Wajah Mas Adi berubah menjadi pucat. Dapat aku lihat tubuhnya yang gemetar. Bahkan tangan Mas Adi yang menggenggam tanganku terasa sangat dingin. Sepertinya dia sangat terkejut dengan kata cerai yang baru saja aku lontarkan. Tapi, sikap Mas Adi sama sekali tidak ada apa-apanya di banding perasaanku saat dia mengatakan padaku ingin menikah lagi dengan Rumi.
"Aku mohon jangan dek. Aku janji akan memperbaiki semua kesalahanku padamu dan Nasya."
Mas Adi menggenggam erat kedua tanganku yang sangat dingin. Suamiku bahkan sudah menangis di hadapanku. Perasaanku sudah terlalu hambar untuk ikut menangis bersama Mas Adi. Air mata sudah lebih dulu habis menghadapi sikapnya yang tidak pernah adil padaku dan Nasya.
"Keputusanku sudah bulat mas. Ini bukan pertama kalinya kamu mengabaikan Nasya demi Rahman. Bahkan saat acara kelulusan di TK kecil kau meninggalkan Nasya di tengah acara wisuda hanya karena Rumi mengatakan Rahman terus menangis karena ingin bertemu denganmu."
Kejadian itu sudah tertinggal dua tahun lalu. Saat usia Nasya baru menginjak empat tahun, putriku sudah lulus dari TK kecil. Sekolah Nasya mengadakan acara perpisahan yang biasanya di hadiri oleh orang tua atau wali murid. Selain itu, Nasya dan teman-temannya juga menampilkan salah satu lagu anak-anak. Sehingga putriku ingin berfoto bersama orang tuanya dengan kostum yang di pakai hari itu.
Baru saja kami masuk ke dalam mobil, Rumi sudah menelpon Mas Adi. Karena Mas Adi menggunakan mode loudspeaker aku bisa mendengar suara tangis Rahman dan perkataan Rumi yang meminta Mas Adi datang ke rumahnya.
Mas Adi sempat menolak karena harus menghadiri acara perpisahan sekolah Nasya bersama denganku. Setelah itu Rumi ikut menangis karena tangis Rahman tidak kunjung berhenti. Bahkan maduku itu mengatakan takut sesuatu yang buruk terjadi pada Rahman. Mas Adi lalu setuju akan pergi ke rumah Rumi setelah mengantarkan aku dan Nasya ke sekolah.
Saat Nasya juga ikut menangis dengan memegang tangan Mas Adi agar tidak pergi, suamiku itu tidak peduli lalu masuk ke dalam mobil setelah mengatakan pada Nasya jika Rahman sakit. Padahal kenyatannya Rahman hanya menangis saja.
"Saat Nasya merengek karena kau lebih memilih pergi ke rumah Rumi padahal saat itu adalah jatahmu bersama denganku dan Nasya, aku mengirim banyak pesan padamu mas. Aku menelponmu terus menerus dan bahkan melakukan video call agar Nasya bisa melihat wajahmu. Tapi, kau justru menolak telpon dariku mas."
Mas Adi berusaha merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Sekali lagi aku menampik tangannya agar tidak bisa memelukku. Mas Adi juga sudah menangis tergugu. "Maafkan aku dek. Maafkan aku." Hanya kalimat itu yang di ucapkan Mas Adi. Sama sekali tidak ada pembelaan yang keluar dari mulutnya untuk menyangkal semua perkataanku.
Bukan hanya satu kali. Tapi, sudah berulang kali Mas Adi pergi saat jatahnya untuk tinggal bersama denganku dan Nasya. Bahkan dalam satu bulan Mas Adi hanya tidur di rumahklu lima sampai tujuh hari saja. Awalnya aku bisa memberi pengertian pada Nasya jika Rahman sedang sakit atau alasan lan. Namun, lama kelamaan aku yang sudah kehabisan alasan hanya membiarkan Nasya merengek agar tidak di tinggal pergi oleh Ayahnya.
Untuk meredakan tangisan Nasya, aku sering kali mengirim pesan, menelpon atau melakukan panggilan video call. Sering kali panggilanku di reject. Pesanku hanya di baca tapi tidak di balas. Bahkan pesan yang aku kirim juga di hapus oleh Mas Adi.
