Share

Bab 7 Permintaan

Raut wajah Mas Adi yang awalnya datar langsung berubah panik. Pandangannya terus tertuju kesana dan kemari karena tidak fokus. Duduknya menjadi gelisah. Tapi, dia tidak kunjung pergi dari ruang rawat Dinda. Karena baik Abah, Ibu dan Umi juga masih duduk di tempat mereka. Pasti Mas Adi merasa tidak nyaman. Apalagi dengan keberadaan Papa dan Mama yang masih ada disini.

“Kenapa kamu tidak segera pergi mas? Nanti Rumi akan menuduhku menahanmu disini agar tidak bisa menemani Rahman yang sedang sakit. Sama seperti sebelumnya. Padahal aku tidak pernah melakukan hal itu.” Ujarku menyindirnya sesuai dengan perkataan Rumi yang selalu adik maduku itu ucapkan padaku.

“Nada benar Di. Kamu pergi sekarang saja. Asal jangan lupa datang ke kamar ini lagi sebelum Nasya operasi.” Kata Ibu mendukungku.

“Tapi, pembicaraan kita belum selesai Bu.” Pandangan Mas Adi kini sudah beralih padaku. Aku membuang wajah agar tidak menatapnya.

“Aku akan melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangga kita dek. Termasuk dengan membuar surat perjanjian. Kita bicarakan lagi detailnya setelah aku menemui Rahman dan Rumi.”

Mas Adi segera beranjak dari kursinya lalu berjalan keluar kamar. Di susul dengan Abah dan Ibu yang pamit sebentar untuk melihat keadaan Rahman. Hanya menyisakan Umi saja di kamar ini yang tidak ikut dengan mereka. Mungkin karena Umi masih merasa kesal dengan Bu Saroh dan Rumi.

“Loh Bu Anisa nggak ikut melihat keadaan Rahman?” Tanya Mama heran. Padahal Umi juga sebenarnya sayang pada Rahman. Umi menggelengkan kepalanya.

“Nggak jeng. Takut nanti khilaf waktu lihat Rumi dan Mamanya. Mending jenguknya nanti kalau suasana sudah jadi lebih kondusif.” Jawab Umi sesuai dengan tebakanku. Umi dan Mama sudah terlibat percakapan di antara mereka sendiri.

Tiga puluh menit kemudian Abah sudah kembali. Umi langsung bertanya apa yang terjadi pada Rahman. Rupanya anak maduku itu jatuh dari tangga karena tidak ada yang mengawasi. Rumi sedang di dalam kamar saat Rahman terjatuh. Bu Saroh yang baru akan pergi dari rumah sakit ini di kejutkan dengan kedatangan Rumi yang menggendong Rahman dengan kepala berdarah. Aneh sekali Rumi membawa Rahman ke rumah sakit ini karena jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Rumi bisa saja pergi ke rumah sakit lain  yang jaraknya lebih dekat dari rumahnya. Tapi, itu bukan hal yang aneh bagiku mengingat bagaimana sifat Rumi sebenarnya.

“Bagaimana keadaan Rahman Bah?” Tanyaku prihatin. Sekesal apapun aku pada Rumi dan Bu Saroh, aku tidak akan sampai hati mendengar keadaan Rahman yang juga sakit. Mudah-mudahan saja kondisi Rahman tidak parah. Mengingat penangannya yang cukup lambat karena jarak dari rumah Rumi ke rumah sakit ini.

“Setelah di rontgen tidak terjadi pendarahan dalam. Hanya luka ringan saja.” Kata Abah lalu duduk di samping Umi.

“Alhamdulillah.” Ucap kami secara serentak.

Dua jam berlalu dengan cepat. Abah bersama dengan Ibu dan Umi sudah pulang ke rumah Ibu. Papa dan Mama memutuskan untuk menemaniku dan Nasya di ruang rawat ini. Sementara Mas Adi belum kunjung kembali. Karena kondisi Rahman tidak terlalu parah, Ibu mengatakan Rahman sudah boleh di bawa pulang. Mungkin Mas Adi yang mengantar mereka.

Memikirkan hal itu kembali membuat dadaku berdenyut nyeri. Walaupun aku sudah yakin untuk berpisah dari Mas Adi, tetap saja aku masih cinta padanya. Tapi, karena banyaknya luka yang sudah Mas Adi berikan padaku dan Nasya akan lebih baik jika kami memang berpisah. Lebih baik seperti itu daripada aku dan Nasya yang terus menderita karena kurangnya perhatian dari Mas Adi.

Cklek

Suara pintu yang terbuka membuatku yang sedang tidur di samping Mama menolehkan kepala. Mas Adi kembali dengan pakaian yang berbeda. Di tangannya ada beberapa barang yang di bawa seperti bantal, guling, dan tas entah berisi apa lagi. Mas Adi meletakan barang itu lalu menuju sisi tempat tidur Nasya. Melihat kondisi putri kami yang sudah jauh lebih baik.  Baru Mas Adi duduk di atas matras. Tempat di sampingku.

“Maaf mas baru kembali kesini dek. Tadi, Rahman nggak mau lepas dari gendongan mas. Jadi, Mas menunggunya sampai Rahman tertidur.” Aku hanya menganggukan kepala tapi tidak mengucapkan sepatah kata apapun.

