Nada meminta bercerai karena Adi memberikan lebih banyak perhatian untuk istri kedua dan anak laki-lakinya. Adi yang masih cinta pada Nada berjanji untuk berubah dan akan berskap adil. Mampukan Adi melakukan hal itu dan membuat Nada mengurungkan niatnya untuk bercerai?
Lihat lebih banyakBRAK
Pintu kamar VIP di salah satu kamar rumah sakit ternama ini berdebam dengan keras. Di ranjang rumah sakit, putri kecilku masih terbaring lelap. Pasti Mas Adi yang sudah membuka pintu dengan keras. Aku sendiri masih menggenggam tangan putri kecil kami yang terpasang infus. "Bagaimana kondisi Nasya, dek?" Hening. aku sama sekali tidak menjawab pertanyaan Mas Adi. Mas Adi meraup wajah gusar lalu duduk di tepi tempat tidur Nasya. "Maafkan mas sayang. Rahman pakai HP Mas untuk bermain game. Jadi, Mas tidak tahu jika ada telpon dari kamu." Aku hanya bisa mendengus tidak percaya. Mas Adi tega meninggalkan Nasya yang badannya sudah panas sejak kemarin hanya karena Rahman merengek ingin di ajak pergi ke kebun binatang. Untuk ke sekian kalinya aku dan Nasya harus mengalah. Sayangnya kesabaranku kali ini mungkin sudah habis. "Mas mohon dek. Tolong beri tahu mas bagaimana kondisi Nasya," pintanya dengan nada memohon. "Memangnya Nasya itu anak kamu juga mas? Bukannya anak kamu hanya Rahman saja ya?" jawabku sinis. Sejak Rahman lahir, seluruh perhatian Mas Adi hanya tertuju pada anak laki-lakinya saja. Dalam waktu satu minggu, Mas Adi membagi waktu tiga hari berada di rumahku dan tiga hari lagi berada di rumah maduku. Sedangkan hari minggu di gunakan untuk liburan keluarga. Tergantung dengan jadwal tidur Mas Adi. Di rumahku atau di rumah maduku. Sayangnya janji manis Mas Adi yang akan adil saat memutuskan berpoligami tidak pernah di lakukan selama tiga tahun ini. Dia sangat sering mengabaikan Nasya yang ingin belanja di mall bersama Ayahnya. Pergi ke toko buku atau hanya sekedar jalan-jalan di taman. Namun jika sudah berhubungan dengan Rahman, Mas Adi akan melakukan segalanya. "Kamu bilang apa sih dek? Nasya itu juga anakku. Darah dagingku sendiri. Bagaimana mungkin kamu mengatakan jika Nasya bukan anakku seperti Rahman." Emosi Mas Adi mulai naik. Padahal dia yang salah, tetapi justru dia yang marah. Namun, emosi itu kembali turun saat mataku akhirnya menatapnya. Tidak bisa aku sangkal jika rasa cinta itu masih ada. Sayangnya rasa cinta itu sudah lama bercampur dengan rasa kecewa, benci dan iri. Semuanya campur aduk menjadi satu. Mas Adi mencoba meraih tangan kiriku yang bebas. Sayangnya tanganku segera menepisnya dengan kasar. "Memang seperti itu kan kenyataannya. Seharusnya tiga hari ini adalah waktumu bersamaku dan Nasya. Bukan bersama dengan Rumi dan Rahman. Hanya karena Rahman merengek ingin pergi ke kebun binatang, kau tega meninggalkan Nasya yang sedang sakit. Bahkan kau melepaskan tangan kecil Nasya yang panas untuk memenuhi keinginan putramu itu." "Dek." Suara Mas Adi terdengar bergetar penuh penyesalan. Entah dia benar-benar menyesal atau hanya berpura-pura saja. "Jika Abah tidak menelponmu, kau mungkin tidak akan tahu Nasya di rawat di rumah sakit. Karena selama berada disana, aku dan Nasya tidak boleh mengganggumu, tetapi jika kau bersama dengan