Sejak hari itu, jarak Nina dan Nick makin terasa jauh. Setiap berpapasan dengan Nick, Nina memilih menghindar. Hal tersebut cukup kontras terlihat. Gosip mengenai Nick perlahan memang mulai padam, seiring sebuah undangan pernikahan mendarat di meja masing-masing karyawan.
Nina sama sekali tidak diberi tahu perihal ini sebelumnya. Untunglah ia menemukannya satu di meja security sebelum masuk kantor. Kebiasaannya nongkrong bersama bapak-bapak keamanan ternyata cukup berguna hari ini.
"Ha? Udah disebar hari ini? Mampus gue. Bakal diserbu gue hari ini, mending gua kagak masuk aja dah." Nina beringsut meninggalkan area perkantoran.
"Eh, Nin, lo mau ke mana?" tanya Sisca yang berpapasan dengannya di gerbang depan.
"Eh, itu, anu ... Hp gue ketinggalan. Mau balik dulu, ye. Oke, bye!" Nina buru-buru kabur sebelum Sisca menyadari kebohongannya.
Dugaan Nina benar, belum sampai separuh jalan menuju rumah, ponselnya tak henti berdering. Panggilan selanjutnya tak dapat Nina abaikan, Nick menelponnya.
"Ha, halo," jawab Nina.
"Nin, awak tu kat mane?" tanya Nick. Suaranya terdengar panik. Ia bahkan sampai lupa perang dinginnya dengan Nina.
"Di... Di jalan, why?"
"Awak tu ke yang kasi undangan ke orang-orang hari ne?"
"No, bukan gue kok. Gue kira malah elu. Kalau bukan lu, ho, pasti Om Sandy, ni."
"Oh God. Please, help me. Ne semue orang dah bising nak cari kebenaran. I tak tahu nak cakap ape."
"Ya, elo juga ngapain di situ. Mo ngomong apa? Udah, kabur aja."
"Macam mane nak kabur, die orang kumpul semue kat depan tu."
"Hm, oh iya, yaudah, lo keluar lewat pantry gih, ne gue jemput, ya. Lo keluar, lewat tangga darurat, trus masuk ke pantry. Di sana ada pintu keluar. Gue tunggu di sana."
"Oh, oke. Cepat siket, ye."
"Ish, iya." Nina menutup telpon, "Bawel juga ni orang," rutuknya.
Jalanan kembali ternyata cukup macet, Nina harus mencari jalan alternatif lain yang menyebabkan mobilnya harus memutar jalan sedikit lebih jauh. Saat sampai, rupanya Nick sudah menunggu di ujung jalan. Nick pun lekas masuk, seperti maling yang dikejar polisi.
"Go, Nina! I ketahuan kabur, Go!"
"Iye... sabar," jawab Nina grogi.
Nina pun menginjak gasnya segera, meninggalkan lokasi penjemputan.
"Fiuh!" ujar mereka serempak.
Entah siapa yang memulai, kedua tersangka ini akhirnya tertawa bersama, geli sendiri menyadari situasi mereka yang bak artis dikejar paparazi. Nina menepikan mobilnya karena tak tahan menahan tawa.
"Gila banget ini. Kita udah kayak partner in crime tau gak? Masak kabur begini, bukannya ngundang baek-baek, ya? Hahaha."
"Hahaha, eh, tapi yang awak tu cakap betul lah. Nape pulak kite lari, kan?" tanya Nick bingung.
"Ya, mereka juga, napa beringas gitu sih ngejarnya? Kayak debt collector nagih utang aja."
"Betul juga." Nick kembali tertawa, ia merasa konyol saat mengingat sikap teman-temannya itu.
Setelahnya mereka hanya terdiam, beberapa kali mata mereka kemudian bertemu. Lalu keduanya kembali berusaha mengalihkan pandangan, sampai kemudian seseorang menepuk kaca mobil dengan keras.
"Heh, keluar kalian. Balik ke kantor sekarang juga!" Om Sandy dengan muka galak menangkap basah mereka berdua.
"Alamak, matilah kita," rengek Nina.
***
Aula kantor mendadak seram dan suram. Sepasang muda-mudi yang tertangkap basah kabur dari kantor setelah undangan pernikahannya tersebar, kini sedang duduk sebagai pesakitan. Keduanya menunduk, antara malu dan takut yang bersatu.Ruangan ber-AC itu mendadak terasa gerah. Lampu neon yang hanya satu dinyalakan terlihat berkedip-kedip. Suasana introgasi benar-benar membuat mental para pesakitan jadi down. Nick yang masih saja sok cool, terlihat menatap lurus ke depan.
