Degup jantungku seketika berdebar dua kali lipat. Apa ini? Mas Adi punya rahasia yang di sembunyikan dariku? Apa ini alasan Mas Adi selalu menuruti semua perkataan Rumi. Karena dia tidak ingin aku mengetahui hal ini. Diam-diam aku meletakan kembali hp itu ke atas meja. Untungnya Mama tidak melihat saat aku memegang hp Mas Adi. Nanti akan aku tanyakan hal ini padanya. Setelah selesai sarapan, aku menyuruh Mas Adi untuk memakan sarapan bagiannya. “Biar aku yang jaga Nasya.” Kataku setelah berdiri di samping kursinya. “Iya.” Mas Adi beranjak dari kursi lalu duduk di sofa. Aku duduk di kursi yang di tinggalkan Mas Adi. Tanganku mengusap dahi Nasya yang sudah tidak panas. “Kamu sudah siap untuk operasi nanti sayang?” Nasya menggelengkan kepalanya. “Aku takut Bu.” Ku genggam tangan kecil Nasya untuk menyalurkan kekuatan. Wajar saja jika Nasya merasa takut. Walaupun operasi yang akan di jalani nanti tergolong ringan. Tapi, hal itu tetap menakutkan untuk anak seusia Nasya. “Jangan takut
“Saat itu aku menceritakan tentang hasil usg pada teman-teman guruku saat berkunjung ke toko untuk membeli pakaian baru. Karena saat itu kami akan pergi menemani para siswa berwisata. Aku tidak menyangka jika Rumi mendengarnya lalu meminta aku menceritakan tentang keinginanku untuk mempunyai anak laki-laki lebih dulu. Aku seperti tidak sadar sudah menjawab semua pertanyaan Rumi saat itu Nad.” Tubuhku seketika terasa limbung. Aku memegang ujung meja agar tetap bisa duduk dengan tegak. Semua dugaan itu akhirnya di benarkan secara langsung oleh Mas Adi. Begitu juga dengan semua ucapan Rumi yang mengatakan jika dia bangga bisa memberikan anak laki-laki seperti yang di harapkan oleh Mas Adi. Karena itulah suka cita Mas Adi saat menyambut kelahiran Nasya dan Rahman sangat berbeda. Bukan berarti Mas Adi tidak sayang pada Nasya. Hanya saja saat Nasya lahir, Mas Adi langsung membawa kami pulang ke rumah. Tidak ada acara apapun untuk menyambut kelahiran putri kami. Berbeda dengan saat Rahman
Aku sengaja memegang hp itu dengan keadaan masih membuka aplikasi pesan wa. Karena Mas Adi sudah berjanji untuk bersikap adil padaku dan Rumi, aku ingin tahu bagaimana reaksinya saat membaca pesan ini. Beberapa menit kemudian Mas Adi sudah kembali ke dalam kamar. Tanganku mengulurkan hp padanya. “Ada pesan masuk mas.” Kataku pendek. Tidak ingin di ketahui oleh Nasya yang tengah asyik menonton TV. Hatiku sudah bersiap jika Mas Adi langsung pamit untuk pulang ke rumah Rumi. Namun, sikap Mas Adi ternyata di luar dugaanku. Dia duduk di sofa sambil mengotak-atik hpnya. Lalu, Mas Adi menelpon seseorang untuk pergi ke rumah Rumi saat ini juga. Mas Adi bicara jujur jika Rumi mengirimkan pesan ancaman akan minum racun bersama dengan Rahman. Sama sekali tidak ada raut wajah khawatir yang tergambar di wajah suamiku itu. Padahal biasanya dia akan langsung pergi ke rumah istri keduanya dengan alasan yang sepele. Pandanganku kembali teralih pada Nasya. Kuusap rambutnya pelan hingga Nasya menoleh
“Tapi, kenapa mas? Bukannya penghasilan kamu yang aku sarankan itu besar ya. Sehingga nggak perlu lagi nyuri uang di brankas. Kamu jadi lebih bisa adil untuk membagi nafkah di antara aku dan Rumi.” Mas Adi terdiam. Raut wajahnya terlihat sangat ragu. “Dulu waktu aku memutuskan poligami, Papa memintaku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik karena sebagian besar dari modal toko adalah uang kamu. Karena itulah aku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik sebagai nafkah Rumi. Aku tidak hanya melanggar janjiku pada kamu. Tapi, juga pada Papa.” Aku terdiam. Tidak tahu harus bicara apa. Rasa kecewa terhadap Mas Adi kembali menyusup dalam hatiku. Sehebat apa pengaruh Rumi hingga membuat Mas Adi bisa menghianati janji yang sudah ia buat pada Papa? Aku yakin Papa juga sudah menegtahui hal ini. Kenapa Papa tidak pernah cerita padaku jika dia pernah membuat janji seperti itu? Kenapa juga Papa masih memintaku untuk bertahan dengan Mas Adi jika tahu menantu pertamanya ini sudah melanggar janji