kami, Rumi dan Rahman boleh menggangu waktumu dengan kami," ujarku berusaha menahan emosi. Mas Adi menggelengkan kepalanya lalu menyentuh bahuku. Sekali lagi, aku segera menepis tangannya dari bahuku. Air mata ini akhirnya luruh juga. Tidak bisa lagi menahan sesak di dada. Mengingat semua perlakuan Mas Adi selama ini pada kami. Puncaknya saat Mas Adi memutuskan pergi kemarin malam. Saat Nasya pertama kali demam, Mas Adi melarangku untuk pergi ke rumah sakit. Aku mengompres dahi Nasya dan memberikan sirup penurun panas. Sayangnya panas Nasya tidak kunjung turun. Mas Adi justru pergi ke rumah maduku karena anak laki-lakinya ingin pergi ke kebun binatang. "Ayah jangan pergi. Nasya lagi sakit." Tangan kecil Nasya yang panas berusaha menahan kepergian Ayahnya. "Nasya pasti bisa sembuh malam ini kok. Makanya Nasya harus tetap makan dan minum obat. Tetap patuh pada Ibu. Ayah pergi dulu ya. Kalau besok Nasya sudah sembuh bisa main sama Dek Rahman." Perlahan Mas Adi melepaskan genggaman tangan Nasya lalu pergi dari rumah. Aku sendiri tidak bisa menahan kepergian Mas Adi. Nasya menceracau terus memanggil nama Ayahnya saat sudah tertidur. Membuatku menangis pilu meratapi nasib pernikahanku. Aku istri pertama. Namun tidak di anggap sama sekali oleh Mas Adi. Di hari kedua Mas Adi pergi, demam Nasya sempat turun, tetapi kembali tinggi pada malam harinya. Aku terus berusaha menelpon Mas Adi untuk meminta ijin membawa Nasya pergi ke rumah sakit. Namun tidak pernah di angkat. Selalu seperti itu jika dia sedang berada di rumah istri keduanya. Lalu pesan masuk dari nomor Mas Adi membuat tubuhku membeku. Badan sudah bergetar karena menahan isak tangis agar tidak terdengar sampai ke kamar. Dengan tangan yang masih gemetar aku lalu menghubungi Ayah mertua yang biasa aku panggil dengan sebutan Abah. Untungnya Abah memberi ijin untuk membawa Nasya pergi ke rumah sakit. Bahkan Ibu mertuaku juga datang ke rumah untuk membantu membawa barang-barang Nasya. Siapa sangka jika Abah juga akan menelpon Mas Adi hingga rela meninggalkan istri kedua dan anak laki-lakinya untuk datang ke rumah sakit ini. Tok.., tok... tok.. Suara ketukan di pintu menghentikan percecokan kami. Aku segera menghapus air mata di pipiku agar tidak ada orang yang melihat. Tidak lama kemudian seorang dokter dan suster masuk ke dalam kamar rawat Nasya. "Selamat malam Bapak, Ibu. Gimana kondisi Dek Nasya? Apa tadi sudah lebih baik?" Aku mengangguk. "Sudah Dok. Nasya juga bisa bicara dengan lancar," jawabku lugas. Tidak seperti saat aku diam saja di hadapan Mas Adi yang bertanya cemas tentang kondisi Nasya. "Dari hasil uji lab tidak di temukan virus berbahaya. Nasya mengalami radang amandel yang membuat suhu tubuhnya menjadi sangat tinggi. Hal itu tentu saja sangat menyiksa untuk anak sekecil Nasya. Kenapa tidak di bawa ke rumah sakit sejak kemarin Bu?" Tanya Bu Dokter menegur. Walaupun dari nada suaranya masih sangat sopan dan lembut. "Ini semua salah saya Dok," jawabku pendek. Tidak membeberkan masalah yang sebenarnya pada Dokter. Karena ini salahku yang tidak bisa tegas mengambil keputusan demi kesehatan Nasya. Padahal bisa saja aku mengatakan jika Mas Adi yang melarang keluar rumah tanpa izin