Share

5. Mrs Stewart Wannabe

"Nicholas Adams Stewart, kek gak asing nama belakangnya. Di mana gue pernah baca, ya?" gumam Bia saat membaca formulir pengajuan nikah Nina. Semua berkas itu sudah selesai, hanya tinggal sidang mereka di kedutaan Malaysia esok hari.

Nina memang terima bersih dalam urusan ini. Semua diurus oleh Nick dan keluarganya. Nina seakan tanpa beban, setelah keluar dari rumah sakit ia beraktivitas seperti biasanya.

"Auah," balas Nina cuek. Ia sedang mencari sesuatu di dalam lemari.

"Titus," cetus si kecil Hana. Keponakan kecilnya itu menyela sang Bunda saat sedang bermain puzzle di kamar Nina.

"Ho, iye, si tikus, pinter anak Bunda, nama tikus di film itu ya, Hana, hahaha," ejek Bia.

"Stuart itu woy!" sela Nina tanpa menoleh.

"Eh, salah. Oh, iya, kan yang main Twilight itu, ya, Nin. Wah, Tante Nina bakal semarga ama artis Hollywood loh Han."

Hana yang tidak paham masih asik dengan mainannya. Ia terlihat mulai mengantuk.

"Bodo', kenal aja kagak paling. Aduh, ribet banget sih urusannya. Ini passport gue mana lagi," keluhnya.

"Halah, bukan lo juga yang ngurus. Enak bener lo, Lele, terima bersih doang. Udah gitu, masih aja ngeluh. Lagian dokumen penting biasanya kan Mama yang simpen," balas Bia.

"Oh, iya bener." Nina pun lekas mencari ibunya di ruang tengah.

"Ma, dokumen Nina kan semuanya Mama yang simpen, kok tadi Papa nanya passport ke Nina?" Nina menghampiri Mama yang sedang berbincang dengan tamunya.

"Nah, ini dia. Sini Nin, ini Tante Karina, inget gak? Dia punya butik gaun pengantin loh. Baju kamu udah Mama pilihin nih modelnya, tinggal diukur aja lagi," jelas Mama mengabaikan keluhan Nina tadi.

Nina jadi teringat saat Nick mengajaknya ke butik baju pengantin beberapa hari yang lalu. Sebenarnya bukan ia tak ada niat mengurus semua hal yang menyangkut pernikahan ini, hanya saja ia memang tak mengerti tentang memilih gaun. Selama ini Mama yang mengurus fashionnya, bahkan sampai urusan dalamannya juga masih Mama yang melengkapi. Namun, ia sadar, saat itu wajah Nick terlihat sangat kecewa.

Nina kemudian kembali berlari ke kamar, ia merasa harus menjelaskan hal ini pada Nick. Sejauh ini, ia memang bersikap acuh pada rencana pernikahan ini.

[I'm sorry about last time. Bukan gue gak mau mikirin prepare nikahan. Cuma emang gue gak ngerti aja milih baju pengantin. Btw, semua Mama gue yang urusin. Sekali lagi, sorry.] Nina mengirim pesan singkat ke wa Nick.

"Setidaknya gue udah minta maaf," gumamnya, lalu kembali turun ke tempat Mama.

Saat Tante Karina tengah mengukur badannya, sebuah bunyi pesan masuk membuat Nina kembali dengan ponsel pintarnya.

[It's ok. Oh ye, awak tu nak mahar ape?]

Bagai kena sengatan listrik, pertanyaan itu langsung membuat jantung Nina hampir melompat ke luar. Tak pernah terbayangkan pertanyaan ini akan sampai padanya. Ia tak pernah membayangkan tentang pernikahan sebelumnya. Nina kemudian mendekati Mama.

"Ma, mahar itu gimana, sih?" bisiknya.

"Ih, apaan sih bisik-bisik, gak enak kali depan Tante Kirana. Nanya mahar aja pake malu-malu." Mama dan Tante Kirana kompak tertawa.

"Emang kalian belum bicarain mahar?" tanya Tante Kirana ikut nimbrung.

