Home / Romansa / Deportation / 7. Pria Berdarah Dingin

Share

7. Pria Berdarah Dingin

last update Huling Na-update: 2021-07-07 22:45:41

"Bohong! Masa sih sodara? Beda gitu tampang kalian," balas Nina tak mau kalah telak.

"Seriously, sebenanye Daddy saye sebelum berkahwin ngan Mom, pernah menikah di Bali. Lepas tu die orang divorce. Justin, abang saye tu stay ngan Mak die di Bali. Kenape die blond, sebab Mak die from USA. Kite orang jumpe pun mase tu je, sebelumnye tak pernah." Nick dengan tenang menjelaskan. Ia justru merasa lucu karena tuduhan yang Nina beberkan berdasarkan foto itu.

"Oooh." Seluruh yang hadir mendengar penjelasan Nick dengan khidmad.

"Kalau tak pecaye, ni saye vcall jap." Nick kemudian membuat panggilan video dengan Justin–abangnya.

Di sisi lain, Nina ingin siap-siap mau kabur, tapi dengan sigap Om Sandy menangkapnya. Nina pun terpaksa duduk di ujung sofa sambil berharap tubuhnya benar-benar tenggelam.

"Hay, bro. Are you busy?" tanya Nick ketika panggilannya dijawab.

"No, Nick, what's up, Brother? Btw gue denger lo mo nikah, ya? Wah, keterlaluan lo kalau gak ngundang gue," ujar Justin.

"Yes, ni saye nak kenalkan awak tu ngan keluarge calon saye lah," ujar Nick sambil mengarahkan ponselnya ke seluruh ruangan.

"Hay, Justin," sapa semua orang, kecuali Nina.

"Hay, semua. Salam kenal dari gua, Justin, abangnya Nick."Justin memperkenalkan dirinya dengan sopan. Ia memang dibesarkan di Bali sehingga bahasa Indonesianya cukup fasih.

"Nanti pas nikahannya Nick, dateng, ya, Nak Justin," sambung Mama saat dikenalkan Nick.

"Pasti, Tante. Saya pasti usahain dateng."

"Ok, Bro. oh wait, you belum jumpe lagi calon I kan? Namenye Nina," jelas Nick sambil mendekati Nina.

Mau tak mau Nina menyapa Justin dan berusaha seramah mungkin.

"Oh, hai Justin. Nice to meet you," balas Nina kaku.

"Hay, Nina, Wow, pantes Nick buru-buru mau nikah. Ternyata calonnya secantik ini," balas Justin.

"Duh, bule-bule nape matanya pada siwer, ya?" sindir Bia.

Setelahnya panggilan pun berakhir. Seluruh keluarga pada diam. Semua merasa bersalah karena sempat mempercayai gosip dari Nina.

"Ehm, Papa sama Mama keknya mau siap-siap salat ashar, kami izin dulu, ya. Maaf ya, Nick, lanjut dulu kalian." Papa dan Mama beranjak dari sofa, melarikan diri.

"Wah, Hana keknya kebangun tuh, Yah. Eh, kita ke dalam dulu, ya, Nin, Nick. Mo nyusuin Hana dulu," elak Bia lalu menarik suaminya pergi. Mas Raka yang bingung, mengangguk ramah dan pasrah mengikuti istrinya.

"Lah, bukannya Hana udah lama disapih, ya?" tanya Nina menyadari modus Bia yang gak masuk akal.

"Ehem, haus neh, Om mau ke belakang dulu, ya, cari minum." Om Sandy mulai ikut.

"Lah, itu kan minum, Om," tunjuk Nina ke arah meja.

"Itu minuman manis, Om maunya air putih aja, seret ini." Om Sandy langsung ngeloyor meninggalkan Nina dan Nick berdua di ruang keluarga.

"Eh, gue juga mau salat Ashar," Nina  hendak berdiri dari sofa sebelum Nick menarik lengan bajunya hingga ia kembali terduduk di samping Nick.

"Belum masuk waktu lagi lah," potong Nick.

"Oh, iye." Nina gagal membuat alasan kabur dari Nick.

"So, you rupenye yang bikin gosip I ne gay, ye?" Nick mulai menginterogasi Nina.

Wajahnya berbeda dari saat ada keluarga Nina tadi. Kini ia terlihat lebih dingin dan kejam. Nina benar-benar tak berkutik.

"Ehehe, gue cuma becanda kok," elaknya sambil cengengesan.

"Becanda, begurau, joke you kate? Orang sekantor dah sibuk bisik-bisik tu kenape?" Kali ini Nick memutar duduknya menghadap Nina.

"Whot? Sekantor? Sial tu mulut si Sisca." Nina tak menyangka masalah investigasi asalnya jadi bahan gosip anak-anak di kantor.

