Share

6. Salah Paham

Apa yang Nina lihat tadi malam membuatnya tak fokus seharian. Beberapa kali ia mengawasi Nick secara diam-diam, meyakinkan kalau yang dilihatnya kemarin tidaklah benar.

"Hey! Ngapain sih lo, Nin. Celingak-celinguk, hayo, ngintipin Nick, ya? Lo naksir, ya?" tanya Sisca–teman sekantornya.

Orang di kantor memang belum tahu mengenai rencana pernikahan Nick dan Nina. Mereka sepakat akan memberi pengumuman setelah undangan selesai dicetak.

"Eh, Sis. Menurut lo, si Nick itu normal, gak?" tanya Nina saat mereka minum kopi di cafetaria samping kantor. Nick saat itu baru saja lewat.

"Nggak!" jawab Sisca asal.

"Nah ... Nah, bener kan kecurigaan gue. Lo pernah liat dia jalan ama cowok juga, ya?" tanya Sisca.

"Ya pernah lah, sama Pak Sandy, sama Dio, Bagas, semua temen kantor kita kan emang dominan cowok." Sisca menjawab cuek sambil memaikan ponselnya.

"Ih, bukan itu. Maksud gue yang intens gitu."

Sisca mulai tertarik dengan pembahasan Nina, ia pun menutup ponselnya. "Maksud lo apaan, sih? Si Nick suka cowok? Ih, fitonah lu, Nin. Lagian tumben lu suka gosip sekarang, dulu bodo amat aja ama yang terjadi sama orang kantor," Sisca menyipitkan matanya.

"Lah, lo tadi bilang dia kagak normal."

"Maksud gue, dia itu tipe superior ceunah. Di atas normal, idaman banget. Duh, siapa ya wanita beruntung yang bakal dapetin dia. Jadi penasaran gue."

"Tau, gue kali," jawab Nina asal.

"Eh, tapi bisa jadi lo bener, Nin. Masak dia kagak tertarik sama gue. Lo liat deh gue, hm, wajah instagramable, body bohay, apa lagi ya, gak?" Sisca sambil berdiri memamerkan bodinya yang memang terbilang cukup seksi.

"Emang lo pernah deketin die?" tanya Nina penasaran.

"Sst, gue pernah ngajak kencan. Eh, tapi ditolak dong sama dia. Stupid tu orang. Tapi lo jangan bilang-bilang ya,  aib, baru kali ini cowok nolak gue. Jejangan benar yang lo bilang dia kagak suka cewek."

Nina makin galau, kata-kata Sisca ada benarnya. Pria sekantor suka jelalatan kalau Sisca hadir. Bahkan ada yang sampe ngences liat body temannya itu. Namun, tidak dengan Nick. Dia super cuek meski didekati wanita macam Sisca. Nina jadi makin bertanya-tanya.

"Jejangan bener lagi, duh, nasib lo, Nin. Ternyata cuma jadi penutup dosa," gumam Nina.

***

"Ma, Pa, Om, kayaknya pernikahan ini harus dibatalin deh." Nina tiba-tiba muncul di tengah-tengah rapat keluarga yang tengah berlangsung.

"Ya Allah, apa lagi ini?" ujar Mama mulai panik seraya mengeluarkan inhaler dari kantong gamisnya.

"Kenapa lagi, sih, Le? Mau bikin drama lagi keknya nih anak," timpal Bia yang ikut menjadi panitia.

"Om Sandy pasti tau ini. Kenapa gak bilang dari awal sih, Om, kalau si Nick itu gay?"

"Apa?" Seluruh keluarga kaget dengan pernyataan Nina.

"Gay?" tanya Bia memastikan.

"Astagfirullah." Mama mulai menghisap inhalernya.

"Kamu jangan fitnah, Nin!" Papa mulai gemetar karena emosi.

"Iya, Nina. Kamu ini ngomong apa?" Om Sandy tak kalah emosi.

"Jangan belagak pilon deh, Om. Si Nick ini gak suka cewek, kan? Dia mau jadi warga negara kita karena pacar prianya tinggal di Bali, kan?" cecar Nina.

Ia sudah tidak tahan lagi menanggung rasa kesal karena mengetahui dirinya dijebak nikah dengan Nick. Nina akhirnya paham kenapa Nick memilih dirinya jika dibandingkan dengan wanita lain.

"Ya enggaklah, Nick itu normal, Nin. Kamu ngomong apa, sih?" Om Sandy mulai kesal.

"Nih, kalau gak percaya, ya. Aku tunjukin akun f******k dia yang lama."

Nina kemudian menggelar laptopnya di tengah-tengah rapat itu. Melihat foto yang Nina tunjukkan, membuat seluruh yang hadir serempak istighfar.

