Share

Bagian Enam

"M-maaf." Ingin rasanya Bela memukul mulutnya sendiri. Bela pernah dengar mengenai ayah Yoga yang berselingkuh. 

Waktu itu mereka membahas nama tokoh dalam cerita mereka dan Yoga menolak nama tokoh yang Bela sarankan dengan alasan nama itu sama dengan nama selingkuhan ayahnya. 

Saat itu Bela tidak terlalu memikirkan ucapan Yoga dan langsung mencari nama lain walau dia merasa nama itu sangat cocok dengan tokoh mereka.  

"Bukan masalah. Ini sudah jadi rahasia umum Semua temanku tahu hal ini." jawab Yoga sambil menggidikan bahunya. 

Yoga terlihat tidak peduli dan kembali memakai kemejanya lagi. Bela melirik ke arah Yoga dari sudut matanya sebelum merapikan kotak P3K dan barang-barang yang dia gunakan untuk mengobati Yoga. 

Suasana tiba-tiba menjadi hening dan ini membuat Bela merasa tidak nyaman. Dia mengambil kotak P3K dan mengembalikannya pada laci di bawah TV.  

"Tadi...kau bilang akan pergi, mungkin kau harus bersiap-siap." Tidak ingin berada dalam situasi yang canggung seperti ini terlalu lama, Bela berusaha mencari topik pembicaraan. 

"Apa kau sudah sarapan?" Seolah tidak mendengar pertanyaan Bela sebelumnya, YOga menanyakan hal lain.  

Melirik sekilas ke arah Yoga, kepala Bela menggeleng. "Belum. Aku buru-buru ke kantor polisi tadi. Kau sendiri bagaimana?" 

"Belum juga. Mau makan bersama? Aku akan pesan sesuatu. Kau mau apa?" Yoga mengeluarkan ponselnya siap memesan makanan.

"Apa kau tidak ada bahan makanan di rumah? Aku bisa membuat sesuatu untuk kita sarapan."

Seulas senyum tipis muncul di wajah Yoga tapi itu cepat menghilang seolah tidak pernah ada. "Kau bisa cek kulkas. Ibuku sering membawakan lauk matang untuk disimpan." jawab Yoga cepat.

Melihat pada kulkas yang berada di dapur, Bela berjalan menuju dapur dan membuka kulkas berwarna silver itu. 

Di dalamnya terdapat begitu banyak kotak makanan yang terususn rapi. Isinya ada makanan yang sudah dimasak dan juga sayuran yang masih perlu diolah. 

"Woah, ibumu pasti sangat sayang kepadamu." decak kagum Bela melihat isi kulkas Yoga. 

"Hm, aku sangat disayang." kata Yoga tanpa malu. Bela menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Yoga dan hanya mencibir kepadanya. 

"Apa kau mau makan masakan ini atau yang lain?" tanya Bela yang sibuk mengecek isi kulkas Yoga. 

"Aku ingin sesuatu yang mudah dimasak dan cepat tapi mengenyangkan. Sebentar lagi makan siang."

Yoga melihat jam tangannya sebelum memasukan kedua tangannya ke dalam saku dan menyandarkan bahu kirinya pada dinding dapur. 

"Umm....," Bela memiringkan kepala, berpikir mengenai menu makanan apa yang harus dia buat. 

"Bagaimana kalau pasta?" Jemari lentik itu menunjuk toples bening dari kaca yang berisikan pasta di rak atas. 

"Tidak masalah." jawab Yoga sambil mengangkat bahunya.  

Bela menggulung lengan bajunya hingga siku. "Oke." jawabnya menyanggupi. 

Dengan lihai dan terampil Bela segera mencuci bahan-bahan makanan yang akan dia gunakan dan mulai meracik bahan-bahannya. 

Yoga, masih berdiri di tempatnya, dia begitu fokus memandang Bela yang sedang memasak. Dia tidak pernah tahu kalau melihat orang memasak bisa semenarik itu. 

Dia suka melihat bagaimana dahi Bela akan berkerut ketika dia akan memotong bagian yang hanya tersisa sedikit. 

Dia juga suka bagaimana Bela akan menyeka rambutnya untuk tetap di belakang selama dia memasak dan terlihat kesal ketika ada anak rambut yang malah jatuh di wajahnya. 

Sudut bibir Yiga terangkat sedikit sebelum dia berpaling ke kamarnya dan kembali lagi ke dapur dengan sebuah ikat rambut berwarna hitam. 

"Biar aku bantu." ujarnya sambil mengambil rambut Bela yang tergerai. 

Terkejut, Bela hampir menjatuhkan pisau yang dia pegang. "Kau bisa menguncirkan rambut?" tanya Bela tidak percaya. 

"Hebat bukan?" Yoga tidak menyembunyikan kesombongannya. Jemari panjang Yoga menyisir rambut Bela dan merapikannya menjadi tatu kumpulan sebelum dia ikat. 

