“Aku masih tak percaya,” gumam Thania, menatap mata suaminya, “kita benar-benar bicara soal… bayi.”
Melvin mengangguk pelan, senyum hangatnya menjawab lebih banyak dari kata-kata.Ia menyentuh pipi Thania dengan penuh kelembutan, lalu membisik, “Bukan sekadar bicara. Aku ingin melihatmu menggendong buah hati kita. Bayi kecil dengan mata sepertimu… dan senyum usil seperti aku.”Thania tertawa pelan lagi, pipinya memerah, bukan hanya karena kata-kata Melvin, tapi juga karena cara dia menatapnya—penuh keyakinan, harapan, dan cinta yang dalam.Tanpa terburu-buru, mereka saling mendekap. Bukan sekadar karena hasrat, tetapi karena keinginan yang tulus untuk mencipta—bukan hanya kehidupan, tapi juga kenangan baru.Melvin mencium kening istrinya, lalu pelan-pelan bibir mereka menyatu dalam ciuman yang hangat, panjang, dan penuh makna.Ciuman mereka makin dalam, tapi tetap tenang—seperti dua jiwa yang saling menyatu dalam kepercayaan yangLucy langsung menjatuhkan diri, berlutut di kaki Melvin setelah pria itu mengucapkan kata-kata pengusiran yang mengguncang jiwanya.“Aku mohon, maafkan aku. Jangan usir aku, Melvin. Aku mohon,” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar hebat.Ia mencengkeram celana pria itu, seperti seseorang yang tenggelam dan berusaha mencengkeram apa pun untuk bertahan hidup. Wajahnya penuh air mata, menggambarkan penyesalan yang terlambat.Namun, Melvin segera mundur selangkah, menjauh dari sentuhan itu. Wajahnya mengeras, matanya menatap wanita itu tanpa simpati.Tak ada ruang dalam hatinya untuk rasa kasihan kepada wanita yang selama ini membiarkan anaknya disakiti — bahkan jika wanita itu adalah ibu dari istri yang ia cintai.“Tidak ada kata maaf bagi manusia tidak tahu diri sepertimu, Nyonya Lucy,” ucap Melvin dingin dan penuh penegasan. Suaranya tak bergetar sedikit pun, seperti batu yang tak bisa dilunakkan.Lucy terdiam. Wajahnya menunduk dalam, menang
“Thania? Kau sedang di mana?” tanya Sheila dengan nada panik yang begitu jelas, membuat Thania langsung menghentikan pekerjaannya.Ia mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres dari nada suara adik bungsunya itu.“Aku sedang di kantor, Sheila. Ada apa? Kenapa kau tampak panik seperti ini?” Thania langsung berdiri dari kursinya, jantungnya mulai berdegup kencang. Ada firasat buruk yang mulai merayapi pikirannya.“Ibu, Thania. Ibu … dia memberitahu Archer di mana kita tinggal sekarang. Aku pun tidak tahu kapan dia memberitahu Archer. Dia sekarang ada di sini. Dia sedang memarahi Ibu karena baru memberitahunya. Bahkan Ibu juga memberitahu soal jual rumah itu.”Suara Sheila terdengar bergetar, nyaris seperti sedang menangis. Thania terdiam sesaat, otaknya berusaha mencerna informasi yang baru saja ia dengar.Napasnya tercekat. Ia langsung memijat keningnya dengan satu tangan, seolah ingin meredakan pusing yang tiba-tiba menyerangnya.“Astaga, Ibu. Kenapa dia melakukan ini?” lirihnya,
“Apa yang kau lakukan di sini, Joana?”Mata Melvin membola, menatap tak percaya saat sosok wanita tinggi berambut cokelat bergelombang itu tiba-tiba muncul di ambang pintu kantornya.Joana melangkah masuk tanpa permisi, tumit sepatunya berdentum ringan di atas lantai marmer, menambah kesan dingin dari kehadirannya yang tak diundang.Ia mengenakan gaun formal selutut berwarna merah anggur, cukup mencolok di tengah suasana kerja yang biasanya tenang dan teratur.“Kenapa? Biasanya kau selalu senang kalau aku datang ke sini, bukan?” Joana menyandarkan tubuhnya di sisi pintu, senyum sinis tersungging di wajahnya.“Lihatlah. Sekarang kau tampak marah ketika aku datang.” Tawanya meletup, campah dan menggoda, mengiris keheningan ruang kerja yang sebelumnya tenang.Melvin tak segera menjawab. Kepalanya sedikit menoleh ke arah luar, seolah memastikan bahwa tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.Ia tidak
“Aku masih tak percaya,” gumam Thania, menatap mata suaminya, “kita benar-benar bicara soal… bayi.”Melvin mengangguk pelan, senyum hangatnya menjawab lebih banyak dari kata-kata.Ia menyentuh pipi Thania dengan penuh kelembutan, lalu membisik, “Bukan sekadar bicara. Aku ingin melihatmu menggendong buah hati kita. Bayi kecil dengan mata sepertimu… dan senyum usil seperti aku.”Thania tertawa pelan lagi, pipinya memerah, bukan hanya karena kata-kata Melvin, tapi juga karena cara dia menatapnya—penuh keyakinan, harapan, dan cinta yang dalam.Tanpa terburu-buru, mereka saling mendekap. Bukan sekadar karena hasrat, tetapi karena keinginan yang tulus untuk mencipta—bukan hanya kehidupan, tapi juga kenangan baru.Melvin mencium kening istrinya, lalu pelan-pelan bibir mereka menyatu dalam ciuman yang hangat, panjang, dan penuh makna.Ciuman mereka makin dalam, tapi tetap tenang—seperti dua jiwa yang saling menyatu dalam kepercayaan yang
