Share

Derita Istri Pertama
Derita Istri Pertama
Author: Alita novel

Bab 1 Cerai

BRAK

Pintu kamar VIP di salah satu kamar rumah sakit ternama ini berdebam dengan keras. Di ranjang rumah sakit, putri kecilku masih terbaring lelap. Pasti Mas Adi yang sudah membuka pintu dengan keras. Aku sendiri masih menggenggam tangan putri kecil kami yang terpasang infus.

"Bagaimana kondisi Nasya, dek?" Hening. Aku sama sekali tidak menjawab pertanyaan Mas Adi.

Mas Adi meraup wajah gusar lalu duduk di tepi tempat tidur Nasya. "Maafkan mas sayang. Rahman pakai hp mas untuk bermain game. Jadi, mas tidak tahu jika ada telpon dari kamu."

Aku hanya bisa mendengus tidak percaya. Mas Adi tega meninggalkan Nasya yang badannya sudah panas sejak kemarin hanya karena Rahman merengek ingin di ajak pergi ke kebun binatang. Untuk ke sekian kalinya aku dan Nasya harus mengalah. Sayangnya kesabaranku kali ini mungkin sudah habis.

"Mas mohon dek. Tolong beri tahu mas bagaimana kondisi Nasya." Pintanya dengan nada memohon.

"Memangnya Nasya itu anak kamu juga mas? Bukannya anak kamu hanya Rahman saja ya?" Jawabku sinis.

Sejak Rahman lahir, seluruh perhatian Mas Adi hanya tertuju pada anak laki-lakinya saja. Dalam waktu satu minggu, Mas Adi membagi waktu tiga hari berada di rumahku dan tiga hari lagi berada di rumah maduku. Sedangkan hari minggu di gunakan untuk liburan keluarga. Tergantung dengan jadwal tidur Mas Adi. Di rumahku atau di rumah maduku.

Sayangnya janji manis Mas Adi yang akan adil saat memutuskan berpoligami tidak pernah di lakukan selama tiga tahun ini. Dia sangat sering mengabaikan Nasya yang ingin belanja di mall bersama Ayahnya. Pergi ke toko buku atau hanya sekedar jalan-jalan di taman. Tapi, jika sudah berhubungan dengan Rahman, Mas Adi akan melakukan segalanya.

"Kamu bilang apa sih dek? Nasya itu juga anakku. Darah dagingku sendiri. Bagaimana mungkin kamu mengatakan jika Nasya bukan anakku seperti Rahman." Emosi Mas Adi mulai naik. Padahal dia yang salah. Tapi, justru dia yang marah.

Namun, emosi itu kembali turun saat mataku akhirnya menatapnya. Tidak bisa aku sangkal jika rasa cinta itu masih ada. Sayangnya rasa cinta itu sudah lama bercampur dengan rasa kecewa, benci dan iri. Semuanya campur aduk menjadi satu. Mas Adi mencoba meraih tangan kiriku yang bebas. Sayangnya tanganku segera menepis tangannya dengan kasar.

"Memang seperti itu kan kenyataannya. Seharusnya tiga hari ini adalah waktumu bersamaku dan Nasya. Bukan bersama dengan Rumi dan Rahman. Hanya karena Rahman merengek ingin pergi ke kebun binatang, kau tega meninggalkan Nasya yang sedang sakit. Bahkan kau melepaskan tangan kecil Nasya yang panas untuk memenuhi keinginan putramu itu."

"Dek." Suara Mas Adi terdengar bergetar penuh penyesalan. Entah dia benar-benar menyesal atau hanya berpura-pura saja.

"Jika Abah tidak menelponmu, kau mungkin tidak akan tahu Nasya di rawat di rumah sakit. Karena selama berada disana, aku dan Nasya tidak boleh mengganggumu. Tapi, jika kau bersama dengan kami, Rumi dan Rahman boleh menggangu waktumu dengan kami."

Mas Adi menggelengkan kepalanya lalu menyentuh bahuku. Sekali lagi, aku segera menepis tangannya dari bahuku. Air mataku akhirnya luruh juga. Tidak bisa lagi menahan sesak di dada. Mengingat semua perlakuan Mas Rahman selama ini pada kami. Puncaknya saat Mas Rahman memutuskan pergi kemarin malam.

