Share

8. Baper

Sejak hari itu, jarak Nina dan Nick makin terasa jauh. Setiap berpapasan dengan Nick, Nina memilih menghindar. Hal tersebut cukup kontras terlihat. Gosip mengenai Nick perlahan memang mulai padam, seiring sebuah undangan pernikahan mendarat di meja masing-masing karyawan.

Nina sama sekali tidak diberi tahu perihal ini sebelumnya. Untunglah ia menemukannya satu di meja security sebelum masuk kantor. Kebiasaannya nongkrong bersama bapak-bapak keamanan ternyata cukup berguna hari ini.

"Ha? Udah disebar hari ini? Mampus gue. Bakal diserbu gue hari ini, mending gua kagak masuk aja dah." Nina beringsut meninggalkan area perkantoran.

"Eh, Nin, lo mau ke mana?" tanya Sisca yang berpapasan dengannya di gerbang depan.

"Eh, itu, anu ... Hp gue ketinggalan. Mau balik dulu, ye. Oke, bye!" Nina buru-buru kabur sebelum Sisca menyadari kebohongannya.

Dugaan Nina benar, belum sampai separuh jalan menuju rumah, ponselnya tak henti berdering. Panggilan selanjutnya tak dapat Nina abaikan, Nick menelponnya.

"Ha, halo," jawab Nina.

"Nin, awak tu kat mane?" tanya Nick. Suaranya terdengar panik. Ia bahkan sampai lupa perang dinginnya dengan Nina.

"Di... Di jalan, why?"

"Awak tu ke yang kasi undangan ke orang-orang hari ne?"

"No, bukan gue kok. Gue kira malah elu. Kalau bukan lu, ho, pasti Om Sandy, ni."

"Oh God. Please, help me. Ne semue orang dah bising nak cari kebenaran. I tak tahu nak cakap ape."

"Ya, elo juga ngapain di situ. Mo ngomong apa? Udah, kabur aja."

"Macam mane nak kabur, die orang kumpul semue kat depan tu."

"Hm, oh iya, yaudah, lo keluar lewat pantry gih, ne gue jemput, ya. Lo keluar, lewat tangga darurat, trus masuk ke pantry. Di sana ada pintu keluar. Gue tunggu di sana."

"Oh, oke. Cepat siket, ye."

"Ish, iya." Nina menutup telpon, "Bawel juga ni orang," rutuknya.

Jalanan kembali ternyata cukup macet, Nina harus mencari jalan alternatif lain yang menyebabkan mobilnya harus memutar jalan sedikit lebih jauh. Saat sampai, rupanya Nick sudah menunggu di ujung jalan. Nick pun lekas masuk, seperti maling yang dikejar polisi.

"Go, Nina! I ketahuan kabur, Go!"

"Iye... sabar," jawab Nina grogi.

Nina pun menginjak gasnya segera, meninggalkan lokasi penjemputan.

"Fiuh!" ujar mereka serempak.

Entah siapa yang memulai, kedua tersangka ini akhirnya tertawa bersama, geli sendiri menyadari situasi mereka yang bak artis dikejar paparazi. Nina menepikan mobilnya karena tak tahan menahan tawa.

"Gila banget ini. Kita udah kayak partner in crime tau gak? Masak kabur begini, bukannya ngundang baek-baek, ya? Hahaha."

"Hahaha, eh, tapi yang awak tu cakap betul lah. Nape pulak kite lari, kan?" tanya Nick bingung.

"Ya, mereka juga, napa beringas gitu sih ngejarnya? Kayak debt collector nagih utang aja."

"Betul juga." Nick kembali tertawa, ia merasa konyol saat mengingat sikap teman-temannya itu.

Setelahnya mereka hanya terdiam, beberapa kali mata mereka kemudian bertemu. Lalu keduanya kembali berusaha mengalihkan pandangan, sampai kemudian seseorang menepuk kaca mobil dengan keras.

"Heh, keluar kalian. Balik ke kantor sekarang juga!" Om Sandy dengan muka galak menangkap basah mereka berdua.

"Alamak, matilah kita," rengek Nina.

***

Aula kantor mendadak seram dan suram. Sepasang muda-mudi yang tertangkap basah kabur dari kantor setelah undangan pernikahannya tersebar, kini sedang duduk sebagai pesakitan. Keduanya menunduk, antara malu dan takut yang bersatu.

Ruangan ber-AC itu mendadak terasa gerah. Lampu neon yang hanya satu dinyalakan terlihat berkedip-kedip. Suasana introgasi benar-benar membuat mental para pesakitan jadi down. Nick yang masih saja sok cool, terlihat menatap lurus ke depan.