"Aku tidak pernah menolak telpon darimu dek. Mungkin saja saat itu Rahman sedang memakai hpku untuk bermain game." Bantah Mas Adi dengan suara bergetar
"Bahkan saat Rahman masih bayi?" Tanyaku yang terdengar sangat sarkas dan sinis.
"Kamu sudah sering menolak telponku sejak Rahman lahir. Sejak semua perhatian kau berikan pada Rahman. Sehingga Nasya hanya dapat sedikit saja."
"Demi Allah dek. Aku tidak pernah menolak telpon darimu. Bahkan aku sering mengirim pesan padamu walaupun tidak kamu balas." Aku mendengus tidak percaya.
"Mengirim pesan? Maksudmu pesan untuk tidak mengganggu kebersamaanmu dengan Rumi dan Rahman? Dulu, aku berusaha memaklumi jika kau mengirim pesan tentang Rahman yang rewel, tentang Rahman yang ingin bermain denganmu, tentang Rahman yang ingin berlibur denganmu. Tapi, aku tidak bisa lagi memaklumi saat kau mengirim pesan tentang Nasya."
Wajah Mas Adi terlihat bingung. Entah dia benar-benar tidak tahu atau hanya pura-pura saja.
"Tadi sore aku sudah berusaha menelponmu dan mengirim puluhan pesan untuk meminta ijin membawa Nasya ke rumah sakit. Tapi, apa balasan darimu mas? Kau bilang aku terlalu berlebihan. Nasya tidak perlu di bawa ke rumah sakit karena panasnya akan reda sendiri. Kau bahkan memintaku untuk tidak mengganggumu yang sedang menyuapi Rahman makan."
Mas Adi lalu meraih hp dari dalam saku. Memeriksa pesan yang aku maksud. Pasti pesan itu sudah tidak ada. Aku punya tebakan jika Rumi yang menghapus pesanku. Tapi, aku tidak mau mengatakan hal itu agar Mas Adi bisa tahu sendiri bagaimana kelakuan istri keduanya terhadapku.
"Kamu mau pura-pura di depanku mas? Tentu saja pesan itu tidak ada karena sudah kamu hapus. Sejak dulu aku heran kenapa kamu selalu menghapus pesan menyakitkan yang kamu kirim padaku. Agar apa? Agar tidak ketahuan oleh Abah?" Todongku mengalihkan kesalahan yang mungkin di buat Rumi padanya.
"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu dek. Yang jelas aku tidak pernah melakukan semua hal yang sudah kamu tuduhkan." Mas Adi menggelengkan kepala tegas.
Aku lalu mengulurkan hpnku padanya. "Bukalah. Aku sudah meng-screenshot pesanmu tadi sore. Untuk berjaga-jaga jika kau menghapusnya lagi."
[Mas aku mau bawa Nasya ke rumah sakit. Demamnya sudah tinggi banget. Aku khawatir kalau terjadi sesuatu sama Nasya.]
[Kamu terlalu lebay dek. Nasya itu cuma demam biasa. Coba di kompres terus. Demamnya pasti turun. Aku nggak bisa meninggalkan Rahman kalau dia lagi nggak mood seperti ini. Nanti Rahman tidak mau makan. Tolong jangan ganggu waktuku dengan Rumi dan Rahman.]
Kedua mata Mas Adi membulat membaca pesan itu. Aku ingin Mas Adi mulai menyelidiki tentang Rumi. Jika dia bukan yang membalas pesanku, Mas Adi pasti akan mulai curiga pada Rumi.
"Selama ini aku selalu mengabaikan pesan menyakitkan yang sudah kamu kirim mas. Apalagi setiap kau pulang seolah kau tidak pernah mengirimkan pesan itu. Tapi, sekarang tidak lagi. Cukup sudah penolakan demi penolakan yang kamu berikan padaku dan Nasya."
"Sumpah demi Allah dek. Bukan aku yang mengirim pesan ini." Sangkalnya mengelak dengan keras.
"Lalu, siapa yang mengirim kalau bukan kamu?" Tantangku tidak mau kalah.
"Aku, aku akan membuktikan jika bukan aku yang sudah mengirim pesan ini padamu dek. Berikan aku waktu. Tolong jangan menyerah padaku dek." Sekali lagi Mas Adi memohon di hadapanku.
"Tidak hanya soal itu yang membuatku kecewa mas. Tapi, ini juga tentang Nasya. Sejak masuk ke TK, sudah berapa kali teman Nasya mengejek jika Ayahnya punya dua istri. Karena itulah aku selalu menolak jika kau mengajak Rumi dan Rahman untuk menjemput Nasya bersama denganmu."
