Nick dalam posisi memeluknya, spontan kantuk Nina hilang dan duduk secara tiba-tiba. Wajahnya terasa memanas, adegan tadi membuat dadanya berdebar-debar. Nick rupanya ikut terkejut dengan gerakan Nina yang tiba-tiba.
"Kenape?" tanyanya kaget, sambil mengucek-ngucek mata.
"Oh, ehm, gak. Itu, azan." Nina pun lekas bangun dari posisinya dan lari menuju kamar mandi.
Nina menghela napas lega. Meski sejak zaman sekolah dulu temannya lebih banyak kaum lelaki, tapi tentu saja saat ini situasinya beda. Ia belum siap menerima sentuhan dari Nick. Ia juga tidak tahu kapan akan siap, membayangkannya saja membuat Nina bergidik ngeri.
***
Nina belum juga menuntaskan cutinya meski ia sendiri sebenarnya sudah bosan di rumah terus.
"Mama mau ke mana?" tanyanya ketika melihat Mama berdandan rapi.
"Mau ke rumah Tante Marina. Ada
Nina dan Luka terdiam, meraba perih yang sekian lama terendap di dasar palung tak berujung. Menyesakkan dada, mungkin itulah gambaran perasaan kedua insan itu saat ini.
Sudah sekitar lima menit dua orang berlainan jenis itu terjebak dalam perih yang tak berujung. Keheningan seakan menjadi atmosfer yang cukup menyejukkan, membuat keduanya enggan beranjak."Maafkan aku, Nin. Seharusnya aku lupakan saja semua dan melanjutkan hidup. Tapi sepertinya luka yang bercampur rasa cinta dan dendam membuatku sulit menghapus semua. Apalagi ketika kita kembali bertemu, meski saat itu aku tidak tahu kalau semua telah terlambat." Luka terlihat menunduk menahan perih yang Nina tidak tahu seberapa banyak.Nina merasa lukanya tidak ada apa-apanya sekarang. Apa yang dialami Luka sepertinya lebih perih. Nina memberanikan diri menyentuh pelan pundak Luka. Berharap bisa memberi kekuatan pada pria yang pernah merajai hatinya itu. Namun, yang terjadi kemudian di luar dugaannya.Luka menoleh sesaat, lalu meraih Nina ke dalam pelukannya. Nina cukup terkejut, ia tahu hal ini salah. Tetapi pelukan itu terlalu hangat d
Popcorn ukuran besar dan dua cangkir es kopi menemani mereka menonton. Nick dengan santai dan cuek, merebahkan tubuhnya di samping Nina. Nina mendadak gugup. Santai, Nin. Santai aja, kek gak pernah deket ama cowok aja lu. Biasa dulu templok kayak sarden di kosan Bobo santai aja lu. Mana cowok semua lagi, kenapa lu jadi cupu gini, batinnya. Nina pun menghela napas, lalu ikut berbaring di samping Nick. Ia berusaha secuek mungkin, dan menganggap Nick selevel dengan teman-teman kuliahnya dulu. Namun, tentu saja semua berubah tergantung respon dan keadaan. Entah kenapa, Nick mendekatkan lengannya, dan menaruh kepala Nina di atasnya. Malam itu Nick seakan berubah, dengan santai ia merangkul bahu Nina sambil menikmati popcorn. Usaha Nina untuk tampil cuek tadi gagal total. Sekarang ia benar-benar tidak bisa mengontrol bunyi jantungnya yang seperti hendak melompat keluar. Apalagi ketika aroma maskulin
Nina terkejut, tetapi tubuhnya seakan terpaku di sana. Sentuhan itu lebih kuat dari sengatan listrik yang pernah menyentrumnya waktu praktik di laboratorium elektrik dulu. Bibir Nick yang sedingin es justru meleburkan rasa beku di hatinya. Nina sempat memejamkan mata sesaat. Aroma feromon menguar seiring suasana, cahaya dan waktu yang tepat. Kedua insan ini cukup terhanyut dalam aroma memabukkan sebelum ingatannya kembali ketika nada dering ponselnya berbunyi. Lekas Nina melepaskan diri. Peristiwa barusan membuat kakinya lemah, hampir saja ia luruh ke lantai kalau saja tidak ada dinding di bagian belakangnya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponsel di tas tangannya. Panggilan dari Mama. Nina berupaya mengatur napas sebelum menggeser layar ponselnya. Nick sudah meninggalkannya dan lebih dulu masuk. Pria itu juga gugup, beberapa kali ia menarik napas demi mengisi tangki oksigen di paru-parunya. Nina berhasil menguasai kegugupannya.
