Share

3. Kencan Dadakan

Parkiran sudah tampak sepi di jam ini. Langit mendung menggiring awan kelabu membuat beberapa orang bergegas mencari perlindungan, agar serbuan hujan tak membasahi badan. Tetesan pertama mulai turun sebagai peringatan akan rombongan air yang akan menyerbu belakangan. Angin pun turut mendramatisir keadaan.

Nina tak sempat menolak ketika tangan dingin Nick menarik jemarinya meninggalkan bangunan berlantai dua puluh tujuh itu. Setetes air dari langit sempat hinggap di tangan Nick yang tetap tegas menggenggam tangannya, membawa Nina menuju tempat parkir di mana Nick memarkir mobil HRV hitam miliknya. Nina bahkan tak mampu menghindar ketika Nick membukakan pintu di samping kemudi untuknya. Tanpa perlawanan berarti, ia masuk dan duduk. Kepalanya terlalu sibuk menafsirkan semua kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya itu.

"So, kemane biasenye orang kat sini pegi dating?" tanya Nick yang sudah duduk di belakang kemudi.

"Ha?" Nina yang masih belum fokus, malah tambah bingung ditanyai hal yang memang belum pernah dilakukannya itu.

"Ok, forget it. Just do it, right?"

Nina tak dapat mengartikan ekspresi Nick. Sekilas pria di sampingnya itu memang kelihatan sedang marah. Namun, melihat gerakan Nick yang salah tingkah, ia seakan tak dapat menutupi kegugupannya.

Awan tak mampu menahan volume air lebih lama lagi. Hujan mengguyur kota metropolitan itu dengan deras. Nick tetap menyalakan mobilnya lalu mobil berjalan perlahan.

"Em ... Nick," panggil Nina kemudian.

"Hm," jawab Nick tanpa menoleh. Hawa dingin di luar sepertinya telah menyerbu masuk ke dalam. Angin dari AC mobil semakin membuat suasana ikut beku dan kaku.

"Em, boleh makan dulu, gak? Gue laper."

Meski merasa tak enak hati, Nina tak bisa menahan lebih lama bunyi perutnya. Ia bahkan sudah siap siaga kalau Nick makin murka dan menurunkannya di tepi jalan. Ia rela, asal bertemu pengganjal perutnya. Satu hal yang sulit Nina abaikan adalah rasa laparnya.

Alih-alih marah, Nick malah tertawa dan menoleh ke arahnya. Anehnya, situasi beku tadi seakan mendadak mencair. Udara dingin yang berkeliaran di antara mereka seakan menguap.

"Oke," ujarnya lembut. Lalu kembali menjalankan kemudi.

"Fiuh," gumam Nina lega.

***

Suasana restauran dengan menu utama pizza itu untungnya tidak terlalu ramai. Setelah memesan, mereka kembali merasa canggung. Memang beberapa kali mereka berada satu meja saat makan, terutama saat rapat atau office gathering. Namun, baru kali ini hanya mereka berdua duduk di satu meja.

"Em, sorry, saye tak tahu tempat makan lain kat sini," ujar Nick.

Nina makin merasa canggung, belum pernah Nick bicara agak lunak padanya. Biasanya dengan nada datar dan dingin ketika membicarakan masalah kerjaan.

"It's oke. Gue mah, apa aja doyan. Apa lagi kalo laper." Nina berusaha sesantai dan seasik biasanya. Namun, cukup sulit mengajak orang se-cool Nick berseloroh. Buktinya, ia hanya senyum sesaat, lalu kembali sibuk dengan ponsel pinternya.

"Yaelah, belum jadi bininya aja gua udah dicuekin. Nasib lo Nin," gumamnya.

"What? Eh, sorry ade trouble siket di *Jabo satu. Awak nak cakap ape?" tanya Nick, mengira kalau Nina bicara padanya.

Nina cuma menggeleng sambil memaksakan senyum, yang penting baginya sekarang adalah lekas makan, lalu pulang. Baginya, kencan ini sudah gagal sejak awal. Mereka seperti dua orang asing yang tak sengaja duduk di satu meja.

Doa Nina terkabul, seorang pelayan wanita kemudian datang membawakan pesanan mereka. Satu pan pizza ukuran reguler berikut minumannya terhidang di meja. Nina tak menunggu siapa yang akan mulai pertama, perutnya terlalu lapar untuk sopan santun saat ini. Ia pun langsung menyambar potongan pizza daging sapi itu dan langsung melahapnya. Nick pun sepertinya tak terlalu perduli. Ia pun mengambil satu potong dan memindahkannya ke piring. Mereka pun larut dalam keheningannya masing-masing.

"Oke, jom saye antar pulang," ujar Nick setelah saling memenangkan perdebatan siapa yang membayar makanan.