"Jadi you pikir I tak suke perempuan, he?" Nick mendekatkan wajahnya ke wajah Nina.

Nina merasa terpojok, ia memang merasa bersalah pada Nick. Tapi ia tak menyangka Nick akan marah besar padanya. Bayangan Nick akan membalas dendam padanya membuat Nina sedikit takut juga. Meski ia pernah sampai sabuk hitam taekwondo, tapi rasa bersalah membuatnya melemah. Ia bakal langsung tumbang kalau Nick mengajaknya berduel saat ini.

"So-Sorry, Nick. Gue cuma ngerasa aneh kenapa lo mo nikah ama gue. Trus gue nemu foto lo ama Justin dan gue emang belom tau tentang Justin. Kalau lo di posisi gue, lo juga bakal ngerasa hal yang sama." Nina berusaha setenang mungkin memberi jawaban pada Nick.

Namun, Nina kembali terpojok, napas Nick memburu di wajahnya. Nick mengunci Nina dengan lengannya. Nina bahkan merasakan debaran dada Nick yang makin kuat di tangannya–yang berada di dada pria itu. Mata mereka kembali bertemu. Nina merasakan wajahnya memanas, lalu muncul gelombang aneh dari perutnya.

Nick yang kemudian menyadari posisi itu, segera beranjak menjauhkan tubuhnya. Ia pun kemudian meninggalkan Nina tanpa berkata apa-apa. Nina yang sejak tadi menahan napas, kini berusaha mengumpulkan oksigen kembali ke paru-parunya.

"Hayo, lo. Untung Nick baek, ya. Kalau gue jadi Nick, udah gue hajar lo. Mana ampe kantor lagi gosipnya, ckck, gila lu Nin, fitnah calon laki lo sendiri." Bia mendekati Nina saat mereka mempersiapkan makan malam.

Mama dan Papa Nina sekalian mengundang Nick makan malam bersama, juga sebagai permintaan maaf kepada Nick atas berita yang Nina buat.

"Hajar? Belom tau dia kalo gue sabuk hitam." Nina memperagakan gerakan taekwondonya.

"Hih, blagu. Diciumnya klepek juga lo, ye kan? Gimana? Tadi lo diciumnya kan?" goda Bia.

"Ih, jadi tadi lo ngintip, ya, Mujaer? Dasar otak ikan, lo liat dari angel yang salah tu, fitnah tau. Orang gue cuma ngobrol." Wajah Nina memanas kalau ingat adegan itu. Bagaimana pun wajah mereka sangat dekat saat itu. Ia bahkan masih bisa menghirup aroma parfum yang Nick pakai.

"Ah, Nick. Sosor aja kek. Biar diem ini mulut perempuan." Bia melempar kemangi ke arah mulut Nina.

"Aduh! Ih, Mujaer. Gua banting juga lo."

"Eeh, apaan sih ini. Gak malu apa sama tamu." Mama datang menengahi.

"Lebih malu yang tadi kali, Ma. Kalo gue, udah kabur dari tadi," sambung Bia mengompori.

"Iihh." Nina yang mulai emosi menarik tangan Bia ke belakang badannya.

"Udah ah. Buruan, itu pada nungguin."

Bia dan Nina terpaksa menghentikan perkelahian mereka yang kekanak-kanakan saat Mas Raka menyusul ke dapur. Untungnya Mas Raka sudah paham kelakuan istri dan adik iparnya itu. Makanya ia hanya geleng-geleng kepala saja.

Makan malam keluarga berlangsung cukup hangat. Nick ternyata bisa bersikap ramah dan sopan saat bersama dengan keluarga Nina. Namun, tiap melihat Nina pastilah wajahnya kembali berubah tegang. Nina merasa Nick jadi dendam padanya.

"Duh, nasib lo, Nin. Kebayang udah, lo bakal mati muda dibunuh suami lo di malam pertama," gumam Nina.

Bia yang mendengarnya langsung tertawa terpingkal-pingkal. Namun, Nina segera membekap mulut Bia ketika Mama bertanya alasannya tertawa.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Deportation    46. Warming Heart

    Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi para penghuni rumah masih enggan beranjak dari ruang keluarga. Seolah masing-masing enggan melepas kehangatan yang ada. Suara tawa, dan lelucon silih berganti. Beberapa juga masih tengah sibuk dengan koper yang akan mereka bawa. Esok orang tua Nick dan Nina akan kembali ke negara asal mereka. Mama Nina tengah mengemas oleh-oleh untuk cucunya–Hana, ketika memandang Nina yang terlihat lebih pendiam. Nina adalah anak yang paling heboh di keluarga nya. Setiap acara kumpul keluarga, tidak lengkap tanpa kehadiran si tukang banyol–Nina. Namun, belakangan Nina memang jadi lebih pendiam, apalagi sejak berada di tempat ini. Wajar saja mamanya sedikit cemas ketika meninggalkannya hanya berdua saja bersama Nick. "Bener kamu gak apa-apa kami tinggal, Nin? Kalau memang berat mama .... ""Gak apa-apa, Ma. Nina baik-baik aja kok. Alhamdulillah Nick kan juga sudah jauh lebih baik."Nina berusaha meyakinkan ibuny