Bela merasa sensasi geli pada lehernya. Sudah lama sekali sejak ada seseorang yang memegang rambutnya dan ini sesuatu yang tidak biasa untuk Bela. 

"Selesai." 

Yoga mundur satu langkah dan Bela bisa merasakan punggungnya menjadi dingin karena tidak ada lagi kehangatan tubuh manusia di belakangnya. 

Tangan Bela terangkat untuk menyentuh kunciran Yoga namun tangannya segera ditahan oleh Yoga. "Jangan dipegang. Tanganmu kotor." 

Benar juga. Bagaimana bisa Bela lupa kalau dia sedang memasak saat ini. "Terima kasih." ujar Bela kembali pada masakannya. 

Membuat pasta bukan sesuatu yang sulit untuk Bela apalagi memang itu masakan yang tidak terlalu banyak bahan dan mudah dibuat.  

Hanya butuh waktu lima belas menit untuk Bela menyelesaikan masakannya. "Rio, bisa tolong ambil piring?" 

Tidak ada jawaban dari Yoga ini membuat Bela menengok kearah Yoga yang tidak bergeming sama sekali. "Yoga!"

"Hm? Kau memanggilku apa tadi?"

"Aku memintamu mengambil piring."

"Bukan itu, kau tadi panggil aku apa?"

Dahi bela mnegerut dan bibirnya sedikit mengerucut melihat tingkah Yoga. "Rio." jawab Bela dengan ragu-ragu.

Hati Yoga terasa senang ketika mendengar Bela memanggilnya dengan nama Rio. Nama itu jauh lebih terdengar dekat dan intim di telinganya dibanding ketika Bela memanggilnya Yoga. 

"Kenapa kau tidak memanggilku dengan Rio saja?" tanya Yoga sambil menyodorkan piring yang diminta oleh Bela. 

"Tidak." tolak Bela yang membuat Yoga kaget. Satu alisnya terangkat, heran dengan penolakan itu. 

"Memang kenapa dengan memanggilku Rio?"

"Nanti aku kebiasaan dana keceplosan memanggilmu Rio saat dikantor." 

"Memangnya ada masalah dengan itu?" 

Masalah, tentu saja. Setidaknya itu yang dipikirkan Bela walau dia tidak bisa memberikan jawaban dimana masalahnya. "Kalau orang kantor tahu kita sudah saling kenal sebelum ini tidak masalah?" 

Yoga mengangkat bahunya acuh. Dia memperhatikan Bela yang sepertinya tidak ingin ada orang yang tahu kalau mereka saling kenal. Yoga sudah merasakan ini semenjak hari kedua Bela bekerja. 

"Kenapa kau tidak suka dengan itu?" Mengambil alih piring yang Bela bawa, Yoga berjalan duluan menuju meja makan. 

"Entah?" jawab Bela dengan dua piring kecil dan juga garpu di tangannya. Dia menarik kursi dan duduk."Aku hanya merasa lebih baik tidak ada yang tahu dan merasa akan merepotkan kalau ada yang tahu?" 

Menurutnya, memberi tahu orang lain mengenai hubungan mereka itu aneh dan terlalu ikut campur. Rekan kerjanya memang akan dia temui setiap hari tapi Bela tidak suka membagi kehidupan pribadinya dengan mereka walau sering juga dia membahas hal-hal kecil seperti bagaimana gas di kosannya bocor. 

Tapi untuk lebih dari itu, Bela menarik garis keras yang tidak bisa dilewati. Yoga sadar betul akan hal ini.

Selama dua tahun ini, kehidupan muram Yoga dipenuhi oleh celotehan Bela mengenai hari-harinya sampai hal terkecil. 

Seperti saat Bela mengeluh perutnya terasa sakit melilit karena datang bulan dan tidak ingin bergerak sama sekali. 

Perempuan yang tingginya tidak melebihi pundak Yoga itu dengan pintar membohongi semua orang seolah dia terbuka karena mengetahui hari-harinya tapi tidak. 

Bela memberikan batas tak kasat mata yang selalu dia jaga seolah memang tidak boleh dilihat oleh siapapun. 

"Bagaimana kalau kita biarkan saja tapi jika ada yang bertanya, ya beri tahu saja?" saran Bela sambil menyuap sendok pertama spagetinya. 

Yoga hanya bergumam kecil sebagai jawaban sebelum ikut memakan spageti. Untuk hal ini dia tidak punya banyak pendapat.

Hanya saja, dia kurang setuju dan ada sesuatu yang menggajal di hatinya dan itu mengganggu pikirannya. 

Irisha

Halo, salam kenal!! Aku Irisha. Terima kasih sudah mau membaca buku ini. Jangan lupa untuk masukan ke pustaka kalian agar tidak tertinggal update chapter terbarunya ya!! Happy reading~

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status