Raut wajah Mas Adi yang awalnya datar langsung berubah panik. Pandangannya terus tertuju kesana dan kemari karena tidak fokus. Duduknya menjadi gelisah. Tapi, dia tidak kunjung pergi dari ruang rawat Dinda. Karena baik Abah, Ibu dan Umi juga masih duduk di tempat mereka. Pasti Mas Adi merasa tidak nyaman. Apalagi dengan keberadaan Papa dan Mama yang masih ada disini.
“Kenapa kamu tidak segera pergi mas? Nanti Rumi akan menuduhku menahanmu disini agar tidak bisa menemani Rahman yang sedang sakit. Sama seperti sebelumnya. Padahal aku tidak pernah melakukan hal itu.” Ujarku menyindirnya sesuai dengan perkataan Rumi yang selalu adik maduku itu ucapkan padaku.
“Nada benar Di. Kamu pergi sekarang saja. Asal jangan lupa datang ke kamar ini lagi sebelum Nasya operasi.” Kata Ibu mendukungku.
“Tapi, pembicaraan kita belum selesai Bu.” Pandangan Mas Adi kini sudah beralih padaku. Aku membuang wajah agar tidak menatapnya.
“Aku akan melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangga kita dek. Termasuk dengan membuar surat perjanjian. Kita bicarakan lagi detailnya setelah aku menemui Rahman dan Rumi.”
Mas Adi segera beranjak dari kursinya lalu berjalan keluar kamar. Di susul dengan Abah dan Ibu yang pamit sebentar untuk melihat keadaan Rahman. Hanya menyisakan Umi saja di kamar ini yang tidak ikut dengan mereka. Mungkin karena Umi masih merasa kesal dengan Bu Saroh dan Rumi.
“Loh Bu Anisa nggak ikut melihat keadaan Rahman?” Tanya Mama heran. Padahal Umi juga sebenarnya sayang pada Rahman. Umi menggelengkan kepalanya.
“Nggak jeng. Takut nanti khilaf waktu lihat Rumi dan Mamanya. Mending jenguknya nanti kalau suasana sudah jadi lebih kondusif.” Jawab Umi sesuai dengan tebakanku. Umi dan Mama sudah terlibat percakapan di antara mereka sendiri.
Tiga puluh menit kemudian Abah sudah kembali. Umi langsung bertanya apa yang terjadi pada Rahman. Rupanya anak maduku itu jatuh dari tangga karena tidak ada yang mengawasi. Rumi sedang di dalam kamar saat Rahman terjatuh. Bu Saroh yang baru akan pergi dari rumah sakit ini di kejutkan dengan kedatangan Rumi yang menggendong Rahman dengan kepala berdarah. Aneh sekali Rumi membawa Rahman ke rumah sakit ini karena jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Rumi bisa saja pergi ke rumah sakit lain yang jaraknya lebih dekat dari rumahnya. Tapi, itu bukan hal yang aneh bagiku mengingat bagaimana sifat Rumi sebenarnya.
“Bagaimana keadaan Rahman Bah?” Tanyaku prihatin. Sekesal apapun aku pada Rumi dan Bu Saroh, aku tidak akan sampai hati mendengar keadaan Rahman yang juga sakit. Mudah-mudahan saja kondisi Rahman tidak parah. Mengingat penangannya yang cukup lambat karena jarak dari rumah Rumi ke rumah sakit ini.
“Setelah di rontgen tidak terjadi pendarahan dalam. Hanya luka ringan saja.” Kata Abah lalu duduk di samping Umi.
“Alhamdulillah.” Ucap kami secara serentak.
Dua jam berlalu dengan cepat. Abah bersama dengan Ibu dan Umi sudah pulang ke rumah Ibu. Papa dan Mama memutuskan untuk menemaniku dan Nasya di ruang rawat ini. Sementara Mas Adi belum kunjung kembali. Karena kondisi Rahman tidak terlalu parah, Ibu mengatakan Rahman sudah boleh di bawa pulang. Mungkin Mas Adi yang mengantar mereka.
Memikirkan hal itu kembali membuat dadaku berdenyut nyeri. Walaupun aku sudah yakin untuk berpisah dari Mas Adi, tetap saja aku masih cinta padanya. Tapi, karena banyaknya luka yang sudah Mas Adi berikan padaku dan Nasya akan lebih baik jika kami memang berpisah. Lebih baik seperti itu daripada aku dan Nasya yang terus menderita karena kurangnya perhatian dari Mas Adi.
Cklek
Suara pintu yang terbuka membuatku yang sedang tidur di samping Mama menolehkan kepala. Mas Adi kembali dengan pakaian yang berbeda. Di tangannya ada beberapa barang yang di bawa seperti bantal, guling, dan tas entah berisi apa lagi. Mas Adi meletakan barang itu lalu menuju sisi tempat tidur Nasya. Melihat kondisi putri kami yang sudah jauh lebih baik. Baru Mas Adi duduk di atas matras. Tempat di sampingku.
“Maaf mas baru kembali kesini dek. Tadi, Rahman nggak mau lepas dari gendongan mas. Jadi, Mas menunggunya sampai Rahman tertidur.” Aku hanya menganggukan kepala tapi tidak mengucapkan sepatah kata apapun.
Tanganku sudah sibuk menata bantal di sisi sofa yang lain. Karena salah satunya sudah di tiduri oleh Papa. Aku akan tidur di bawah bersama dengan Mama. Aku bisa merasakan Mas Adi yang sudah berdiri di belakangku. Namun, aku tetap acuh seperti tadi.
“Ayo kita bicarakan lagi saran dari Ibu dek. Aku benar-benar tidak ingin berpisah darimu.” Aku segera menggelengkan kepala.
“Untuk apa mas. Apa kamu tidak bisa melihat sedikit saja sifat Rumi yang membuatku memutuskan untuk berpisah darimu?”
“Aku tahu. Sekarang aku mengerti kenapa aku salah. Aku juga sudah tahu dengan kesalahan Rumi padamu. Tapi, aku sendiri tidak bisa menceraikannya karena ada Rahman di antara kami. Begitu juga denganmu. Aku tidak bisa bercerai darimu karena aku benar-benar cinta padamu Nad.”
Saat membalikan tubuh untuk menyuruhnya berhenti, tiba-tiba Mas Adi sudah menarik tanganku untuk keluar dari ruang rawat ini. Kami berjalan masuk ke dalam lift. “Kemana kita akan pergi mas? Ini sudah malam.” Tanyaku akhirnya membuka mulut.
“Ke taman rumah sakit. Agar kita bisa bicara dengan lebih nyaman. Nggak enak nanti kalau Papa dan Mama jadi terbangun.”
Mau tidak mau aku harus menuruti keinginan Mas Adi. Tangan besarnya yang hangat terus menggenggam tanganku dengan erat. Hal yang sudah jarang sekali ia lakukan padaku. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali kami bergandengan tangan seperti ini. Sejak Mas Adi memutuskan untuk menikah dengan Rumi, banyak hal yang berubah di antara kami. Termasuk dengan keintiman yang dulu begitu mesra.
Mas Adi menuntunku untuk duduk di salah satu kursi taman. Genggaman tangannya tidak kunjung terlepas. Dia juga tidak langsung bicara. Kepalanya terus menunduk ke bawah. Keheningan malam ini membuatku merasa lebih nyaman. Udara malam yang dingin menerpa wajahku.
“Aku minta maaf Nad. Karena baru tahu seperti apa sifat Rumi yang sebenarnya.” Ujar Mas Adi memulai percakapan di antara kami.
“Aku berjanji akan menyelidiki semuanya. Untuk saat ini aku tidak bisa melakukan apapun pada Rumi karena tidak punya bukti yang kuat. Karena itulah aku mohon padamu untuk bertahan denganku. Sesuai saran Ibu, kamu bisa membuat surat perjanjian yang semua isinya akan aku setujui. Asal kamu membatalkan niatmu untuk bercerai.” Kata Mas Adi panjang lebar.
Apa ini ada kaitannya dengan percakapan Mas Adi di telpon yang meminta seseorang untuk memasang kamera CCTV di rumah Rumi? Sejujurnya mendengar Mas Adi mau sedikit terbuka padaku tentang hal itu, membuatku merasa seketika gamang. Keyakinanku sebelumnya yang kukuh untuk berpisah dari Mas Adi akhirnya sedikit luntur.
Namun, mengingat perlakuan Adi selama tiga tahun ini padaku dan Nasya serta ancaman Rumi padaku yang tidak pernah berhenti membuatku kembali mengukuhkan niat untuk bercerai. Aku lalu menggelengkan kepala dengan tegas. Serta merta genggaman tangan kami terurai.
“Maaf mas. Keputusanku sudah bulat. Cari tahu saja sendiri bagaimana sikap Rumi yang sebenarnya. Aku sudah tidak mau terlibat dengan istri muda kamu itu. Bahkan kalau sekarang dia menangis mengatakan Rahman sedang pilek. Kamu akan langsung pergi dari rumah sakit ini ke rumah Rumi. Sempurna mengabaikan aku dan Nasya seperti sebelumnya.” Kataku sarkas untuk mengingatkan sikap Mas Adi dulu pada kami.
“Kamu juga tidak tahu apa saja yang Rumi pernah lakukan padaku agar aku mau bercerai darimu. Aku yakin dia akan melakukan yang lebih gawat lagi jika aku memutuskan untuk bertahan.”
Helaan nafas Mas Adi kembali terdengar. Kali ini sangat berat. Dia kembali menggenggam tanganku dengan erat seperti tadi. Saat aku berusaha melepaskannya, Mas Adi justru meletakan genggaman tangan kami di atas paha. Tidak peduli dengan lalu lalang para perawat, dokter atau pasien yang juga sedang ada di taman.
“Aku pastikan Rumi tidak akan berbuat sesuatu yang bisa membahayakan kamu dan Nasya. Jika Rumi sampai melakukan hal itu aku akan memberinya pelajaran. Tolong sekali ini saja dek. Beri aku kesempatan lagi untuk menebus semua kesalahanku selama tiga tahun.”
“Apa maksud kamu tadi mas? Kenapa kamu justru berduaan dengan Mbak Nada disini?” Suara Rumi sontak saja membuat semua orang menolehkan kepala. Bahkan ada juga yang sudah mengarahkan hp mereka untuk merekam kami.
Karena teriakan Rumi barusan, semua orang yang ada di taman rumah sakit ini sudah sibuk merekam kami. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan tentang pelakor yang bisa jadi tertuju padaku. Bukan pada Rumi. Belum sempat Mas Adi menjawab pertanyaan Rumi, dia sudah menarik tangan Mas Adi untuk pergi dari sini sambil terus bicara yang tentu saja berhasil menyudutkanku. Tatapan semua orang menatap tajam ke arahku. Seolah aku yang sudah bersalah disini. “Rahman masih sakit di rumah. Tapi, kamu malah pergi ke rumah sakit untuk menemui Mbak Nada.” Karena perkataan Rumi itu sudah banyak orang yang dengan sengaja mengatakan jika aku adalah pelakor syariah. “Hentikan kalian semua.” Teriakku dengan volume terkendali. Mas Rahman juga sudah berhasil melepaskan pegangan tangan Rumi di tangannya. “Aku bukan pelakor. Justru aku adalah istri pertama pria itu dan dia adalah istri kedua.” Sontak saja kamera segera beralih pada wajah sosok Rumi dan Mas Rahman yang sudah berjarak cukup jauh dariku. K
Degup jantungku seketika berdebar dua kali lipat. Apa ini? Mas Adi punya rahasia yang di sembunyikan dariku? Apa ini alasan Mas Adi selalu menuruti semua perkataan Rumi. Karena dia tidak ingin aku mengetahui hal ini. Diam-diam aku meletakan kembali hp itu ke atas meja. Untungnya Mama tidak melihat saat aku memegang hp Mas Adi. Nanti akan aku tanyakan hal ini padanya. Setelah selesai sarapan, aku menyuruh Mas Adi untuk memakan sarapan bagiannya. “Biar aku yang jaga Nasya.” Kataku setelah berdiri di samping kursinya. “Iya.” Mas Adi beranjak dari kursi lalu duduk di sofa. Aku duduk di kursi yang di tinggalkan Mas Adi. Tanganku mengusap dahi Nasya yang sudah tidak panas. “Kamu sudah siap untuk operasi nanti sayang?” Nasya menggelengkan kepalanya. “Aku takut Bu.” Ku genggam tangan kecil Nasya untuk menyalurkan kekuatan. Wajar saja jika Nasya merasa takut. Walaupun operasi yang akan di jalani nanti tergolong ringan. Tapi, hal itu tetap menakutkan untuk anak seusia Nasya. “Jangan takut
“Saat itu aku menceritakan tentang hasil usg pada teman-teman guruku saat berkunjung ke toko untuk membeli pakaian baru. Karena saat itu kami akan pergi menemani para siswa berwisata. Aku tidak menyangka jika Rumi mendengarnya lalu meminta aku menceritakan tentang keinginanku untuk mempunyai anak laki-laki lebih dulu. Aku seperti tidak sadar sudah menjawab semua pertanyaan Rumi saat itu Nad.” Tubuhku seketika terasa limbung. Aku memegang ujung meja agar tetap bisa duduk dengan tegak. Semua dugaan itu akhirnya di benarkan secara langsung oleh Mas Adi. Begitu juga dengan semua ucapan Rumi yang mengatakan jika dia bangga bisa memberikan anak laki-laki seperti yang di harapkan oleh Mas Adi. Karena itulah suka cita Mas Adi saat menyambut kelahiran Nasya dan Rahman sangat berbeda. Bukan berarti Mas Adi tidak sayang pada Nasya. Hanya saja saat Nasya lahir, Mas Adi langsung membawa kami pulang ke rumah. Tidak ada acara apapun untuk menyambut kelahiran putri kami. Berbeda dengan saat Rahman
Aku sengaja memegang hp itu dengan keadaan masih membuka aplikasi pesan wa. Karena Mas Adi sudah berjanji untuk bersikap adil padaku dan Rumi, aku ingin tahu bagaimana reaksinya saat membaca pesan ini. Beberapa menit kemudian Mas Adi sudah kembali ke dalam kamar. Tanganku mengulurkan hp padanya. “Ada pesan masuk mas.” Kataku pendek. Tidak ingin di ketahui oleh Nasya yang tengah asyik menonton TV. Hatiku sudah bersiap jika Mas Adi langsung pamit untuk pulang ke rumah Rumi. Namun, sikap Mas Adi ternyata di luar dugaanku. Dia duduk di sofa sambil mengotak-atik hpnya. Lalu, Mas Adi menelpon seseorang untuk pergi ke rumah Rumi saat ini juga. Mas Adi bicara jujur jika Rumi mengirimkan pesan ancaman akan minum racun bersama dengan Rahman. Sama sekali tidak ada raut wajah khawatir yang tergambar di wajah suamiku itu. Padahal biasanya dia akan langsung pergi ke rumah istri keduanya dengan alasan yang sepele. Pandanganku kembali teralih pada Nasya. Kuusap rambutnya pelan hingga Nasya menoleh
“Tapi, kenapa mas? Bukannya penghasilan kamu yang aku sarankan itu besar ya. Sehingga nggak perlu lagi nyuri uang di brankas. Kamu jadi lebih bisa adil untuk membagi nafkah di antara aku dan Rumi.” Mas Adi terdiam. Raut wajahnya terlihat sangat ragu. “Dulu waktu aku memutuskan poligami, Papa memintaku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik karena sebagian besar dari modal toko adalah uang kamu. Karena itulah aku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik sebagai nafkah Rumi. Aku tidak hanya melanggar janjiku pada kamu. Tapi, juga pada Papa.” Aku terdiam. Tidak tahu harus bicara apa. Rasa kecewa terhadap Mas Adi kembali menyusup dalam hatiku. Sehebat apa pengaruh Rumi hingga membuat Mas Adi bisa menghianati janji yang sudah ia buat pada Papa? Aku yakin Papa juga sudah menegtahui hal ini. Kenapa Papa tidak pernah cerita padaku jika dia pernah membuat janji seperti itu? Kenapa juga Papa masih memintaku untuk bertahan dengan Mas Adi jika tahu menantu pertamanya ini sudah melanggar janji
Bukan hp Mas Adi yang berbunyi. Tapi, justru hpku yang kini berdering nyaring tanda ada rentetan pesan masuk. Aku yakin itu semua pesan itu dari Rumi. Karena sudah puas mengerjai Rumi, aku memilih untuk berganti baju menggunakan daster yang nyaman lalu tidur dengan posisi menghadap dinding seperti tadi. Ternyata rasanya puas juga bisa membalas perlakukan adik maduku itu. Walaupun apa yang aku lakukan tadi sama sekali tidak setimpal dengan semua perbuatan Rumi selama tiga tahun ini. Rasanya baru sebentar aku tertidur, saat suara Mas Adi beserta tangannya yang terus menepuk bahu berhasil membuatku terbangun. Tanganku mengucek mata agar segera terbuka. Adzan subuh sudah berkumandang. Pantas saja jika Mas Adi membangunkan aku. Kebiasaannya yang tidak pernah berubah sejak dulu. “Bangun Nad. Kamu sholat subuh sama Nasya dan Ibu ya. Aku mau pergi ke musola.” Aku menganggukan kepala dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tapi, tetap kupaksakan turun dari tempat tidur. Aku menyiapkan
“Siapa yang datang Nad?” Langkah kaki Mama terdengar berjalan mendekaitku. Saat masuk ke dalam ruang keluarga, Mama juga ikut membeku sepertiku. Tapi, Mama cepat menguasai keadaan lalu mengubah raut wajahnya yang semula datar berubah menjadi tersenyum untuk menghargai tamu yang tidak kami harapkan kedatangannya. Namun, Bu Saroh justru membalas dengan senyum sinis. Padahal dia adalah tamu di rumah ini. “Eh ada Rumi dan Bu Saroh. Silahkan duduk dulu. Mau minum apa?” Tawar Mama dengan suara yang amat ramah. Aku sendiri tidak ingin berpura-pura bersikap ramah pada mereka. Karena aku sudah muak menahan diri selama ini. “Nggak perlu repot-repot Tante. Kami kesini ingin mengajak Mas Adi pergi ke mall. Rahman ingin bermain di time zone dengan Ayahnya.” Jawab Rumi lebih sopan daripada Ibunya. “Duduk dulu lah. Terus kenapa malah diam saja. Adab sopan santun kita kan mengajarkan untuk bertamu dengan baik.” Kata Mama dengan kalimat penuh makna sindiran. Aku berusaha menahan senyum karena meng
Aku meraih tangan Nasya lalu menuntunnya untuk keluar dari ruang keluarga. Agar Nasya tidak mendengar perkataan Mas Adi jika dia akan menuruti permintaan Rahman. Walaupun Mas Adi sudah berjanji untuk berubah, aku masih belum percaya sepenuhnya. Bisa saja sikapnya kembali seperti dulu lagi dan aku tidak ingin Nasya mendengar hal itu. “Nasya tunggu di ayunan dulu ya. Nanti Ayah akan nyusul kesana. Seperti kata Ayah tadi.” Nasya hanya diam saja. Dia memperhatikan Rahman yang masih memukul-mukul badan Mas Adi karena tidak terima dengan perkataan Ayahnya tadi. Kedua mata Nasya juga sudah mengembun hingga siap meneteskan air mata di pipi gembilnya. “Aku main sendiri saja Bu. Ayah pasti akan pergi lagi sama Rahman.” Kata Nasya acuh tidak mendengar perkataanki tadi.“Tapi, sa…” Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku tadi, Nasya sudah keluar dari ruang keluarga. “Diam Rahman. Kamu tidak bisa mendapatkan semua keinginanmu hanya dengan menangis.” Hardik Mas Adi hampir berteriak. Membuat R