"Nicholas Adams Stewart, kek gak asing nama belakangnya. Di mana gue pernah baca, ya?" gumam Bia saat membaca formulir pengajuan nikah Nina. Semua berkas itu sudah selesai, hanya tinggal sidang mereka di kedutaan Malaysia esok hari.
Nina memang terima bersih dalam urusan ini. Semua diurus oleh Nick dan keluarganya. Nina seakan tanpa beban, setelah keluar dari rumah sakit ia beraktivitas seperti biasanya.
"Auah," balas Nina cuek. Ia sedang mencari sesuatu di dalam lemari.
"Titus," cetus si kecil Hana. Keponakan kecilnya itu menyela sang Bunda saat sedang bermain puzzle di kamar Nina.
"Ho, iye, si tikus, pinter anak Bunda, nama tikus di film itu ya, Hana, hahaha," ejek Bia.
"Stuart itu woy!" sela Nina tanpa menoleh.
"Eh, salah. Oh, iya, kan yang main Twilight itu, ya, Nin. Wah, Tante Nina bakal semarga ama artis Hollywood loh Han."
Hana yang tidak paham masih asik dengan mainannya. Ia terlihat mulai mengantuk.
"Bodo', kenal aja kagak paling. Aduh, ribet banget sih urusannya. Ini passport gue mana lagi," keluhnya.
"Halah, bukan lo juga yang ngurus. Enak bener lo, Lele, terima bersih doang. Udah gitu, masih aja ngeluh. Lagian dokumen penting biasanya kan Mama yang simpen," balas Bia.
"Oh, iya bener." Nina pun lekas mencari ibunya di ruang tengah.
"Ma, dokumen Nina kan semuanya Mama yang simpen, kok tadi Papa nanya passport ke Nina?" Nina menghampiri Mama yang sedang berbincang dengan tamunya.
"Nah, ini dia. Sini Nin, ini Tante Karina, inget gak? Dia punya butik gaun pengantin loh. Baju kamu udah Mama pilihin nih modelnya, tinggal diukur aja lagi," jelas Mama mengabaikan keluhan Nina tadi.
Nina jadi teringat saat Nick mengajaknya ke butik baju pengantin beberapa hari yang lalu. Sebenarnya bukan ia tak ada niat mengurus semua hal yang menyangkut pernikahan ini, hanya saja ia memang tak mengerti tentang memilih gaun. Selama ini Mama yang mengurus fashionnya, bahkan sampai urusan dalamannya juga masih Mama yang melengkapi. Namun, ia sadar, saat itu wajah Nick terlihat sangat kecewa.
Nina kemudian kembali berlari ke kamar, ia merasa harus menjelaskan hal ini pada Nick. Sejauh ini, ia memang bersikap acuh pada rencana pernikahan ini.
[I'm sorry about last time. Bukan gue gak mau mikirin prepare nikahan. Cuma emang gue gak ngerti aja milih baju pengantin. Btw, semua Mama gue yang urusin. Sekali lagi, sorry.] Nina mengirim pesan singkat ke wa Nick.
"Setidaknya gue udah minta maaf," gumamnya, lalu kembali turun ke tempat Mama.
Saat Tante Karina tengah mengukur badannya, sebuah bunyi pesan masuk membuat Nina kembali dengan ponsel pintarnya.
[It's ok. Oh ye, awak tu nak mahar ape?]
Bagai kena sengatan listrik, pertanyaan itu langsung membuat jantung Nina hampir melompat ke luar. Tak pernah terbayangkan pertanyaan ini akan sampai padanya. Ia tak pernah membayangkan tentang pernikahan sebelumnya. Nina kemudian mendekati Mama.
"Ma, mahar itu gimana, sih?" bisiknya.
"Ih, apaan sih bisik-bisik, gak enak kali depan Tante Kirana. Nanya mahar aja pake malu-malu." Mama dan Tante Kirana kompak tertawa.
"Emang kalian belum bicarain mahar?" tanya Tante Kirana ikut nimbrung.
"Tau nih, si Nina ini kayak bocah yang dipaksa kawin, Jeunk. Heran gue, soal mahar aja nanya mamahnya. Ya, kalian rundingin lah maunya apa," balas Mama.
