Share

Bagian Lima

Dengan rambut yang diikat asal dan tubuh berbalut kaos serta celana jeans, Bela datang ke kantor polisi. Napasnya tersengal dan pipinya memerah karena kelelahan berlari secepat yang dia bisa untuk datang ke sana.

Setelahnya semua prosedur berjalan begitu cepat dan Bela tidak begitu mengerti hingga akhirnya dia bisa membawa Yoga keluar dari kantor polisi. Kini keduanya berdiri di depan kantor polisi dan Bela masih mengatur napasnya. 

Selama di dalam karena ini pertama kalinya bagi Bela, dia gugup dan jantungnya berdegup dengan kencang. Sekarang setelah semuanya berlalu, Bela bisa bernapas dengan lega dan tubuhnya lebih santai.

"Sebenarnya kenapa kau berkelahi dengan orang itu?" tanya Bela sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena berlari tadi. 

Polisi tidak menjelaskan ini kepada Bela secara detail. Dia hanya tahu Yoga berkelahi dan memiliki beberapa luka di wajahnya yang membuat Bela merasakan nyerinya juga.

"Karena dia menyebalkan." jawab Yoga asal yang membuat Bela kesal.

"Memangnya kau anak SD?" 

Yoga menggidikan bahunya acuh tak acuh dan enggan menjawab. Melihat itu, Bela merasa tidak akan bisa memaksa lelaki itu untuk berbicara.

"Karena kau tidak membawa mobil, aku akan pesan mobil untuk mengantar kita ke rumahmu."

Akhirnya dia memutuskan untuk menyudahi interogasinya dan memilih mengantar Yoga pulang. "Ah, apa kita ke rumah sakit dulu?" 

Melihat bagaimana wajah Yoga, Bela rasa mereka perlu ke rumah sakit. Sebenarnya dia tidak tahu apakah luka seperti itu perlu diobati di rumah sakit atau bisa diobati di rumah.

"Tidak perlu, ke rumah saja. Aku perlu mandi dan pergi lagi ke suatu tempat." 

Mendengar itu Bela segera memesan mobil untuk mengantar mereka ke rumah Yoga.

Sesampainya mereka di sana, Bela tidak turun karena pikirnya dia tidak perlu berkunjung ke rumah Yoga dan hanya mengantar saja lagi pula mereka sedang dalam masa bertengkar tapi Yoga tidak berpikir seperti itu. "Kau tidak turun?"

Bela menggeleng. Sebelum dia sempat memberikan alasan, Yoga sudah mendahuluinya. "Kau masih marah?"

Yoga menundukan kepalanya dan memberikan pandangan memelas kepada Bela yang membuatnya merasa canggung dan memalingkan wajahnya dari Yoga.

"Aku minta maaf." ujar Yoga yang membuat Bela terkejut dan menatap Yoga. 

Matanya penuh tanya tak percaya dengan ucapan Yoga. Melihat bagaimana reaksi Bela, Yoga perlahan menggenggam tangan Bela.

"Aku tidak seharusnya bicara seperti itu. Maaf karena sudah berlaku kasar kepadamu." 

"Kau tahu ucapanmu itu menyakitkan, 'kan?" 

"Hm, aku tahu. Maaf." 

"Dan ini bukan pertama kalinya kau begini?"

"Iya, aku tahu karena itu aku minta maaf, hm?" 

Yoga mengusap lembut pungung tangan Bela. Melihat bagaimana lelaki yang biasanya penuh keangkuhan itu mengakui kesalahannya dan meminta maaf, Bela menganggukan kepalanya.

"Oke. Aku terima permintaan maafmu." jawab Bela. "Tapi jangan diulangi!" tambahnya dengan cepat dan Yoga mengangguk setuju. 

"Jadi, mau masuk?" tanyanya sambil menunjuk rumahnya. Bela menatap kediaman Yoga dengan ragu.

"Bukannya kau mau pergi lagi?" 

"Ya, tapi tidak harus secepat itu juga lagian, apa kau tidak mau membantuku mengobati ini?" Memiringkan kepalanya, Yoga menunjukan luka lebam di wajahnya.

Pada akhirnya Bela setuju dan masuk ke dalam rumah Yoga. 

Rumahnya berbentuk seperti rumah panggung dengan bagian bawah di khususkan untuk parkiran jadi mereka harus menaiki tangga untuk masuk ke dalam rumah Yoga.

"Rumahmu...., kenapa ada pintu di setiap lantainya?" Bela tidak bisa untuk mempertanyakan ini begitu melihat bagaimana bentuk rumah Yoga. 

"Sebenarnya ini kontrakan walau hanya dua lantai. Ibuku memakai rumah ini untuk mendapatkan uang sebagai sampingan sampai lima tahun lalu dan tempat ini kosong. Setelah aku menjadi pengacara, aku memilih tinggal disini dan berniat untuk menyewakan lantai atas tapi karena aku sibuk, aku belum mengurusnya jadi hanya aku yang tinggal disini." jelas Yoga yang memimpin keduanya masuk ke dalam rumah Yoga di lantai satu. 

"Selamat datang, silakan masuk." ucap Yoga dengan nada yang dibuat mirip pelayan supermarket yang sedang menerima pelanggannya.