"Jadi, Nick. Kenapa lo merahasiakan hubungan lo sama Nina?" Indra–salah seorang karyawan senior mulai bertanya.

"Because, i don't like to share my private life," jawabnya cuek.

Nina cukup kagum dengan jawaban calon suaminya itu. Ia bahkan spontan memberi tepuk tangan. Ia baru berhenti setelah semua mata melotot ke arahnya.

"Nina, kenapa lo nyebarin gosip kalau Nick gay? Rupanya lo nikah ama dia, apa lo sengaja supaya Nick gak digodain cewek lain?" tanya Sisca.

Nick ikut mengawasi Nina, sepertinya ia juga bertanya hal yang sama.

"Eh, itu .... Eh, gak gitu ya ceritanya. Gue cuma nanya ke elo waktu itu. Lo sendiri yang ngartiin beda, Sis." Melihat mata Nick melotot, Nina merasa jawabannya kurang memuaskan. "Ya, kalau karena itu kalian pada gak berani godain Nick, bagus berarti, gue berhasil, hehehe, sambung Nina cengengesan.

Jawabannya yang kedua ternyata cukup mendapat respon positif dari Nick. Pria itu sedikit mengulas senyum. Nina merasa lega.

"Jadi, kalian berdua saling mencintai?" tanya salah seorang lagi.

Pertanyaan itu sukses membuat Nina dan Nick tidak berkutik. Tidak ada yang tergerak untuk menjawab. Semua kini dipeluk kabut keheningan.

"Aduh, ini pada ngapain sik? Gue udah berasa jadi pasangan mesum yang ke-gap sama satpol PP ini. Lo semua lagi kagak ada kerjaan apa?" Nina mulai gerah.

Namun, kemudian sebuah suara letusan mengagetkan semua.

"Yeay, wife and husband wanna be," teriak seseorang dari belakang yang tak lain dan tak bukan adalah Om Sandy.

Sebuah trolly dengan kue tart lengkap dengan kembang api tersusun di atasnya. Sebuah poster bertuliskan : "Bridal shower Party, Nick & Nina" tertulis di sana.

"Jangan nangis, Beb. Kita udah tau sejak kemarin kok. Hari ini kita mau bikin kejutan ama lo berdua." Sisca sebagai Mc memulai acara.

Nick dan Nina saling berpandangan dan membuat ekspresi bertanya. Namun, keduanya sama-sama bingung dan cukup terkejut dengan pesta ini.

Nina dan Nick kemudian didandani bak raja dan ratu. Pesta kekinian ala-ala sosialita itu berjalan cukup meriah.

"Dan, puncak acaranya. Nick, lo musti ngulang saat lo ngelamar Nina di depan kita semua," usul sang MC.

Nick dan Nina kembali berpandangan, kenyataannya lamaran resmi ala prince dan princess itu memang tak pernah ada. Nick bahkan tak pernah membicarakannya langsung pada Nina.

"Nah, anggap ini cincinnya. Sekarang lo Nick lamar Nina," pimpin Sisca sambil menyerahkan cincin entah dari mana.

"Come on, Nick. Berlutut!" sorak salah seorang dari belakang.

"Ayo, nick. Tunjukin ke kita mesranya kamu, penasaran nih." Suara lain ikut mengompori.

Nick dan Nina merasa salah tingkah. Nina juga yakin Nick gak bakal mau melakukan apa yang diperintahkan si pengarah acara. Karena, ya, Nick memang seperti itu, cool dan kaku.

Namun, kali ini Nina salah. Nick benar-benar berlutut di hadapannya, meraih tangan Nina perlahan ke arahnya.

"Nina, There are many ways to be happy in this life, but all i really need is you. You are the one I've been waiting for my whole life." Hening sesaat, Nick terlihat grogi, "So, Nina, will you marry me?" Suara Nick terdengar cukup dalam. Musik yang tadi terdengar, memang sudah berhenti saat Nick berlutut. Suasana mendadak sunyi, hanya suara Nick yang terdengar tegas.

Nina merinding, meski ia menduga hal ini hanya acting saja, tapi ia cukup terbawa suasana. Matanya mendadak basah, haru membuncah di dadanya. Lama ia tak mampu berkata-kata, sampai Sisca memberi kode.

"A... Ai will, i do," jawabnya haru. Air mata yang sejak tadi tertahan di sudut matanya luruh, dadanya semakin terasa sesak saat Nick menyematkan cincin ke jari manisnya.

Semua orang kemudian bertepuk tangan. Kehebohan kembali terjadi. Saat itulah Nina sadar, semua tak nyata, ini hanya bagian dari acara. Rasa perih seakan menjalar naik ke dadanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status