"Mahar itu yang diberikan secara ikhlas oleh pengantin pria kepada istrinya, Nin. Akan lebih baik lagi kalau hal itu diinginkan oleh sang istri. Tapi ingat, mahar gak boleh juga memberatkan si calon suami," jelas Tante Kirana.
"Noh, dijelasin langsung tuh ama penasehat pernikahan," sambung Mama.
Jantung Nina masih tak karuan tiap istilah istri dan suami dibahas. Ia masih belum siap rasanya dengan istilah baru itu. Apalagi pernikahan ini terbilang dadakan. Urusan menikah dua negara yang kata orang ribet saja, semua terasa begitu lancar dan cepat bagi Nina dan Nick. Seakan semesta merestui ini semua.
Nina meninggalkan Mama dan Tante Kirana. Ia kembali ke kamar, Bia sedang menidurkan Hana di tempat tidurnya.
"Bia, menurut lo, sebaiknya gue minta mahar apa? Lo kemarin maharnya apa sih? Lupa gue," tanyanya.
"Ya, terserah lo. Gue waktu nikah ama Mas Raka lagi susah, Mas Raka masih sibuk residen, utang kita juga banyak. Jadi gue gak muluk-muluk, gue minta aja seperangkat alat salat. Nah, lo kan kondisinya beda, lo stabil, calon lo established, ya terserah lo mau minta apaan. Kayaknya kalo lo minta emas sekarung juga bakal dikasih ama si Nick, hahaha,"goda Bia.
"Ish, paan sih. Duh, gue bingung nih mau minta apa."
"Yaelah Lele, kalo gue bakal minta berlian. Yang penting mah ada, wajib itu. Asal jangan lo minta yang gak guna aje, jangan bilang kalo lo mau minta iphone terbaru?"
"Duh, Mujaer. Negatif mulu pikirannya ama gue. Ah, tau ah, gue bingung. Terserah Nick aja deh ngasih gue apaan."
[Terserah aja, gue ikut.]
Tanpa pikir panjang Nina membalas pesan Nick, lalu melempar kembali ponselnya ke sofa.
"Eh, btw Nin, lo pernah nanya kagak kenapa si Nick betah banget di Indonesia? Ya, bukan nape-nape ni, ye. Kalau dipikir-pikir di negaranya pasti lebih enak kan dari di sini. Biasa ni ye kan, yang betah pasti karena alasan lain, jatuh cinta misalnya. Atau die emang beneran cinta ama lu kali ya?" tanya Bia penasaran.
Sejujurnya pertanyaan Bia juga menjadi pertanyaan di dalam pikiran Nina. Namun, ia memang tak pernah bicara dari hati ke hati dengan Nick. Pertanyaan Bia malah memicu rasa penasaran Nina.
***
Sejak malam, Nina jadi sulit memejamkan mata. Ia malah sibuk melakukan investigasi seluruh laman sosial media milik Nick. Tanpa menjadi follower Nick, ia dengan sukses berhasil menembus akun milik calon suaminya itu.
"Hahaha, belum tau lo kan kalo gue punya bakat jadi hacker," ujarnya saat berhasil membuka F******k Nick.
Akun itu sepertinya sudah lama tidak kunjungi pemiliknya. Namun, beberapa foto lama Nick masih tersimpan rapi di sana.
"Kok fotonya ama cowok semua, ya? Apa gak pernah punya temen cewek tu orang?" Kecurigaan Nina makin terasah.
Beberapa foto terlihat Nick sedang bersama seorang pria bule. Dari lokasi foto yang diambil, terlihat kalau mereka sedang di Bali. Kecurigaan Nina makin menjadi ketika sebuah foto terlihat kedua pria itu sedang berada di sebuah ruang tertutup, dan keduanya tidak mengenakan pakaian.
"Astagfirullah, mata gue tercemar. Yaa Allah, kagak salah ini? Oh No, jangan-jangan, gue cuma jadi alibi buat menutupi orientasi dia yang sebenarnya. Oh No!"