Begitu masuk Bela disambut oleh warna putih hitam dan abu-abu. Rumah ini minimalis dan memberi kesan maskulin seperti pemiliknya. Barang-barang yang ada pun menunjukan bagaimana karakter Yoga. 

"Diluar dugaan rumahmu rapi." cibir Bela yang sudah mengganti sepatunya dengan sandal lantai dan sekarang melihat-lihat isi rumah Yoga.

"Apa yang di atas juga seperti ini bentuknya?" Dari yang dia lihat hanya ada dua pintu di rumah ini. Salah satunya pasti kamar mandi dan yang satunya kamar tidur. 

"Tidak. Untuk sekarang, di atas hanya ruangan kosong tanpa sekat selain kamar mandi. Sekat ruangan bisa di buat sesuai kebutuhan yang akan menyewa rumah ini." Penjelasan Yoga itu tidak disangka Bela.

"Uang sewanya pasti mahal." celetuk Bela tanpa sadar.

Yoga tertawa dan menggeleng. "Harganya sama dengan harga kontrakan pada umumnya di daerah ini." 

Bela mengangguk walau tidak sepenuhnya percaya. "Aku tidak punya minuman lain selain bir, jadi aku hanya bisa memberimu air putih." Yoga yang membuka kulkasnya kembali menutup pintu kulkas dan beralih mengambil gelas.

"Dimana kotak P3K-nya?" tanya Bela yang melihat sekeliling.

"Di meja bawah televisi." Dengan segera Bela membuka laci meja dan menemukan kotak P3K yang dia cari. 

Yoga pun sudah duduk di sofa dan menaruh gelas minum untuknya. Bela duduk di samping Yoga dan mengeluarkan obat merah, kapas dan juga perban.

"Oh, dimana aku bisa mengambil....kenapa kau membuka bajumu?!" Bela menggeser posisinya menjauh dari Yoga.

Senyum jahil muncul di wajah Yoga. Perlahan dia mengurung Bela dalam kungkungannya. 

Yoga juga mempersempit jarak di antara mereka. "Kenapa, Kau bilang mau mengobatiku?" tanya Yoga dengan suara yang sengaja dia buat rendah.

Bela meneguk ludah dan bergerak mundur perlahan tapi tidak lama dia sampai di ujung sofa.

"Ja..Ber....Stop godain aku!" ujar Bela dengan pipi memerah dan menatap Yoga garang yang membuat lelaki itu tertawa. 

"Hahahaha, aku mau minta tolong obati ini." Yoga membalikan tubuhnya dan menunjukan luka di punggungnya.

"Sepertinya aku membentur sesuatu saat berkelahi. Aku tidak ingat tapi ini yang paling sakit." jelas Yoga sambil menengok ke belakang.

"Apa kau berpikiran mesum tadi?" cibir Yoga dengan nada meledek kepada Bela. 

Bela menarik napas cepat dan singkat, dia siap untuk menyemburkan segala celotehan amarah kepada Yoga sebelum ingat lelaki itu terluka dan mengelus dadanya.

"Sabar, sabar, Bela. Jangan ladenin orang gila." ujarnya dengan sengaja sambil menekankan kata gila dengan melirik ke arah Yoga. 

Yoga terkekeh geli melihat bagaimana reaksi Bela. "Air panas, dimana aku bisa mengambilnya sama mangkuk." Bela berdiri dan menghentakan kakinya, kesal dengan tawa Yoga.

"Mangkuk di dapur, air panas di kamar mandi." ujar Yoga sambil menunjuk tempat yang dia maksud. Tidak butuh waktu lama untuk Bela mengambil dua hal itu dan segera mengobati luka Yoga dengan hati-hati.

"Ini akan sakit kalau kau mandi, mengobatinya juga akan sulit, apa yang kau lakukan dengan ini?" 

"Kau bisa bantu aku untuk mandi dan mengobatinya lagi." 

"Sudah kubilang berhenti menggodaku!" 

"Hahahaha...," 

Kesal karena terus diledek oleh Yoga dengan sengaja Bela menekan kapas sedikit keras. "Kau pikir itu akan membuatku kesakitan?"

Yoga menggelengkan kepalanya. Memang terasa perih tapi tidak sampai membuatnya akan meringis kesakitan. Dia bahkan tidak merasakan sakit hingga tadi dengan luka ini dipunggungnya, apalagi hanya karena ditekan sedikit. 

Bela mencibirkan bibirnya tidak suka rencana balas dendamnya gagal. "Kau jelek!" ucap Bela untuk meluapkan kekesalannya dan segera menyelesaikan pengobatannya pada luka Yoga.

"Selesai." ucapnya begitu luka terakhir di tubuh Yoga dia perban.

"Terima kasih." balas Yoga sambil mengenakan pakaiannya lagi. 

"Apa kau akan ke kantor dengan wajah penuh luka seperti ini?" 

"Ya. Aku tidak mungkin bolos kerja hanya karena ini kan?" 

"Sungguh, sebenarnya kau berkelahi segala?" 

Rasa herannya terhadap Yoga tidak bisa Bela tutupi sampai dia bertanya untuk kedua kalinya. "Dia anak haram ayahku." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status