"Tau nih, si Nina ini kayak bocah yang dipaksa kawin, Jeunk. Heran gue, soal mahar aja nanya mamahnya. Ya, kalian rundingin lah maunya apa," balas Mama.

"Mahar itu yang diberikan secara ikhlas oleh pengantin pria kepada istrinya, Nin. Akan lebih baik lagi kalau hal itu diinginkan oleh sang istri. Tapi ingat, mahar gak boleh juga memberatkan si calon suami," jelas Tante Kirana.

"Noh, dijelasin langsung tuh ama penasehat pernikahan," sambung Mama.

Jantung Nina masih tak karuan tiap istilah istri dan suami dibahas. Ia masih belum siap rasanya dengan istilah baru itu. Apalagi pernikahan ini terbilang dadakan. Urusan menikah dua negara yang kata orang ribet saja, semua terasa begitu lancar dan cepat bagi Nina dan Nick. Seakan semesta merestui ini semua.

Nina meninggalkan Mama dan Tante Kirana. Ia kembali ke kamar, Bia sedang menidurkan Hana di tempat tidurnya.

"Bia, menurut lo, sebaiknya gue minta mahar apa? Lo kemarin maharnya apa sih? Lupa gue," tanyanya.

"Ya, terserah lo. Gue waktu nikah ama Mas Raka lagi susah, Mas Raka masih sibuk residen, utang kita juga banyak. Jadi gue gak muluk-muluk, gue minta aja seperangkat alat salat. Nah, lo kan kondisinya beda, lo stabil, calon lo established, ya terserah lo mau minta apaan. Kayaknya kalo lo minta emas sekarung juga bakal dikasih ama si Nick, hahaha,"goda Bia.

"Ish, paan sih. Duh, gue bingung nih mau minta apa."

"Yaelah Lele, kalo gue bakal minta berlian. Yang penting mah ada, wajib itu. Asal jangan lo minta yang gak guna aje, jangan bilang kalo lo mau minta iphone terbaru?"

"Duh, Mujaer. Negatif mulu pikirannya ama gue. Ah, tau ah, gue bingung. Terserah Nick aja deh ngasih gue apaan."

[Terserah aja, gue ikut.]

Tanpa pikir panjang Nina membalas pesan Nick, lalu melempar kembali ponselnya ke sofa.

"Eh, btw Nin, lo pernah nanya kagak kenapa si Nick betah banget di Indonesia? Ya, bukan nape-nape ni, ye. Kalau dipikir-pikir di negaranya pasti lebih enak kan dari di sini. Biasa ni ye kan, yang betah pasti karena alasan lain, jatuh cinta misalnya. Atau die emang beneran cinta ama lu kali ya?" tanya Bia penasaran.

Sejujurnya pertanyaan Bia juga menjadi pertanyaan di dalam pikiran Nina. Namun, ia memang tak pernah bicara dari hati ke hati dengan Nick. Pertanyaan Bia malah memicu rasa penasaran Nina.

***

Sejak malam, Nina jadi sulit memejamkan mata. Ia malah sibuk melakukan investigasi seluruh laman sosial media milik Nick. Tanpa menjadi follower Nick, ia dengan sukses berhasil menembus akun milik calon suaminya itu.

"Hahaha, belum tau lo kan kalo gue punya bakat jadi hacker," ujarnya saat berhasil membuka F******k Nick.

Akun itu sepertinya sudah lama tidak kunjungi pemiliknya. Namun, beberapa foto lama Nick masih tersimpan rapi di sana.

"Kok fotonya ama cowok semua, ya? Apa gak pernah punya temen cewek tu orang?" Kecurigaan Nina makin terasah.

Beberapa foto terlihat Nick sedang bersama seorang pria bule. Dari lokasi foto yang diambil, terlihat kalau mereka sedang di Bali. Kecurigaan Nina makin menjadi ketika sebuah foto terlihat kedua pria itu sedang berada di sebuah ruang tertutup, dan keduanya tidak mengenakan pakaian.

"Astagfirullah, mata gue tercemar. Yaa Allah, kagak salah ini? Oh No, jangan-jangan, gue cuma jadi alibi buat menutupi orientasi dia yang sebenarnya. Oh No!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status