  • Deportation    45. Harapan

    "Oke, Let's go .... "Nina lekas menarik tangan Nick. Ia tak ingin prianya itu mengira kalau dirinya sudah tidak mampu lagi melakukan apapun, termasuk menyetir mobil ke rumah sakit. Nina hanya tak ingin membuat Nick lelah. Namun, kadang niat baik sering disalah artikan, dan ia tak ingin Nick mengira begitu. Nina merapatkan syal yang menutupi leher Nick. Ia menggelayut manja di lengan suaminya itu. Matahari di awal musim semi telah tampak, dan rasanya cukup hangat. Nina sangat bersyukur musim berganti, ia sejujurnya tidak terlalu suka musim dingin. "Nin, ade hal yang nak saye cakap," ujar Nick tiba-tiba. Nina mengangkat kepalanya dan menatap Nick. Pria itu masih sama mempesonanya. "Hm, i know, you wanna protect me, but... Don't feel guilty about anything. I'm good. And i feel better when you coming here, stay around me. So... Just be you, Nin."Mata Nina mulai berkaca-kaca. Kata-kata Nick menancap lurus ke jantungnya, dan tera

  • Deportation    44. Insecure

    "OMG, gue udah kayak pasangan mesum digerebek satpol PP," gumam Nina saat menuruni tangga, menyusul Nick yang lebih dulu turun menuju pintu. Nick segera membukakan pintu ketika tidak dapat melihat tamu dari layar kamera pengawas. mungkin tertutup salju, pikirnya.Nick hampir terjatuh ketika pria tinggi itu menyerbu masuk dan langsung memeluknya erat."Oh, Bro, sorry gue baru datang. gue baru tau keadaan lu beberapa hari yang lalu, langsung deh gue ke mari."Pria berwajah bule itu langsung menghujani Nick dengan berbagai pertanyaan tanpa sempat bagi Nick untuk menjawab."Justin?" sapa Nina meyakinkan saat ia melihat tamunya."Wow, Nina. Wah tega lu Nin gak kasih kabar ke gue," protes Justin sambil memasang tampang sebal.Sebelum Nina sempat protes, kakak iparnya itu sudah menyerbu memeluknya. "Be tough, ya, Nin. Gue yakin lu pasti kuat," bisik Justin sambil menepuk bahu Nina. Mendadak hatinya merasa h

  • Deportation    43. Candu

    Minggu ini orang tua Nina akan datang mengunjungi Nick. Beberapa hari ini Nina terlihat bersemangat, apalagi ketika mendengar Bia dan keluarganya akan ikut bersama. Nina sudah kangen berat dengan keponakannya–Hana–yang menggemaskan. Nina membantu salah seorang asisten rumah tangga yang disewa untuk membantu menyiapkan kamar untuk para tamu. "Tak penat ke?" tanya Nick yang salut melihat istrinya yang terlihat masih semangat mondar-mandir. Beberapa kamar di rumah ini memang banyak yang sudah terlalu lama kosong. Sementara keluarga Nick harus berkunjung ke kampung halaman daddynya untuk ikut memperingati hari kematian neneknya Nick. Arthur tentu saja terpaksa ikut, pemuda itu kini terlihat lebih patuh, apalagi jika yang menyuruhnya adalah Nick. Entah ia memang ingin berubah, atau hanya tak ingin berdebat dengan kakaknya yang sedang sakit itu. He afraid that i might be dead in argue, pikir Nick. Namun, tentu saja Nick tidak pernah mengatakannya langsung, adiknya itu kadang punya te

  • Deportation    42. Salju Di Kaca Jendela

    Nina cukup kaget dengan perubahan emosional Nick. Pria itu tidak seperti yang ia kenal. Nick benar-benar seperti bangunan yang sudah rapuh, tak tersisa semangat dan optimis di dalam dirinya. Nina cukup terpukul, apalagi dengan pemikiran yang menurut Nina konyol tentang dirinya."Nick, stop it. Kalau aku mikir begitu, ngapain aku ke sini? Ngapain setahun ini aku nungguin kamu yang menghilang begitu aja. Aku tahu, saat ini kamu dalam kondisi terburuk, I know it. So, sekarang mending kita sama-sama berusaha, aku di sini buat kamu Nick. Aku akan nemani kamu untuk keluar dari kondisi ini. Please, don't give up!"Kali ini mau tak mau Nina kembali ikut terisak. Dadanya sesak melihat Nick. Pria itu terdiam, ia merasa makin bersalah setelah membuat Nina ikut menangis.Nick kemudian bangkit dan duduk di tepi temoat tidur, menatap Nina dalam, lalu menarik wanita itu dan memeluknya erat. Menghirup aroma rambut Nina yang ia rindukan.