Tanganku sudah sibuk menata bantal di sisi sofa yang lain. Karena salah satunya sudah di tiduri oleh Papa. Aku akan tidur di bawah bersama dengan Mama. Aku bisa merasakan Mas Adi yang sudah berdiri di belakangku. Namun, aku tetap acuh seperti tadi.

“Ayo kita bicarakan lagi saran dari Ibu dek. Aku benar-benar tidak ingin berpisah darimu.” Aku segera menggelengkan kepala.

“Untuk apa mas. Apa kamu tidak bisa melihat sedikit saja sifat Rumi yang membuatku memutuskan untuk berpisah darimu?”

“Aku tahu. Sekarang aku mengerti kenapa aku salah. Aku juga sudah tahu dengan kesalahan Rumi padamu. Tapi, aku sendiri tidak bisa menceraikannya karena ada Rahman di antara kami. Begitu juga denganmu. Aku tidak bisa bercerai darimu karena aku benar-benar cinta padamu Nad.”

Saat membalikan tubuh untuk menyuruhnya berhenti, tiba-tiba Mas Adi sudah menarik tanganku untuk keluar dari ruang rawat ini. Kami berjalan masuk ke dalam lift. “Kemana kita akan pergi mas? Ini sudah malam.” Tanyaku akhirnya membuka mulut.

“Ke taman rumah sakit. Agar kita bisa bicara dengan lebih nyaman. Nggak enak nanti kalau Papa dan Mama jadi terbangun.”

Mau tidak mau aku harus menuruti keinginan Mas Adi. Tangan besarnya yang hangat terus menggenggam tanganku dengan erat. Hal yang sudah jarang sekali ia lakukan padaku. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali kami bergandengan tangan seperti ini. Sejak Mas Adi memutuskan untuk menikah dengan Rumi, banyak hal yang berubah di antara kami. Termasuk dengan keintiman yang dulu begitu mesra.

Mas Adi menuntunku untuk duduk di salah satu kursi taman. Genggaman tangannya tidak kunjung terlepas. Dia juga tidak langsung bicara. Kepalanya terus menunduk ke bawah. Keheningan malam ini membuatku merasa lebih nyaman. Udara malam yang dingin menerpa wajahku.

“Aku minta maaf Nad. Karena baru tahu seperti apa sifat Rumi yang sebenarnya.” Ujar Mas Adi memulai percakapan di antara kami.

“Aku berjanji akan menyelidiki semuanya. Untuk saat ini aku tidak bisa melakukan apapun pada Rumi karena tidak punya bukti yang kuat. Karena itulah aku mohon padamu untuk bertahan denganku. Sesuai saran Ibu, kamu bisa membuat surat perjanjian yang semua isinya akan aku setujui. Asal kamu membatalkan niatmu untuk bercerai.” Kata Mas Adi panjang lebar.

Apa ini ada kaitannya dengan percakapan Mas Adi di telpon yang meminta seseorang untuk memasang kamera CCTV di rumah Rumi? Sejujurnya mendengar Mas Adi mau sedikit terbuka padaku tentang hal itu, membuatku merasa seketika gamang. Keyakinanku sebelumnya yang kukuh untuk berpisah dari Mas Adi akhirnya sedikit luntur.

Namun, mengingat perlakuan Adi selama tiga tahun ini padaku dan Nasya serta ancaman Rumi padaku yang tidak pernah berhenti membuatku kembali mengukuhkan niat untuk bercerai. Aku lalu menggelengkan kepala dengan tegas. Serta merta genggaman tangan kami terurai.

“Maaf mas. Keputusanku sudah bulat. Cari tahu saja sendiri bagaimana sikap Rumi yang sebenarnya. Aku sudah tidak mau terlibat dengan istri muda kamu itu. Bahkan kalau sekarang dia menangis mengatakan Rahman sedang pilek. Kamu akan langsung pergi dari rumah sakit ini ke rumah Rumi. Sempurna mengabaikan aku dan Nasya seperti sebelumnya.” Kataku sarkas untuk mengingatkan sikap Mas Adi dulu pada kami.

“Kamu juga tidak tahu apa saja yang Rumi pernah lakukan padaku agar aku mau bercerai darimu. Aku yakin dia akan melakukan yang lebih gawat lagi jika aku memutuskan untuk bertahan.”

Helaan nafas Mas Adi kembali terdengar. Kali ini sangat berat. Dia kembali menggenggam tanganku dengan erat seperti tadi. Saat aku berusaha melepaskannya, Mas Adi justru meletakan genggaman tangan kami di atas paha. Tidak peduli dengan lalu lalang para perawat, dokter atau pasien yang juga sedang ada di taman.

“Aku pastikan Rumi tidak akan berbuat sesuatu yang bisa membahayakan kamu dan Nasya. Jika Rumi sampai melakukan hal itu aku akan memberinya pelajaran. Tolong sekali ini saja dek. Beri aku kesempatan lagi untuk menebus semua kesalahanku selama tiga tahun.”

“Apa maksud kamu tadi mas? Kenapa kamu justru berduaan dengan Mbak Nada disini?” Suara Rumi sontak saja membuat semua orang menolehkan kepala. Bahkan ada juga yang sudah mengarahkan hp mereka untuk merekam kami.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
cerai saja nada
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status