Share

4. Lamaran

Setelahnya, Nina tidur dan terbangun beberapa kali. Nina termasuk jarang sakit, apalagi sampai dirawat seperti ini. Wajar saja ia jadi risih saat pertama tidur di rumah sakit. Nick bilang ia menderita geger otak ringan. Namun, untuk memastikan tidak ada kerusakan serius untuk sementara ia harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Karena Nick yang menjaga malam ini, Nina memilih tetap memejamkan mata meski tidak sedang tertidur. Ia terlalu sungkan jika harus berbicara atau minta tolong pada pria itu.

Om Sandy benar, pria itu benar-benar gila kerja. Tiap Nina terbangun, pasti Nick sedang berada di depan laptopnya. Ia berhenti hanya ketika akan salat, lalu kembali menghadap layar.

"Perasaan kerjaan kantor gue gak sebanyak itu deh. Eh, apa bagian gue aja yg kurang banyak, ya? Auah. Kebayang kan kalo lo jadi istrinya, istri pertamanya kerjaan, Nin. Gak ada harapan bahagia lo emang," gumam Nina saat Nick ke toilet.

Saat Nick keluar, Nina juga kembali pura-pura memejamkan mata. Ternyata pria–yang Nina kira hanya mikirin kerja itu–lanjut salat malam. Bagian ini cukup membuat hati Nina sedikit tersentuh, sebab ia sangat jarang melakukan ibadah spesial itu. Saat sakit begini pun, ia bahkan tak mengerjakan salat. Setelah menimbang rasa bersalahnya, ia pun bangkit dari tidurnya, lalu menenteng infusnya sendiri menuju toilet.

"Eh, biar saye tolong," sambut Nick.

"Gak usah, gue bisa sendiri. Eh, lo bisa keluar bentar, gak? Gue mo ganti baju," pintanya. Sebenarnya ia mau mengerjakan salat isya yang terlambat, tapi terlalu malu jika ada Nick didekatnya.

"Nak saye panggil nurse, ke?" tawar Nick.

"Gak usah, gue bisa sendiri." Nina pun segera berlalu.

***

Mama dan Bia datang keesokan paginya, lalu Nick pun izin pulang. Nina sempat menguping, sore ini kedua orang tua Nick akan datang. Bahkan, pertemuan yang sudah terjadwal akhirnya dialihkan ke rumah sakit, sepertinya Nick merasa sangat bersalah atas kecelakaan yang menimpa Nina.

"Dia sedih banget tau, Nin. Duh, Mama ampe terharu liat dia begitu. Ya kan Ma?" cerita Bia.

"Terharu liat anak orang, tapi anak sendiri ditinggalin," gerutu Nina masih kesal.

"Idih, masih ngambek dia, asma mama kambuh, Sayang. Karena buru-buru ke sini, inhaler Mama ketinggalan," jelas Mama sambil mencolek pipi Nina.

"Halah, Lele. Sakit dikit aja hebohnya sekelurahan, lo. Gue kira geger otak beneran," potong Bia sambil menjitak kepala Nina.

"Adaw, kejam lo emang, Mujaer. Adenya sakit juga, simpati dikit kek. Emang geger otak gue!"

"Ish, Bia. Adeknya sakit itu. Seumur-umur baru sekali ini dia pingsan, makanya mama panik," bela Mama.

"Tauk nih, kakak durhaka emang," balas Nina.

"Iye deh, maap. Cup... Cup.. Cup, kasihan sekali adikku sayang." Bia membelai kepala Nina.

"Halah, basi. Dah, ah. Lu bawa pesenan gue, gak?" tanya Nina sambil melirik apa yang dibawa saudari satu-satunya itu.

"Dih, sakit-sakit selera lo tetep aja ye. Nih, gue ampe gedor-gedor tokonya buat beliin lo bolu pisang. Gue bilang adek gue sekarat, makanya dia mau jual meski tokonya belum buka."

"Tuh kan, Ma. Sadis dia emang," rajuk Nina.

Mama refleks mencubit lengan Bia, "Tau nih, tega bener ngatain adeknya sekarat."

Bia yang terpojok memilih cengengesan biar aman dari amukan Mama.

Menjelang sore, Bia sibuk menjadi EO dadakan buat acara pertemuan keluarga Nina dan Nick. Dari memilihkan baju, dan dandan. Semua ia persiapkan meski lengan Nina masih memakai infus.

"Duh, napa pake dandan segala, sih. Orang sakit dandan malah aneh, Sis," keluh Nina ketika Bia membubuhkan Fondation ke pipinya.