darinya. Mas Adi juga tidak bisa di hubungi untuk meminta ijin agar bisa membawa Nasya ke rumah sakit lebih cepat. Akhirnya aku terpaksa meminta ijin pada Abah untuk membawa Nasya ke rumah sakit. Biarlah masalah ini hanya di ketahui oleh keluarga kami. "Baiklah. Operasinya akan di lakukan setelah kondisi Nasya membaik. Kami permisi dulu." Aku mengikuti Dokter dan suster yang berjalan keluar dari ruang rawat ini. *** Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Namun baik aku dan Mas Adi masih belum bisa tidur. Aku masih setia duduk di kursi yang terletak di samping tempat tidur. Sedangkan Mas Adi duduk di sofa. Entah apa yang dia lakukan aku sama sekali tidak peduli. Tiga tahun setelah pernikahanku dan Mas Adi, dia minta ijin menikah lagi. Alasannya hanya satu yaitu karena Mas Adi sudah jatuh cinta pada Rumi. Awalnya aku tidak setuju. Setelah semalaman mengurung diri di kamar dan menelpon Mama, aku setuju jika Mas Adi menikah lagi dengan Rumi. Awalnya aku mengira jika Mas Adi bisa bersikap adil seperti Abah. Namun kenyatannya jauh panggang dari api. Mengingat kembali perjalanan rumah tanggaku selama tiga tahun ke belakang ini hingga Nasya masuk rumah sakit, aku sudah membuat keputusan. Mungkin lebih baik jika aku memang menyerah. "Mas." Untuk pertama kalinya aku mau bicara dengan Mas Adi. "Iya." Mas Adi hendak berdiri dari sofa untuk mendekatiku. Tapi,aku sudah lebih dulu berjalan ke arahnya. Kami duduk saling berdampingan di sofa. "Apakah kau tahu saat kau mengatakan padaku untuk menikah lagi dengan Rumi, hatiku benar-benar hancur?" Mas Adi hanya bisa terdiam. Dia seharusnya sudah tahu itu. Hatiku hancur berkeping-keping. Selalu ada air mata dalam sujud. Aku memohon pada Allah untuk memberi kekuatan menerima takdir ini. Walaupun kadang aku juga mempertanyakan kenapa Mas Adi harus menikah lagi. "Hatiku seperti pecah berserakan di lantai. Tidak akan bisa kembali utuh seperti semula. Malam itu juga aku menelpon Mama. Mengungkapkan segala keluh kesah. Apa kurangnya aku sebagai istri? Aku sudah resign dari tempatku mengajar agar bisa berbakti pada suami. Aku melayani semua kebutuhanmu baik urusan ranjang, perut maupun pakaian. Aku juga sudah memberikan keturunan seorang putri cantik untukmu. Lalu, apa lagi kurangnya aku untukmu hingga kau bisa jatuh cinta dengan perempuan bernama Rumi itu?" Air mataku terus mengalir di pipi saat mengatakan hal itu. Tanganku dengan cepat menghapusnya. Berusaha menahan sedu sedan yang akan keluar. "Mama hanya mengatakan jika itu adalah ujian rumah tangga kita. Mama bahkan balik bertanya, pernahkah sebagai suami kamu main tangan, membentakku, tidak membantu urusan rumah dan tidak membantu menjaga Nasya? Tentu saja jawabannya tidak. Kamu adalah suami dan ayah yang sangat baik untukku dan Nasya. Tidak ada alasan bagiku untuk minta cerai darimu. Begitu kata Mama. Dan pagi harinya aku mengatakan padamu setuju jika kamu menikah lagi dengan Rumi." Tanganku kembali mengusap air mata dengan kasar. Kepala mendongak menatap langit-langit. Aku tidak boleh lemah saat ini. "Aku berusaha untuk akur dengan Rumi. Asal kau bisa membagi waktu di antara kami berdua. Sayangnya, kau mulai bersikap tidak adil sejak