"Jadi, Nick. Kenapa lo merahasiakan hubungan lo sama Nina?" Indra–salah seorang karyawan senior mulai bertanya.
"Because, i don't like to share my private life," jawabnya cuek.
Nina cukup kagum dengan jawaban calon suaminya itu. Ia bahkan spontan memberi tepuk tangan. Ia baru berhenti setelah semua mata melotot ke arahnya.
"Nina, kenapa lo nyebarin gosip kalau Nick gay? Rupanya lo nikah ama dia, apa lo sengaja supaya Nick gak digodain cewek lain?" tanya Sisca.
Nick ikut mengawasi Nina, sepertinya ia juga bertanya hal yang sama.
"Eh, itu .... Eh, gak gitu ya ceritanya. Gue cuma nanya ke elo waktu itu. Lo sendiri yang ngartiin beda, Sis." Melihat mata Nick melotot, Nina merasa jawabannya kurang memuaskan. "Ya, kalau karena itu kalian pada gak berani godain Nick, bagus berarti, gue berhasil, hehehe, sambung Nina cengengesan.
Jawabannya yang kedua ternyata cukup mendapat respon positif dari Nick. Pria itu sedikit mengulas senyum. Nina merasa lega.
"Jadi, kalian berdua saling mencintai?" tanya salah seorang lagi.
Pertanyaan itu sukses membuat Nina dan Nick tidak berkutik. Tidak ada yang tergerak untuk menjawab. Semua kini dipeluk kabut keheningan.
"Aduh, ini pada ngapain sik? Gue udah berasa jadi pasangan mesum yang ke-gap sama satpol PP ini. Lo semua lagi kagak ada kerjaan apa?" Nina mulai gerah.
Namun, kemudian sebuah suara letusan mengagetkan semua.
"Yeay, wife and husband wanna be," teriak seseorang dari belakang yang tak lain dan tak bukan adalah Om Sandy.
Sebuah trolly dengan kue tart lengkap dengan kembang api tersusun di atasnya. Sebuah poster bertuliskan : "Bridal shower Party, Nick & Nina" tertulis di sana.
"Jangan nangis, Beb. Kita udah tau sejak kemarin kok. Hari ini kita mau bikin kejutan ama lo berdua." Sisca sebagai Mc memulai acara.
Nick dan Nina saling berpandangan dan membuat ekspresi bertanya. Namun, keduanya sama-sama bingung dan cukup terkejut dengan pesta ini.
Nina dan Nick kemudian didandani bak raja dan ratu. Pesta kekinian ala-ala sosialita itu berjalan cukup meriah.
"Dan, puncak acaranya. Nick, lo musti ngulang saat lo ngelamar Nina di depan kita semua," usul sang MC.
Nick dan Nina kembali berpandangan, kenyataannya lamaran resmi ala prince dan princess itu memang tak pernah ada. Nick bahkan tak pernah membicarakannya langsung pada Nina.
"Nah, anggap ini cincinnya. Sekarang lo Nick lamar Nina," pimpin Sisca sambil menyerahkan cincin entah dari mana.
"Come on, Nick. Berlutut!" sorak salah seorang dari belakang.
"Ayo, nick. Tunjukin ke kita mesranya kamu, penasaran nih." Suara lain ikut mengompori.
Nick dan Nina merasa salah tingkah. Nina juga yakin Nick gak bakal mau melakukan apa yang diperintahkan si pengarah acara. Karena, ya, Nick memang seperti itu, cool dan kaku.
Namun, kali ini Nina salah. Nick benar-benar berlutut di hadapannya, meraih tangan Nina perlahan ke arahnya.
"Nina, There are many ways to be happy in this life, but all i really need is you. You are the one I've been waiting for my whole life." Hening sesaat, Nick terlihat grogi, "So, Nina, will you marry me?" Suara Nick terdengar cukup dalam. Musik yang tadi terdengar, memang sudah berhenti saat Nick berlutut. Suasana mendadak sunyi, hanya suara Nick yang terdengar tegas.
Nina merinding, meski ia menduga hal ini hanya acting saja, tapi ia cukup terbawa suasana. Matanya mendadak basah, haru membuncah di dadanya. Lama ia tak mampu berkata-kata, sampai Sisca memberi kode.
"A... Ai will, i do," jawabnya haru. Air mata yang sejak tadi tertahan di sudut matanya luruh, dadanya semakin terasa sesak saat Nick menyematkan cincin ke jari manisnya.