"Dih, ni bocah. Namanya juga ketemu camer, ya poles dikit lah biar gak keliatan kulit gersang lu itu. Ya ampun, besok sebelum nikah lu musti perawatan full body ke klinik gue, ya. Malu gue Nin, masak pemilik klinik kecantikan, plus ipar seorang dokter kulit ternama, adeknya dekil begini, aib keluarga lu emang."

"Gretong kan ye?" tawar Nina.

"Enak aja, dua kali lipatlah. Kan calon laki lu orkay." Bia lanjut melukis alis Nina dengan pensil alis.

"Gak jadi kalo gitu. Mending gue ke klinik yang terkenal aja sekalian."

"Ish, emang dasar si Lele. Gua dandanin kayak lele juga ni ntar," ancam Bia.

"Gak apa, biar ilfeel camer gue, trus mereka langsung ngeloyor balik ke KL," sambut Nina sambil tertawa bak tokoh antagonis di sinetron.

"Ih, dasar. Eh, nikah ntu enak tau Nin. Rasain deh, pasti lo nyesel. Nyesel kenapa gak dari dulu, hahaha."

"Dih, mesum ni orang."

"Elo yang mesum, orang gue bilang enak karena ada temen. Hayo, lo mikir apa?" goda Bia.

Wajah Nina memanas. Bukan karena membayangkan apa yang dicurigai Bia. Hanya tak terbayang saja jika ia menyandang status baru menjadi seorang istri. Jantungnya tiba-tiba saja berdegup lebih cepat dari biasanya, penasaran bercampur cemas membayangkan bagaimana reaksi calon mertuanya nanti.

Nina sadar, Bia ada benarnya. Ia memang jarang sekali terpapar kosmetik dan produk perawatan wanita. Skin care miliknya hanya sebatas sabun cuci muka dan pelembab. Itu pun baru mulai ia pakai sejak berteman dengan para rekan wanitanya di kantor. Selebihnya, ia seperti Nina yang sejak dulunya memang tomboy dan cuek. Ia khawatir, calon mertuanya nanti akan menilai negatif dirinya. Meski tak cinta, menghindari penilaian negatif tentu saja keinginan setiap wanita.

Sebuah ketukan kembali membuat Nina dan semua keluarga inti yang ikut hadir jadi deg-degan. Seorang wanita paruh baya; berwajah teduh, langsung menghampiri Nina. Nina cukup kaget ketika wanita tersebut dengan pandangan berkaca-kaca langsung memeluknya.

"So sorry, sebab jadi macam ni ye, Nak. Yaa Allah, " ujarnya haru.

"Eh, ehem, iya gak apa-apa. Bu," balas Nina grogi.

"Panggil Mommy je pun tak pe, MasyaAllah lawenye die." Ibu Nick membelai pipi Nina lembut.

Nina jadi ikut terharu, sepertinya make up tipis Bia cukup berhasil. Buktinya ibunya Nick bilang kalau dia cantik. Nina kemudian berkenalan dengan ayahnya Nick yang dipanggil Nick dengan sebutan Daddy. Pria bertubuh tinggi itu sangat mirip dengan putranya, hanya saja dengan rambut yang mulai memutih.

Selanjutnya pertemuan keluarga yang pindah lokasi itu berlangsung cukup hangat. Rupanya keluarga Nina pun telah mempersiapkan jamuan sederhana untuk memanjakan tamu mereka. Nina cukup senang melihat keluarga mereka yang seperti telah kenal lama. Semua terlihat tanpa kendala, meski di dalam hati Nina tentu saja belum tercipta rasa untuk calon suaminya itu.

"Nin! Woy, lele bangun!"

"Eh, iye Mommy...."

"Mommy ... Mommy ... Ngigo lo?" Bia ketawa melihat adiknya yang gelagapan.

"Eh, udah kelar acaranya? Gue ketiduran ya?" tanyanya polos.

"Ih, parah lo emang. Mana ngorok lagi, ck... Ck... Ck..."

"Ha? Yang bener? Duh, mati deh gue," gumamnya. "Ah, tapi biar deh. Mereka jadi ilfeel, trus batal jadiin gue menantunya, kan? Hahaha." Nina berusaha menutupi rasa paniknya.

"Yee ... ngimpi. Jangan lupa, lo masih ada alibi sakit. Dan mereka tentu aja masih ngerasa bersalah karena Nick terlibat. Eh, sini gue bilang ya. Keluar dari sini langsung kawin lo, hahaha," balas Bia tertawa bahagia mengerjai adiknya.

"Ha? Serius? Emang udah deal gitu? Ngelamarnya gitu aja? Emang gue keluar rumah sakit kapan?"

"Besok, hahaha. Mampus!" Bia tertawa penuh kemenangan.

"Ha? Besok? Duh, kepala gue makin sakit kayaknya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status