Rahman lahir. Rumi berhasil memberikan anak laki-laki yang sudah kau impikan sejak kita menikah. Tiga tahun aku bertahan dengan segala sikap tidak adil yang kau berikan padaku dan Nasya. Asal Nasya masih bisa berkumpul dan mendapat kasih sayang darimu. Namun dari kejadian kemarin aku sadar jika aku justru sudah menciptakan luka untuk Nasya," kataku terbata karena sudah mulai menangis. "Dek Nada," ujar Mas Adi menyebut namaku pelan. "Karena itulah aku minta agar kita bercerai saja."Saat Adi pulang ke rumah, sudah ada Rahman yang datang bersama Bude Sri dan Bu Anisa. Nada menjelaskan jika Rahman sudah tahu semuanya. Rahman menangis dalam pelukan Nada. Mereka tidak menanyakan apapun hingga Rahman akhirnya berhenti menangis."Jangan takut lagi sayang. Mulai sekarang Rahman akan tinggal di rumah ini dengan Ayah, Ibu, Kak Nasya dan Karina. Sejak dulu sampai sekarang, Rahman adalah anak Ibu dan Ayah. " Ucap Nada lembut yang membuat semua orang terharu.Adi sendiri merasa sangat bersyukur bisa kembali bersama Nada yang menerima Rahman dan Karina dengan lapang hati. Juga menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Hari itu, Adi kembali di sibukan untuk menata kamar tamu yang akan di ubah menjadi kamar Rahman. Sedangkan Nada sibuk memasak makan siang di dapur bersama Bude Sri.Mereka memutuskan untuk merawat Rahman bersama serta memberi tahu identitas Rahman dan Karina yang sebenarnya adalah saudara sepersusuan. Berita ini di sampaikan juga pada seluruh keluarga mereka yan
“Tidak mungkin. Anak saya tidak pernah menjebak Adi. Itu semua adalah fitnah.” Bu Anita berdiri di hadapan Galang untuk menghalangi kedua polisi itu yang hendak menangkap sang putra. Alana hanya berdiri dengan tubuh kaku menatap kakaknya dan sekumpulan polisi itu bergantian. “Maaf Bu. Jangan halangi penyelidikan kami. Selain Pak Galang, kami juga harus membawa Bu Rumi sebagai orang yang telah membeli obat-obatan itu. Kami sudah punya bukti yang valid untuk menahan anak dan menantu Ibu.” Kata salah satu polisi yang kepalanya botak dengan wajah datar menatap ke arah mereka. Galang masih terdiam di tempatnya tidak percaya. Jika jebakan yang sudah ia buat dengan matang dapat di ketahui oleh Adi. Dadanya terus berdebar kencang memikirkan semua keanehan yang terjadi selama ini. Adi yang selalu bisa berkelit dari semua jebakannnya. 'Apakah Adi sudah juga mengintaiku dengan menyuruh orang lain? Atau dia memasang kamera CCTV di rumah ini?' Tanya Galang dalam hatinya. Wajah pria itu masih tam
Tanpa sadar Galang membanting hpnya ke atas meja. Sehingga membuat perhatian para guru yang masih ada di ruangan yang sama dengannya jadi teralih pada Galang. Menyadari jika ia sudah membuat dirinya sebagai pusat perhatian, pria itu hanya bisa minta maaf karena sudah membuar keributan"Ada apa Pak Galang?” Tanya salah satu rekan guru senior yang jauh lebih tua darinya. Galang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kikuk. Menyesal karena sudah kelepasan marah di depan rekan guru yang lain.“Maaf Pak. Tadi ada nomor pinjol yang neror saya karena teman saya berhutang padanya.” Guru itu menganggukan kepalanya mengerti lalu kembali sibuk dengan kertas di tangan. Begitu juga dengan guru-guru lain yang tidak lagi memperhatikan GalangUjian akhir semester seperti ini membuat Galang dan beberapa guru memutuskan untuk bertahan di sekolah sampai sore guna membuat soal ulangan. Sebagian guru lain yang mata pelajarannya sudah di ujikan juga memilih untuk bertahan di sekolah untuk memeriksa lemba