Saat Nasya pertama kali demam, Mas Adi melarangku untuk pergi ke rumah sakit. Aku mengompres dahi Nasya dan memberikan sirup penurun panas. Sayangnya panas Nasya tidak kunjung turun. Mas Adi justru pergi ke rumah maduku karena anak laki-lakinya ingin pergi ke kebun binatang.

"Ayah jangan pergi. Nasya lagi sakit." Tangan kecil Nasya yang panas berusaha menahan kepergian Ayahnya.

"Nasya pasti bisa sembuh malam ini kok. Makanya Nasya harus tetap makan dan minum obat. Tetap patuh pada Ibu. Ayah pergi dulu ya. Kalau besok Nasya sudah sembuh bisa main sama Dek Rahman." Perlahan Mas Adi melepaskan genggaman tangan Nasya lalu pergi dari rumah.

Aku sendiri tidak bisa menahan kepergian Mas Adi. Nasya menceracau terus memanggil nama Ayahnya saat sudah tertidur. Membuatku menangis pilu meratapi nasib pernikahanku. Aku istri pertama. Tapi, tidak di anggap sama sekali oleh Mas Adi.

Di hari kedua Mas Adi pergi, demam Nasya sempat turun. Tapi, kembali tinggi pada malam harinya. Aku terus berusaha menelpon Mas Adi untuk meminta ijin membawa Nasya pergi ke rumah sakit. Tapi, tidak pernah di angkat. Selalu seperti itu jika dia sedang berada di rumah istri keduanya.

Lalu, pesan masuk dari nomor Mas Adi membuat tubuhku membeku. Tubuhku sudah bergetar karena menahan isak tangis agar tidak terdengar sampai ke kamar. Dengan tangan yang masih gemetar aku lalu menghubungi Ayah mertua yang biasa aku panggil dengan sebutan Abah.

Untungnya Abah memberiku ijin untuk membawa Nasya pergi ke rumah sakit. Bahkan Ibu mertuaku juga datang ke rumah untuk membantu membawa barang-barang Nasya. Siapa sangka jika Abah juga akan menelpon Mas Adi hingga rela meninggalkan istri kedua dan anak laki-lakinya untuk datang ke rumah sakit ini.

Tok.., tok... tok..

Suara ketukan di pintu menghentikan percecokan kami. Aku segera menghapus air mata di pipiku agar tidak ada orang yang melihat. Tidak lama kemudian seorang dokter dan suster masuk ke dalam kamar rawat Nasya.

"Selamat malam Bapak, Ibu. Gimana kondisi Dek Nasya? Apa tadi sudah lebih baik?" Aku menganggukan kepala.

"Sudah Dok. Nasya juga bisa bicara dengan lancar." Jawabku lugas. Tidak seperti saat aku diam saja di hadapan Mas Adi yang bertanya cemas tentang kondisi Nasya.

"Dari hasil uji lab tidak di temukan virus berbahaya. Nasya mengalami radang amandel yang membuat suhu tubuhnya menjadi sangat tinggi. Hal itu tentu saja sangat menyiksa untuk anak sekecil Nasya. Kenapa tidak di bawa ke rumah sakit sejak kemarin Bu?" Tanya Bu Dokter menegur. Walaupun dari nada suaranya masih sangat sopan dan lembut.

"Ini semua salah saya Dok." Jawabku pendek. Tidak membeberkan masalah yang sebenarnya pada Dokter. Karena ini salahku yang tidak bisa tegas mengambil keputusan demi kesehatan Nasya.

Padahal bisa saja aku mengatakan jika Mas Adi yang melarangnya keluar rumah sakit tanpa izin darinya. Mas Adi juga tidak bisa di hubungi untuk meminta ijin agar bisa membawa Nasya ke rumah sakit lebih cepat. Akhirnya aku terpaksa meminta ijin pada Abah untuk membawa Nasya ke rumah sakit. Biarlah masalah ini hanya di ketahui oleh keluarga kami.

"Baiklah. Operasinya akan di lakukan setelah kondisi Nasya membaik. Kami permisi dulu." Aku mengikuti Dokter dan suster yang berjalan keluar dari ruang rawat ini.