  • Deportation    41. Batas Terbawah

    Nina mengerjapkan mata berulang kali ketika bau menyengat menyeruak masuk ke hidungnya. Kepalanya seolah dihantam palu raksasa yang dipukulkan berulang kali hingga kepalanya seakan kulit kacang yang keras hingga membuat sebentar lagi akan meledak dan pecah."Nina .... Wake up, please!"Suara Nick terngiang-ngiang di telinganya. Bayangan pria itu kemudian hadir lalu berlalu, Nina berteriak mencegahnya pergi."Nick, tunggu!" panggilnya.Namun, pria itu bergeming, Nina meraung sekerasnya. Sekali lagi bau menyengat membuatnya pusing dan resah, ia kemudian merasakan pipinya disentuh. Nina terkejut, kemudian berusaha membuka mata. Ia terbaring di salah satu ranjang rumah sakit, ia merasa bingung."Nin, wake up!"Nina benar-benar mendengar suara Nick yang kini berada di sampingnya. Ia tidak sedang bermimpi, pria itu menatapnya lem

  • Deportation    40. Wajah Lain Nick

    Nina berusaha menutupi jetlag parah yang dirasakannya setelah menempuh perjalanan lebih dari empat belas jam itu. Mereka mendarat di London tepat saat jam makan siang.Nina kemudian menuju toilet saat orang tua Nick dan Arthur nemilih meja di salah satu restauran. Saat di toilet Nina membasuh wajahnya untuk mengurangi rasa pusing yang dirasakannya, tapi tentu saja itu tidak terlalu membantu. Bahkan segelas kopi yang diberikan oleh Arthur pun masih membuatnya mual. Entah karena jetlag, atau stres karena tidak sabar bertemu dengan Nick, yang jelas Nina memilih diam dan enggan nenyentuh makan siangnya. Setelah dibujuk sedemikian rupa Nina akhirnya berhasil menelan sepotong puding susu yang kemudian dipesannya.Birmingham tidak terlalu dekat, butuh sekitar dua jam lebih jika ditempuh melalui jalan darat. Keluarga Nick sudah memesan sebuah jet pribadi langganannya untuk menuju kota bagian negeri Britania Raya itu. Tentu saja hal itu m

  • Deportation    39. I'll Be Waiting for you

    Tamu-tamu sudah pulang, menuju malam Nina pun telah menuju kamar. Perasaannya terasa lapang. Kabar Nick membuatnnya memang terguncang, tapi di sisi lain ia tenang. Ternyata Nick tidaklah berniat meninggalkannya, atau berlarut marah pada peristiwa terakhir yang menerpa. Ia yakin Nick saat ini pun memikirkannya, merindukannya.Nina memandangi wajahnya di cermin. Lingkaran hitam di matanya harus segera hilang. Ia tak ingin Nick melihatnya dalam kondisi begini. Bagaimana pun, ia harus tampir prima ketika bertemu Nick yang direncanakan dalam beberapa hari lagi."Nick ...."Tangis Nina kembali pecah saat menatap foto pernikahan mereka di atas meja. Mungkin untuk pertama kali, ia merasa benar-benar sangat takut kehilangan Nick. Tanpa ia sadari, cinta itu telah tumbuh di hatinya. Entah sejak kapan, tapi akarnya sangat kuat menghujam di dasar paling terdalam hatinya."Nick, Please, bertahanl

  • Deportation    38. Sakit Yang Sesungguhnya

    Di belahan bumi sebelah barat sedang berada pada puncak musim dingin. Nick merapatkan kembali selimut tebal miliknya meski semua itu seolah tidak berarti. Tubuhnya terasa memburuk saja.Hari ini adalah pertama bagi Nick menjalani kemoterapi setelah berusaha berulang kali menolak. Bibinya yang merawat Nick selama di Inggris telah berulang kali membujuk, tapi Nick sulit sekali memutuskan. Ia masih menolak mengakui keberadaan penyakit itu di tubuhnya.Nick meraih ponselnya di samping tempat tidurnya. Ia harus berusaha mengalihkan pikiran untuk mengatasi mual yang teramat sangat. Mungkin isi perutnya sudah lebih dari dua puluh kali menyesak ingin keluar. Beberapa kali sudah ia bolak-balik wastafel.Jarinya lagi-lagi menekan galeri foto. Wajah wanita itu masih memenuhi isi galeri fotonya. Nina yang sedang tersenyum, cemberut, tertawa, bahkan sedang tertidur pulas di pelukannya, itu lagi yang ia lihat berulang-ulang.Sejenakp semua

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status