Semua orang kemudian bertepuk tangan. Kehebohan kembali terjadi. Saat itulah Nina sadar, semua tak nyata, ini hanya bagian dari acara. Rasa perih seakan menjalar naik ke dadanya.
Pagi-pagi Bia sudah sibuk menarik paksa Nina untuk melakukan persiapan pranikah yang hanya tinggal menghitung hari. Nina beruntung, Om Sandy memberikan kelonggaran pekerjaan padanya. Jadi Nina bisa fokus mempersiapkan dirinya menjelang pernikahan. "Ogah! Duh, kenapa sih pake perawatan segala. Orang nikah formalitas juga, demi hubungan bilateral dua negara," tolak Nina saat Bia memaksanya ikut. Ia lebih memilih berhela-hela di kasur sambil bermain game di ponsel pintarnya. "Set dah, lo kira lo putri mahkota yang nikah karena menyelamatkan negara? Udahlah cepet! Jangan bikin malu lo, ya, Lele. Masak penganten muka gosong kayak pantat panci, kuku kayak manusia purba abis garukin tanah, parah lu emang. Itu lagi rambut, kapan terakhir lo keramas? Huwek, sumpah, ye, lo bener-bener bau ikan lele di empang tau gak?" komentar Bia kejam. "Tau, yang mulutnya mangap tiap lo boker, ya kan?" balas Nina cuek.
Pria di hadapan Nina memang tak seperti saat pertama berjumpa, enam tahun yang lalu. Nina masih ingat ketika itu, mereka bertemu saat selebrasi mapala ke Gunung Gede. Nina menyukai penampilan Luka yang santai, berambut gondrong, dan suka berpetualang. Memori pertemuan mereka pertama kali pun masih terekam jelas di pikirannya, ia memang sulit melupakan semua itu. Pria itu pernah menyelamatkan hidupnya. "Eh, lo rombongan mana?" tanya seorang pria pada seorang gadis yang tersasar di gunung ini karena asik mengambil foto. Udara dingin di puncak gunung membuat tubuhnya mulai membeku. Beberapa kali ia sudah mencoba menyusuri jalan yang ia yakini sebagai jalan yang sama ketika rombongannya mendaki tadi. Namun, entah kenapa ia selalu kembali ke tempat yang sama. Tenaganya mulai habis, kelelahan dan ketakutan membuat energinya mulai menipis. Langit senja tiba, keindahan matahari menjelang terbenam tak lagi mampu ia nikmati. Jarak pandang sa
Subuh belum lagi tiba, tapi kesibukan sudah mulai terdengar di rumah Nina. Meski acara tidak dilangsungkan di rumah, tapi semua persiapan dimulai dari tempat ini. Sebuah taman di komplek rumah Nina akan menjadi lokasi sekaligus latar belakang pengucapan janji suci dan resepsi. Nina mau tak mau harus rela wajahnya didandani full cover meski sebelumnya wajah polosnya itu hampir tak pernah tersentuh kosmetik. Nina sudah berpesan sejak awal kalau make-upnya haruslah minimalis. Ia tak ingin terlihat a memakai topeng, meski topeng itu sendiri melekat di wajahnya, ya, topeng kebahagiaan semu. Ia harus mengatur senyum, meski dalam hatinya kini kembali terluka.Pertemuannya dengan Luka masih membekas di hatinya, menyisakan gelisah yang berkesinambungan. Apalagi karena ponselnya rusak setelah itu. Nick memang sudah membelikan Nina yang baru karena merasa ikut bersalah menarik Nina. Namun, bukan itu yang Nina sesali. "Duh, tahan dikit dong, Mbak
Mau tak mau Nina dan Nick harus mengulang adegan tadi. Nick menyentuh bahu Nina pelan, lalu mengecup kening istrinya itu dengan lembut. Desir panas mengalir cepat ke jantung Nina, menyisakan perasaan aneh yang memutar perutnya. Mereka menyelesaikan adegan dengan pose pelukan yang kaku. Untunglah setelahnya dilanjut foto keluarga. Kehebohan keluarga akhirnya mampu mencairkan kegugupan pasangan baru itu. *** Nina sudah berusaha agar tidak lekas masuk kamar. Ia menyibukkan diri dengan bermain bersama Hana–keponakannya. Nick sepertinya masih asik ngobrol bersama orang tua Nina dan keluarganya. Hana kemudian terlihat mengantuk dan akhirnya tertidur di pangkuan Nina. Bia pun segera menggendong anaknya menuju kamar. Nina mengekor. "Mau ngapain lu ikutin gue, Lele. Sono ke kamar lu, siap-siap kek," usir Bia. "Siap-siap apa?" tanya Nina polos. "Halah, Lele, sok lugu lu. Ciye... Ciye, ada yang