Bukan hp Mas Adi yang berbunyi. Tapi, justru hpku yang kini berdering nyaring tanda ada rentetan pesan masuk. Aku yakin itu semua pesan itu dari Rumi. Karena sudah puas mengerjai Rumi, aku memilih untuk berganti baju menggunakan daster yang nyaman lalu tidur dengan posisi menghadap dinding seperti tadi. Ternyata rasanya puas juga bisa membalas perlakukan adik maduku itu. Walaupun apa yang aku lakukan tadi sama sekali tidak setimpal dengan semua perbuatan Rumi selama tiga tahun ini. Rasanya baru sebentar aku tertidur, saat suara Mas Adi beserta tangannya yang terus menepuk bahu berhasil membuatku terbangun. Tanganku mengucek mata agar segera terbuka. Adzan subuh sudah berkumandang. Pantas saja jika Mas Adi membangunkan aku. Kebiasaannya yang tidak pernah berubah sejak dulu. “Bangun Nad. Kamu sholat subuh sama Nasya dan Ibu ya. Aku mau pergi ke musola.” Aku menganggukan kepala dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tapi, tetap kupaksakan turun dari tempat tidur. Aku menyiapkan
“Siapa yang datang Nad?” Langkah kaki Mama terdengar berjalan mendekaitku. Saat masuk ke dalam ruang keluarga, Mama juga ikut membeku sepertiku. Tapi, Mama cepat menguasai keadaan lalu mengubah raut wajahnya yang semula datar berubah menjadi tersenyum untuk menghargai tamu yang tidak kami harapkan kedatangannya. Namun, Bu Saroh justru membalas dengan senyum sinis. Padahal dia adalah tamu di rumah ini. “Eh ada Rumi dan Bu Saroh. Silahkan duduk dulu. Mau minum apa?” Tawar Mama dengan suara yang amat ramah. Aku sendiri tidak ingin berpura-pura bersikap ramah pada mereka. Karena aku sudah muak menahan diri selama ini. “Nggak perlu repot-repot Tante. Kami kesini ingin mengajak Mas Adi pergi ke mall. Rahman ingin bermain di time zone dengan Ayahnya.” Jawab Rumi lebih sopan daripada Ibunya. “Duduk dulu lah. Terus kenapa malah diam saja. Adab sopan santun kita kan mengajarkan untuk bertamu dengan baik.” Kata Mama dengan kalimat penuh makna sindiran. Aku berusaha menahan senyum karena meng
Aku meraih tangan Nasya lalu menuntunnya untuk keluar dari ruang keluarga. Agar Nasya tidak mendengar perkataan Mas Adi jika dia akan menuruti permintaan Rahman. Walaupun Mas Adi sudah berjanji untuk berubah, aku masih belum percaya sepenuhnya. Bisa saja sikapnya kembali seperti dulu lagi dan aku tidak ingin Nasya mendengar hal itu. “Nasya tunggu di ayunan dulu ya. Nanti Ayah akan nyusul kesana. Seperti kata Ayah tadi.” Nasya hanya diam saja. Dia memperhatikan Rahman yang masih memukul-mukul badan Mas Adi karena tidak terima dengan perkataan Ayahnya tadi. Kedua mata Nasya juga sudah mengembun hingga siap meneteskan air mata di pipi gembilnya. “Aku main sendiri saja Bu. Ayah pasti akan pergi lagi sama Rahman.” Kata Nasya acuh tidak mendengar perkataanki tadi.“Tapi, sa…” Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku tadi, Nasya sudah keluar dari ruang keluarga. “Diam Rahman. Kamu tidak bisa mendapatkan semua keinginanmu hanya dengan menangis.” Hardik Mas Adi hampir berteriak. Membuat R
Mas Adi sontak langsung menata tubuh Rumi yang terlihat terkulai lemas ke atas sofa. Terlihat sekali wajah Mas Adi yang tampak cemas karena istri keduanya tiba-tiba pingsan. Aku memanggil Bude Sri yang tengah bermain bersama Nasya di taman. “Ada apa Mbak Nada?” Tanya Bude Sri begitu beliau mendekat ke arah pintu yang sudah aku buka. “Tolong ambilkan minyak fresh buat Rumi ya Bude. Dia lagi pingsan. Setelah itu tolong buatkan teh hangat ya Budhe.” “Iya mbak.” Bude Sri sudah berjalan keluar lagi dari ruangan ini untuk mengambil pesananku tad. Kakiku lalu melangkah menuju sofa. Bu Saroh menangis meraung-raung melihat Rumi yang pingsan. Sementara Mas Adi dengan panik sedang berusaha menyadarkan Rumi. Pandanganku tertuju pada Rahman yang justru dengan asyik bermain hp milik Mamanya. “Bangun Rum. Rumiiii.” Tangan Mas Adi terus menepuk pipi Rumi pelan. “Lebih baik kita bawa Rumi pulang saja nak Adi. Mungkin Rumi hanya kelelahan saja.” Keningku berkerut bingung. Dalam situasi seperti in