"Mengejek?" Tanya Mas Adi sekali lagi.
"Iya. Aku memang tidak pernah menceritakan hal ini padamu untuk menjaga harga dirimu sebagai suami dan Ayah Nasya. Apa kamu tahu yang mereka katakan mas? Ayahnya Nasya tukang kawin. Nasya sudah tidak di sayang Ayahnya lagi karena ada adik baru. Ayah Nasya lebih sayang sama adik laki-lakinya dan masih banyak lagi. Seandaianya saat itu kamu tidak memperkenalkan Rumi dan Rahman kepada semua wali murid di tk Nasya. Semua ini tidak akan terjadi."
Aku harap Mas Adi ingat kejadian hari itu. Saat tk Nasya mengadakan pentas seni di tahun berikutnya, aku dan Mas Adi sudah bersiap pergi. Kami baru saja masuk ke dalam mobil saat sebuah taksi berhenti. Rumi dan Rahman turun dari mobil itu meminta untuk ikut.
Aku sudah mengatakan jika Rumi dan Rahman tidak boleh ikut untuk menjaga perasaan Nasya. Tapi, Mas Adi tidak menggubris dan mengijinkan Rumi dan Rahman ikut ke pentas seni sekolah Nasya. Memperkenalkan mereka sebagai istri kedua dan putra Mas Adi. Setelah itu, Mas Adi juga mengijinkan Rumi dan Rahman jika ingin menjemput Nasya ke sekolah saat aku sedang sibuk.
"Aku, aku tidak tahu hal itu dek." Dadaku terasa semakin sesak. Menatap wajah Mas Adi yang terlihat sangat bersalah. Tapi, hal itu tidak akan mengubah masa lalu yang sudah terjadi.
"Karena itulah aku memberi tahumu sekarang mas. Itulah yang aku maksud sudah menciptakan luka untuk Nasya. Jika aku memilih mundur sejak dulu saat Rahman baru saja lahir lalu kau memberi seluruh perhatian pada anak laki-lakimu itu, Nasya tidak akan terluka seperti ini."
"Jangan dek. Aku tidak mau bercerai." Mas Adi mengiba berkali-kali.
"Ibuuu. Aku haus." Rengekan Nasya yang baru bangun seketika membuat aku bangkit berdiri. Tanganku lalu mengambil gelas berisi setengah air dari atas nakas.
"Minumnya sambil duduk sayang." Kataku lembut. Tangan kananku menopang punggung Nasya agar mau duduk.
Mas Adi sudah berjalan menghampiri sisi tempat tidur Nasya. "Bagaimana keadaan kamu sayang? Maaf jika Ayah baru datang?"
Kedua mata Nasya membulat. Bahkan sudah berkaca-kaca. Membuat hatiku menjadi semakin teriris. Nasya lalu memelukku untuk menyembunyikan wajahnya dari Mas Adi.
"Aku nggak mau bertemu Ayah. Ayah sudah jahat sama aku Bu." Tangis Nasya pelan yang terdengar sangat menyanyat hati.