“Selamat ya Bu. Anda di nyatakan positif hamil.” Kata Dokter wanita setelah memeriksa hasil usg di rahim Rumi. Tampak bulatan kecil yang ada di layar. Wanita itu membalas senyum Dokter agar tidak curiga. Padahal hatinya biasa saja saat melihat sudah ada benih dari Galang yang bersemayam dalam rahimnya. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak Dok.” “Alhamdulillah dek. Akhirnya kamu hamil juga.” Ujar Galang yang juga bisa berakting dengan sempurna. Walaupun sebagian isi hatinya memang sangat tulus saat menyambut benih yang ada di rahim Rumi. Membuat keraguan di hati Galang tiba-tiba saja semakin kuat. Berbanding terbalik dengan perasaan Rumi. ‘Apakah aku masih harus mengejar Nada jika Rumi memang hamil anakku?’ Batin Galang galau saat ia dan Rumi sudah duduk kembali di hadapan Dokter. Pasangan suami istri itu lalu pulang ke rumah. Galang melangkah lebih dulu hingga masuk ke dalam ruang tengah. Disana sudah menunggu Alana yang tengah menonton TV bersama dengan Bu Anita. Raut wajah Galang
“Apa? Jadi Galang memang benar di pelet sama si Rumi itu? Keterlaluan sekali. Sudah Mama duga kenapa sikap Galang jadi berubah aneh seperti itu setelah menikah dengan Rumi.” Teriak Bu Anita dari sebrang sambungan telpon yang membuat telinga Alana terasa pekak sekali. Sampai perempuan itu mengorek telinganya yang berdenging karena tadi ia menempelkan hp di telinga. Seharusnya ia sudah menggunakan mode loudspeaker sejak tadi. “Iya Ma. Sesuai dengan informasi dari nomor asing itu, aku bisa menemukan dimana Rumi menyimpan kertas dan bubuk aneh ini. Untung saja Bude Sri bisa menulis huruf arab jawa sehingga aku menyuruhnya untuk menyalin tulisan itu. semirip mungkin. Kata Bude Sri dia sedikit mengubah huruf arab dari nama Mas Galang. Padahal aku sama sekali tidak sadar saat membacanya tadi.” Terang Alana mengingat penjelasan wanita paruh baya itu setelah menyapu halaman depan. “Kalau di ubah dan Rumi tahu bagaimana?” Tanya Bu Anita cemas. Dalam hatinya ia berpikir jika rencana Alana bisa
Pesawat yang di tumpangi Alana sudah mendarat di bandara. Ia turun dari pesawat lalu langsung naik ke dalam taksi yang menunggu di dalam bandara dengan membawa dua koper besar. Karena Alana memang berniat untuk tinggal di rumah Galang selama satu minggu. Selain untuk memastikan kebenaran jika Galang memang sudah di pelet oleh Rumi, ada pekerjaan di yayasan yang ingin Alana bicarakan secara langsung dengan kakaknya itu. Ia menyebutkan tujuan alamatnya pada sopir taksi yang sudah melajukan mobilnya keluar dari bandara lalu menuju rumah Galang. Tangannya mengambil hp dari dalam tas untuk membuka pesan dari Bu Anita. Jari Alana dengan cepat mengetikan pesan balasan untuk sang Mama yang terkirim satu setengah jam yang lalu. Itu berarti saat Alana masih berada di dalam pesawat. [Aku sudah turun dari pesawat dan sekarang sedang di dalam taksi menuju rumah Mas Galang, Ma. Tenang saja. Aku akan langsung mengambil kertas itu dari kabinet dapur. Aku akan tetap menjalankan rencanaku agar Rumi t