***

Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tapi, baik aku dan Mas Adi masih bisa belum tidur. Aku masih setia duduk di kursi yang terletak di samping tempat tidur. Sedangkan Mas Adi duduk di sofa. Entah apa yang dia lakukan. Aku sama sekali tidak peduli.

Tiga tahun setelah pernikahanku dan Mas Adi, dia minta ijin menikah lagi. Alasannya hanya satu yaitu karena Mas Adi sudah jatuh cinta pada Rumi. Awalnya aku tidak setuju. Setelah semalaman mengurung drii di kamar dan menelpon Mama, aku setuju jika Mas Adi menikah lagi dengan Rumi.

Awalnya aku mengira jika Mas Adi bisa bersikap adil seperti Abah. Tapi, kenyatannya jauh panggang dari api. Mengingat kembali perjalanan rumah tanggaku selama tiga tahun ke belakang ini hingga Nasya masuk rumah sakit, aku sudah membuat keputusan. Mungkin lebih baik jika aku memang menyerah.

"Mas." Untuk pertama kalinya aku mau bicara dengan Mas Adi.

"Iya." Mas Adi hendak berdiri dari sofa untuk mendekatiku. Tapi,aku sudah lebih dulu berjalan ke arahnya. Kami duduk saling berdampingan di sofa.

"Apakah kau tahu saat kau mengatakan padaku untuk menikah lagi dengan Rumi, hatiku benar-benar hancur?"

Mas Adi hanya bisa terdiam. Dia seharusnya sudah tahu itu. Hatiku hancur berkeping-keping. Selalu ada air mata dalam sujudku. Aku memohon pada Allah untuk memberiku kekuatan menerima takdir ini. Walaupun kadang aku juga mempertanyakan kenapa Mas Adi harus menikah lagi.

"Hatiku seperti pecah berserakan di lantai. Tidak akan bisa kembali utuh seperti semula. Malam itu juga aku menelpon Mama. Mengungkapkan segala keluh kesahku. Apa kurangnya aku sebagai istri? Aku sudah resign dari tempatku mengajar agar bisa berbakti pada suami. Aku melayani semua kebutuhanmu baik urusan ranjang, perut maupun pakaian. Aku juga sudah memberikan keturunan seorang putri cantik untukmu. Lalu, apa lagi kurangnya aku untukmu hingga kau bisa jatuh cinta dengan perempuan bernama Rumi itu?"

Air mataku terus mengalir di pipi saat mengatakan hal itu. Tanganku dengan cepat menghapusnya. Berusaha menahan sedu sedan yang akan keluar.

"Mama hanya mengatakan jika itu adalah ujian rumah tangga kita. Mama bahkan balik bertanya, pernahkah sebagai suami kamu main tangan, membentakku, tidak membantu urusan rumah dan tidak membantu menjaga Nasya? Tentu saja jawabannya tidak. Kamu adalah suami dan ayah yang sangat baik untukku dan Nasya. Tidak ada alasan bagiku untuk minta cerai darimu. Begitu kata Mama. Dan pagi harinya aku mengatakan padamu setuju jika kamu menikah lagi dengan Rumi."

Tanganku kembali mengusap air mata dengan kasar. Kepalaku mendongak menatap langit-langit. Aku tidak boleh lemah saat ini.

"Aku berusaha untuk akur dengan Rumi. Asal kau bisa membagi waktu di antara kami berdua. Sayangnya, kau mulai bersikap tidak adil sejak Rahman lahir. Rumi berhasil memberikan anak laki-laki yang sudah kau impikan sejak kita menikah. Tiga tahun aku bertahan dengan segala sikap tidak adil yang kau berikan padaku dan Nasya. Asal Nasya masih bisa berkumpul dan mendapat kasih sayang darimu. Tapi, dari kejadian kemarin aku sadar mas jika aku justru sudah menciptakan luka untuk Nasya." Kataku terbata karena sudah mulai menangis.

"Dek Nada." Ujar Mas Adi menyebut namaku pelan.

"Karena itulah aku minta agar kita bercerai saja."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
itulah laki klu sdh jatuh cinta sama lainya ,istri sdh berbaakti iklas nggak ada arti cerai pergi biar hati dan pikiran waras jgn maksain utuk di cintai ,cari kebahagian dgn yang lain
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status