"Eh, gak usah. Gue pesen ojol aja. Lagian udah deket juga kok," kilahnya.

"Tak payah, saye pun nak sampaikan hal tadi ngan Mama Papa awak tu." Tanpa sempat Nina memberikan alasan lain, Nick langsung memimpin jalan menuju mobilnya.

Hujan memang telah usai, menyisakan jejak basah di jalan dan rerumputan. Nina berusaha mengejar Nick, membayangkan respon orang tuanya yang mengetahui mereka berkencan–meski makan malam ini belum bisa dikatakan kencan–membuatnya bergidik ngeri.

"Nick! Tunggu ...." Sekali lagi alam tak berpihak pada Nina.

Siapa juga yang membuat jalan untuk pengunjung difabel ini penuh pasir sehingga jika tersiram air hujan permukaannya jadi licin. Sepatu kets Nina slip, ia meluncur tak terkendali. Jangan membayangkan adegan slow motion ala-ala drama ketika sang pria dengan sigap menangkap tubuh sang wanita ke pelukannya. Kenyataannya, kaki Nina menabrak kaki Nick dari belakang, Nick kehilangan keseimbangan, dan sukses mendarat ke tubuh Nina. Dan itu kali pertama seumur hidup Nina merasakan yang namanya pingsan.

***

Bau menyengat akhirnya membuat Nina sadar. Sepertinya kepalanya terbentur cukup keras sehingga ia kehilangan kesadaran. Tirai putih dan bau karbol yang khas, Nina langsung bisa menebak ia sekarang berada di mana.

"Nin, are you okay?" Nick ternyata berada di sampingnya.

Nick kelihatan panik, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Nina untuk memastikan wanita itu masih bernapas. Sikapnya itu justru membuat Nina canggung, belum pernah ada pria yang berada di posisi sedekat itu dengannya. Ia bahkan bisa menghirup aroma parfum maskulin pria itu. Untunglah Nick segera menjauh dan lekas mencari dokter.

"Duh, nasib lo, Nin. Belum nikah udah kdrt," gumamnya lagi sambil meringis menahan sakit.

Tak lama beberapa orang datang, seorang dokter dan kedua orang tuanya. Dengan sigap sang dokter memeriksa Nina kembali.

"Sebaiknya memang kita lakukan ct-scan," jelas sang dokter.

"Nina, kamu gak apa-apa, Nak? Kok sampe pingsan begini, sih?" Mama mulai menyalurkan kepanikannya.

"Sorry, Ma. Saye yang salah sebab jatuh timpe Nina," jelas Nick cepat. Nina sempat melotot menyadari Nick memanggil mamanya dengan sebutan Mama.

"Nimpa Nina, ini gimana sih? Kok jadi ambigu?" balas Mama.

"Ih, mama, gitu aja gak paham. Jatuh, Ma, kepleset." Meski masing pusing, Nina mencoba menjelaskan. Tidak ingin orang tuanya malah mikir aneh-aneh akibat bahasa Nick yang beda.

"Oh, Mama kira ketimpa gimana." Mama Nina malah senyum-senyum simpul dan saling berpandangan dengan papanya Nina.

"Duh, travelling aja nih pikiran ortu gue," gumam Nina sambil memegang kepalanya yang tambah sakit.

Setelah dipindahkan ke brankar, Nina kemudian dibawa ke ruang ct-scan. Setelahnya entah kenapa Nina merasa sangat mengantuk. Ia bahkan tidak sadar bagaimana kejadian selanjutnya. Ia terbangun ketika jam di dinding menunjukkan angka satu. Sebelumnya ia mengira setelah pemeriksaan, ia akan diperbolehkan pulang. Namun, ternyata dugaannya salah. Ia sekarang berada di ruang perawatan, tangannya pun dipasangi cairan infus.

"Duh, kok sampai dirawat sih gue," gumamnya.

"Ma ...," panggilnya.

"Ye, Are you oke, Nin?" Ternyata yang datang malah Nick.

"Lah, kok elo sih. Mama gue mana?" tanyanya kesal.

"Go home, awak nak ape? Biar saye tolong ambikkan," tawar Nick.

"Yaelah, nyokap gue. Benar berarti si Bia bilang, gua cuma anak angkat. Masak lagi sakit begini ditinggalin ama orang lain," keluh Nina asal, tak perduli jika Nick mendengarnya. Saat ini ia rasanya mau menangis sangking kesalnya.

"Sorry, tadi Mama kelihatan tak sihat. Asma die kambuh, so, biar lah saye yang jage awak. Accident ni pun sebab saye kan, jadi tak pe lah kalau saye temankan?" Suara Nick terdengar sendu. Nina melirik, pria itu terlihat merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Nina.

"Iye, terserah, sih. Masalahnya gue mo pipis ini, masak gue minta temenin ama lo!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status