"Nasya sayang. Ayah nggak bermaksud menyakiti kamu." Ini pertama kalinya aku mendengar secara langsung kata jahat yang keluar dari mulut putriku. Nasya memang sudah sering memperlihatkan wajah kecewa jika Mas Adi pergi begitu saja demi memenuhi keinginan Rahman. Walaupun tidak pernah di ucapkan pada Mas Adi, Nasya berulang kali mengatakan padaku jika ia jadi benci pada Rahman. Karena sudah merebut semua perhatian Mas Adi dari Nasya. Kemarin malam saat demam Nasya semakin tinggi, Nasya terus mengigau jika dia benci pada Ayahnya. Ucapan yang aku kira hanya bunga tidur karena demam yang di derita Nasya tadi malam. Rupanya itu adalah ungkapan kecewa yang sebenarnya pada Mas Adi. "Nggak mau. Suruh Ayah pergi sekarang Bu." Jerit Nasya tidak terkendali. "Lebih baik Mas Adi pergi sekarang. Nggak enak sama pasien lain kalau suara tangis Nasya sampai keluar dari kamar ini." Mas Adi menganggukan kepalanya lalu mulai melangkah pergi dari kamar ini. Saat Mas Adi berjalan keluar dari kamar, aku
"Apakah kamu tidak salah mengatakan hal itu padaku?" Tanyaku dengan suara datar. Rumi memang hanya menunjukkan sifat aslinya di hadapanku. Namun, jika sudah di depan Mas Adi dia akan berubah menjadi adik madu yang baik. Hebat sekali aktingnya sehingga bisa membuat Mas Adi tidak sadar dengan sifat asli Rumi selama tiga tahun ini. "Tentu saja tidak. Gara-gara kamu, Mas Adi jadi pergi dari rumah sejak tadi malam. Padahal apa salahnya kamu mengijinkan Mas Adi untuk bermalam di rumahku? Aku ini juga istrinya mbak. Mas Adi juga sudah menemani Nasya sejak tadi malam. Maka pagi ini aku minta waktunya untuk Rahman. Tapi, Mas Adi menolak permintaanku. Itu pasti karena ulah kamu." Aku sengaja tertawa untuk mengejek Rumi. Aneh sekali adik maduku ini. Padahal dia sering merebut waktu Mas Adi dariku dan Nasya. Tapi, sekarang Rumi justru merasa paling di sakiti. Padahal waktu Mas Adi datang ke rumahnya kemarin adalah jatahku bersama Mas Adi. "Aku sama sekali tidak meminta Mas Adi untuk melakukan
Tepat setelah telpon di tutup, aku memilih keluar dari kamar mandi. Kakiku melangkah menuju sofa ruang tunggu lalu mengambil bubur yang tadi di belikan oleh Mas Adi. Aku memakan bubur itu dengan lahap. Sesekali aku akan melihat Nasya yang masih tidur. Hingga aku bisa menangkap lirikan Mas Adi padaku. Untunglah dia tidak mendekat karena masih sibuk dengan hpnya. Entah Mas Adi sedang berbalas pesan dengan siapa. Yang jelas bukan Rumi. "Ibu." Beberapa menit kemudian Nasya sudah bangun. Mas Adi dengan sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nasya. "Nasya sama Ayah dulu ya. Biar Ibu bisa makan. Ayo minum dulu nak." Nasya sama sekali tidak menanggapi ucapan Mas Adi. Yang ada hanya tatapan sedih bercampur dengan marah di kedua bola matanya. "Nggak mau." Jawab Nasya ketus. Membuatku merasa sedih. Semarah apapun aku pada Mas Adi, tetap saja aku tidak mau membuat Nasya jadi membenci Ayahnya sendiri. Setidaknya Nasya bisa memberikan maaf lalu berdamai dengan Mas Adi. Tidak seperti aku yang
“Ucapkan salam dulu besan. Jangan langsung masuk seperti itu.” Tegur Umi dengan raut wajah tidak suka. Raut wajah Bu Saroh, Mama Rumi, langsung berubah saat melihat jika Umi yang sudah menegurnya. Senyum kaku tersungging di bibirnya. “Ehm. Assalamualaikum.” Sapa Bu Saroh lalu duduk di samping Ibu setelah menyalami kami semua. Kecuali Abah, Papa dan Mas Adi. “Waalaikumsalam.” Jawab kami semua serempak. “Saya cuma merasa kesal dengan perkataan Nada, Bu Anisa. Kalau mau cerai dari Adi tidak perlu bawa-bawa anak saya.” Kata Bu Saroh dengan nada lembut pada Umi. Namun, lirikan matanya tertuju tajam padaku. “Siapa juga yang bawa-bawa Rumi. Papa dan Mamanya Nada sedang menanyakan alasan kenapa Nada memilih untuk cerai. Kenapa tidak bisa menjalin hubungan harmonis dengan Rumi. Seperti saya dan Mbak Asih. Terus di jawab sama Nada sikap Rumi dan sikap saya itu bagai langit dan bumi. Memang betul seperti itu kan?” Raut wajah Bu Saroh langsung berubah menjadi kesal mendengar jawaban Umi. Sej
Raut wajah Mas Adi yang awalnya datar langsung berubah panik. Pandangannya terus tertuju kesana dan kemari karena tidak fokus. Duduknya menjadi gelisah. Tapi, dia tidak kunjung pergi dari ruang rawat Dinda. Karena baik Abah, Ibu dan Umi juga masih duduk di tempat mereka. Pasti Mas Adi merasa tidak nyaman. Apalagi dengan keberadaan Papa dan Mama yang masih ada disini. “Kenapa kamu tidak segera pergi mas? Nanti Rumi akan menuduhku menahanmu disini agar tidak bisa menemani Rahman yang sedang sakit. Sama seperti sebelumnya. Padahal aku tidak pernah melakukan hal itu.” Ujarku menyindirnya sesuai dengan perkataan Rumi yang selalu adik maduku itu ucapkan padaku. “Nada benar Di. Kamu pergi sekarang saja. Asal jangan lupa datang ke kamar ini lagi sebelum Nasya operasi.” Kata Ibu mendukungku. “Tapi, pembicaraan kita belum selesai Bu.” Pandangan Mas Adi kini sudah beralih padaku. Aku membuang wajah agar tidak menatapnya. “Aku akan melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangga kita dek.