"Ha?" tanya Nina dengan strategi memasang tampang bodoh. "Luka, hm, something like that? Not really sure, saye cume dengar awak tu sebut hal tu waktu tido. Mase tu saye nak salin baju," jelas Nick. "Ehm, masak sih? Salah dengar kali. Mungkin maksud gue takut luka kali. Ya, kali aja gue mimpi ngiris bawang." Meski gugup, Nina berhasil mencari alasan bagus untuk menutupi kegelisahannya. Nina lega, setidaknya Nick tahu nama itu bukan dari riwayat panggilan di ponselnya atau melihat langsung. Jadi Nina masih bisa mengalihkan kecurigaan ke hal lain. Dan sepertinya usaha Nina berhasil, Nick manggut-manggut tanda paham. Nina menghela napas lega. "Awak nak breakfast ape? Tak de apepun kat sini," tanya Nick sambil membuka laci-laci di dapurnya. "Nah, itu ada mie instan. Lo gak suka?" Nina mendapati penampakan mie instan saat Nick membuka laci di atas kepalanya.
Nina merasakan jantungnya berdebar. Tetapi jantung Nick dua kali terasa lebih cepat ketika tangan Nina menyentuh bagian dada Nick, tempat beradanya benda yang merupakan tanda kehidupan itu. Wajah Nick semakin dekat dengan wajahnya. Entah siapa yang memulai, kini jarak itu terpangkas habis. Entah sejak kapan pula suhu air yang memancar dari shower itu berubah dingin. Nina merasakan bibirnya mulai menggigil. Namun, setelah bibir Nick menempel, kehangatan milik pria itu seakan mengalir di seluruh aliran darahnya. Kehangatan yang menciptakan gejolak aneh di perutnya. Jiwanya ingin berontak, tetapi tubuhnya merespon berbeda. Kini ia semakin larut dalam ciuman yang terasa semakin intim itu. Keadaan makin tak terkendali sampai air berhenti mengucur. Mesin otomatis itu tiba-tiba mati. Nina baru sadar, ia sudah terlalu jauh. Apa ini saatnya? batinnya. Sejujurnya ia belum siap m
Suasana jam makan siang membuat jalanan ibu kota kembali macet. Panas matahari tak kalah terik, membakar setiap yang berjalan tanpa perisai. Nick menatap enggan rumah makan padang yang cukup terkenal di dekat kantor mereka. Beberapa orang terlihat mengantre hingga ke pintu depan. Nick sudah membayangkan betapa sesak dan panasnya suasana di dalam. "Tak ade tempat yang lebih sejuk and tak crowded ke?" tanyanya pada Nina. Nina yang duduk di sampingnya langsung mengingat salah satu tempat yang pernah didatanginya. Sejujurnya bahkan tak pernah lekang dari ingatannya. Tempat itu cukup sejuk, makanannya juga lumayan enak, dan lokasinya pun sebenarnya tidak terlalu jauh dari kantor mereka. Namun, Nina ragu, ia enggan bertemu Luka di sana. Hm, entar ketemu gak ya? Ah, keknya gak mungkin deh. Sebanyak tempat di kota ini, masak sih dia cuma ke sana? Bodo' ah, yang penting ngadem.... "A
Nina tak berani menatap Nick. Ia tahu Nick meliriknya beberapa kali. Entah kenapa Nina merasa tatapan Nick kali ini tidak bersahabat. Aura dingin nan menyeramkan mengacaukan atmosfer. Perasaan gelisah ternyata terus menyelimuti Nina. Bahkan saat pulang kantor Nick menyuruhnya untuk pulang duluan. Nina tak berani bertanya. Ia lekas meninggalkan gedung dan memesan ojek online. Di rumah ia bertemu Bia. Kakaknya itu sedang menyuapi anaknya di taman belakang. Nina mendekat, berharap bisa curhat. "Ngapain lo monyong gitu? Gak salah lo gue panggil lele. Mirip banget dah, kurang kumisnya aja, hahaha," gelak Bia. "Ish, paan sih. Empati dikit kek, tanyain kenapa cemberut adikku sayang, gitu kek," rajuk Nina. "Hilih, najis. Ck, yaudah, laki lo mana? Kok lu pulang sendiri? Gara-gara itu lo cemberut? Berantem ya?" tanya Bia. "Ntu dia." N
Nina masih akan marah ketika merasakan tarikan tangan Nick yang memangkas jarak di antara mereka. Lalu saat bibir mereka menyatu, ia sebenarnya masih ingin mengulang pidatonya yang tanpa sensor itu. Namun, ciuman itu begitu lembut dan memabukkan. Nina dapat mencecap rasa mint yang manis dari mulut pria itu. Ketika Nina ingin menarik diri, Nick malah memperdalam ciumannya. Ia menarik wanita itu ke dalam pelukannya, Nina tak berkutik. Tubuhnya seakan melemah dan terbuai. Ia bahkan tak sadar, kapan Nick berhasil membopongnya hingga ke kamar. Dengan lembut Nick membelai rambutnya-yang entah kapan tanpa penutup dan terurai. Ia masih tak bisa mengerti kenapa tak ada perlawanan saat Nick menyentuhnya kemudian membawa mereka pada percintaan yang sesungguhnya. Ciuman menjadi hal yang candu, setiap sentuhan menjadi racun yang memabukkan. Nina enggan menolak, malah tubuhnya dengan primitif meminta dan mendamba. Nick menciptakan alunan nada baru untuk Nina, seperti