Dua minggu sejak acara reuni sudah berlalu. Tidak ada hal yang mencurigakan dari pantauan kamera CCTV dan alat perekam di rumah Galang. Arman juga mengatakan bahwa ia masih memantau semua rekaman itu bersama anak buahnya. Membuat hati Nada menjadi sedikit lebih tenang. Pikirannya selalu teralihkan karena niat jahat Galang dan Rumi. Sehingga Nada sering kali melamun. Fokusnya kini sedang menyusun laporan keuangan akhir bulan untuk kemudian di gabungkan dengan toko Dinada. Ia tidak boleh memikirkan hal itu lagi. Hari senin baru saja di mulai. Namun, waktu terasa sangat cepat berlalu karena semburat jingga yang terlihat dari balik jendela sudah akan turun ke peraduannya. Sudah ada lima pegawai yang sibuk mengepak semua pesanan hijab dan mukena di toko online milik Nada. Bude Sri hanya bisa membantu jika pekerjaan di rumah orang tua Nada sudah selesai. Hanum dan Shanum juga sudah mulai fokus untuk belajar karena sebentar lagi akan menjalani ujian akhir sekolah. Jadi, Nada sudah merekrut
"Gimana caranya kita menjebak Mas Adi sebagai pemakai jika ia tidak memakai obat itu?" Tanya Rumi bingung dengan rencana baru sang suami. Ia sama sekali tidak paham dengan obat-obatan terlarang. Rumi membeli obat itu juga karena perintah Galang. "Mudah saja. Kita bisa mengancam Adi akan melaporkannya dengan dua tuduhan yaitu kemungkinan sebagai pemakai dan sebagai pengedar narkoba. Tapi, bukan itu poin utamanya Rum. Hal itu bertujuan untuk membuat Nada tidak percaya lagi pada Adi. Aku juga tidak ingin melaporkannya ke polisi. Itu hanya sebagai ancaman saja." Rumi menganggukan kepalanya mengerti. "Setelah itu, aku masih harus meminta bantuanmu untuk mendapatkan Nada. Untuk urusan Adi aku serahkan padamu. Lakukan apa saja sesukamu untuk mendapatkan Adi lagi." 'Tidak perlu. Yang penting aku bisa mengabulkan keinginan terbesarmu. Aku sudah tidak mau berurusan dengan dukun itu. Untuk membantumu aku akan cari dukun lain yang metodenya lebih simple Mas.' Batin Rumi dalam hatinya. “Terus
Kelopak mata Galang perlahan terbuka. Kepalanya terasa sangat pusing hingga ia tidak bisa bangun untuk sebentar. Saat melihat langit-langit atap kamarnya yang familiar, pria itu kembali memejamkan kedua matanya. Untuk sesaat Galang seperti sudah melupakan kejadian tadi malam. Pria itu justru kembali melanjutkan tidur dengan badan yang terasa cukup dingin. Padahal ia sudah pakai selimut yang menutupi seluruh badannya. Tubuhnya miring ke kanan. Kelopak matanya mengerjap menatap wajah Rumi yang masih terlelap. Dengan bahu yang polos tanpa tertutup pakaian.Seketika kesadaran itu menghantam Galang. Seharusnya Rumi tidak sedang tidur di kamar ini bersama dengannya. Tapi, istrinya itu harus tidur dengan Adi di kamar hotel yang sudah ia sewa.Seperti yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari. Hati Galang menjerit marah karena rencana mereka sudah gagal sejak tadi malam. “Ya ampun sial banget.” Pekik pria itu meluapkan emosinya hingga tiba-tiba terbangun. Selimut yang tadi menutup tubuh po
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen