Share

Bab 7 Permintaan

Penulis: Alita novel
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-23 10:16:35

Raut wajah Mas Adi yang awalnya datar langsung berubah panik. Pandangannya terus tertuju kesana dan kemari karena tidak fokus. Duduknya menjadi gelisah. Tapi, dia tidak kunjung pergi dari ruang rawat Dinda. Karena baik Abah, Ibu dan Umi juga masih duduk di tempat mereka. Pasti Mas Adi merasa tidak nyaman. Apalagi dengan keberadaan Papa dan Mama yang masih ada disini.

“Kenapa kamu tidak segera pergi mas? Nanti Rumi akan menuduhku menahanmu disini agar tidak bisa menemani Rahman yang sedang sakit. Sama seperti sebelumnya. Padahal aku tidak pernah melakukan hal itu.” Ujarku menyindirnya sesuai dengan perkataan Rumi yang selalu adik maduku itu ucapkan padaku.

“Nada benar Di. Kamu pergi sekarang saja. Asal jangan lupa datang ke kamar ini lagi sebelum Nasya operasi.” Kata Ibu mendukungku.

“Tapi, pembicaraan kita belum selesai Bu.” Pandangan Mas Adi kini sudah beralih padaku. Aku membuang wajah agar tidak menatapnya.

“Aku akan melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangga kita dek. Termasuk dengan membuar surat perjanjian. Kita bicarakan lagi detailnya setelah aku menemui Rahman dan Rumi.”

Mas Adi segera beranjak dari kursinya lalu berjalan keluar kamar. Di susul dengan Abah dan Ibu yang pamit sebentar untuk melihat keadaan Rahman. Hanya menyisakan Umi saja di kamar ini yang tidak ikut dengan mereka. Mungkin karena Umi masih merasa kesal dengan Bu Saroh dan Rumi.

“Loh Bu Anisa nggak ikut melihat keadaan Rahman?” Tanya Mama heran. Padahal Umi juga sebenarnya sayang pada Rahman. Umi menggelengkan kepalanya.

“Nggak jeng. Takut nanti khilaf waktu lihat Rumi dan Mamanya. Mending jenguknya nanti kalau suasana sudah jadi lebih kondusif.” Jawab Umi sesuai dengan tebakanku. Umi dan Mama sudah terlibat percakapan di antara mereka sendiri.

Tiga puluh menit kemudian Abah sudah kembali. Umi langsung bertanya apa yang terjadi pada Rahman. Rupanya anak maduku itu jatuh dari tangga karena tidak ada yang mengawasi. Rumi sedang di dalam kamar saat Rahman terjatuh. Bu Saroh yang baru akan pergi dari rumah sakit ini di kejutkan dengan kedatangan Rumi yang menggendong Rahman dengan kepala berdarah. Aneh sekali Rumi membawa Rahman ke rumah sakit ini karena jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Rumi bisa saja pergi ke rumah sakit lain  yang jaraknya lebih dekat dari rumahnya. Tapi, itu bukan hal yang aneh bagiku mengingat bagaimana sifat Rumi sebenarnya.

“Bagaimana keadaan Rahman Bah?” Tanyaku prihatin. Sekesal apapun aku pada Rumi dan Bu Saroh, aku tidak akan sampai hati mendengar keadaan Rahman yang juga sakit. Mudah-mudahan saja kondisi Rahman tidak parah. Mengingat penangannya yang cukup lambat karena jarak dari rumah Rumi ke rumah sakit ini.

“Setelah di rontgen tidak terjadi pendarahan dalam. Hanya luka ringan saja.” Kata Abah lalu duduk di samping Umi.

“Alhamdulillah.” Ucap kami secara serentak.

Dua jam berlalu dengan cepat. Abah bersama dengan Ibu dan Umi sudah pulang ke rumah Ibu. Papa dan Mama memutuskan untuk menemaniku dan Nasya di ruang rawat ini. Sementara Mas Adi belum kunjung kembali. Karena kondisi Rahman tidak terlalu parah, Ibu mengatakan Rahman sudah boleh di bawa pulang. Mungkin Mas Adi yang mengantar mereka.

Memikirkan hal itu kembali membuat dadaku berdenyut nyeri. Walaupun aku sudah yakin untuk berpisah dari Mas Adi, tetap saja aku masih cinta padanya. Tapi, karena banyaknya luka yang sudah Mas Adi berikan padaku dan Nasya akan lebih baik jika kami memang berpisah. Lebih baik seperti itu daripada aku dan Nasya yang terus menderita karena kurangnya perhatian dari Mas Adi.

Cklek

Suara pintu yang terbuka membuatku yang sedang tidur di samping Mama menolehkan kepala. Mas Adi kembali dengan pakaian yang berbeda. Di tangannya ada beberapa barang yang di bawa seperti bantal, guling, dan tas entah berisi apa lagi. Mas Adi meletakan barang itu lalu menuju sisi tempat tidur Nasya. Melihat kondisi putri kami yang sudah jauh lebih baik.  Baru Mas Adi duduk di atas matras. Tempat di sampingku.

“Maaf mas baru kembali kesini dek. Tadi, Rahman nggak mau lepas dari gendongan mas. Jadi, Mas menunggunya sampai Rahman tertidur.” Aku hanya menganggukan kepala tapi tidak mengucapkan sepatah kata apapun.

Tanganku sudah sibuk menata bantal di sisi sofa yang lain. Karena salah satunya sudah di tiduri oleh Papa. Aku akan tidur di bawah bersama dengan Mama. Aku bisa merasakan Mas Adi yang sudah berdiri di belakangku. Namun, aku tetap acuh seperti tadi.

“Ayo kita bicarakan lagi saran dari Ibu dek. Aku benar-benar tidak ingin berpisah darimu.” Aku segera menggelengkan kepala.

“Untuk apa mas. Apa kamu tidak bisa melihat sedikit saja sifat Rumi yang membuatku memutuskan untuk berpisah darimu?”

“Aku tahu. Sekarang aku mengerti kenapa aku salah. Aku juga sudah tahu dengan kesalahan Rumi padamu. Tapi, aku sendiri tidak bisa menceraikannya karena ada Rahman di antara kami. Begitu juga denganmu. Aku tidak bisa bercerai darimu karena aku benar-benar cinta padamu Nad.”

Saat membalikan tubuh untuk menyuruhnya berhenti, tiba-tiba Mas Adi sudah menarik tanganku untuk keluar dari ruang rawat ini. Kami berjalan masuk ke dalam lift. “Kemana kita akan pergi mas? Ini sudah malam.” Tanyaku akhirnya membuka mulut.

“Ke taman rumah sakit. Agar kita bisa bicara dengan lebih nyaman. Nggak enak nanti kalau Papa dan Mama jadi terbangun.”

Mau tidak mau aku harus menuruti keinginan Mas Adi. Tangan besarnya yang hangat terus menggenggam tanganku dengan erat. Hal yang sudah jarang sekali ia lakukan padaku. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali kami bergandengan tangan seperti ini. Sejak Mas Adi memutuskan untuk menikah dengan Rumi, banyak hal yang berubah di antara kami. Termasuk dengan keintiman yang dulu begitu mesra.

Mas Adi menuntunku untuk duduk di salah satu kursi taman. Genggaman tangannya tidak kunjung terlepas. Dia juga tidak langsung bicara. Kepalanya terus menunduk ke bawah. Keheningan malam ini membuatku merasa lebih nyaman. Udara malam yang dingin menerpa wajahku.

“Aku minta maaf Nad. Karena baru tahu seperti apa sifat Rumi yang sebenarnya.” Ujar Mas Adi memulai percakapan di antara kami.

“Aku berjanji akan menyelidiki semuanya. Untuk saat ini aku tidak bisa melakukan apapun pada Rumi karena tidak punya bukti yang kuat. Karena itulah aku mohon padamu untuk bertahan denganku. Sesuai saran Ibu, kamu bisa membuat surat perjanjian yang semua isinya akan aku setujui. Asal kamu membatalkan niatmu untuk bercerai.” Kata Mas Adi panjang lebar.

Apa ini ada kaitannya dengan percakapan Mas Adi di telpon yang meminta seseorang untuk memasang kamera CCTV di rumah Rumi? Sejujurnya mendengar Mas Adi mau sedikit terbuka padaku tentang hal itu, membuatku merasa seketika gamang. Keyakinanku sebelumnya yang kukuh untuk berpisah dari Mas Adi akhirnya sedikit luntur.

Namun, mengingat perlakuan Adi selama tiga tahun ini padaku dan Nasya serta ancaman Rumi padaku yang tidak pernah berhenti membuatku kembali mengukuhkan niat untuk bercerai. Aku lalu menggelengkan kepala dengan tegas. Serta merta genggaman tangan kami terurai.

“Maaf mas. Keputusanku sudah bulat. Cari tahu saja sendiri bagaimana sikap Rumi yang sebenarnya. Aku sudah tidak mau terlibat dengan istri muda kamu itu. Bahkan kalau sekarang dia menangis mengatakan Rahman sedang pilek. Kamu akan langsung pergi dari rumah sakit ini ke rumah Rumi. Sempurna mengabaikan aku dan Nasya seperti sebelumnya.” Kataku sarkas untuk mengingatkan sikap Mas Adi dulu pada kami.

“Kamu juga tidak tahu apa saja yang Rumi pernah lakukan padaku agar aku mau bercerai darimu. Aku yakin dia akan melakukan yang lebih gawat lagi jika aku memutuskan untuk bertahan.”

Helaan nafas Mas Adi kembali terdengar. Kali ini sangat berat. Dia kembali menggenggam tanganku dengan erat seperti tadi. Saat aku berusaha melepaskannya, Mas Adi justru meletakan genggaman tangan kami di atas paha. Tidak peduli dengan lalu lalang para perawat, dokter atau pasien yang juga sedang ada di taman.

“Aku pastikan Rumi tidak akan berbuat sesuatu yang bisa membahayakan kamu dan Nasya. Jika Rumi sampai melakukan hal itu aku akan memberinya pelajaran. Tolong sekali ini saja dek. Beri aku kesempatan lagi untuk menebus semua kesalahanku selama tiga tahun.”

“Apa maksud kamu tadi mas? Kenapa kamu justru berduaan dengan Mbak Nada disini?” Suara Rumi sontak saja membuat semua orang menolehkan kepala. Bahkan ada juga yang sudah mengarahkan hp mereka untuk merekam kami.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si nada dg semua kebodohannya dan yg menerima akibatnya anaknya sendiri
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
cerai saja nada
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Derita Istri Pertama   Bab 89 Ending

    Saat Adi pulang ke rumah, sudah ada Rahman yang datang bersama Bude Sri dan Bu Anisa. Nada menjelaskan jika Rahman sudah tahu semuanya. Rahman menangis dalam pelukan Nada. Mereka tidak menanyakan apapun hingga Rahman akhirnya berhenti menangis."Jangan takut lagi sayang. Mulai sekarang Rahman akan tinggal di rumah ini dengan Ayah, Ibu, Kak Nasya dan Karina. Sejak dulu sampai sekarang, Rahman adalah anak Ibu dan Ayah. " Ucap Nada lembut yang membuat semua orang terharu.Adi sendiri merasa sangat bersyukur bisa kembali bersama Nada yang menerima Rahman dan Karina dengan lapang hati. Juga menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Hari itu, Adi kembali di sibukan untuk menata kamar tamu yang akan di ubah menjadi kamar Rahman. Sedangkan Nada sibuk memasak makan siang di dapur bersama Bude Sri.Mereka memutuskan untuk merawat Rahman bersama serta memberi tahu identitas Rahman dan Karina yang sebenarnya adalah saudara sepersusuan. Berita ini di sampaikan juga pada seluruh keluarga mereka yan

  • Derita Istri Pertama   Bab 88 Penahanan

    “Tidak mungkin. Anak saya tidak pernah menjebak Adi. Itu semua adalah fitnah.” Bu Anita berdiri di hadapan Galang untuk menghalangi kedua polisi itu yang hendak menangkap sang putra. Alana hanya berdiri dengan tubuh kaku menatap kakaknya dan sekumpulan polisi itu bergantian. “Maaf Bu. Jangan halangi penyelidikan kami. Selain Pak Galang, kami juga harus membawa Bu Rumi sebagai orang yang telah membeli obat-obatan itu. Kami sudah punya bukti yang valid untuk menahan anak dan menantu Ibu.” Kata salah satu polisi yang kepalanya botak dengan wajah datar menatap ke arah mereka. Galang masih terdiam di tempatnya tidak percaya. Jika jebakan yang sudah ia buat dengan matang dapat di ketahui oleh Adi. Dadanya terus berdebar kencang memikirkan semua keanehan yang terjadi selama ini. Adi yang selalu bisa berkelit dari semua jebakannnya. 'Apakah Adi sudah juga mengintaiku dengan menyuruh orang lain? Atau dia memasang kamera CCTV di rumah ini?' Tanya Galang dalam hatinya. Wajah pria itu masih tam

  • Derita Istri Pertama   Bab 87 Keanehan Rumi

    Tanpa sadar Galang membanting hpnya ke atas meja. Sehingga membuat perhatian para guru yang masih ada di ruangan yang sama dengannya jadi teralih pada Galang. Menyadari jika ia sudah membuat dirinya sebagai pusat perhatian, pria itu hanya bisa minta maaf karena sudah membuar keributan"Ada apa Pak Galang?” Tanya salah satu rekan guru senior yang jauh lebih tua darinya. Galang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kikuk. Menyesal karena sudah kelepasan marah di depan rekan guru yang lain.“Maaf Pak. Tadi ada nomor pinjol yang neror saya karena teman saya berhutang padanya.” Guru itu menganggukan kepalanya mengerti lalu kembali sibuk dengan kertas di tangan. Begitu juga dengan guru-guru lain yang tidak lagi memperhatikan GalangUjian akhir semester seperti ini membuat Galang dan beberapa guru memutuskan untuk bertahan di sekolah sampai sore guna membuat soal ulangan. Sebagian guru lain yang mata pelajarannya sudah di ujikan juga memilih untuk bertahan di sekolah untuk memeriksa lemba

  • Derita Istri Pertama   Bab 86 Ancaman Galang

    “Selamat ya Bu. Anda di nyatakan positif hamil.” Kata Dokter wanita setelah memeriksa hasil usg di rahim Rumi. Tampak bulatan kecil yang ada di layar. Wanita itu membalas senyum Dokter agar tidak curiga. Padahal hatinya biasa saja saat melihat sudah ada benih dari Galang yang bersemayam dalam rahimnya. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak Dok.” “Alhamdulillah dek. Akhirnya kamu hamil juga.” Ujar Galang yang juga bisa berakting dengan sempurna. Walaupun sebagian isi hatinya memang sangat tulus saat menyambut benih yang ada di rahim Rumi. Membuat keraguan di hati Galang tiba-tiba saja semakin kuat. Berbanding terbalik dengan perasaan Rumi. ‘Apakah aku masih harus mengejar Nada jika Rumi memang hamil anakku?’ Batin Galang galau saat ia dan Rumi sudah duduk kembali di hadapan Dokter. Pasangan suami istri itu lalu pulang ke rumah. Galang melangkah lebih dulu hingga masuk ke dalam ruang tengah. Disana sudah menunggu Alana yang tengah menonton TV bersama dengan Bu Anita. Raut wajah Galang

  • Derita Istri Pertama   Bab 85 Media Yang Di Hancurkan

    “Apa? Jadi Galang memang benar di pelet sama si Rumi itu? Keterlaluan sekali. Sudah Mama duga kenapa sikap Galang jadi berubah aneh seperti itu setelah menikah dengan Rumi.” Teriak Bu Anita dari sebrang sambungan telpon yang membuat telinga Alana terasa pekak sekali. Sampai perempuan itu mengorek telinganya yang berdenging karena tadi ia menempelkan hp di telinga. Seharusnya ia sudah menggunakan mode loudspeaker sejak tadi. “Iya Ma. Sesuai dengan informasi dari nomor asing itu, aku bisa menemukan dimana Rumi menyimpan kertas dan bubuk aneh ini. Untung saja Bude Sri bisa menulis huruf arab jawa sehingga aku menyuruhnya untuk menyalin tulisan itu. semirip mungkin. Kata Bude Sri dia sedikit mengubah huruf arab dari nama Mas Galang. Padahal aku sama sekali tidak sadar saat membacanya tadi.” Terang Alana mengingat penjelasan wanita paruh baya itu setelah menyapu halaman depan. “Kalau di ubah dan Rumi tahu bagaimana?” Tanya Bu Anita cemas. Dalam hatinya ia berpikir jika rencana Alana bisa

  • Derita Istri Pertama   Bab 84 Rencana Alana

    Pesawat yang di tumpangi Alana sudah mendarat di bandara. Ia turun dari pesawat lalu langsung naik ke dalam taksi yang menunggu di dalam bandara dengan membawa dua koper besar. Karena Alana memang berniat untuk tinggal di rumah Galang selama satu minggu. Selain untuk memastikan kebenaran jika Galang memang sudah di pelet oleh Rumi, ada pekerjaan di yayasan yang ingin Alana bicarakan secara langsung dengan kakaknya itu. Ia menyebutkan tujuan alamatnya pada sopir taksi yang sudah melajukan mobilnya keluar dari bandara lalu menuju rumah Galang. Tangannya mengambil hp dari dalam tas untuk membuka pesan dari Bu Anita. Jari Alana dengan cepat mengetikan pesan balasan untuk sang Mama yang terkirim satu setengah jam yang lalu. Itu berarti saat Alana masih berada di dalam pesawat. [Aku sudah turun dari pesawat dan sekarang sedang di dalam taksi menuju rumah Mas Galang, Ma. Tenang saja. Aku akan langsung mengambil kertas itu dari kabinet dapur. Aku akan tetap menjalankan rencanaku agar Rumi t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status