan kata-kata kasar di depan rumahnya?" 

"Siapa yang tahu kalau dia memang tidak ada di rumah? Bisa saja dia bersembunyi di dalam kamarnya, 'kan? Dia melakukan pembunuhan berencana, wajar kalau dia takut." jawab Yoga dengan santai yang kembali memicu kemarahan dari lelaki di sebelahnya.

"Lalu, Pak Rendi keluar dan memberi tahu anda kalau Ibu karin tidak ada tapi anda tidak percaya dan masih melontarkan kata-kata kasar hingga pak Rendi melayangkan tinju, benar?"

Rendi, lelaki yang duduk di sebelah Yoga, tahu kalau saudara sepihaknya itu sengaja menggunakan kata-kata kasar untuk memancing emosinya lagi.

Dia punya penguasaan emosi yang baik tapi ibunya adalah batas kesabarannya. Dia tidak bisa mendengar jika ada orang yang menggunjing ibunya apalagi mengatai ibunya seperti ini.

"Ya." jawab Rendi dengan setengah emosinya dia telan kembali. 

Melihat bagaimana kedua orang di depannya itu, petugas polisi hanya bisa memijat dahinya yang sudah berkerut. Dia merasa ini akan jadi hari yang panjang, padahal ini masih pagi hari.

Dalam keadaan yang tiba-tiba tenang, getaran ponsel pada meja membuat ketiga lelaki dewasa itu melirik pada benda persegi panjang yang sedang berkedip dan memberikan getaran kecil di meja. 

Yoga mengerutkan dahinya tidak suka ketika melihat nama penelpon yang tertera pada layar kaca ponselnya. Sebelum tangannya berhasil mengambil ponselnya, benda itu sudah ada di tangan polisi yang kini mengangkat telepon itu. 

"Selamat pagi, apa anda kenalan Pak Yoga?"

"Iya, benar. Apa Yoga ada, saya ingin bicara dengannya." 

"Ah, begini, saya Adam, Polisi. Sekarang ini pak Yoga sedang di kantor polisi dan melakukan pemeriksaan. Apa anda bisa datang ke sini sebagai walinya?" 

"Oh, pemeriksaan? Apa dia terlibat suatu kasus? Baiklah aku akan segera ke sana." suara di seberang telepon itu terdengar panik, ragu tapi dengan cepat juga memutuskan sesuatu yang membuat percakapan itu tidak panjang dan segera selesai.

Mematikan hubugan itu, polisi mengembalikan ponselnya. Dengan tatapan tidak bersahabat, Yoga menerima ponselnya dan  kali ini, ponsel itu Yoga simpan ke dalam sakunya, mencegah kejadian tadi untuk terulang kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status