"Kamu ini, malah nyuruh suaminya bawa beginian," omel Mama. "Yaelah, Ma. Masak gitu aja gak boleh. Papa aku aja gak masalah nyuci piring," bantah Nina. "Ih, beda, Nin. Kamu masih baru, jangan langsung keliatan gragasnya gitu lah. Apalagi masih di rumah mama, nanti kalau udah rumah sendiri baru deh kesepakatan kalian berdua." Kata-kata Mama membuat Nina kaget "Rumah sendiri? Mama mo ngusir Nina? Gak mau, Nina mau tinggal sama Mama Papa." mata Nina berkaca-kaca menatap Mama. "Duh, ni anak, paling bisa aja bikin mamanya mewek. Ya, siapa juga yang gak mau Nin. Tapi mama tahu banget rasanya, kalau udah menikah itu baik di rumah orang tua atau mertua, tetap aja asing rasanya. Lebih nyaman di rumah sendiri lah, meskipun cuma kontrakan kecil." Mama menggenggam tangan bungsunya itu. "Tapi, Ma..." "Mama tahu, kamu sama Nick masih belum ada rasa. Tapi seiring waktu, pasti benih
Nick dalam posisi memeluknya, spontan kantuk Nina hilang dan duduk secara tiba-tiba. Wajahnya terasa memanas, adegan tadi membuat dadanya berdebar-debar. Nick rupanya ikut terkejut dengan gerakan Nina yang tiba-tiba. "Kenape?" tanyanya kaget, sambil mengucek-ngucek mata. "Oh, ehm, gak. Itu, azan." Nina pun lekas bangun dari posisinya dan lari menuju kamar mandi. Nina menghela napas lega. Meski sejak zaman sekolah dulu temannya lebih banyak kaum lelaki, tapi tentu saja saat ini situasinya beda. Ia belum siap menerima sentuhan dari Nick. Ia juga tidak tahu kapan akan siap, membayangkannya saja membuat Nina bergidik ngeri. *** Nina belum juga menuntaskan cutinya meski ia sendiri sebenarnya sudah bosan di rumah terus. "Mama mau ke mana?" tanyanya ketika melihat Mama berdandan rapi. "Mau ke rumah Tante Marina. Ada
Sudah sekitar lima menit dua orang berlainan jenis itu terjebak dalam perih yang tak berujung. Keheningan seakan menjadi atmosfer yang cukup menyejukkan, membuat keduanya enggan beranjak."Maafkan aku, Nin. Seharusnya aku lupakan saja semua dan melanjutkan hidup. Tapi sepertinya luka yang bercampur rasa cinta dan dendam membuatku sulit menghapus semua. Apalagi ketika kita kembali bertemu, meski saat itu aku tidak tahu kalau semua telah terlambat." Luka terlihat menunduk menahan perih yang Nina tidak tahu seberapa banyak.Nina merasa lukanya tidak ada apa-apanya sekarang. Apa yang dialami Luka sepertinya lebih perih. Nina memberanikan diri menyentuh pelan pundak Luka. Berharap bisa memberi kekuatan pada pria yang pernah merajai hatinya itu. Namun, yang terjadi kemudian di luar dugaannya.Luka menoleh sesaat, lalu meraih Nina ke dalam pelukannya. Nina cukup terkejut, ia tahu hal ini salah. Tetapi pelukan itu terlalu hangat d
Popcorn ukuran besar dan dua cangkir es kopi menemani mereka menonton. Nick dengan santai dan cuek, merebahkan tubuhnya di samping Nina. Nina mendadak gugup. Santai, Nin. Santai aja, kek gak pernah deket ama cowok aja lu. Biasa dulu templok kayak sarden di kosan Bobo santai aja lu. Mana cowok semua lagi, kenapa lu jadi cupu gini, batinnya. Nina pun menghela napas, lalu ikut berbaring di samping Nick. Ia berusaha secuek mungkin, dan menganggap Nick selevel dengan teman-teman kuliahnya dulu. Namun, tentu saja semua berubah tergantung respon dan keadaan. Entah kenapa, Nick mendekatkan lengannya, dan menaruh kepala Nina di atasnya. Malam itu Nick seakan berubah, dengan santai ia merangkul bahu Nina sambil menikmati popcorn. Usaha Nina untuk tampil cuek tadi gagal total. Sekarang ia benar-benar tidak bisa mengontrol bunyi jantungnya yang seperti hendak melompat keluar. Apalagi ketika aroma maskulin