Apa yang Nina lihat tadi malam membuatnya tak fokus seharian. Beberapa kali ia mengawasi Nick secara diam-diam, meyakinkan kalau yang dilihatnya kemarin tidaklah benar."Hey! Ngapain sih lo, Nin. Celingak-celinguk, hayo, ngintipin Nick, ya? Lo naksir, ya?" tanya Sisca–teman sekantornya.Orang di kantor memang belum tahu mengenai rencana pernikahan Nick dan Nina. Mereka sepakat akan memberi pengumuman setelah undangan selesai dicetak."Eh, Sis. Menurut lo, si Nick itu normal, gak?" tanya Nina saat mereka minum kopi di cafetaria samping kantor. Nick saat itu baru saja lewat."Nggak!" jawab Sisca asal."Nah ... Nah, bener kan kecurigaan gue. Lo pernah liat dia jalan ama cowok juga, ya?" tanya Sisca."Ya pernah lah, sama Pak Sandy, sama Dio, Bagas, semua temen kantor kita kan emang dominan cowok." Sisca menjawab cuek sambil memaikan ponselnya."Ih, bukan
"Bohong! Masa sih sodara? Beda gitu tampang kalian," balas Nina tak mau kalah telak."Seriously, sebenanye Daddy saye sebelum berkahwin ngan Mom, pernah menikah di Bali. Lepas tu die orang divorce. Justin, abang saye tu stay ngan Mak die di Bali. Kenape die blond, sebab Mak die from USA. Kite orang jumpe pun mase tu je, sebelumnye tak pernah." Nick dengan tenang menjelaskan. Ia justru merasa lucu karena tuduhan yang Nina beberkan berdasarkan foto itu."Oooh." Seluruh yang hadir mendengar penjelasan Nick dengan khidmad."Kalau tak pecaye, ni saye vcall jap." Nick kemudian membuat panggilan video dengan Justin–abangnya.Di sisi lain, Nina ingin siap-siap mau kabur, tapi dengan sigap Om Sandy menangkapnya. Nina pun terpaksa duduk di ujung sofa sambil berharap tubuhnya benar-benar tenggelam."Hay, bro. Are you busy?" tanya Nick ketika panggilannya dija
Sejak hari itu, jarak Nina dan Nick makin terasa jauh. Setiap berpapasan dengan Nick, Nina memilih menghindar. Hal tersebut cukup kontras terlihat. Gosip mengenai Nick perlahan memang mulai padam, seiring sebuah undangan pernikahan mendarat di meja masing-masing karyawan.Nina sama sekali tidak diberi tahu perihal ini sebelumnya. Untunglah ia menemukannya satu di meja security sebelum masuk kantor. Kebiasaannya nongkrong bersama bapak-bapak keamanan ternyata cukup berguna hari ini."Ha? Udah disebar hari ini? Mampus gue. Bakal diserbu gue hari ini, mending gua kagak masuk aja dah." Nina beringsut meninggalkan area perkantoran."Eh, Nin, lo mau ke mana?" tanya Sisca yang berpapasan dengannya di gerbang depan."Eh, itu, anu ... Hp gue ketinggalan. Mau balik dulu, ye. Oke, bye!" Nina buru-buru kabur sebelum Sisca menyadari kebohongannya.Dugaan Nina benar, belum sampai separuh jalan menuju ru
Pagi-pagi Bia sudah sibuk menarik paksa Nina untuk melakukan persiapan pranikah yang hanya tinggal menghitung hari. Nina beruntung, Om Sandy memberikan kelonggaran pekerjaan padanya. Jadi Nina bisa fokus mempersiapkan dirinya menjelang pernikahan. "Ogah! Duh, kenapa sih pake perawatan segala. Orang nikah formalitas juga, demi hubungan bilateral dua negara," tolak Nina saat Bia memaksanya ikut. Ia lebih memilih berhela-hela di kasur sambil bermain game di ponsel pintarnya. "Set dah, lo kira lo putri mahkota yang nikah karena menyelamatkan negara? Udahlah cepet! Jangan bikin malu lo, ya, Lele. Masak penganten muka gosong kayak pantat panci, kuku kayak manusia purba abis garukin tanah, parah lu emang. Itu lagi rambut, kapan terakhir lo keramas? Huwek, sumpah, ye, lo bener-bener bau ikan lele di empang tau gak?" komentar Bia kejam. "Tau, yang mulutnya mangap tiap lo boker, ya kan?" balas Nina cuek.