Melvin melangkah masuk ke kamar dengan langkah berat. Matanya tertuju pada sosok Thania yang tengah duduk di depan meja rias, menyisir rambutnya perlahan.Tanpa banyak kata, ia menyodorkan sebuah map berwarna krem, lusuh namun utuh, lalu meletakkannya di atas permukaan meja rias di hadapan istrinya.Thania mengernyit bingung, menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap suaminya lalu perlahan membuka map tersebut, menelusuri setiap lembar dokumen di dalamnya dengan mata yang mulai membesar.“Apa ini?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya terdengar ragu, seolah-olah ia takut pada jawaban yang akan keluar dari mulut Melvin.Melvin menghela napas kasar, berdiri tegak di belakang kursi istrinya. Sorot matanya tajam namun wajahnya tetap tenang.“Sertifikat rumah orang tuamu. Yang digadaikan oleh Archer… untuk membayar utangnya pada Victor,” ucapnya dingin, namun nadanya mengandung tekanan yang jelas.Thani
“Pa?” panggil Melvin pelan saat ia melihat sosok ayahnya, Kalen, baru saja menutup panggilan telepon dan meletakkan ponsel ke atas meja kerjanya.Kalen menoleh, menatap anak sulungnya dengan raut wajah tenang. “Kau sudah pulang, Melvin,” ucapnya sambil bersandar di sandaran kursi, kedua tangannya menyatu di atas perutnya. “Aku dengar dari Regina, kalian pergi liburan. Kau dan istrimu.”Melvin tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Ia melangkah pelan ke dalam ruang kerja ayahnya yang terletak di sisi barat kantor utama perusahaan keluarga mereka.“Ya,” jawab Melvin sambil duduk di kursi tamu di hadapan ayahnya.“Kami hanya berlibur selama satu minggu. Sekadar menyegarkan pikiran. Kau sendiri? Ke mana saja selama ini tak pernah masuk kantor, Pa?”Kalen mengangguk paham. “Memangnya hanya pengantin baru saja yang butuh liburan? Pasangan paruh baya pun butuh istirahat dari rutinitas, M
“Kondisi Joana sudah semakin mengkhawatirkan. Depresi yang dia alami semakin tidak terkendali dan sering membuatnya pingsan berkali-kali. Dia harus dirawat selama beberapa hari.”Suara tenang namun tegas dari Dokter John bergema di ruang perawatan yang hening.Di sisi ranjang rumah sakit, tubuh lemah Joana terbaring diam, hanya napas pelan dan mesin monitor yang menunjukkan bahwa ia masih hidup.Jesika berdiri di samping ranjang dengan wajah tegang. Matanya merah dan berkaca-kaca, hatinya diselimuti kecemasan yang menyesakkan.Tatapannya tak beranjak dari wajah Joana yang tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya, pipinya cekung, dan matanya tampak sembab meski terpejam.“Apa yang harus aku lakukan, Dokter? Joana akan sembuh, kan?” tanyanya lirih, suara serak karena terlalu sering menangis.Ia menggenggam tangan Joana yang dingin, berharap putrinya akan membuka mata dan tersenyum seperti dulu.“Joana harus rajin terapi, Nyonya Jesika. Kalau bolong terus menerus, sampai kiamat pun Joana
Wajah Melvin hari ini terlihat sangat cerah. Senyumnya sumringah, langkahnya ringan seolah tak ada beban di pundaknya.Hatinya terasa penuh—penuh cinta, syukur, dan kedamaian yang sudah lama tak ia rasakan. Seolah-olah, pagi ini ia adalah pria paling bahagia di muka bumi.Yeah… efek pelepasan pagi-pagi buta sungguh luar biasa. Pagi tadi, ketika langit masih biru kelabu dan udara belum sepenuhnya hangat, Thania—dengan inisiatif yang manis dan keberanian yang menggetarkan—memuaskannya.Dengan sentuhan penuh cinta, tanpa kata-kata muluk, ia menghapus gurat resah di wajah suaminya. Sejak itu, dunia Melvin seperti berubah warna.Mood-nya melonjak naik, dan segala sesuatu yang dilakukannya terasa menyenangkan, ringan, dan bahkan… menggelikan.Di ruang makan, Melvin muncul sambil membawa dua piring dan dua cangkir. Ia tampak penuh semangat seperti seorang pelayan pribadi istimewa."Kau duduk saja, biar aku yang siapkan makanannya," ucap Melvin sembari mendorong bahu Thania agar duduk manis d
Melvin dan Thania berjalan berdampingan di tepi pantai. Telapak kaki mereka sesekali terbenam dalam pasir basah, dan tangan mereka saling menggenggam erat—seolah tidak ingin saling terlepas.Melvin tampak jauh lebih tenang dari biasanya, namun dari sorot matanya, masih tersimpan kerumitan yang belum seluruhnya reda.“Akhirnya kita bisa berlibur dengan tenang tanpa ada gangguan sedikit pun,” ucap Melvin memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti mereka.Thania menoleh dengan senyum hangat, menatap wajah suaminya yang diterangi sinar keemasan matahari. “Kau tampak bahagia sekali bisa berlibur, Melvin.”“Tentu saja. Setelah menyelesaikan semua pekerjaanku dalam semalam dan pulang pukul tiga pagi, akhirnya aku bisa berlibur denganmu.” Melvin terkekeh pelan, nada tawanya sarat kelelahan tapi juga kejujuran.Thania tertawa kecil, lalu menggelengkan kepala dengan takjub. “Aku tidak menyangka kau akan menyelesaikan semuanya dalam semalam. Kau bahkan lupa makan malam.”Melvin hanya terseny