Karena teriakan Rumi barusan, semua orang yang ada di taman rumah sakit ini sudah sibuk merekam kami. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan tentang pelakor yang bisa jadi tertuju padaku. Bukan pada Rumi. Belum sempat Mas Adi menjawab pertanyaan Rumi, dia sudah menarik tangan Mas Adi untuk pergi dari sini sambil terus bicara yang tentu saja berhasil menyudutkanku. Tatapan semua orang menatap tajam ke arahku. Seolah aku yang sudah bersalah disini. “Rahman masih sakit di rumah. Tapi, kamu malah pergi ke rumah sakit untuk menemui Mbak Nada.” Karena perkataan Rumi itu sudah banyak orang yang dengan sengaja mengatakan jika aku adalah pelakor syariah. “Hentikan kalian semua.” Teriakku dengan volume terkendali. Mas Rahman juga sudah berhasil melepaskan pegangan tangan Rumi di tangannya. “Aku bukan pelakor. Justru aku adalah istri pertama pria itu dan dia adalah istri kedua.” Sontak saja kamera segera beralih pada wajah sosok Rumi dan Mas Rahman yang sudah berjarak cukup jauh dariku. K
Degup jantungku seketika berdebar dua kali lipat. Apa ini? Mas Adi punya rahasia yang di sembunyikan dariku? Apa ini alasan Mas Adi selalu menuruti semua perkataan Rumi. Karena dia tidak ingin aku mengetahui hal ini. Diam-diam aku meletakan kembali hp itu ke atas meja. Untungnya Mama tidak melihat saat aku memegang hp Mas Adi. Nanti akan aku tanyakan hal ini padanya. Setelah selesai sarapan, aku menyuruh Mas Adi untuk memakan sarapan bagiannya. “Biar aku yang jaga Nasya.” Kataku setelah berdiri di samping kursinya. “Iya.” Mas Adi beranjak dari kursi lalu duduk di sofa. Aku duduk di kursi yang di tinggalkan Mas Adi. Tanganku mengusap dahi Nasya yang sudah tidak panas. “Kamu sudah siap untuk operasi nanti sayang?” Nasya menggelengkan kepalanya. “Aku takut Bu.” Ku genggam tangan kecil Nasya untuk menyalurkan kekuatan. Wajar saja jika Nasya merasa takut. Walaupun operasi yang akan di jalani nanti tergolong ringan. Tapi, hal itu tetap menakutkan untuk anak seusia Nasya. “Jangan takut
“Saat itu aku menceritakan tentang hasil usg pada teman-teman guruku saat berkunjung ke toko untuk membeli pakaian baru. Karena saat itu kami akan pergi menemani para siswa berwisata. Aku tidak menyangka jika Rumi mendengarnya lalu meminta aku menceritakan tentang keinginanku untuk mempunyai anak laki-laki lebih dulu. Aku seperti tidak sadar sudah menjawab semua pertanyaan Rumi saat itu Nad.” Tubuhku seketika terasa limbung. Aku memegang ujung meja agar tetap bisa duduk dengan tegak. Semua dugaan itu akhirnya di benarkan secara langsung oleh Mas Adi. Begitu juga dengan semua ucapan Rumi yang mengatakan jika dia bangga bisa memberikan anak laki-laki seperti yang di harapkan oleh Mas Adi. Karena itulah suka cita Mas Adi saat menyambut kelahiran Nasya dan Rahman sangat berbeda. Bukan berarti Mas Adi tidak sayang pada Nasya. Hanya saja saat Nasya lahir, Mas Adi langsung membawa kami pulang ke rumah. Tidak ada acara apapun untuk menyambut kelahiran putri kami. Berbeda dengan saat Rahman