Pria di hadapan Nina memang tak seperti saat pertama berjumpa, enam tahun yang lalu. Nina masih ingat ketika itu, mereka bertemu saat selebrasi mapala ke Gunung Gede. Nina menyukai penampilan Luka yang santai, berambut gondrong, dan suka berpetualang. Memori pertemuan mereka pertama kali pun masih terekam jelas di pikirannya, ia memang sulit melupakan semua itu. Pria itu pernah menyelamatkan hidupnya. "Eh, lo rombongan mana?" tanya seorang pria pada seorang gadis yang tersasar di gunung ini karena asik mengambil foto. Udara dingin di puncak gunung membuat tubuhnya mulai membeku. Beberapa kali ia sudah mencoba menyusuri jalan yang ia yakini sebagai jalan yang sama ketika rombongannya mendaki tadi. Namun, entah kenapa ia selalu kembali ke tempat yang sama. Tenaganya mulai habis, kelelahan dan ketakutan membuat energinya mulai menipis. Langit senja tiba, keindahan matahari menjelang terbenam tak lagi mampu ia nikmati. Jarak pandang sa
Subuh belum lagi tiba, tapi kesibukan sudah mulai terdengar di rumah Nina. Meski acara tidak dilangsungkan di rumah, tapi semua persiapan dimulai dari tempat ini. Sebuah taman di komplek rumah Nina akan menjadi lokasi sekaligus latar belakang pengucapan janji suci dan resepsi. Nina mau tak mau harus rela wajahnya didandani full cover meski sebelumnya wajah polosnya itu hampir tak pernah tersentuh kosmetik. Nina sudah berpesan sejak awal kalau make-upnya haruslah minimalis. Ia tak ingin terlihat a memakai topeng, meski topeng itu sendiri melekat di wajahnya, ya, topeng kebahagiaan semu. Ia harus mengatur senyum, meski dalam hatinya kini kembali terluka.Pertemuannya dengan Luka masih membekas di hatinya, menyisakan gelisah yang berkesinambungan. Apalagi karena ponselnya rusak setelah itu. Nick memang sudah membelikan Nina yang baru karena merasa ikut bersalah menarik Nina. Namun, bukan itu yang Nina sesali. "Duh, tahan dikit dong, Mbak
Mau tak mau Nina dan Nick harus mengulang adegan tadi. Nick menyentuh bahu Nina pelan, lalu mengecup kening istrinya itu dengan lembut. Desir panas mengalir cepat ke jantung Nina, menyisakan perasaan aneh yang memutar perutnya. Mereka menyelesaikan adegan dengan pose pelukan yang kaku. Untunglah setelahnya dilanjut foto keluarga. Kehebohan keluarga akhirnya mampu mencairkan kegugupan pasangan baru itu. *** Nina sudah berusaha agar tidak lekas masuk kamar. Ia menyibukkan diri dengan bermain bersama Hana–keponakannya. Nick sepertinya masih asik ngobrol bersama orang tua Nina dan keluarganya. Hana kemudian terlihat mengantuk dan akhirnya tertidur di pangkuan Nina. Bia pun segera menggendong anaknya menuju kamar. Nina mengekor. "Mau ngapain lu ikutin gue, Lele. Sono ke kamar lu, siap-siap kek," usir Bia. "Siap-siap apa?" tanya Nina polos. "Halah, Lele, sok lugu lu. Ciye... Ciye, ada yang
"Kamu ini, malah nyuruh suaminya bawa beginian," omel Mama. "Yaelah, Ma. Masak gitu aja gak boleh. Papa aku aja gak masalah nyuci piring," bantah Nina. "Ih, beda, Nin. Kamu masih baru, jangan langsung keliatan gragasnya gitu lah. Apalagi masih di rumah mama, nanti kalau udah rumah sendiri baru deh kesepakatan kalian berdua." Kata-kata Mama membuat Nina kaget "Rumah sendiri? Mama mo ngusir Nina? Gak mau, Nina mau tinggal sama Mama Papa." mata Nina berkaca-kaca menatap Mama. "Duh, ni anak, paling bisa aja bikin mamanya mewek. Ya, siapa juga yang gak mau Nin. Tapi mama tahu banget rasanya, kalau udah menikah itu baik di rumah orang tua atau mertua, tetap aja asing rasanya. Lebih nyaman di rumah sendiri lah, meskipun cuma kontrakan kecil." Mama menggenggam tangan bungsunya itu. "Tapi, Ma..." "Mama tahu, kamu sama Nick masih belum ada rasa. Tapi seiring waktu, pasti benih