"Wah ... Wah ... Gak bener ini. Bener kata lu, Lele. Si Nick, ah, unfortunately, punya pacar cowok." Bia ikut mengompori.

Mama dan Papa terlihat syock. Mereka memilih duduk lalu terdiam. Yang lain masih sibuk scroll akun Nick yang masih terbuka.

"Ah, Om gak percaya. Pasti ada penjelasannya. Om suruh Nick ke sini."

"Tunggu, Om! Gimana kalau Nick bohong. Hal begituan kan juga tabu di negaranya dia. Kalau dia bohong gimana?" cegah Nina.

"Tapi kita memang harus tanya langsung Nick, Nin. Kalau gak benar jatuhnya malah fitnah." Mas Raka–suami Bia ikut menengahi.

"Om telpon Nick dulu. Suruh dia langsung ke sini aja, biar jelas semua."

Nina mengambil tempat paling strategis, siap mendengar penjelasan Nick. Seluruh keluarga kelihatan ikut cemas memikirkan masalah ini. Hal begini tentu saja menjadi penting bagi keluarga Nina yang juga sadar dan patuh pada pakem-pakem beragama. Mama yang gampang stres terlihat bolak-balik minum untuk menenangkan diri.

Kurang dari satu jam kemudian, Nick pun sampai di rumah Nina. Seluruh keluarga termasuk Nina sudah memasang wajah kepo bin menghakimi Nick yang baru sampai. Melihat itu, Mas Raka sebagai penengah memulai sidang dadakan keluarga ini.

"Ehem, jadi gini, ya, Nick. Hari ini kami dengar isu kurang sedap tentang kamu. Jadi di sini kita mau klarifikasi langsung biar gak jadi fitnah di kemudian hari."

Nina mulai merasa kurang nyaman, bagaimana pun ia yang memulai. Kalau terbukti salah, ia harus sudah siap mental menanggung risikonya. Namun, pandangan Nick ke arahnya membuat pertahanannya sedikit rubuh. Wajah Nick begitu innocent, Nina mulai ragu sendiri.

"Ok, ini pasal ape?" tanyanya bingung.

"Em, gimana ya? Om!" Mas Raka melempar ke Om Sandy, sepertinya ia pun ragu untuk menuduh langsung.

"Eh, kok Om sih. Mbak, tanyain langsung tuh, calon mantumu."

"Loh, kok aku, Pap." Mama malah melirik Papa.

"Ehm, hm, mungkin Nina bisa menjelaskan kembali masalahnya tadi," elak Papa.

Nina menepuk jidat, ternyata keluarganya malah tak bisa diandalkan. Isu ini memang terbilang sensitif, Nina pun bingung harus mulai dari mana.

"Duh, kok pada lempar bola gini sih. Tinggal nanya doang, si Nick ini masih suka cewek apa gak?" Bia mulai ceplos.

"What?" tanya Nick kaget.

"Lo itu gay, ya?" timpal Nina emosi.

Semua yang hadir langsung melirik pada Nina. Semua ikut kaget dengan pertanyaan Nina yang blak-blakan. Mama sampai menutup wajah sangking malunya.

"Duh, lambe anakmu, Pap. Kok ya kayak preman simpang gitu," bisik Mama pada pria di sampingnya.

"What? Are you insane? Ade ape ni?" Nina mengira Nick bakal ngamuk dan mengejarnya, lalu menarik kerah Nina dan menghajar wajahnya. Setidaknya itulah bayangan Nina. Namun, Nick tetap tenang. Ia malah berusaha keras menahan tawa.

"Udah, deh, ngaku aja. Lo bukan cuma ngawinin gue buat nyelamatin lo yang bakal dideportasi, kan? Tapi juga buat nyelamatin lo dari kecurigaan orang tua lo!" Nina dengan berani pasang badan.

"Wah, gokil lo, Le," bisik Bia.

"Nanggung, udah basah, nyemplung aje sekalian." Nina berapi-api.

"Oke, wait. Kenape sampai awak berpikir macam tu?" tanya Nick tetap tenang.

Nina malah kesal dengan sikap Nick yang menurutnya sok cool itu. Ia lalu memberikan laptop tadi pada Nick, dan memperlihatkan foto mesra Nick dengan pria bule yang ia temukan.

"Eh, mane awak dapat foto lame saye ni?" tanya Nick bingung.

"Nah, kan. Ngakuin kan lo." Sesaat Nina merasa menang.

"Memang betul ni foto saye ngan Abang saye. Die orang stay di Bali," jawab Nick santai.

"Abang?" ucap seluruh hadirin secara serempak.

"Mampus lo, Nin. Nyemplung aje sono ampe tenggelam," bisik Bia lagi.

Kaki Nina kini terasa lemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status